Anda di halaman 1dari 24

BAB VI

PEMBAHASAN

A. Distribusi Tingkat Pendidikan Masyarakat

Distribusi tingkat pendidikan masyarakat berdasarkan table V.2

menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sebanyak 27 (60%) orang di

wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo mempunyai tingkat

Pendidikan yang tinggi (SMA-Perguruan tinggi).

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan

manusia untuk berbuat sesuatu dan mengisi kehidupan dalam mencapai

kebahagiaan dan keselamatan, pendidikan diperlukan dalam mendapatkan

informasi, misalnya informasi tentang penyakit TB Paru (Wawan dan Dewi,

2010).

Pendidikan dapat memepengaruhi seseorang termasuk juga perilaku

seseorang. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi dan peran

serta masyarakat dalam berperilaku. Seseorang yang menerima pendidikan

yang lebih baik atau tinggi, biasanya akan lebih mampu berpikir secara

obyektif dan rasional. Dengan berpikir secara rasional, maka seseorang akan

lebih mudah menerima hal - hal baru yang dianggap menguntungkan bagi

dirinya. (Notoatmodjo, 2010).

78
79

Pada penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2017) menunjukkan

hubungan yang lemah antara pengetahuan responden dengan tindakan dalam

melakukan pemeriksaan sputum. Gejala dan penanganan TB Paru dapat

diketahui jika petugas kesehatan bekerja sama dengan tokoh agama dan tokoh

masyarakat untuk memberikan informasi sesuai usia dan pendidikan dari

responden.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat

sebanyak 27 (60%) orang di wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten

Sidoarjo mempunyai tingkat Pendidikan yang tinggi (SMA-Perguruan tinggi).

Seharusnya dengan tingkat pendidikan yang tinggi, informasi yang dimiliki

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo tentang

TB Paru lebih luas, sehingga diharapkan dengan tingkat pendidikan yang

tinggi tersebut kemampuan masyarakat dalam mengambil keputusan untuk

menyelesaikan masalah kesehatan yang terjadi pada dirinya sendiri ataupun

pada keluarga bisa lebih baik. Hal ini dikarenakan pendidikan seseorang yang

tinggi akan berpengaruh pada kemampuannya untuk menerima dan

memahami informasi tentang berbagai masalah kesehatan, khusunya TB Paru.

Hal ini sejalan dengan teori tentang pendidikan oleh Notoatmodjo, dimana

pendidikan dapat memepengaruhi seseorang termasuk juga perilaku

seseorang. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi dan peran

serta masyarakat dalam berperilaku. Seseorang yang menerima pendidikan


80

yang lebih baik atau tinggi, biasanya akan lebih mampu berpikir secara

obyektif dan rasional.

B. Distribusi Pengetahuan Masyarakat

Distribusi pengetahuan masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Buduran berdasarkan tabel V.3 menunjukkan bahwa sebagian besar (91,1%)

memiliki pengetahuan baik sebanyak 41 masyarakat, dan (8,9%) memiliki

pengetahuan kurang sebanyak 4 masyarakat.

Pengetahuan kesehatan adalah suatu kemungkinan baik yang sangat

penting sebelum perilaku sehat seseorang terbentuk, tetapi perilaku kesehatn

yang diinginkan berkemungkinan untuk tidak terjadi, kecuali jika seseorang

menerima suatu syarat yang cukup kuat untuk memotivasi mereka untuk tidak

dalam pengetahuannya. (Hasanah,2015)

Martin dan Oxman (1988) dalam Kusrini (2009) mengungkapkan

bahwa pengetahuan merupakan kemampuan untuk membentuk model mental

yang menggambarkan obyek dengan tepat dan mempresentasikannya dalam

aksi yang dilakukan terhadap suatu obyek.

Pengetahuan umumnya datang dari pengalaman, juga bisa didapat dari

informasi yang disampaikan oleh guru, orangtua, buku, dan surat kabar.

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007).

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di

wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo sebanyak 41 (91,1%)


81

orang memiliki pengetahuan yang baik. Seharusnya dengan pengetahuan yang

baik, keinginan untuk berperilaku hidup sehat dapat terlaksanakan.

Pengetahuan sangat penting membentuk perilaku seseorang, karena perilaku

yang didasari oleh pengetahuan seseorang akan lebih langgeng dibandingkan

perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Hasil identifikasi di wilayah

kerja Puskesmas Buduran didapatkan masyarakat mayoritas memiliki

pengetahuan yang baik. Hal ini mungkin dikarenakan karena banyaknya

kegiatan-kegiatan yang bersifat menambah pengetahuan yang diselenggarakan

pihak desa dan juga keaktifan para masyarakat untuk mengikuti kegiatan

tersebut. Oleh karena itu, dalam waktu berkala direncanakan untuk

diadakannya kegiatan-kegiatan positif yang dapat menambah pengetahuan

masyarakat. Hal ini berfungsi agar pemahaman masyarakat tentang TB paru

semakin meningkat dan keinginan untuk melakukan pemeriksaan dahak juga

meningkat. Namun, fakta menunjukan kalau angka cakupan penemuan kasus

TB paru baru di wilayah kerja Puskesmas Buduran masih sangat rendah. Hal

ini sesuai dengan teori pengetahuan kesehatan dari Hasanah (2015), yang

mengatakan pengetahuan adalah suatu kemungkinan baik yang sangat penting

sebelum perilaku sehat seseorang terbentuk, tetapi perilaku kesehatan yang

diinginkan berkemungkinan untuk tidak terjadi, kecuali jika seseorang

menerima suatu syarat yang cukup kuat untuk memotivasi mereka untuk tidak

dalam pengetahuannya. Hal ini menunjukan bahwa, masyarakat baru akan

bertindak, dalam hal ini mencari pengobatan jika dirinya merasa terancam
82

saja. Dan ini pentingnya peran petugas kesehatan agar memberikan

pemahaman tentang pentingnya melakukan pemeriksaan dini untuk

meminimalisir meningkatnya angka kesakitan dan kematian.

C. Distribusi Sikap Masyarakat

Distribusi sikap masyarakat berdasarkan tabel V.4 menunjukkan

bahwa sebagian besar masyarakat sebanyak 28 (62,2%) orang di wilayah kerja

Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo mempunyai sikap yang mendukung.

Sikap adalah bagaimana pendapat atau penilaian orang terhadap hal

yang terkait dengan kesehatan, sehat dan sakit dan faktor yang terkait dengan

faktor risiko kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Proses pembentukan sikap dapat

terjadi karena adanya rangsangan. Rangsangan tersebut menstimulus diri

masyarakat untuk memberi respon, dapat berupa sikap positif atau negatif,

akhirnya akan diwujudkan dalam perilaku atau tidak. Berkowitz (1972) dalam

Azwar (2013) berpendapat bahwa setiap orang yang mempunyai perasaan

positif terhadap suatu objek psikologis dikatakan menyukai objek tersebut

atau mempunyai sikap favorable terhadap objek itu, sedangkan individu yang

mempunyai perasaan negatif terhadap suatu objek psikologis dikatakan

mempunyai sikap yang unfavorable terhadap objek sikap tersebut. Sikap

masyarakat dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat bersikap untuk

mau melakukan pemeriksaan sputum BTA.


83

Sikap masyarakat berhubungan dengan kemauan pemeriksaan sputum

BTA di wilayah Kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo tahun 2017.

Hasil penelitian ini sesuai dengan pernyataan Azwar (2011), faktor-faktor

yang mempengaruhi sikap dalam memeriksakan kesehatan meliputi:

pengalaman pribadi yang dialami seseorang, kebudayaan di lingkungannya,

serta orang lain yang dianggap memiliki peran penting, media massa, institusi

pendidikan dan agama di lingkungan setempat serta faktor emosi dalam diri.

Pada penelitian ini dapat ditemukan mayoritas sikap masyarakat

mendukung sebanyak 62,2% diharapkan dengan sikap tersebut masyarakat

mau melakukan pemeriksaan sputum BTA di Puskesmas Buduran. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sumiyati (2013) dimana pada

penelitiannya sebanyak 60 responden menunjukkan sikap yang mendukungan

terhadap upaya pencegahan tuberculosis sebanyak 55%. Sikap seseorang

berperan dalam mengambil tindakan, terlebih bila sikap tersebut bersifat

terbuka, besar kemungkinan dapat tercermin dari tindakan yang diperlihatkan.

Seharusnya dengan hasil pada tabel V.4 yang menunjukkan sikap masyarakat

di wilayah Kerja Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo baik, maka dapat

terlihat tindakan masyarakat di tempat tersebut yang menunjukkan keikut

sertannya dalam menciptakan lingkungan tempat tinggal yang bersih dan

sehat guna memutus rantai penyakit-penyakit menular, seperti TB Paru.


84

D. Distribusi Dukungan Keluarga

Distribusi dukungan keluarga masyarakat berdasarkan tabel V.5

menunjukkan sebagian besar (77,8%) masyarakat mengatakan ada dukungan

keluarga.

Green (2005) mengemukakan salah satu faktor penguat yang

mendukung perilaku memperoleh tindakan kesehatan atau tidak adalah

keluarga. Dukungan sosial merupakan ketersediaan sumber daya yang

memberikan kenyamanan fisik dan psikologis yang didapat lewat

pengetahuan bahwa individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai oleh

orang lain. Dukungan dirasakan oleh penerima sebagai bentuk dorongan,

semangat dan pengorbanan dalam menghadapi permasalahan yang

ditanggung. Dukungan sosial yang memberikan dampak tersebar adalah

dukungan yang diberikan oleh keluarga (Efendi dan Makhfudli, 2009).

Keluarga merupakan lingkungan sosial terdekat penderita TB Paru. Keluarga

adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil yang sekaligus merupakan suatu

kelompok kecil dalam masyarakat (Suprajitno, 2004). Ditegaskan lagi oleh

Friedman (2010), dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan

emosional, dukungan penghargaan, informasional dan instrumental yang

mampu mempengaruhi minat seseorang dalam berperilaku.

Dari penelitian ini, berdasarkan tabel V.5 menunjukkan sebagian besar

(77,8%) masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buduran mendapatkan

dukungan keluarga. Seharusnya, dengan adanya dukungan keluarga tersebut


85

akan memberikan dampak positif untuk masyarakat agar mau melakukan

pemeriksaan sputum BTA. Dukungan keluarga mampu mempengaruhi

seseorang untuk berperilaku yang positif, sehingga jika terdapat salah satu

anggota keluarga yang sakit, maka anggota keluarga lainnya akan mendukung

kesembuhannya dan akan semakin tuntas tuntas proses pengobatan dan

penyembuhannya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh

Efendi dan Makhfudli (2009) yang menunjukkan dukungan sosial yang

memberikan dampak terbesar adalah dukungan yang diberikan oleh keluarga.

E. Distribusi Dukungan Tokoh Masyarakat

Distribusi peran tokoh masyarakat terhadap masyarakat wilayah kerja

Puskesmas Buduran Kabupaten Sidoarjo berdasarkan tabel V.6 dapat

diketahui bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa tokoh

masyarakat tidak adanya dukungan untuk melakukan pemeriksaan sputum

BTA yaitu sebanyak 24 orang (53,3%), dan yang mengatakan adanya

dukungan tokoh masyarakat sebanyak 21 orang (46,7%).

Dukungan tokoh masyarakat adalah dukungan yang diperoleh dari

hubungan interpersonal yang mengacu pada kesenangan, ketenangan, bantuan

manfaat, yang berupa informasi verbal yang diterima seseorang atau

masyarakat dari tokoh masyarakat yang membawa efek perilaku. Dukungan

tokoh masyarakat dibedakan menjadi menjadi dukungan emosional mencakup

ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian (Kementerian Kesehatan RI,

2010).
86

Pada penelitian yang di teliti oleh (Haniek Try Umayana dan Widya

Hary Cahyati, 2015) dukungan tokoh masyarakat kategori baik (74%),

dukungan tokoh masyarakat kategori cukup (18,2%), dan dukungan tokoh

masyarakat kategori kurang (7,8%). Hasil ini menunjukkan bahwa dukungan

tokoh masyarakat pada kegiatan posbindu PTM sebagian besar baik.

Dukungan tokoh masyarakat kategori kurang dan cukup jika digabungkan

memiliki jumlah responden masih lebih sedikit dibandingkan dukungan tokoh

masyarakat kategori baik.

Hasil identifikasi di wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten

Sidoarjo tahun 2018 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mengatakan

tidak adanya peran tokoh masyarakat sebanyak (53,3%). Hasil yang ada

tersebut kurang baik, karena peran tokoh masyarakat sangat penting untuk

membantu kelancaran pelaksanaan kesehatan. Namun demikian masih banyak

tokoh masyarakat yang belum memiliki pemahaman tentang pentingnya

melakukan pemeriksaan sputum BTA. Dari fakta tersebut dapat diupayakan

untuk melakukan pembinaan dengan tujuan meningkatkan peran tokoh

masyarakat. Hal ini sesuai dengan penilitian yang dilakukan oleh Endang

(2016) yang menunjukkan besarnya pengaruh dukungan tokoh masyarakat

dalam penemuan penderita TB. Seharusnya tokoh masyarakat selalu

mendukung warganya untuk selalu menerapkan perilaku hidup bersih dan

sehat serta menciptakan lingkungan yang sehat agar menurunkan risiko

penularan penyakit di wilayahnya, karena tokoh masyarakat memiliki potensi


87

yang tinggi untuk mempengaruhi masyarakat agar lebih mempedulikan

tingkat kesehatan seseorang.

F. Distribusi Peran Kader

Distribusi peran kader terhadap masyarakat wilayah kerja Puskesmas

Buduran Kabupaten Sidoarjo berdasarkan tabel V.7 dapat diketahui bahwa

sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa tidak adanya dukungan kader

untuk melakukan pemeriksaan sputum BTA yaitu sebanyak 23 orang (51,1%),

dan yang mengatakan adanya dukungan kader sebanyak 22 orang (48,9%).

Faktor penguat untuk seseorang beperilaku sehat yaitu berdasarkan

dukungan tenaga kesehatan seperti perawat, dokter, bidan, dan kader

kesehatan (Green,2005). Menurut Widagdo dan Husodo (2009), keterampilan

kader merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam sistem pelayanan di

posyandu, karena dengan pelayanan kader yang terampil akan mendapat

respon positif dari ibu-ibu yang memiliki balita, sehingga terkesan ramah dan

baik serta pelayanannya teratur.

Hasil identifikasi di wilayah kerja Puskesmas Buduran Kabupaten

Sidoarjo tahun 2018 menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat mengatakan

tidak adanya peran kader sebanyak (51,1%). Hasil yang ada tersebut kurang

baik, karena peran kader adalah sebagai penggerak atau promotor kesehatan

sehingga sangat diperlukan untuk membantu kelancaran pelaksanaan

kesehatan. Namun demikian masih banyak kader yang belum memiliki

pemahaman dan ketrampilan yang memadai dalam melaksanakan tugasnya.


88

Dari fakta tersebut dapat diupayakan untuk melakukan pembinaan dengan

tujuan meningkatkan peran kader yang sudah ada baik di dalam maupun

kegiatan di luar Puskesmas.

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh

Endang (2016) yang menunjukkan peran kader kesehatan sangat berpengaruh

dalam penemuan penderita TB paru. Hal ini mungkin disebabkan karena

masih banyak kader yang belum mengerti tentang pentingnya pemeriksaan

sputum BTA. Seharusnya seorang kader kesehatan dapat memberikan

dukungan yang besar, komitmen yang kuat dan memberikan solusi yang

efektif untuk memecahkan masalah kesehatan yang dialami oleh masyarakat

di wilayahnya. Kader kesehatan dapat membangun jaringan yang kuat untuk

mendapatkan dukungan sosial sehingga menurunkan stres, tekanan emosional

seorang penderita TB sehingga akan membuat penderita TB lebih terbuka

terhadap penyakitnya, maka penderita TB akan mendapat pengobatan lebih

awal dan akan tuntas dalam pengobatannya, hal ini juga dapat menurunkan

risiko penularan TB kepada orang-orang di dekat penderita TB. Dengan

adanya peran kader diharapkan angka cakupan penemuan penderita TB paru

di wilayah kerja Puskesmas Buduran semakin meningkat.

G. Distribusi Kemauan Masyarakat

Distribusi kemauan masyarakat untuk Pemeriksaan Sputum BTA di

wilayah kerja Puskesmas Buduran berdasarkan tabel V.8 menunjukkan bahwa

sebagian besar masyarakat memiliki kemauan untuk pemeriksaan sputum


89

BTA yaitu sebanyak 32 (71,1%) masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Buduran Kabupaten Sidoarjo.

Kemauan adalah dorongan kehendak yang terarah pada tujuan-tujuan

hidup tertentu, dan dikendalikan oleh pertimbangan akal budi. Pada kemauan

terdapat berbagai komponen seperti kebijaksanaan akal dan wawasan, kontrol

dan persetujuan dari pusat kepribadian. Kemauan mendorong manusia untuk

mencapai tujuan hidup tertentu melalui suatu rangkaian dinamika dan

aktivitasnya, termasuk mengikuti atau melawan perubahan dari dalam dan

luar dirinya (Ahmadi, 2003).

Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Buduran memiliki kemauan

yang cukup tinggi untuk pemeriksaan sputum BTA, namun cakupan

penemuan penderita curiga TB paru masih rendah. Masih banyak masyarakat

yang belum memeriksakan sputum BTA ke puskesmas. Hal ini mungkin

disebabkan karena pemahaman masyarakat akan bahaya TB paru masih

rendah, sehingga banyak diantara masyarakat hanya membiarkannya saja.

Masyarakat baru memeriksakan diri dan mencari pengobatan jika gejala yang

muncul sudah membahayakan dirinya.

H. Analisis Hubungan antara tingkat Pendidikan dengan kemauan

pemeriksaan sputum BTA

Berdasarkan hasil analisis tabulasi silang dapat diketahui bahwa

kemauan pemeriksaan sputum BTA lebih besar pada masyarakat dengan

pendidikan tinggi (92,6%) daripada masyarakat dengan pendidikan rendah


90

(38,9%). Didapatkan nilai OR = 19,643 yang berarti masyarakat yang

berpendidikan rendah akan mempunyai resiko 19,643 kali untuk tidak

melakukan pemeriksaan sputum BTA dari pada yang berpendidikan tinggi.

Sedangkan hasil uji chi-square didapatkan nilai probabilitas (P) = 0,000

(P<0,05) sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan antara tingkat pendidikan

masyarakat dengan kemauan pemeriksaan sputum BTA di wilayah kerja

Puskesmas Buduran.

Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju kearah cita-cita tertentu yang menentukan

manusia untuk berbuat sesuatu dan mengisi kehidupan dalam mencapai

kebahagiaan dan keselamatan, pendidikan diperlukan dalam mendapatkan

informasi, misalnya informasi tentang penyakit TB Paru (Wawan dan Dewi,

2010).

Pendidikan dapat memepengaruhi seseorang termasuk juga perilaku

seseorang. Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi partisipasi dan peran

serta masyarakat dalam berperilaku. Seseorang yang menerima pendidikan

yang lebih baik atau tinggi, biasanya akan lebih mampu berpikir secara

obyektif dan rasional. Dengan berpikir secara rasional, maka seseorang akan

lebih mudah menerima hal - hal baru yang dianggap menguntungkan bagi

dirinya. (Notoatmodjo, 2010)

Menurut peneliti bahwa tingkat pendidikan yang tinggi akan

mendorong masyarakat yang memiliki anggota keluarga dengan TB Paru


91

untuk melakukan pemeriksaan sputum BTA sebagai langkah deteksi dini

penyakit TB Paru, karena masyarakat yang memiliki anggota keluarga dengan

TB Paru lebih beresiko tertular kuman Mycobacterium tuberculosis. Namun

sebaliknya bila tingkat pendidikan rendah maka kemauan untuk melakukan

pemeriksaan sputum BTA juga rendah karena rendahnya tingkat pendidikan

mempengaruhi daya serap informasi sehingga dapat mempengaruhi tingkat

pemahaman tentang TB Paru, cara pengobatan dan cara penularannya. Hal ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Erni (2009) yang menunjukkan

beberapa faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pengobatan TB Paru,

salah satu variabel yang berpengaruh adalah tingkat pendidikan. Maka dari itu

untuk meningkatkan angka cakupan pemeriksaan sputum BTA, sasarannya

lebih diutamakan pada masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan tinggi,

karena dengan pendidikan yang tinggi meraka lebih mudah menerima hal-hal

baru yang dinggap menguntungkan bagi kesehatannya.

I. Analisis Hubungan Antara Pengetahuan dengan Kemauan Masyarakat

untuk Pemeriksaan Sputum BTA di Wilayah Kerja Puskesmas Buduran

Berdasarkan analisis tabulasi silang dapat diketahui bahwa kemauan

pemeriksaan sputum BTA lebih besar pada masyarakat dengan pengetahuan

baik (61,9%) daripada masyarakat dengan pengetahuan kurang (50%).

Didapatkan nilai OR = 2,727 yang berarti masyarakat yang memiliki

pengetahuan kurang akan mempunyai resiko 2,727 kali untuk tidak

melakukan pemeriksaan sputum BTA dari pada orang yang mempunyai


92

pengetahuan baik. Sedangkan hasil uji chi-square didapatkan nilai probabilitas

(P) = 0,329 (P>0,05) sehingga H0 diterima artinya tidak ada hubungan antara

pengetahuan masyarakat dengan kemauan melakukan pemeriksaan sputum

BTA di wilayah kerja Puskesmas Buduran.

Berdasarkan teori Health Belief Model, dinyatakan bahwa

pengetahuan merupakan salah satu pemicu yang dapat merubah

pemikiran yang mendukung aksi seseorang dalam upaya mencegah

timbulnya penyakit yang dialami. Seseorang yang memiliki pengetahuan

yang baik akan tetapi orang tersebut merasa tidak akan mudah terular TB

paru sehingga orang tersebut tidak akan melakukan pemeriksaan sputum

BTA. Tingkat pengetahuan seseorang tidak selalu memotivasi perilaku

logika, artinya pengetahuan yang baik (lansia yang tahu tentang

pengertian posyandu, tujuan, bentuk pelayanan serta mekanisme posyandu)

tidak selalu memimpin perilaku yang benar. Syarat pertama seseorang untuk

berperilaku terhadap kesehatannya adalah jika seseorang merasa terancam

oleh suatu penyakit.

Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Puteri (2017) didapatkan

hasil OR = 3,600 dan nilai OR berada pada rentang nilai lower dan upper,

dimana disebutkan angka 1 dinyatakan hubungan yang ditimbulkan

signifikan. Hal ini menunjukkan antara pengetahuan dengan tindakan

pemeriksaan dahak ada hubungan signifikan. Pasien yang memeriksakan


93

dahak dengan memiliki peluang 3,600 kali lebih besar pada pasien dengan

pengetahuan baik dibandingkan dengan pasien dengan pengetahuan kurang.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ferly Lestari dkk (2013)

tentang Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Partisipasi Pemeriksaan TB

Pertama oleh Keluarga Pasien TB Paru (Serumah) di Puskesmas Rembang I

Kecamatan Rembang Tahun 2013 dapat diketahui bahwa responden yang

mempunyai partisipasi baik paling banyak adalah berpengetahuan baik

sebesar 71,43%. Dari hasil yang diperoleh sama dengan teori yang

menyatakan bahwa pengetahuan sangat penting untuk terbentuknya tindakan

seseorang, pengetahuan yang baik akan mendorong praktik secara baik

pula dan sebaliknya jika pengetahuan yang kurang akan menyebabkan

kurangnya praktik. Hubungan antara pengetahuan dengan partisipasi

pemeriksaan TB bermakna (p value = 0,0001).

Berdasarkan hasil dari analisis yang peneliti telah lakukan, tidak ada

hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan kemauan pemeriksaan

sputum BTA di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo tahun 2017. Namun

orang yang mempunyai pengetahuan kurang akan mempunyai resiko 2,727

kali untuk tidak melakukan pemeriksaan sputum BTA dari pada orang yang

mempunyai pengetahuan baik. Namun penelitian ini tidak sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Puteri Febriana Arivany (2017) dan Ferly

Lestari (2013). Berdasarkan penelitian Puteri Febriana Arivany, didapatkan

hasil pasien yang memeriksakan dahak dengan memiliki peluang 3,600


94

kali lebih besar pada pasien dengan pengetahuan baik dibandingkan dengan

pasien dengan pengetahuan kurang, sedangkan menurut Ferly Lestari

diketahui bahwa responden yang mempunyai partisipasi baik, paling

banyak adalah berpengetahuan baik sebesar 71,43%.

Hal ini mungkin disebabkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat

tentang bahaya dari penyakit TB paru tersebut. Pengetahuan masyarakat yang

tinggi tentang TB paru tidak diikuti dengan pemahaman yang tinggi pula

dalam bahaya TB paru bagi kesehatan. Oleh karena itu, masyarakat merasa

enggan untuk melakukan pemeriksaan sputum BTA. Terbanyak dari

masyarakat merasa takut untuk mengetahui penyakitnya. Masyarakat hanya

akan mau memeriksakan diri ketika mereka merasa terancam. Hal ini sejalan

dengan konsep Health Belief Model (HBM) yaitu syarat pertama

seseorang untuk berperilaku terhadap kesehatannya adalah jika seseorang

merasa terancam oleh suatu penyakit.

J. Analisis Hubungan Sikap dengan Kemauan Melakukan Pemeriksaan

Sputum BTA

Berdasarkan analisis tabulasi silang diatas dapat diketahui bahwa

kemauan pemeriksaan sputum BTA lebih besar pada masyarakat yang

memiliki sikap mendukung (92,9%) daripada masyarakat yang memiliki sikap

tidak mendukung (35,3%). Didapatkan nilai OR = 23,833 yang berarti

masyarakat yang mempunyai sikap yang kurang baik akan mempunyai resiko

23,833 kali untuk tidak melakukan pemeriksaan sputum BTA daripada orang
95

yang mempunyai sikap baik. Sedangkan hasil uji chi-square didapatkan nilai

probabilitas (P) = 0,000 (P<0,05) sehingga H0 ditolak artinya ada hubungan

antara sikap masyarakat dengan kemauan pemeriksaan sputum BTA di

wilayah kerja Puskesmas Buduran.

Sikap dianggap sebagai suatu predisposisi umum untuk berespon atau

bertindak (W. F. Maramis, 2006). Faktor yang mempredisposisi terjadinya

perilaku pada diri seseorang atau masyarakat adalah pengetahuan dan sikap

seseorang dan masyarakat tersebut terhadap apa yang akan dilakukan

(Notoatmodjo, 2005).

Menurut Kelman perubahan sikap dan perilaku individu dimulai

dengan tahap kepatuhan, identifikasi kemudian baru menjadi internalisasi

Mula-mula individu mematuhi anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan

untuk melakukan tindakan tersebut dan seringkali karena ingin menghindari

hukuman/sanksi jika tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang

dijanjikan jika mematuhi anjuran tersebut tahap ini disebut tahap kesediaan,

biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini bersifat sementara, artinya

bahwa tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Tetapi

begitu pengawasan itu mengendur atau hilang, perilaku itupun ditinggalkan.

(Suparyanto, 2010)

Dalam penelitian ini sikap masyarakat di wilayah Puskesmas Buduran

Kabupaten Sidoarjo mayoritas mendukung untuk melakukan pemeriksaan

sputum BTA. Hal ini sesuai dengan teori yang dijelaskan bahwa sikap
96

merupakan salah satu faktor predisposisi seseorang berperilaku. Sikap

merupakan penunjang dalam menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Sikap seseorang berperan dalam mengambil tindakan, terlebih bila sikap

tersebut bersifat terbuka, besar kemungkinan dapat tercermin dari tindakan

yang diperlihatkan.

Oleh karena itu dengan sikap masyakat yang mendukung terhadap

perlunya pemeriksaan sputum BTA, maka masyarakat tersebut akan lebih

memperhatikan kesehatan jasmaninya, jika dia berada dilingkungan dengan

penderita TB Paru maka hal ini akan mendorongnya untuk melakukan

pemeriksaan sputum BTA karena dengan cara tersebut dia akan mendapat

pengobatan lebih awal yang akan memutus rantai penularan penyakit TB

Paru. Sehingga angka cakupan penemuan penderita TB Paru akan lebih tinggi.

K. Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Melakukan

Pemeriksaan Sputum BTA

Berdasarkan analisis tabulasi silang dapat diketahui bahwa kemauan

pemeriksaan sputum BTA lebih besar pada masyarakat yang memiliki

dukungan keluarga (74,3%) daripada masyarakat yang tidak memiliki

dukungan keluarga (60%). Didapatkan nilai OR = 1,926 yang berarti

masyarakat yang tidak ada dukungan keluarga beresiko tidak mau melakukan

pemeriksaan sputum BTA sebanyak 1,926 kali dibandingkan masyarakat

yang ada dukungan keluarga. Sedangkan hasil uji chi-square didapatkan nilai

probabilitas (P) = 0,441 (P>0,05) sehingga H0 diterima artinya tidak ada


97

hubungan antara dukungan keluarga dengan kemauan melakukan pemeriksaan

sputum BTA di wilayah kerja Puskesmas Buduran.

Dukungan keluarga dapat memperkuat setiap individu, menciptakan

kekuatan keluarga, memperbesar penghargaan terhadap diri sendiri,

mempunyai potensi sebagai strategi pencegahan yang utama bagi seluruh

keluarga dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari serta mempunyai

relevansi dalam masyarakat yang berada dalam lingkungan yang penuh

dengan tekanan. Salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat antara

lain adalah kurangnya dukungan dan kepedulian dari anggota keluarga dan

masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan secara rutin (Pertiwi, 2013).

Dukungan keluarga sangat berperan dalam mendorong minat atau

kesediaan seseorang untuk melakukan pemeriksaan rutin (Fallen, 2010 dalam

Sunartyasih, 2012: 200). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan

keluarga yang kurang karena kurangnya pengetahuan dari anggota keluarga

lain mengenai pelayan kesehatan yang dilakukan oleh keluarganya sendiri.

Hal ini sesuai dengan teori bahwa individu membutuhkan dukungan sosial

yang salah satunya berasal dari keluarga. Dukungan keluarga yang rendah

tersebut disebabkan karena anggota keluarga yang bekerja, sehingga kurang

memperhatikan pentingnya pemeriksaan kesehatan dalam upaya pencegahan

penyakit (Sunartyasih, 2012).


98

Dalam penelitian ini, hasil analisis didapatkan adanya hubungan antara

dukungan keluarga dengan kemauan pemeriksaan sputum BTA, namun

dengan tidak adanya dukungan keluarga, berisiko 1,926 untuk tidak

melakukan pemeriksaan sputum BTA. Dengan tidak melakukan pemeriksaan

sputum BTA, memengaruhi rendahnya penemuan kasus TB.

Sehingga untuk meningkatkan angka cakupan pemeriksaan sputum

BTA perlu adanya dukungan keluarga karena menurut teori Green (2015)

dukungan keluarga mampu memberikan kenyaman fisik dan psikologis yang

dapat memberikan perasaan individu tersebut dicintai, diperhatikan, dihargai

oleh orang lain. Hal ini dapat mendorong masyarakat yang beresiko tertular

TB Paru agar mau melakukan pemeriksaan sputum BTA.

L. Analisis Hubungan antara dukungan tokoh masyarakat dengan kemauan

melakukan pemeriksaan sputum BTA

Berdasarkan analisis tabulasi silang dapat diketahui bahwa kemauan

pemeriksaan sputum BTA lebih besar pada masyarakat yang tidak ada

dukungan tokoh masyarakat (75%) daripada masyarakat yang ada dukungan

tokoh masyarakat (66,7%). Didapatkan nilai OR = 0,667 yang berarti

masyarakat yang tidak ada dukungan tokoh masyarakat beresiko tidak mau

melakukan pemeriksaan sputum BTA sebanyak 0,667 kali dibandingkan

masyarakat yang ada dukungan tokoh masyarakat. Sedangkan hasil uji chi-

square didapatkan nilai probabilitas (P) = 0,538 (P>0,05) sehingga H0

diterima artinya tidak ada hubungan antara dukungan tokoh masyarakat


99

dengan kemauan melakukan pemeriksaan sputum BTA di wilayah kerja

Puskesmas Buduran.

Dukungan tokoh masyarakat adalah dukungan yang diperoleh dari

hubungan interpersonal yang mengacu pada kesenangan, ketenangan, bantuan

manfaat, yang berupa informasi verbal yang diterima seseorang atau

masyarakat dari tokoh masyarakat yang membawa efek perilaku. Dukungan

tokoh masyarakat dibedakan menjadi menjadi dukungan emosional mencakup

ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian (Kementerian Kesehatan RI,

2010).

Dengan melihat hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa, bentuk dukungan tokoh masyarakat yaitu memberikan informasi dapat

berupa sarana pengarahan dan umpan balik tentang bagaimana cara

memecahkan masalah antara lain tokoh masyarakat mengetahui pentingnya

melakukan pemeriksaan sputum BTA, tokoh masyarakat mengetahui gejala-

gejala yang terjadi apabila ada masyarakat yang mengalami sakit. Untuk lebih

meningkatkan dukungan yang diberikan tokoh masyarakat kepada para

warganya dapat dilakukan penyuluhan kepada masyarakat.

Pada penelitian ini didapatkan tidak adanya hubungan tokoh mayarakat

dengan kemauan pemeriksaan sputum BTA. Hal ini mungkin dikarenakan

kurang optimalnya peran tokoh masyarakat di wilayah kerja Puskesmas

Buduran, sehingga untuk meningkatkan angka cakupan pemeriksaan TB perlu

dilakukan pembekalan terhadap tokoh masyarakat tentang pentingya


100

pemeriksaan sputum BTA bagi masyarakat yang beresiko tertular TB Paru

dan komplikasi apa yang mungkin terjadi baik kepada dirinya dan

lingkungannya, karena tokoh masyarakat memiliki potensi yang tinggi untuk

mempengaruhi masyarakat agar lebih mempedulikan kesehatannya.

M. Analisis Hubungan peran kader dengan kemauan pemeriksaan sputum

BTA

Berdasarkan tabulasi silang dapat diketahui bahwa kemauan

pemeriksaan sputum BTA lebih besar pada masyarakat yang tidak memiliki

peran kader (78,3%) daripada masyarakat yang memiliki peran kader (63,6%).

Didapatkan nilai OR = 0,486 yang berarti tidak ada peran kader masyarakat

beresiko tidak mau dmelakukan pemeriksaan sputum BTA sebanyak 0,486

kali dibandingkan masyarakat yang ada peran kader. Sedangkan hasil uji chi-

square didapatkan nilai probabilitas (P) = 0,279 (P>0,05) sehingga H0

diterima artinya tidak ada hubungan antara peran kader dengan kemauan

melakukan pemeriksaan sputum BTA di wilayah kerja Puskesmas Buduran.

Faktor penguat untuk seseorang beperilaku sehat yaitu berdasarkan

dukungan tenaga kesehatan seperti perawat, dokter, bidan, dan kader

kesehatan (Green,2005). Menurut Widagdo dan Husodo (2009), keterampilan

kader merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam sistem pelayanan di

posyandu, karena dengan pelayanan kader yang terampil akan mendapat

respon positif dari ibu-ibu yang memiliki balita, sehingga terkesan ramah dan

baik serta pelayanannya teratur.


101

Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan

antara peran kader dengan kemauan pemeriksaan sputum BTA, padahal

menurut teori Green (2005), faktor penguat untuk seseorang beperilaku sehat

yaitu berdasarkan dukungan tenaga kesehatan seperti perawat, dokter, bidan,

dan kader kesehatan. Oleh karena itu perlu dilakukan pengoptimalisasi fungsi

kader, agar mereka dapat memberikan informasi pentingnya melakukan

pemeriksaan sputum BTA, kader juga harus mengetahui gejala-gejala yang

terjadi apabila ada masyarakat yang mengalami sakit. Hal ini diharapkan

dapat meningkatkan dukungan yang diberikan kader kepada masyarakat agar

cakupan pemeriksaan TB Paru bisa meningkat.

Anda mungkin juga menyukai