Anda di halaman 1dari 11

Makalah

Post Electroconvulsive Therapy (ECT) dan Diangnosa Keperawatan Serta


Intervensi

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas keperawatan jiwa

Dosen Pengampu : Ririn Nasriati M.Kep

Disusun oleh :

Kelompok 4/3B

Anggota :

1. Devita Putri Hayu N. (17613082)


2. Syifa Aulia (17613083)
3. Winda Wisma (17613077)
4. Anggra Safitri (17613076)
5. Muhammad Henry (17613072)
6. Nichen Vivi N. (17613070)
7. Nindi Naralika F.D. (17613067)
8. Lia Hiyasari (17613058)
9. Prihandoyo Setyawan (17613046)

D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO


KATA PENGANTAR

Segala Segala puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga
kami dapat menyusun dan menyelesaikan makalah yang berjudul Post
Electroconvulsive Therapy (ECT) dan Diangnosa Keperawatan Serta
Intervensi

Shalawat serta salam tak lupa kami curahkan kepada junjungan kita
Nabiyullah Muhammad Saw. Yang telah membawa umatnya dari alam yang gelap
gulita menuju alam yang terang benderang.

Atas dukungan moral dan materi yang di berikan dalam penyusunan


makalah ini, maka kami mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1.Bapak Drs.H Sulton M,Si selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Ponorogo

2.Bu Rika Maya Sari M.Kes selaku Ketua Prodi D3 Keperawatan

3.Bu Ririn Nasriati S.Kep.Ns.,M.Kep selaku Wali Dosen D3 Keperawatan 2B

4.Bu Ririn Nasriati S.Kep.Ns.,M.Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Jiwa

Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan serta informasi bagi para
pembaca. Karena keterbatasan pengetahuan, kami yakin banyak kekurangan dalam
makalah ini, oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari pembaca untuk melengkapi segala kekurangan dari makalah ini.

Ponorogo, 13 November 2019

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terapi elektro konvulsif (Electroconvulsive Therapy atau ECT)


merupakan suatu jenis pengobatan somatik di mana arus listrik digunakan
pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut
cukup untuk menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek
terapeutik tercapai. ECT konvensional adalah perlakuan atau prosedur ECT
tanpa dilakukan anestesi, minimalisasi risiko dengan fiksasi stimulus elektrik
umumnya disesuaikan pada tingkat energi minimum yang dapat
menghasilkan kejang. Jumlah terapi dalam satu seri bervariasi tergantung
pada respons klien.

Umumnya terapi dilakukan 6-12 kali yang diberikan 2-3 kali


seminggu. Indikasi pemberian ECT pada pasien dengan gangguan bipolar
berjumlah 70%; pasien dengan skizofrenia berjumlah 17%. Tiga indikasi
terjelas untuk ECT adalah gangguan depresif berat, episode manik dan pada
beberapa kasus skizofrenia. Keputusan untuk menganjurkan ECT pada
seorang pasien, seperti semu anjuran terapi, harus didasarkan pada pilihan
terapi yang tersedia bagi pasien dan pertimbangan risiko dan manfaatnya.
Alternatif utama untuk ECT biasanya farmakoterapi dan psikoterapi, tetapi
ECT telah terbukti merupakan terapi yang aman dan efektif.

Angka respons terhadap ECT adalah 80% atau lebih besar dari
respons terhadap pengobatan antidepresan. ECT dapat dilakukan untuk
semua orang dari sebagian besar golongan usia yang tidak ada toleransi atau
gagal berespons terhadap terapi pengobatan. Angka mortalitas dengan ECT
adalah kira-kira 0,002% per terapi dan 0,01% untuk masing-masing pasien.
Angka tersebut cukup baik dibandingkan dengan risiko yang disertai dengan
anestesia umum dan melahirkan anak. Kematian akibat ECT biasanya terjadi
dari komplikasi kardiovaskuler dan paling mungkin terjadi pada pasien yang
status jantungnya telah terganggu.
Perawat merupakan bagian dari tim interdisiplin yang tidak hanya
terlibat dalam pemberian terapi ECT, tetapi juga kolaborasi untuk
mengevalusi perubahan perilaku yang diharapkan dan merekomendasikan
perubahan terhadap rencana terapi klien. Dalam tim, perawat
mengidentifikasi pola perilaku klien dan mengevaluasi implikasi pola
tersebut berkaitan dengan terapi. Indikasi perilaku sebagai respons terapi
positif meliputi aspek perilaku dan sosialisasi, dengan perilaku
peningkatan dalam aktivitas hidup sehari-hari, perubahan adaptif dalam
interaksi sosial dengan orang lain. meningkatnya energi dan perubahan
positif lain yaitu aspek kognitif, afektif dan psikomotor berkaitan dengan
gejala target antara lain perbaikan proses pikir dan perbaikan alam
perasaan. Perubahan perilaku ini dapat dicapai oleh klien dalam beberapa
rangkaian/seri terapi. Sekarang ini, diperkirakan 1 juta orang di seluruh
dunia mendapat pengobatan ECT.

Setiap tahunnya, biasanya dilakukan serangkaian 6-12 terapi


diberikan 2-3 kali seminggu. Penelitian yang dilakukan tentang pengkajian
kognitif multidomain sebelum dan sesudah terapi elektrokonvulsif pada
depresi psikotik: hubungan kemampuan premorbid dan perbaikan gejala,
melibatkan 20 partisipan. Depresi psikotik (12 wanita, 8 pria) yang
mendapatkan ECT, diberikan pengkajian neuropsikologis dan gejala
depresif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbaikan gejala
depresif dengan pengukuran fungsi kognitif menunjukkan peningkatan.
Terdapat 6 (30%) partisipan menunjukkan disfungsi kognitif pra ECT
(total skor ≤80), dengan hanya 2 (10%) menunjukkan kerusakan post ECT
berkaitan dengan respons ECT yang tidak adekuat. Kesimpulan yang
didapatkan bahwa penampilan kognitif tidak memburuk dan mengalami
perbaikan setelah ECT pada pasien dengan depresi psikotik.

Berdasarkan data statistik, jumlah klien yang dilakukan ECT di


Rumah Sakit Jiwa dr. Soeharto Heerdjan Jakarta periode bulan
Oktober-Desember 2017 adalah 35 klien dengan persentasi 70% pria dan
30% wanita dengan rata-rata pelaksanaan terapi empat kali dalam satu seri
ECT, yang dilakukan adalah ECT konvensional dengan fiksasi.
B. Rumusan masalah
1. Apa peran perawat setelah klien Post ECT
2. Apa Diagnosa Keperawatan Post ECT
3. Apa Intervensi Keperawatan Post ECT
C. Tujuan
1. Mengetahui peran perawat setelah klien post ECT
2. Mengetahui diagnosa keperawatan post ECT
3. Mengetahui Intervensi Keperawatan post ECT
D. Manfaat
Dengan adanya makalah ini kita dapat mengembangkan wawasan
dan ilmu pengetahuan menegenai peran perawat dalam mendampingi klien
post ECT
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Peran perawat setelah ECT


Berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan perawat untuk
membantu klien dalam masa pemulihan setelah tindakan ECT dilakukan
yang telah dimodifikasi dari pendapat Stuart (2007) dan Townsen (1998).
Menurut pendapat Stuart (2007) memantau klien dalam masa pemulihan
yaitu dengan cara sebagai berikut:
1. Bantu pemberian oksigen dan pengisapan lendir sesuai kebutuhan
2. Pantau tanda-tanda vital.
3. Setelah pernapasan pulih kembali, atur posisi miring pada pasien
sampai sadar. Pertahankan jalan napas paten.
4. Jika pasien berespon, orientasikan pasien.
5. Ambulasikan pasien dengan bantuan, setelah memeriksa adanya
hipotensi postural.
6. Izinkan pasien tidur sebentar jika diinginkannya.
7. Berikan makanan ringan.
8. Libatkan dalam aktivitas sehari-hari seperti biasa, orientasikan pasien
sesuai kebutuhan.
9. Tawarkan analgesik untuk sakit kepala jika diperlukan.Menurut
Townsend (1998), jika terjadi kehilangan memori dan kekacauan
mental sementara yang merupakan efek samping ECT yang paling
umum hal ini penting untuk perawat hadir saat pasien sadar supaya
dapat mengurangi ketakutan-ketakutan yang disertai dengan
kehilangan memori.
Implementasi keperawatan yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut:
1. Berikan ketenangan dengan mengatakan bahwa kehilangan memori
tersebut hanya sementara.
2.Jelaskan kepada pasien apa yang telah terjadi.
3.Reorientasikan pasien terhadap waktu dan tempat.
4.Biarkan pasien mengatakan ketakutan dan kecemasannya yang
berhubungan dengan pelaksanaan ECT terhadap dirinya.
5.Berikan sesuatu struktur perjanjian yang lebih baik pada aktivitas-
aktivitas rutin pasien untuk meminimalkan kebingungan

B. Diagnosa Keperawatan
Risiko Jatuh berhubungan dengan Post ECT (Electroconvulsive Therapy)

C. Intervensi Keperawatan
a) Definisi : Berisiko mengalami kerusakan fisik dan gangguan kesehatan
akibat terjatuh
b) Faktor Resiko
1. Usia >65 tahun (pada dewasa) atau <2tahun (pada anak)
2. Riwayat jatuh
3. Anggota gerak bawah prostersis (buatan)
4. Penggunaan alat bantu berjalan
5. Penurunan tingkat kesadaran
6. Perubahan fungsi kognitif
7. Lingkungan tidak aman (misal: licin, gelap, lingkugan, asing)
8. Kondisi pada operasi
9. Hipertensi ortostatik
10. Perubahan kadar glukosa darah
11. Anemia
12. Kekuatan otot menurun
13. Gangguan pendengaran
14. Gangguan keseimbangan
15. Gangguan pengelihatan (misal: glaucoma, katarak, ablasio retina,
neuritis optikus)
16. Neuropati
17. Efek agen farmakologi (misal: sedasi, alcohol, anastesi umum)
c) Kondisi Terkait
1. Osteoporosis
2. Kejang
3. Penyakit sebrovaskuler
4. Katarak
5. Glaucoma
6. Demensia
7. Hipotensi
8. Ampulasi
9. Intokasisasi
10. Preeklamsi
d) NOC
Trauma Risk For
Injury Risk For
Kriteria Hasil:
1. Keseimbangan: kemampuan untuk mempertahankan ekuilibrium
2. Gerakan terkoordinasi kemampuan otot untuk bekerja sama secara
volunter untuk melakukan geraka yang bertujuan
3. Perilaku pencegahan jatuh: ttindakan individua tau pemberian
asuhan untuk meminimalkan faktor resiko yang dapat memicu jatuh
dilingkungan individu
4. Kejadian jatuh: tidak ada kejadian jatuh
5. Pengetahuan: pemahaman pencegahan jatuh mengetahui:
keselamatan anak fisik
6. Pengetahuan: keamanan pribadi
7. Pelanggaran perlindungan tingkat kebingungan akut
8. Komunitas pengendalian risiko kekerasan dan tingkat kekerasan
9. Perilaku keselamatan pribadi
10. Keparahan cedera fisik
e) NIC
Fail Prevention
1. Mengidentifikasi perilaku dan faktor yang mempengaruhi risiko
jatuh
2. Mengidentifikasi karakteristik lingkungan yang dapat
meningkatkan potensi untuk jatuh (misalnya: lantai licin dan
tangga terbuka)
3. Ajarkan pasien bagimana jatuh untuk meminimalkan cidera.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Terapi elektro konvulsif (Electroconvulsive Therapy atau ECT)
merupakan suatu jenis pengobatan somatik di mana arus listrik digunakan
pada otak melalui elektroda yang ditempatkan pada pelipis. Arus tersebut
cukup untuk menimbulkan kejang grand mal, yang darinya diharapkan efek
terapeutik tercapai. ECT konvensional adalah perlakuan atau prosedur ECT
tanpa dilakukan anestesi, minimalisasi risiko dengan fiksasi stimulus
elektrik. Peran perawat dalam post ECT adalah damping klien dan berikan
ketenangan dan beri penjelasan bahwa kehilangan memori setelah ECT
hanya bersifat sementara, reorientasikan klien terhadap waktu dan tempat
dan biarkan klien menyampaikan kecemasan yang berhubungan dengan
pelaksanaan ECT tehadap dirinya.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan
dan sasarannya. Untuk segala kekurangan penulis menerima kritik dan saran
demi perbaikan dan penyempurnaan dalam pembuatan makalah kami
kedepannya
DAFTAR PUSTAKA

Azizah Ummiyana. 2012. Peran Perawat Sebelum dan Sesudah ECT di Rumah
Sakit Jiwa Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Fakultas Keperawatan.
Universitas Sumatera Utara: Medan.

Marisca Agustina. 2018. Pemberian Terapi Elektrokonvulsif (ECT) Terhadap


Peningkatan Fungsi Kognitif Klien Gangguan Jiwa. Jurnal Ilmiah Ilmu
Keperawatan Indonesia. Vol. 8 No.3 hal 443-445

Anda mungkin juga menyukai