Anda di halaman 1dari 17

Pendahuluan

Secara umum masyarakat di Indonesia salah mengartikan penyakit epilepsi karena


kurangnya pengetahuan. Epilepsi atau penyakit ayan merupakan manifestasi klinis berupa muatan
listrik yang berlebihan di sel-sel neuron otak berupa serangan kejang berulang. Lepasnya muatan
listrik yang berlebihan dan mendadak, sehingga penerimaan serta pengiriman impuls dalam atau
dari otak ke bagian-bagian lain dalam tubuh terganggu.
Umumnya epilepsi mungkin disebabkan oleh kerusakan otak dalam proses kelahiran, luka
kepala, pitam otak (stroke), tumor otak, alkohol. Kadang-kadang epilepsi mungkin juga karena
genetika, tapi bukan penyakit keturunan. Berdasarkan penyebab epilepsi dapat dibagi menjadi 2
golongan yaitu epilepsi primer atau epilepsi idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan
penyebabnya dan epilepsi sekunder atau simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.

Anamnesis
Anamnesis adalah suatu wawancara medis merupakan tahap awal dari rangkaian
pemeriksaan pasien, baik secara langsung pada pasien yang bersangkutan atau secara tidak
langsung melalui keluarga maupun relasi terdekatnya. Anamnesis harus dilakukan dengan teliti,
teratur dan lengkap karena sebagian besar data yang diperlukan dari anamnesis untuk menegakkan
diagnosis. Sehingga setelah anamnesis kita dapat merumuskan masalah-masalah pasien dan
dilanjutkan dengan proses pengkajiannya. Kemudian ditetapkan rencana pengelolaan terhadap
pasien, yaitu rencana pemeriksaan untuk diagnosis, pengobatan, maupun penyuluhannya, dan
diikuti dengan pelaksanaan rencana tersebut beserta evaluasi atau tindak lanjutnya.

Data anamnesis, terdiri atas beberapa kelompok data penting sebagai berikut:
Identitas
Dimana identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa dan agama.

Keluhan Utama
Dimana keluhan utama ini adalah gangguan atau keluhan yang dirasakan penderita
sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan pertolongan serta menjelaskan
tentang lamanya keluhan tersebut.

Riwayat Penyakit Sekarang


Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan
dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai pada
neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan
malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan
remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan
mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau tumor otak dsb.
Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu
serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien
menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul
sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat
membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis
dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, Dan gangguan
penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat gangguan
pada kedua hemisfer, tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien sebelum serangan kejang umum,
sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan serangan
kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab pertanyaan ini,
oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang
berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang
terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara
selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang
terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada
anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang
berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah
kontralateral lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan penglihatan. Lidah tergigit
dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan kejang umum meskipun dapat
dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah
serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah
mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan
kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang
parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“
yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai gangguan
kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak
ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik dan
mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan kejang lobus
temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul
pada waktu malam hari.
Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur,
cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi alkohol,
ketidak patuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara
tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam
konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk mengetahui
bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang.
Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba
untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat
menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang
berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang? Pertanyaan
ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan kejang ada yang
diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan
luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi
tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui
gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat beratnya
serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.

Riwayat Penyakit Dahulu


Dengan mengetahui riwayat penyakit dahulu dapat memberikan informasi yang berguna
dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan
tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer
2004).
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan
kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau
penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.
Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat Sosial
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini
penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed,
Spencer 2004).
Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat
menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga dapat
membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan bagaimana potensi
pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan
kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan pasien
dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak terkendali
dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan
tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas -
tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi, mekanik
dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan yang jelas untuk
memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan dirinya.
Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang serangan
kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak mengemudikan
kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun masyarakat lainnya. Dibeberapa
negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan
bermotor.
Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan
pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan terlebih dahulu
tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat
menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin
dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat
untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan
kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi dengan
obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan kejang khususnya
sesudah minum alkohol.
Riwayat Keluarga
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana
manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“
familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum
tonik klonik disertai kejang demam plus.

Riwayat Alergi
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan
apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat
semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan
eksposur dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas?

Riwayat Pengobatan
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum
selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.

Riwayat Pemeriksaan Penunjang lain.


Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang
seperti elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI.1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua
sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul
oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya
kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah
ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada
neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma
sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturge-weber
syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu
serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien jatuh akibat
serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh karena
pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena
pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004).
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia,
disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya
lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia
mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin.
Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan gangguan
belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia, mioklonus
yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral
automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan
adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis. (Ahmed,
Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).

Pemeriksaan Laboratorium
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat
mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose,
kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat
memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga
sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

Pemeriksaan Elektroensefalografi
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu
sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.
Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis
epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni
2004)
Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan
serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan membantu dalam
membuat diagnosis, mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom
epilepsi.
Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada
EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang
spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang
spesifik.
Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan
manifestasi klinis dari pada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan dilakukan
operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.

Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai hasil
pemeriksaan EEG ini yaitu :
Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi
didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang
maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara dan pemeriksaan
klinis adalah penting sekali.
Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi sebab
hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu hasil
pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis
epilepsi.
Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat
berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.
Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila pada
pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang
dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam serangan kejang
parsial atau serangan kejang umum.

Pemeriksaan Video-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau
serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya
negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini
berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya
selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil
rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya, Duncan
2000, Stefan, 2003).

Pemeriksaan Radiologi
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003,
Oguni 2004)

Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)


- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di
otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.

CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan
MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala
ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).
Pemeriksaan Neuropsikologi
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan
dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya
penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada
dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi (Oguni 2004, Sisodiya 2000).

Differential Diagnosis
Epilepsi Partial Kompleks
Epilepsi lobus temporalis atau epilepsi psikomotor atau juga disebut epilepsi partial
kompleks adalah bangkitan epilepsi yang disebabkan oleh suatu lesi pada lobus temporalis.
Disebut epilepsi lobus temporalis karena berhubungan dengan lesi di lobus temporalis, disebut
epilepsi psikomotor karena bangkitannya meliputi bermacam gejala motorik dan mental, dan
dinamakan epilepsi partial kompleks karena serangan disebabkan oleh letupan fokal abnormal
yang menimbulkan kehilangan kesadaran, amnesia atau bingung selama ataupun setelah serangan.
Etiologi utama epilepsi lobus temporalis sampai saat ini belum diketahui, beberapa
penelitian mengatakan bahwa penyebab epilepsi lobus temporalis adalah post infeksi (herpes
ensefalitis atau meningitis bakterialis), hamartoma, vaskuler malformasi (arterio-venous
malformasi, cavernous angioma), gangguan migrasi neuronal, hipokampus sklerosis dan kejang
demam.
Dasar neurofisiologis serangan epilepsi lobus temporalis terpusat pada kompleks
amigdala-hipokampus. Lepas muatan listrik di amigdala misalnya dapat menjalar ke daerah
kortikal dan subkortikal secara difus. Dalam semua serangan epilepsi lobus temporalis rupanya
sistem amigdala-hipokampus ikut terlibat dan dari sini lepas muatan listrik tersebar ke daerah
proyeksi sistem tersebut dan melibatkan pula kedua lobus temporalis dan daerah kortikal serta
subkortikal lainnya.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer, subkortek, thalamus, batang
otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan serentak dalam waktu sesaat
menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai, dimulailah proses inhibisi di
korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermiten menghambat discharge
epileptiknya. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron
(karena kehabisan glukosa dan tertimbunnya asam laktat), namun ternyata serangan epilepsi bisa
terhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Gejala klinik yang biasa terlihat pada serangan epilepsi lobus temporalis berupa penurunan
kesadaran, sensasi epigastrik, halusinasi dan ilusi, gangguan memori dan hipergrafia. Pada
beberapa kasus, dokter terkadang terkecoh dengan gejala halusinasi dan ilusi yang muncul,
sehingga penderita di rujuk ke dokter spesialis jiwa dan mendapat terapi pengobatan jiwa. Padahal,
gejala halusinasi dan ilusi yang muncul pada penderita epilepsi lobus temporalis bisa sembuh jika
mendapatkan pengobatan epilepsi yang tepat.

Gangguan Perhatian atau Gangguan Perilaku


Gangguan pemusatan perhatian dan perilaku bermasalah atau disebut juga sebagai ADHD
(Attention Deficit/Hyperactivity Disorder) merupakan kondisi kronis yang mengenai jutaan anak
di dunia dan sering kali menetap hingga masa dewasa. ADHD meliputi adanya kombinasi dari
berbagai masalah, seperti kesulitan dalam memusatkan perhatian, hiperaktivitas dan perilaku yang
impulsif. ADHD sekitar 10 kali lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak
perempuan.
Banyak faktor yang terlibat dalam terjadinya ADHD, antara lain faktor genetik,
ketidakseimbangan neurotransmitter dan perubahan pada otak yang berperasn dalam pemusatan
perhatian kurang aktif pada anak-anak dengan ADHD dibandingkan dengan anak-anak tanpa
ADHD. Selain itu bisa juga karena infeksi, gizi buruk dan penyalahgunaan zat-zat terlarang saat
kehamilan, serta adanya paparan zat-zat beracun bahkan mungkin karena adanya cedera atau
gangguan pada otak.2

Working Diagnosis
Epilepsi Absans
Salah satu epilepsi umum yang dapat diterangkan patofisiologinya secara lengkap adalah
epilepsi tipe absans. Absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 3-8 tahun dengan
karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak
berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut.
Terdapat beberapa hipotesis mengenai absans yaitu antara lain absans berasal dari thalamus,
hipotesis lain mengatakan berasal dari korteks serebri.
Pembahasan
Etiologi
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, stroke, tumor
otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jaringan saraf yang tidak normal
(neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik
maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera maupun stroke ataupun tumor akan mengakibatkan
perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Perubahan (fokus) inilah yang bisa menimbulkan
bangkitan listrik di otak.

Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu gangguan saraf serius yang paling umum terjadi yang
mempengaruhi sekitar 65 juta orang di seluruh dunia. Ia mempengaruhi 1% penduduk pada usia
20 tahun dan 3% penduduk pada usia 75 tahun. Ia lebih jamak terjadi pada laki-laki dari pada
perempuan, tetapi secara menyeluruh selisihnya cukup kecil. Sebagian besar penderita (80%)
tinggal di dunia berkembang. Angka penderita epilepsi aktif saat ini berkisar pada 5–10 per 1.000;
epilepsi aktif diartikan sebagai penderita epilepsi yang pernah mengalami kejang paling tidak satu
kali dalam lima tahun terakhir. Epilepsi berawal setiap tahun dalam 40–70 per 100.000 di negara
maju dan 80–140 per 100.000 di negara berkembang. Kemiskinan merupakan sebuah risiko dan
mencakup baik bertempat asal dari sebuah negara yang miskin maupun berstatus sebagai orang
miskin relatif terhadap orang lain di dalam negara yang sama.
Di negara maju, epilepsi paling umum bermula pada orang muda atau orang lansia. Di
negara berkembang, awal epilepsi lebih umum terjadi pada anak-anak yang berusia lebih tua dan
pada orang dewasa muda karena lebih tingginya angka trauma dan penyakit menular. Di negara
maju, jumlah kasus per tahun telah mengalami penurunan pada anak-anak dan peningkatan pada
orang lansia antara tahun 1970-an dan 2003. Hal ini sebagian disumbang oleh kesintasan pasca-
stroke yang lebih baik pada orang lansia.3

Patofisiologi
Epilepsi absans diduga terjadi akibat perubahan pada sirkuit antara thalamus dan korteks
serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras thalamo-kortikal akibat adanya mutasi ion
calsium sehingga menyebabkan aktivasi ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas
ritmik pada korteks terjadi pada saat tidur non-REM. Patofisiologi epilepsi yang lain adalah
disebabkan adanya mutasi genetik. Mutasi genetik terjadi sebagian besar pada gen yang mengkode
protein kanal ion.
Pada kanal ion yang normal terjadi keseimbangan antara masuknya ion natrium (natrium
influks) dan keluarnya ion kalium (kalium efluks) sehingga terjadi aktivitas depolarisasi dan
repolarisasi yang normal pada sel neuron. Jika terjadi mutasi pada kanal Na seperti yang terdapat
pada generalized epilepsy with febrile seizures plus, maka terjadi natrium influks yang berlebihan
sedangkan kalium refluks tetap seperti semula sehingga terjadi depolarisasi dan repolarisasi yang
berlangsung berkali-kali dan cepat atau terjadi hipereksitasi pada neuron. Hal yang sama terjadi
pada benign familial neonatal convulsion dimana terdapat mutasi kanal kalium sehingga terjadi
refluks kalium yang berlebihan dan menyebabkan hipereksitasi pada sel neuron.4

Manifestasi Klinis
Kehilangan kesadaran (10-30 detik), bengong, pandangan kosong dapat berupa hanya
penurunan kesadaran, dengan komponen klonik ringan, gerakan klonis ringan biasanya dijumpai
pada kelopak mata atas, sudut mulut atau otot-otot lainnya bilateral. Dengan komponen atonik
yang pada epilepsi ini dijumpai otot-otot leher, lengan, tangan, tubuh mendadak melemas sehingga
tampak mengulai. Dengan komponen klonik yang pada epilepsi ini dijumpai otot-otot ekstremitas,
leher, punggung mendadak mengejang, kepala, badan menjadi melengkung ke belakang, lengan
dapat mengetul atau mengedang, dengan automatisme dan dengan komponen autonom.5

Penatalaksanaan
Terapi pengobatan epilepsi :
 Obat pertama yang paling lazim dipergunakan:
(seperti: sodium valporat, Phenobarbital dan phenytoin)
Ini adalah anjuran bagi penderita epilepsi yang baru, obat-obat ini akan memberi efek
samping seperti gusi bengkak, pusing, jerawat dan badan berbulu (Hirsutisma), bengkak
biji kelenjar dan osteomalakia.
 Obat kedua yang lazim digunakan:
(seperti: lamotrigin, tiagabin, dan gabapetin)
Jika tidak terdapat perubahan kepala penderita setelah mengunakan obat pertama, obatnya
akan di tambah dengan dengan obatan kedua. Lamotrigin telah diluluskan sebagai obat
pertama di Malaysia. Obat baru yang diperkenalkan tidak dimiliki efek samping, terutama
dalam hal kecacatan sewaktu kelahiran.6

Komplikasi
Kejang, kejang maupun epilepsi bukan merupakan diagnosis atau penyakit melainkan
gejala proses yang mempengaruhi otak dalam berbagai cara, tetapi umumnya memiliki ekspresi
klinis final berupa kejang. Kejang adalah pelepasan neuron otak yang berfrekuensi tinggi yang
berlebihan atau mendadak abnormal
Epilepsi juga dapat menimbulkan komplikasi berupa status epileptikus, terjadi ketika
penderita mengalami kejang selama lebih dari lima menit atau mengalami serangkaian kejang
pendek tanpa kembali sadar di antara kejang yang dapat menyebabkan kerusakan permanen pada
otak bahkan kematian.
Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah kematian mendadak, namun memang hal ini
belum dapat diketahui secara pasti. Beberapa ahli mengemukakan bahwa itu berkaitan dengan
dampak pada jantung dan pernapasan akibat kejang.

Prognosis
National General Practice Study of Epilepsy (NGSPE) melalui studi diskriptif prospektif
melaporkan bahwa risiko terhadap kekambuhan setelah serangan mencapai 61% dalam 1 tahun
dan 78% dalam 3 tahun berikutnya. Banyak penelitian mendapatkan risiko yang lebih tinggi
terhadap kekambuhan setelah mengalami serangan dengan penyebab yang jelas.
Beberapa faktor prediksi tingginya angka kekambuhan setelah mengalami serangan afebril
pertama adalah:
1. Defisit neurologis sewaktu lahir
2. Usia < 16 tahun atau > 65 tahun
3. Serangan parsial
4. Latar belakang lesi struktural
Dari penelitian prospektif terhadap pasien stroke, didapatkan hasil bahwa lesi di kortikal
dan jenis hemoragik mempunyai hubungan positif yang kuat timbulnya serangan. Tidak satupun
dari kasus serangan yang muncul saat awal stroke berkembang menjadi serangan ulang atau
epilepsi, namun 50% serangan yang muncul setelah berselang lama dari onset stroke berkembang
menjadi epilepsi.

Edukasi
Pada anak yang menderita epilepsi sangat penting memberikan edukasi kepada kedua
orang tua anak tersebut dengan menggunakan bahasa yang mudah di mengerti dan tidak bersifat
menakutkan atau membuat kecemasan tersendiri. Pada anak yang sudah di diagnosis dengan
epilepsi harus di sampaikan kepada orang tuanya bahwa gejala dapat dikontrol dengan
menggunakan obat secara teratur dan dibertahukan bahwa sebagian besar (70%) anak akan sembuh
sendiri setelah umur 18 tahun, terutama pada anak yang serangan pertamanya mulai pada usia
sebelum 10 tahun.

Pencegahan
Pencegahannya dapat dilakukan bergantung pada apa yang menjadi penyebab penyakit
tersebut. Untuk mencegah epilepsi akibat komplikasi saat kehamilan atau proses kelahiran,
diperlukan perawatan prenatal (sesaat sebelum kelahiran) yang baik. Untuk mencegah epilepsi
yang dicetuskan akibat infeksi, dapat diberikan vaksinasi penyakit tertentu.
Pada epilepsi yang disebabkan oleh trauma kepala, mencegahnya dengan menggunakan
helm, safety belt dan alat pelindung lain saat berkendara, untuk mencegah trauma kepala. Jika
telah terjadi cedera, obati segera untuk menurunkan resiko terjadinya epilepsi. Pada lansia, hindari
faktor-faktor yang dapat menyebabkan stroke.7

Kesimpulan
Epilepsi absans adalah salah satu epilepsi umum, onset dimulai usia 4-8 tahun dengan
karakteristik klinik yang menggambarkan pasien “bengong” dan aktivitas normal mendadak
berhenti selama beberapa detik kemudian kembali ke normal dan tidak ingat kejadian tersebut.

Daftar Pustaka
1. Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A, Marcellus SK, Siti S. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Jilid 1. Edisi 5. Jakarta: Internal Publishing; 2009. h. 23-5.
2. Mayo Clinic. Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) in Children. 2013.
3. Neligan, A; Hauser, WA; Sander, JW (2012). "The epidemiology of the epilepsies.".
Handbook of clinical neurology 107: 113–33.
4. Baiquni, Mulki. Patofisiologi Epilepsi; 2010.
5. Sisodiya S.M, Duncan J (2000) : Epilepsy : Epidemiology, Clinical Assessment,
Investigation and Natural History, Medicine International,00(4);36-41.
6. Anonim. Epilepsi; 2009.
7. Oguni H (2004) : Diagnosis and Treatment of Epilepsy, Epilepsia, 48 (Suppl.8):13-16.

Anda mungkin juga menyukai