Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kedatangan Belanda ke Banten awalnya hanya untuk melakukan perdagangan. Namun,


dengan potensi alam yang dimiliki oleh Banten dan saat itu Banten merupakan pelabuhan yang
ramai, maka Belanda dengan kongsi dagang VOC hendak menguasai Banten sehingga
menimbulkan perlawanan dari Kesultanan Banten. Tujuan penulisan makalah ini adalah
menjelaskan kronologis perlawanan kesultanan Banten yang dipimpin oleh Sultan Ageng
Tirtayasa dan hal- hal apa yang melatarbelakangi perlawanan tersebut. Metode penulisan
makalah ini adalah metode kepustakaan. Kesimpulan makalah ini adalah VOC hendak
menguasai Banten karena Banten merupakan salah satu pelabuhan yang ramai di Nusantara
dengan potensi alam berupa penghasil lada terbesar di Jawa Barat. Perlawanan terhadap VOC
berakhir setelah VOC berhasil mengadu-domba Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya sendiri
yaitu Sultan Haji.

Bangsa Eropa datang ke wilayah Nusantara pada awalnya memiliki tujuan untukmencari
rempah-rempah dan berdagang. Hal tersebut yang dilakukan oleh Portugis, sebagai bangsa Eropa
pertama yang datang ke wilayah Nusantara dengan motif ekonomi, petualangan, dan agama
Kedatangan bangsa Eropa ke Nusanta juga dilatarbelakangi oleh jatuhnya kota Konstantinopel
sebagai pusat perdagangan rempah-rempah ke tangan Turki Usmani pada tahun 1453. Seiring
dengan hal tersebut, pekembangan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti perkapalan, navigasi,
dan kompas di Eropa turut memicu adanya penjelajahan samudra sampai ke wilayah Nusantara.

Begitu juga halnya dengan Belanda. Pada abad ke 15, kegiatan ekonomi yang dilakukan
oleh Belanda hanya sebatas pada perdagangan garam, anggur, dan tekstil serta mendistribusikan
rempah-rempah dari Asia ke pelabuhan Lisabon, pelabuhan baru setelah jatuhnya konstantinopel.
Namun, pecahnya perang antara Belanda dengan Spanyol pada tahun 1568 yang dikenal dengan
perang 80 tahun menyebabkan pelabuhan Lisabon jatuh ke tangan Spanyol pada tahun 1580
sehingga perdagangan dan distribusi barang yang dilakukan oleh Belanda menjadi terhambat
bahkan akhirnya terhenti.

Dengan jatuhnya Lisabon ke tangan Spanyol, maka Belanda berinisiatif untuk medatangi
langsung sumber rempah-rempah. Untuk mewujudkan hal tersebut, Belanda mengumpulkan para
ahli ilmu bumi, antara lain Plancius dan Mercantor]. Pada saat yang sama, terbit buku karya Jan
Huygen van Linscoten berjudul Itineratio yang berisi tentang Hindia (Indonesia) berikut
kekuasaan Portugis di Hindia (Indonesia) tersebut. Buku ini yang kemudian menginspirasi
Cornelius de Houtman dan Pieter de Keyser untuk melakukan pelayaran ke Nusantara. Pada
tanggal 2 April 1595, berangkatlah 4 buah kapal dari pangkalan Tessel di Belanda Utara dan
sampai di Banten pada tanggal 23 Juni 1596.

Saat Belanda tiba di Banten, saat itu kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan
Abdulmafakhir Mahmud Abdulkadir. Belanda kemudian menjadi tertarik dengan Banten
karena Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara pada abad ke 16.
Dengan adanya lada, para pedagang baik dari Cina, Arab, maupun bangsa Eropa tertarik untuk
berdagang di Banten]. Saat Belanda pertama kali mendarat di Banten dengan 3 kapal dan 89
awak kapal dibawah pimpinan Cornelis de Houtman, mereka terkagum-kagum dengan
pelabuhan lada terbesar di Jawa Barat ini. Cornelis de Houtman memperkirakan Banten memiliki
luas yang mungkin sama dengan Amsterdam. Dengan potensi yang ada pada Banten, maka VOC
yang kemudian mewadahi kongsi dagang Belanda hendak menguasai Banten dan memonopoli
perdagangan secara keseluruhan. Hal tersebut sangat ditentang oleh sultan yang berkuasa saat
itu, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, fokus permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
makalah ini adalah perlawanan kesultanan Banten terhadap VOC tahun 1651 sampai dengan
1682. Berdasarkan rincian permasalahan tersebut, maka kami mengajukan dua pertanyaan
mendasar, yaitu :

1. Faktor apa yang melatarbelakangi perlawanan kesultanan Banten terhadap VOC tersebut
?
2. Bagaimana kronologis perlawanan kesultanan Banten dari awal sampai akhir terhadap
VOC ?

1.3 Tujuan

Secara umum, tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui perlawanan yang
dilakukan oleh kesultanan Banten terhadap VOC pada tahun 1651 sampai dengan 1682. Secara
khusus, tujuan yang hendak dicapai dari penulisan makalah ini antara lain:

1. Menjelaskan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi perlawanan Banten terhadap


VOC pada tahun 1651 sampai dengan 1682.
2. Menjabarkan kronologis perlawanan dari awal sampai akhir antara kesultanan Banten
dengan VOC ini.
2.1 Asal Usul VOC (Verenigde Oost Indishe Compagnie)

VOC merupakan singkatan dari Verenigde Oost Indische Compagnie. Awalnya VOC adalah
gabungan umum dariGenerale Verenigde Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie (Persatuan
Umum Persekutuan Dagang Hindia Belanda). VOC didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 di
Amsterdam, setelah diadakannya perundingan yang lama dan sulit antara Staten Generaal
(Dewan Perwakilan). Dalam perundingan tersebut turut dihadiri oleh pengacara Belanda yang
terkenal, yaitu Johan van Oldenbarneveldt, para pengurus perusahaan dagang Holland dan
Zeeland, yang telah dibentuk antara tahun 1596 – 1602 untuk berdagang di Hindia Timur.
Sebelum VOC berdiri dengan rentang tahun antara 1598 – 1602, Belanda telah memiliki 65
kapal dari jumlah sebelumnya yaitu 22 kapal yang mengangkut hasil bumi dari Nusantara
terutama rempah-rempah, baik milik perseorangan maupun milik perserikatan dagang.

Dengan banyaknya perserikatan dagang, terjadilah persaingan diantara para pedagang Belanda
yang mengakibatkan harga rempah-rempah di pasaran Eropa menjadi jatuh. Oleh sebab itu,
didirikan VOC dengan tujuan untuk mewadahi para pedagang, menghindarkan para pedagang
dari persaingan yang tidak sehat, dan melindungi para pedagang dari intervensi pedagang lain
seperti pedagang Portugis, Arab, Cina, dan Inggris. VOC memiliki hak istimewa yang disebut
dengan hak oktroi. Hak tersebut mengindikasikan bahwa VOC memiliki kewenangan dan
kekuasaan yang sama seperti halnya sebuah negara. Hak istimewa tersebut antara lain:

1. Hak mengadakan perjanjian dengan negara lain tanpa melalui persetujuan Raja/Ratu
Belanda.
2. Hak membuat dan mengedarkan uang sendiri.
3. Hak menyusun dan memiliki angkatan laut serta angkatan darat sendiri yang dapat
bertindak tanpa harus tunduk kepada kerajaan Belanda.
4. Hak menyatakan perang dengan negara atau kerajaan lain tanpa harus meminta
persetujuan dengan Raja/Ratu Belanda.

Kepentingan-kepentingan yang menaungi VOC diwakili oleh sistem majelis untuk masing-
masing dari enam wilayah yang memiliki direktur berjumlah 17 orang yang disebut dengan
Heeren XVII. Mereka berasal dari Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft, dan
Middleburg (Zeeland). Penetapan anggota Heeren XVII didasari atas ketentuan, yaitu 8 orang
dari Amsterdam, 4 orang dari Middleburg (Zeeland), dan sisanya berasal dari Hoorn, Enkhuizen,
Rotterdam, dan Delft dengan jumlah masing-masing satu orang. Untuk anggota yang ketujuh
belas ditentukan oleh Zeeland. Heeren XVIImengadakan pertemuan dua kali dalam satu tahun,
yaitu pada musim semi dan musim gugur.

2.2 Kondisi, Posisi, dan Kedudukan Banten

Kondisi geografis Banten pada awal abad ke 16 dilukiskan oleh Couto, yaitu Banten terletak di
pertengahan teluk yang memiliki lebar sekitar 3 mil dan panjang sekitar 850 depa serta dari tepi
laut memiliki panjang sekitar 400 depa. Untuk melindungi kota Banten, terdapat sebuah benteng
yang dinding setebal tujuh telapak tangan laki-laki terbuat dari bata dan pada bagian
pertahanannya terbuat dari kayu setinggi dua tingkat dengan dilengkapi oleh persenjataan yang
baik. Pusat kota terletak pada lapangan raja (alun-alun) yang disebut pasebaran dengan masjid
dan pasar disekitarnya. Jalan-jalan dibuat secara simetris, membentuk palang silang yang
sempurna. Banten memiliki luas sekitar 10.000 km2, wilayah yang tidak lebih luas dari sebuah
kabupaten yang besar di Perancis. Wilayah Banten membentang dari Tangerang sampai Tulang
Bawang dan dari Pelabuhan ratu sampai Silebar dengan jumlah penduduk sekitar 80.000 sampai
100.000 orang pada penghujung abad ke16.

Belanda menggambarkan bahwa Banten memiliki luas hampir sama dengan Amsterdam kuno.
Selain itu, Belanda menggambarkan bahwa Banten terletak pada dataran kosong di kaki
perbukitan. Untuk sampai ke Banten, diperlukan jarak tempuh sekitar 25 mil antara Jawa dan
Sumatra. Pada kedua sisi kota mengalir sungai, dimana salah satu dari sungai itu mengalir
melewati kota.

Saat itu, Banten sudah berkembang sebagai kota pelabuhan yang ramai, dimana terdapat para
pedagang Cina, Arab, Portugis, dan Inggris selain dari pedagang Belanda dan pribumi.
Komunikasi antara pedagang pribumi dan pedagang asing dengan menggunakan lingua frangka.
Dapat dikatakan bahwa Banten merupakan salah satu pelabuhan besar di Nusantara. Dengan
ditunjang oleh potensi alam berupa beras dan komoditi unggulan rempah-rempah berupa lada,
Banten sangat maju dalam hal ekonomi seperti pada kota-kota dagang pada umumnya.

Dalam hal politik, Banten dibawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa mampu menjaga
stabilitas politik. Hubungan kerajaan Banten dengan kerajaan lain di Pulau Jawa, seperti kerajaan
Mataram dan Cirebon terjalin dengan baik. Hubungan antara Banten dengan kerajaan lain di
Pulau Jawa tidak sejalan dengan hubungan antara Banten dengan Belanda. Berkali-kali Sultan
Ageng Tirtayasa menentang Belanda, terutama VOC. Hubungan antara Banten dengan Mataram
yang pada awalnya sering mengalami ketegangan karena Mataram hendak menjadikan Banten
sebagai daerah bawahannya mulai menjadi kurang baik lagi ketika Amangkurat II
menandatangani perjanjian dengan VOC. Hal tersebut sama seperti ketika Cirebon bekerjasama
dengan VOC pada 1681. Pada akhirnya hubungan baik antara Banten dan kerajaan-kerajaan lain
terganggu dengan kehadiran VOC.

2.3 Penyebab Perlawanan Banten Terhadap VOC

Banten sebagai kesultanan memiliki potensi geografis dan potensi alam yang membuat
para pedagang Eropa khususnya hendak menguasai Banten. Secara geografis, Banten terletak di
ujung barat pulau Jawa, dimana jalur perdagangan Nusantara yang merupakan bagian dari jalur
perdagangan Asia dan Dunia. Selain itu, letaknya yang dekat dengan selat Sunda menjadikan
Banten sebagai pelabuhan transit sekaligus pintu masuk ke Nusantara setelah Portugis
mengambilalih Malaka pada tahun 1511.

Potensi alam yang dimiliki Banten pun merupakan daya tarik tersendiri, dimana Banten
adalah penghasil lada terbesar di Jawa Barat dan penghasil beras dengan dibukanya lahan
pertanian dan sarana irigasi oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Selain dari potensi alam dan letak
geografis, VOC memerlukan tempat yang cocok untuk dijadikan sebagai pusat pertemuan. Letak
Belanda yang jauh dari wilayah Nusantara menyulitkan Heeren XVII untuk mengatur dan
mengawasi kegiatan perdagangan. Dengan pertimbangan tersebut, Banten dipilih sebagai
Rendez-vousyaitu pusat pertemuan, dimana pelabuhan, kantor-kantor dapat dibangun, dan
fasilitas-fasilitas pengangkutan laut dapat disediakan, keamanan terjamin dan berfungsi dengan
baik. Hal inilah yang membuat VOC dibawah pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker
hendak menguasai Banten.

Perlu diketahui, pada saat Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa tahun 1651 sampai dengan 1682,
VOC dipimpin oleh Joan Maetsuyker yang memimpin VOC dari tahun 1653 sampai
1678. Menurut Nicolaus de Graaff, Joan Maetsuyker merupakan pemimpin VOC terlama
dengan kedudukan selama seperempat abad. Pada masa pemerintahan Maetsuyker inilah VOC
mengalami masa keemasannya.

Untuk dapat menguasai Banten, langkah yang digunakan oleh VOC adalah dengan
memblokade akses menuju ke pelabuhan Banten dengan tujuan memperlemah sektor
perekonomian Bnaten. Kapal-kapal asing yang hendak berdagang di Banten dicegat oleh
Belanda. Selain itu, kapal-kapal yang telah berdagang di Banten pun dicegat oleh Belanda
sehingga pelabuhan Banten mengalami penurunan aktivitas perdagangan dan kegiatan
perekonomi terganggu. Menyikapi hal tersebut, Banten mengadakan perlawanan dengan
menyerbu dan merampas kapal-kapal Belanda yang bernaung dibawah VOC. Akan tetapi, VOC
menggunakan siasat lain, yaitu dengan memberikan hadiah menarik dan berupaya
memperbaharui perjanjian tahun 1645akan tetapi hal tersebut ditolak oleh Sultan Ageng
Tirtayasa.

2.4 Awal Perlawanan dan Kronologis Perlawanan Kesultanan Banten Terhadap VOC
Tahun 1651-1682

Pada tahun 1651 sampai dengan 1682, Banten diperintah oleh Pangeran Surya dengan
gelar Pangeran Ratu Ing Banten dan setelah kembali dari Mekah mendapat gelar Sultan
Abdulfath Abdulfatah atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa setelah sebelumnya
Banten diperintah oleh kakek dari Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Sultan Abdulmafakhir Mahmud
Abdulkadir[. Sultan Ageng Tirtayasa merupakan anak dari Sultan Abul Ma’ali Ahmad.

Sultan Ageng Tirtayasa selama memerintah kesultanan Banten sangat menentang segala
bentuk penjajahan asing atas daerah kekuasaannya, termasuk kehadiran VOC yang hendak
menguasai Banten sangat ditentang oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Oleh sebab itu, VOC yang
berusaha melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten dengan menyerang kapal-kapal yang
hendak berdagang di Banten mendapatkan perlawanan dari pasukan Banten.

Perlawanan itu awalnya diwujudkan dengan perusakan terhadap segala instalasi milik
VOC di wilayah kekuasaan kesultanan Banten. Dengan tindakan perlawanan demikian, Sultan
Ageng Tirtayasamengharapkan agar VOC segera meninggalkan Banten. Tangerang dan Angke
dijadikan sebagai garis terdepan pertahanan dalam menghadapi VOC. Pasukan Banten
menyerang Batavia pada 1652 juga dimulai dari Tangerang dan Angke.
Untuk meredakan perlawanan tersebut, VOC mengirimkan utusan sebanyak dua kali
pada tahun 1655 dengan menawarkan pembaharuan perjanjian tahun 1645 disertai hadiah-hadiah
yang menarik, namun keseluruhannya ditolak oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Bahkan Sultan
Ageng Tirtayasa menanggapinya dengan memerintahkan pasukan Banten pada tahun 1656 untuk
melakukan gerilya besar-besaran dengan mengadakan pengerusakan terhadap kebun-kebun tebu,
pencegatan serdadu patroli VOC, pembakaran markas patroli, dan pembunuhan terhadap
beberapa orang Belanda yang keseluruhan dilakukan pada malam hari.Selain itu, pasukan Banten
juga merusak kapal-kapal milik Belanda yang berada di pelabuhan Benten, sehingga untuk
memasuki Banten, diperlukan pasukan yang kuat untuk mengawal kapal-kapal tersebut.

Saat perlawanan sering terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa seringkali mengadakan hubungan
kerjasama dengan kesultanan lain, seperti kesultanan Cirebon dan Mataram serta dengan Turki,
Inggris, Perancis, dan Denmark.Hal ini dilakukan agar Banten dapat memperkuat kedudukan dan
kekuatannya dalam menghadapi kekuatan VOC. Dari Turki, Inggris, Perancis, dan Denmark
inilah Banten mendapatkan banyak bantuan berupa senjata api. Sultan Ageng Tirtayasa pun
melakukan penyatuan terhadap daerah yang dikuasai oleh kesultanan Banten, yaitu Lampung,
Bangka, Silebar, Indragiri dalam kesatuan pasukan Surosowan.

Menghadapi kenyataan tersebut, VOC pun melakukan penyatuan kekuatan dengan


menyewa serdadu-serdadu dari Kalasi, Ternate, Bandan, Kejawan, Bali, Makasar, dan Bugis
karena serdadu Belanda jumlahnya sedikit. Pada saat terjadi perlawanan, serdadu-serdadu
pribumi inilah yang melawan pasukan Banten, sedangkan serdadu Belanda lebih banyak berada
dibelakang serdadu pribumi tersebut.

Semakin kuatnya pasukan Banten, ditambah dengan kurangnya persiapan VOC dalam
menghadap Banten karena sedang berperang dengan Makasar membuat VOC pada sekitar bulan
November dan Desember 1657 mengajukan penawaran gencatan senjata. Pertempuran antara
Banten dan VOC ini sangat merugikan kedua belah pihak. Gencatan senjatapun baru dapat
dilakukan setelah utusan VOC dari Batavia mendatangi Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 29
April 1658 dengan membawa rancangan perjanjian yang berisi sepuluh pasal. Diantara pasal
tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa mengajukan dua pasal perubahan. Namun, hal tersebut ditolak
oleh VOC sehingga perlawanan dan peperangan kembali terjadi.

Penolakan dari VOC tersebut semakin menguatkan keyakinan Sultan Ageng Tirtayasa
bahwa tidak akan ada kesesuaian pendapat antara kesultanan Banten dengan VOC sehingga jalan
satu-satunya adalah dengan kekerasan, yaitu berperang. Oleh sebab itu, Sultan Ageng Tirtayasa
mengumumkan perang sabil dengan terlebih dahulu mengirimkan surat ke VOC pada tanggal 11
Mei 1658. Menurut Djajadiningrat (1983:71) dan Tjandrasasmita (1967:12-16), pertempuran
antara VOC dengan pasukan Banten berlangsung secara terus menerus mulai dari bulan Mei
1658 sampai dengan tanggal 10 Juli 1659.

Pada dasarnya, perlawanan Banten terhadap VOC setelah adanya keinginan untuk
melakukan gencatan senjata dipicu oleh terbunuhnya Lurah Astrasusila diatas kapal VOC. Lurah
Astrasusila yang saat itu menyamar sebagai pedagang kelapa membunuh beberapa orang
Belanda di atas kapal bersama kedua temannya. Namun, apa yang dilakukannya berhasil
diketahui oleh orang-orang Belanda lain diatas kapal tersebut. Akibatnya Lurah Astrasusila
bersama kedua temannya dibunuh diatas kapal tersebut. Berita mengenai terbunuhnya Lurah
Astrasusila diketahui oleh Sultan Ageng Tirtayasa sehingga memicu aksi balas dendam dan
perlawanan dari Banten (Djajadiningrat, 1983:73).

Penyerangan yang dilakukan Benten secara terus menerus terhadap VOC membuat
kedudukan VOC semakin terdesak sampai medekati batas kota Batavia. Akhirnya VOC
mengajukan gencatan senjata. Menyadari bahwa Banten akan menolak perjanjan gencatan
senjata, maka VOC membujuk sultan Jambi untuk mengakomodasi perjanjian tersebut. Maka
sultan Jambi pun mengirimkan utusannya yaitu Kiyai Damang Dirade Wangsa dan Kiyai Ingali
Marta Sidana. Pada tanggal 10 Juli 1659, ditandatangani perjanjian gencatan senjata antara
Banten dan VOC.

Gencatan senjata ini dimanfaatkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa untuk melakukan
konsolidasi kekuatan, diantaranya menjalin hubungan dengan Inggris, Perancis, Turki, dan
Denmark, dengan tujuan memperoleh bantuan senjata. Gencatan senjata ini membuat blokade
yang dilakukan oleh VOC terhadap pelabuhan Banten kembali dibuka. Berbagai cara yang
dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa membuat Banten berkembang dengan pesat. Hal tersebut
memicu Gubernur Jendral Ryklop van Goens sebagai pengganti Gubernur Jendral Joan
Maetsuyker menulis surat yang ditujukan kepada kerajaan Belanda tertanggal 31 Januari
1679tentang usaha untuk menghancurkan dan melenyapkan Banten(Tjandrasasmita, 1967:35).

2 .5 Munculnya Kembali Perlawanan Banten dan Politik Adu Domba VOC

Setelah perjanjian gencatan senjata, VOC menggunakan kesempatan tersebut untukmempersulit


kedudukan Banten. Cara yang dilakukan adalah dengan mengadakan kerjasama dengan
kesultanan Cirebon dan kesultanan Mataram. Puncaknya adalah ketika Amangkurat II
menandatangani perjanjian dengan VOC. Selain itu, Cirebon pun berada di bawah kekuasaan
VOC pada tahun 1681. Dengan Mataram dan Cirebon dibawah kendali VOC, maka posisi
Banten semakin terjepit karena Mataram dan Cirebon merupakan kesultanan yang memiliki
hubungan baik dengan Banten.

Posisi tersebut makin sulit dengan terjadinya perpecahan di dalam kesultanan Banten
sendiri.Putra Sultan Ageng Tirtayasa, yaitu Pangeran Gusti dan Pangeran Arya Purbaya
mendapatkan kekuasaan, masing-masing untuk mengurusi kedaulatan ke dalam kesultanan.
Sementara kedaulatan keluar kesultanan masih dikendalikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa.
Pemisahan kekuasaan ini diketahui oleh wakil Belanda di Banten, yaitu W. Caeff yang
kemudian mendekati dan menghasut Pangeran Gusti untuk mencurigai ayahnya dan saudaranya
sendiri.

Pada saat itu, Pangeran Gusti pergi ke Mekkah dengan meninggalkan kekuasaannya
untuk sementara waktu dan kekuasaan tersebut diberikan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada
adiknya yaitu Pangeran Arya Purbaya. Sekembalinya Pangeran Gusti yang bergelar Sultan Abu
Nasr Abdul Kahar atau lebih dikenal dengan sebutan Sultan Haji dari Mekah, kekuasaan yang
dimiliki oleh Pangeran Purbaya semakin meluas sehingga membuat Sultan Haji iri. Hal tersebut
yang dimanfaatkan oleh VOC untuk mengadu-domba antara Sultan Haji dengan ayahnya sendiri,
yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan adiknya, yaitu Pangeran Arya Purbaya. Konflik ini
dimanfaatkan oleh VOC untuk memadamkan dan memperlemah kekuatan Banten

2.6 Akhir Perlawanan Banten Terhadap VOC

Rasa iri dan kekhawatiran Sultan Haji akan kekuasaannya melahirkan persekongkolan dengan
VOC untuk merebut tahta kesultanan Banten. VOC bersedia membantu Sultan Haji dengan
mengajukan empat syarat, yaitu menyerahkan Cirebon kepada VOC, monopoli lada dikendalikan
oleh VOC, membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan menarik pasukan Banten yang
berada di daerah pesisir pantai dan pedalaman Priangan. Syarat tersebut dipenuhi oleh Sultan
haji. Pada tanggal 27 Februari 1682, pecahlah perang antara Sultan Haji dengan dibantu VOC
melawan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtayasa. Inilah akhir dari kekuasaan Sultan
Ageng Tirtayasa di kesultanan Banten.

Namun, pasukan yang dipimpin oleh Sultan Ageng Tirtayasa masih terlalu kuat sehingga
berhasil mengepung VOC bersama dengan Sultan Haji. VOC segera memberikan perlindungan
kepada Sultan Haji dibawah pimpinan Jacob de Roy. Bersama dengan Kapten Sloot dan W.
Caeff, Sultan Haji mepertahankan loji tempatnya berlindung. Kekuatan pasukan Sultan Ageng
Tirtayasa membuat bantuan dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Hal tersebut memaksa
Sultan Haji untuk mengadakan perjanjian baru dengan VOC yaitu memberikan hak monopoli
VOC di Banten. Setelah perjanjian tersebut, tanggal 7 April 1682 dibantu oleh Jonker, tokoh
yang memadamkan pemberontakan Trunojoyo. Pasukan ini berhasil membebaskan loji dari
kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah itu, pemberontakan terus terjadi meskipun VOC telah beberapa kali meminta Sultan
Ageng Tirtayasa untuk menyerah. Untuk menyelesaikan perlawanan tersebut, Sultan Haji
mengutus 52 orang keluarganya untuk membujuk Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah berhasil
dibujuk, Sultan Haji dan VOC menerapkan tipu muslihat dengan mengepung iring-iringan Sultan
Ageng Tirtayasa menuju ke istana Surosowan pada tanggal 14 Maret 1683. Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil ditangkap, namun Pangeran Arya Purbaya berhasil lolos. Kemudian Sultan
Ageng Tirtayasa dipenjarakan di Batavia sampai meninggal pada tahun 1692. Sultan Haji sendiri
akhirnya naik tahta dengan restu VOC, memerintah dari tahun 1682 sampai dengan 1687. Pada
tanggal 17 April 1684, ditandatanganilah perjanjian dalam bahasa Belanda, Jawa, dan Melayu
yang berisi 10 pasal. Perjanjian inilah yang menandai berakhirnya kekuasaan kesultanan Banten,
dan dimulainya monopoli VOC atas Banten. Dengan demikian berakhirlah perlawanan Sultan
Ageng Tirtayasasetelah dikhianati oleh anaknya sendiri.
BAB Ill

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Banten merupakan salah satu pelabuhan terbesar di Nusantara dengan letak yang stategis di
ujung barat pulau Jawa dekat dengan selat Sunda yang merupakan titik pertemuan jalur
perdagangan Asia bahkan dunia setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada 1511. Hal
tersebut membuat Banten selalu ramai oleh lalu lintas perdagangan. Disamping itu, Banten
memiliki potensi alam yang cukup menguntungkan, dimana Banten merupakan penghasil lada
terbesar di Jawa Barat. Pada rentang waktu antara 1651 sampai dengan 1682, Banten mampu
memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya dengan swasembada beras dibawah kekuasaan Sultan
Ageng Tirtayasa. Dengan kondisi alam dan letak geografis inilah yang membuat VOC dibawah
pimpinan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker (1653-1678) berkeinginan untuk menguasai
Banten, menjadikannya sebagai pusat pertemuan (Rendez-vous) sekaligus memonopoli
perdagangan rempah-rempah, khususnya lada.

Untuk memenuhi kehendaknya, VOC mulai menggunakan siasat blokade ekonomi dengan
tujuan agar Banten mau tunduk kepada VOC. Hal tersebut dilakukan dengan menyerang kapal-
kapal asing yang hendak berdagang di Banten. Kondisi ini membuat Banten mengalami
penurunan dalam hal kegiatan perekonomian. Menaggapi hal tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa
memerintahkan untuk melakukan perlawanan terhadap VOC. Pelawanan tersebut terjadi sampai
dengan adanya tawaran perjanjian gencatan senjata pada tanggal 29 April 1658. Namun,
perjanjian tersebut ditolak oleh Banten dan mulailah kembali perlawanan dari bulan Mei 1658
yang berlangsung terus menerus sampai diadakannya perjanjian gencatan senjata tanggal 10 Juli
1659.

Gubernur Jendral Ryklop van Goens yang menggantikan Gubernur Jendral Joan Maetsuyker
kemudian memerintahkan untuk menghancurkan Banten. Kekuasaan Banten mulai melemah
ketika Cirebon pada tahun 1681 dan Mataram yang memiliki hubungan baik dengan Banten
bekerjasama dan tunduk atas VOC. Selain itu, adanya pembagian kekuasaan di kesultanan
Banten, dimana Sultan Haji dan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan anak dari Sultan
Ageng Tirtayasa, mendapat kekuasaan intern kesultanan. Hal tersebut diketahui oleh W. Caeff,
wakil VOC di Banten, sehingga VOC memanfaatkan pembagian kekuasaan tersebut untuk
mengadu domba Sultan Haji dengan Pangeran Arya Purbaya dan Sultan Ageng Tirtayasa,
sampai pada akhirnya terjadi perang saudara yang menyebabkan berakhirnya kekuasaan Sultan
Ageng Tirtayasa pada tahun 1682.

3.2Daftar Pustaka
 http://wartasejarah.blogspot.co.id/2016/06/perlawanan-kesultanan-banten-terhadap.html
 https://brainly.co.id/tugas/1501809
 http://erikadwicahyani.blogspot.co.id/2015/06/perang-melawan-kolonialisme.html
 http://dunia-tifs.blogspot.co.id/2014/11/tugas-sejarah-indonesia-semester-1.html

Anda mungkin juga menyukai