Anda di halaman 1dari 44

FARMAKOTERAPI KEGAWATDARURATAN SISTEM

GENITOURINARIA

Oleh
Kelompok 7
Nurizati Ismi Awaliyah 11194761920025
Putri Amelia 11194761920028
Septri Desi 11194761920032
Zainal Muttaqin 11194761920039

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2019
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Definisi .......................................................................................... 1
B. Epidemiologi .................................................................................. 1
BAB II ISI ..................................................................................................... 2
A. Infeksi Saluran Urin........................................................................ 2
B. Pyelonefritis .................................................................................. 10
C. Abses Perinefrik ........................................................................... 12
D. Abses Renal .................................................................................. 14
E. Nefrolitiasis .................................................................................. 19
F. Torsi Testikular............................................................................. 26
G. Abses Periuretra ............................................................................ 30
H. Fournier’s Gangrene ..................................................................... 32
I. Darurat Penile ............................................................................... 35
BAB III PENUTUP .................................................................................... 40
A. Kesimpulan ................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 42

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Definisi
Urologi adalah salah satu cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
penyakit/kelainan traktus urinarius lelaki dan perempuan, genitalia laki-
laki, dan kelenjar suprarenal. Traktus urogenitalia atau genitourinaria
terdiri dari organ genitalia dan urinaria. Keduanya dijadikan satu
kelompok sistem urogenitalia, karena mereka saling berdekatan, berasal
dari embriologi yang sama, dan menggunakan saluran yang sama sebagai
alat pembuangan, misalkan uretra pada pria (Purnomo, 2012).
Sistem urinarius dibagi menjadi traktus urinarius bagian atas dan bagian
bawah. Traktus urinarius bagian atas terdiri dari ginjal, pelvis renalis dan
ureter, sedangkan traktus urinarius bagian bawah terdiri dari vesika
urinaria dan uretra. Untuk sistem genitalia eksterna pada pria dan wanita
berbeda, pada pria terdiri dari penis, testis dan skrotum; sedangkan wanita
berupa vagina, uterus dan ovarium.

B. Epidemiologi
lnfeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu proses infeksi yang
paling sering dijumpai dan didiagnosis oleh dokter ahli kedaruratan.
Epidemiologi ISK bervariasi menurut jenis kelamin dan usia, terdapat
perkiraan bahwa wanita memiliki angka kejadian ISK pada sekitar 50 %
perjalanan hidupnya. Prevalensi ISK pada bayi yang mengalami demam
mencapai sekitar 5%, sedangkan pada populasi geriatrik, prevalensi
tersebut mendekati 20%.
ISK paling sering disebabkan oleh basil aerobik gram negatif, dengan
penyebab tersering adalah E. coli pada 80% kasus. Patogen tersering
kedua (10-20%) adalah Staphylococcus saprophyticus, suatu bakteri
Gram-positif yang bersifat koagulase-negatif. Proteus mirabilis,
Klebsiella, dan Enterokokus terdapat pada sisa <5% infeksi sisanya.

1
BAB II
ISI

A. Infeksi Saluran Urin


Gambaran Klinis
1. Tanda dan gejala infeksi saluran kemih yang klasik adalah disuria,
peningkatan frekuensi miksi, urgensi (tidak bisa menahan miksi),
hesitansi (rasa ingin miksi, tapi ternyata tidak bisa keluar), hematuria,
dan nyeri suprapublik.
2. ISK bagian atas (pielonefritis) biasanya datang dengan keluhan demam,
menggigil, nyeri punggung, mual, muntah, anoreksia, disertai dengan
nyeri tekan pada sudut kostovertebral (costoverfebral angle/CVA).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa hingga 50% wanita dengan
gejala ISK bagian bawah yang klasik mengalami gangguan ginjal yang
tanpa gejala.
3. Pada wanita, riwayat pengeluaran duh vagina harus selalu diketahui,dan
pemeriksaan panggul, jika diindikasikan, akan memungkinkan dokter
untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit peradangan panggul,
servisitis, atau vaginitis sebagai penyebab disuria.
4. Pria dengan disuria dan pengeluaran duh tubuh harus menjalani
pemeriksaan swab uretra, yang harus dikirim ke laboratorium untuk
pemeriksaan gonore dan kultur klamidia.

Diagnosis
1. Pilar utama diagnosis ISK adalah urinalisis (UA). Urinalisis dari
spesimen yang diperoleh secara benar, dari urin porsi tengah, dan tidak
terkontaminasi adalah sama akuratnya dengan spesimen yang diperoleh
dari kateter, kecuali pada pasien yang sangat lemah, pasien dengan usia
yang terlalu muda atau terlalu tua, atau dengan obesitas yang tidak
normal. Untuk pasien-pasien demikian, spesimen dari kateter mungkin
diperlukan.

2
2. Uji saring awal adalah tes celup urin (urine dipstick). Leukosit esterase
(LE) dan nitrit dapat ditemukan pada ISK.
a. Tes celup urin untuk LE dilaporkan memiliki sensitivitas 75-96%
dengan spesifisitas 94-98% dalam mendeteksi > 10 leukosit per
lapang pandang kecil.
b. Pemeriksaan nitrit rnendeteksi adanya bakteri yang memproduksi
nitrit reduktase dan bersifat sangat spesifik (92-100%) tetapi tidak
begitu sensitif (35-85%).
3. Penatalaksanaan empiris diperlukan pada pasien yang bergejala dengan
hasil pemeriksaan LE yang positif.
4. Jika hasil tes celup urin negatif, pemeriksaan mikroskopik urin tidak
perlu dilakukan.
5. Meskipun teknik pemeriksaan mikroskopik langsung kurang terstandar,
aturan yang saat ini diterima adalah bahwa keberadaan 8 leukosit atau
lebih per mL sediaan urin yang tidak disentrifugasi menandakan piuria.
a. Pada pasien dengan piuria tanpa bakteriuria, diagnosis uretritis
karena penularan seksual harus dipikirkan.
b. Hematuria mikroskopik lebih sering disebabkan oleh ISK dibanding
penyakit menular seksual (sexual transmitted disease/STD).
c. Pada pasien dengan pielonefritis, UA biasanya akan memperlihatkan
leukosit berbentuk silinder.
6. Sebagian besar kasus ISK tanpa komplikasi tidak memerlukan kultur
urin. Akan tetapi, terdapat beberapa faktor risiko penting untuk ISK
dengan komplikasi yang mewajibkan pelaksanaan kultur urin. Faktor
tersebut mencakup :
a. Semua anak, pria dewasa, dan lansia yang sangat lemah.
b. Pasien dengan gangguan fungsi imun (HIV, penggunaan steroid,
pasien yang menjalani transplantasi organ solid).
c. Wanita hamil.
d. Kegagalan pengobatan, ISK berulang, atau terapi dengan
antimikroba dalam waktu 2 minggu sebelumnya.
e. Pasien yang sedang atau baru saja dirawat di rumah sakit.

3
f. Pasien dengan pemasangan kateter dalam jangka panjang atau baru
saja terpasang alat lainnya.
g. Pielonefritis akut.
h. Pasien yang memiliki kelainan anatomi sistem urin atau obstruksi
saluran kemih.
i. Pasien dengan penyakit medis yang serius (diabetes melitus, anemia
sel sabit, kanker).
7. Pemeriksaan laboratorium tambahan seperti hitung darah lengkap,
elektrolit, kadar urea nitrogen darah dan kreatinin merupakan
pemeriksaan pilihan dan harus disesuaikan untuk setiap individu.
8. Kultur darah memiliki sedikit kegunaan.

Diagnosis Banding
1. Untuk ISK bagian bawah:
a. Uretritis
b. Servisitis
c. Penyakit peradangan panggul/ penyakit menular seksual
d. Vulvovaginitis
e. Prostatitis
f. Epididimitis
2. Untuk ISK bagian atas:
a. Semua hal yang disebutkan di atas
b. Nefrolitiasis
c. Abses ginjal
d. Apendisitis
e. Kolesistitis
f. Pneumonia lobus bawah
g. Divertikulitis

Keadaan Khusus
1. Pielonefritis

4
a. Gambaran klinisnya adalah gejala ISK bagian bawah yang klasik
(disuria, peningkatan frekuensi miksi dan lain-lain) dengan gejala
penyerta seperti nyeri punggung/CVA mual, muntah, dehidrasi atau
tampilan toksik.
b. Lakukan kultur urin pada semua kasus. Pemeriksaan hitung darah
lengkap merupakan pemeriksaan pilihan, dan kultur darah tidak
diindikasikan.
c. Berikan resusitasi awal dengan 1-2 L NaC1 O,9%.
d. Berikan antibiotik parenteral awal.
e. Berikan antiemetik untuk muntah dan analgesia untuk nyeri.
2. Kriteria perawatan
a. Ketidakmampuan menoleransi asupan per oral (mual/muntah
persisten).
b. Kehamilan
c. Tanda vital yang tidak stabil dan tampilan yang toksik.
d. Gangguan fungsi imun (diabetes, kanker, transplantasi, pasien AIDS,
penyakit sel sabit).
e. Adanya kelainan anatomi atau obstruksi pada saluran kemih yang
menjadi penyebab.
f. Usia yang terlalu muda atau terlalu tua.
g. Keadaan sosial yang buruk atau pemantauan yang tidak dapat
dipercaya.
1. Kehamilan
a. Bakteriuria tanpa gejala (asymptomatic bacteriuria/ASB)
didefinisikan sebagai kolonisasi persisten pada saluran kemih tanpa
gejala ISK.
b. ASB yang tidak ditangani menimbulkan peningkatan insiden
kelahiran prematur dan bayi dengan berat lahir yang rendah.
Perkembangan ASB menjadi pielonefritis menimbulkan angka
morbiditas dan mortalitas pada ibu dan bayi yang bermakna.
c. Sekitar 5-10% wanita hamil akan mengalami ASB.

5
d. ASB harus selalu ditangani dengan pemberian antibiotik oral selama
3-7 hari yang diikuti dengan kultur pada akhir pengobatan untuk
memastikan sterilisasi urin.
e. Hanya sedikit literatur membahas mengenai sistitis pada kehamilan
dan hubungannya dengan risiko kelahiran prematur, berat lahir yang
rendah, atau pielonefritis.
f. Untuk sistitis, diagnosa dapat ditegakkan dan hasil kultur urin.
Pengobatannya sama dengan pengobatan untuk ASB, tetapi harus
diperpanjang hingga 7-10 hari. Pasien harus menjalani pemeriksaan
kultur urin ulang setelah pengobatan untuk memastikan sterilisasi
urin.
g. Pielonefritis akut terjadi pada 1-2% dari semua kehamilan. Tanda
dan gejala klinis tidak bervariasi dari tanda dan gejala pada populasi
yang tidak hamil, tetapi akibat berbagai perubahan anatomis dan
fisiologis selama kehamilan, diagnosis banding yang harus
dipikirkan menjadi lebih banyak. Diagnosis banding tersebut
meliputi nyeri punggung yang normal dijumpai pada kehamilan,
penyakit kandung empedu, abses ginjal, nefrolitiasis, emboli paru
dan apendisitis.
h. Bila ginjal terkena, pasien memerlukan perawatan untuk menerima
antibiotik IV.
2. Pasien lansia
a. 20-50% wanita berusia lebih dan 65 tahun mengalami ASB. Insiden
ASB meningkat dengan pertambahan umur dan diduga timbul akibat
kombinasi berbagai faktor yang mencakup perubahan pada
pengosongaan kandung kemih, peningkatan inkontinensia (baik urin
maupun tinja), dan penurunan kadar estrogen.
b. Pasien lansia sering tidak mengalami tanda dan gejala yang biasanya
terjadi. Mereka dapat mengalami demam, tetapi hipotermia dan
eutermia juga tidak jarang ditemukan. Keluhan utama dapat berupa
perubahan status mental, mual dan muntah, perasaan lemah, pusing,
nyeri abdomen atau distres pernapasan.

6
c. Secara umum, ASB pada lansia tidak ditangani. Akan tetapi, pasien
lansia yang datang dengan gejala yang khas untuk ISK, dengan urin
berbau busuk, atau gejala baru inkontinensia urgensi perlu ditangani.
d. Pielonefritis akut biasanya datang sebagai sindrom septik dengan
demam, takikardia dan perubahan status mental.
e. Kesalahan diagnosis ISK pada pasien geriatrik mencapai sekitar 20-
40% akibat banyaknya kemungkinan gejala yang dapat timbul.
3. Pria
a. lnsiden bakteriuria pada pria dewasa tidak umum dijumpai, tetapi
meningkat pada usia 50 tahun dengan meningkatnya insiden
hipertrofi prostat. Pada usia 65 tahun, insiden ISK antara pria dan
wanita menjadi setara.
b. ISK pada populasi pria selalu dianggap memiliki komplikasi karena
penyebab penyakit tersebut biasanya adalah defek fungsional atau
struktural, yang menimbulkan pengosongan urin yang tidak
sempurna atau obstruksi.
c. Diagnosis ISK pada pria ditegakkan berdasarkan kultur urin.
Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan penyebab seperti
sistitis, prostatitis atau epididimitis.
d. Pada pria, nilai hitung koloni bakteri yang lebih rendah (103-104 unit
koloni/ml) dianggap positif.
e. Pengobatannya sama dengan pengobatan untuk wanita, tetapi
rnemilikí durasi selama 7-10 hari. Akan tetapi, nitrofurantoin tidak
dianjurkan karena obat tersebut tidak dapat mencapai kadar optimal
di jaringan prostat.
f. Keberadaan ISK pria sernua usia memerlukan pemantauan kemih-
kelamin.

Penatalaksanaan
1. Pilihan dan jangka waktu pengobatan ditentukan oleh beberapa faktor:
lokasi anatomi infeksi (ISK bawah atau atas), tingkat keparahan gejala,
dan pertimbangan khusus yang disebutkan sebelumnya.

7
2. Pemilihan antibiotik harus dituntun oleh pola resistensi setempat dan
pola resistensi terkini untuk patogen saluran kemih yang biasa menjadi
penyebab. Sebagai contoh, resistensi terhadap trimetoprim/
sulfometoksazol (TMP/SMX) telah terbukti mencapai 35% pada bagian
Pesisir Barat, sedangkan resistensi terhadap siprofloksasin dan
nitrofurantoin, masing-masing mencapai 1% dan 13%.
3. Orang dewasa
a. ISK akut tanpa komplikasi
1) TMP/SMX DS per oral dua kali sehari selama 3 hari
a) Hanya pada area dengan resistensi < 10 %.
b) Tidak memiliki riwayat perawatan di rumah sakit dalam
beberapa waktu terakhir.
c) Tidak mengalami ISK berulang dalam satu tahun terakhir.
d) Tidak baru saja menggunakan TMP/SMX dalam waktu 6 bulan
sebelumnya.
2) Siprofloksasin 250 mg per oral dua kali sehari selama 3 hari
3) Levofloksasin 250 mg per oral 4 kali sehari selama 3 hari
4) Amoksisilin klavulanat 875 mg per oral dua kali sehari selama 3
hari.
5) Sefalosporin apa saja selama 3 hari
6) Fluorokuinolon lain selama 3 hari
7) Nitrofurantoin 100 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari
(perhatian khusus pada pasien dengan defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase).
8) Fosfomisin dengan dosis tunggal 3 gram
9) Tangani disuria dengan fenazopiridin 100-200 mg per oral tiga
kali sehari selama 2 hari. Peringatkan pasien akan adanya
perubahan warna urin dan lensa kontak menjadi jingga.
b. ISK akut dengan komplikasi
1) Siprofloksasin (atau fluorokuinolon lain) selama 7 hari
c. Pielonefiritis akut tanpa komplikasi (pasien rawat jalan)

8
1) Siprofloksasin 500 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari (lebih
dianjurkan).
2) Levofloksasin 500 mg per oral dua kali sehari selama 7 hari.
3) Fluorokuinolon lain selama 7 hari.
d. Pielonefritis akut tanpa komplikasi (pasien rawat-inap)
1) Semua pengobatan selama 14 hari. Obati dengan antibiotik 1V
sampai pasien tidak mengalami demam selama 24-48 jam, dan
kemudian diganti dengan obat-obatan oral untuk sisa waktu
pengobatan.
a) Siprofloksasin 400 mg 1V dua kali sehari
b) Levofloksasin 250 mg IV empat kali sehari
c) Seftriakson 1-2 g IV empat kali sehari
d) Sefotaksim 1-2 g IV setiap 4-12 jam
e) Ampisilin 150-200 mg/kg/hari IV yang dibagi setiap 4 jam +
gentamisin 5-7 mg/kg empat kali sehari.
f) Pipersilin/tazobaktam 3,375 gram 1V setiap 6 jam
e. Pielonefritis, urosepsis dan pemasangan kateter dengan komplikasi.
1) Lama pengobatan 14 hari
a) Siprofloksasin 400 mg IV setiap 8 jam + gentamisin 5-7 mg/kg
empat kali sehari.
b) Ampisilin 150-200 mg/kg/hari IV yang dibagi setiap 4 jam +
gentamisin 5-7 mg/kg empat kali sehari.
c) Pipersilin/tazobaktam 3,375 gram IV setiap 6 jam.
d) Tikarsilin/asam klavulanat 3,1 gram IV setiap 6 jam.
e) Imipenim 0,5 gram IV setiap 6 jam.
4. Kehamilan
a. Sistitis/ISK bagian bawah: (3-7 hari)
1) Amoksisilin
2) Sefaleksin
3) Nitrofurantoin (peningkatan risiko anemia hemolitik pada pasien
dengan defisiensi glukosa-6-fosfat dehidrogenase).

9
4) TMP/SMX (hanya di area dengan resistensi yang rendah,
dikontraindikasikan pada trimester pertama dan ketiga).
b. Pielonefritis: (10-14 hari)
1) Ampisilin + gentamisin
2) Sefalosporin (setazolin)
3) Aztreonam
4) TMP/SMX (dikontraindikasikan pada trimester pertama dan
ketiga).

B. Pyelonefritis Emfisematosa
1. Pielonefritis emfisematosa (Emphysematous pyelonephritis/EPN)
merupakan suatu infeksi nekrotikans akut pada perirenal dan
parenkimal yang langka dan disebabkan oleh uropatogen pembentuk-
gas yang bernama E. coli, K. pneumonia dan Proteus spp.
2. Keadaan tersebut umumnya mengenai pasien diabetes dengan kadar
glukosa ringan yang tinggi, yang menyediakan substrat bagi
mikroorganisme pembentuk karbon dioksida.
3. EPN lebih sering mengenai wanita dihanding pria (6:1), yang mungkin
disebabkan kerentanan wanita mengalami ISK, dan semua kasus EPN
yang tercatat dialami oleh orang dewasa.
4. Ginjal kiri lebih sering terkena dibanding ginjal kanan, mungkin
disebabkan kecenderungan obstruksi saluran kemih pada sisi kiri.

Gambaran Klinis
1. Sebagian besar manifestasi klinis EPN adalah demam, nyeri punggung,
dan piuria, suatu gambaran klinis yang tidak berbeda secara bermakna
dari gambaran klinis klasik dan ISK bagian atas.
2. Trombositopenia, gangguan akut fungsi ginjal, perubahan kesadaran,
dan syok dapat menjadi manifestasi klinis awal.
3. Angka mortalitas secara keseluruhan dilaporkan mencapai sekitar 40%,
dan keterlambatan dalam penegakan diagnosis dan pengobatan ikut

10
memberikan kontribusi dalam tingginya angka morbiditas dan
mortalitas.

Prediktor Prognosis
1. Faktor yang telah dinyatakan dapat dipercaya dalam menentukan
prognosis pada EPN adalah kadar kreatinin serum.
2. Berdasarkan suatu penelitian, pasien dengan kadar kreatinin serum >1,4
mg/dl memiliki peningkatan kemungkinan kematian pasca pemeriksaan
menjadi 62-92%.
3. Hitung trombosit 60.000/mm atau kurang juga mengindikasikan
peningkatan risiko kematian.
4. Selain itu, perubahan kesadaran dan syok biasanya dihubungkan dengan
kematian dan prognosis yang buruk berdasarkan buruknya prognosis
disfungsi SSP kardiovaskular.

Diagnosis
1. Diagnosis EPN biasanya dibuat dengan bukti adanya gas pada jaringan
ginjal atau jaringan perinefrik pada hasil foto polos abdomen atau pada
gambaran ultrasonografi ginjal.
2. Jika ditemukan, pengumpulan gas yang berbentuk seperti bulan sabit
pada kutub atas ginjal akan terlihat lebih mencolok dibanding bayangan
gas yang bebercak, yang sering disalah-artikan sebagai gas dalam usus.
3. Seiring dengan berkembangnya infeksi, gas meluas ke dalam ruang
perinefrik dan retroperitoneum. Akan tetapi, pada beberapa penelitian
gas hanya dapat dilihat pada sepertiga hasil foto polos abdomen.
4. Ultrasonografi biasanya memperlihatkan ekofokal yang mencolok, yang
mengisyaratkaan keberadaan gas dalam parenkim ginjal; namun, sekali
lagi, gas yang mengisi area yang nekrotik dapat sulit dibedakan dari gas
daalam usus. Pemeriksaan IVP jarang memiliki kegunaan karena ginjal
yang terkena biasanya tidak berfungsi atau mempunyai fungsi yang
buruk.
5. Obstruksi ditemukan pada sekitar 25% kasus EPN.

11
6. Pemindaian CT merupakan cara terbaik untuk menentukan lokasi gas
dan perluasan infeksi.
a. Keberadaan gas yang berbentuk garis atau bercak dengan atau tanpa
gelembung atau kumpulan gas tampaknya berhubungan dengan
kerusakan cepat pada parenkim ginjal dan angka kematian sekitar
50-60%.
b. Pola gas yang ditandai dengan adanya gelembung atau kumpulan gas
dan ketiadaan gas yang berbentuk garis atau bercak dihubungkan
dengan prognosis yang lebih baik.
7. Pemindaian CT ginjal harus dilakukan untuk menilai derajat gangguan
pada ginjal yang terkena dan keadaan ginjal kontralateral.

Penanganan
1. Pasien perlu segera diberikan antimikroba yang sesuai dan
penatalaksanaan diabetes harus dimulai.
2. Obstruksi ginjal yang terkena, bila ada, harus dihilangkan, dan fungsi
ginjal kontralateral harus ditentukan karena terdapat laporan kasus yang
mengenai kedua ginjal.
3. Pada waktu yang sama, intervensi bedah menimbulkan risiko yang
bermakna pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik yang
timbul akibat infeksi yang fulminan dan bukan merupakan pilihan yang
sesuai pada kasus yang mengenai kedua ginjal.
4. Penelitian terdahulu telah menekankan bahwa penanganan bedah harus
berupa ekstirpasi komplet. Pada penelitian yang lebih terkini, drainase
perkutan yang di pandu oleh CT terbukti berhasil dalam menangani
penumpukan cairan dan udara multilokular yang ekstensif dan tidak
berbatas tegas pada pasien EPN yang tidak mengenai 80% nefron.

C. Abses perinefrik
1. Merupakan suatu proses yang mengancam nyawa tetapi dapat diobati,
yang terdiri atas material supuratif yang menempati ruang antara simpai
ginjal dan fasia yang mengitarinya.

12
2. Sebagian besar abses perinefrik timbul akibat ruptur abses intrarenal ke
dalam ruang parirenal, dan sebagian besar disebabkan oleh E.coli,
Proteus species dan S. Aureus.
3. Sumber lain mencakup penyebaran dari infeksi ditempat lain, yang
meliputi hat, kandung empedu, pankreas, prostat dan saluran reproduksi
wanita.
4. Sejumlah besar kematian yang terkait absent perinefrik merupakan
akibat kegagalan untuk mendiagnosis keadaan tersebut pada waktunya.
Kegagalan tersebut dapat timbul akibat gambaran klinis yang tidak
spesifik pada saat pasien datang.

Gambaran Klinis
1. Gejala abses perinefrik berupa demam, nyeri punggung, menggigil,
mual, muntah dan disuria dapat timbul secara perlahan sehingga
mempersulit pengenalan penyakit di saat awal.
2. Nilai hitung leukosit perifer biasanya meningkat dengan pergeseran ke
kiri.
3. Hasil urinalisis dapat normal hingga pada seperti kasus, dan kultur
darah serta kultur urin dapat gagal mengidentifikasi secara tepat bakteri
patogen yang menimbulkan abses tersebut.
4. Penyebaran abses perinefrik ke tempat yang jauh dapat menyebabkan
timbulnya berbagai proses empiema dan perforasi kolon. Meskipun
penyebaran tersebut jarang terjadi, penyebaran langsung ke otot
punggung atau poas sering terjadi, yang bahkan dapat meluas dan
bermuara sebagai abses punggung.

Diagnosis
1. Abses perinefrik harus menjadi diagnosis banding pada pasien yang
datang dengan keluhan demam tanpa sebab yang jelas dan dengan
peritonitis, abses panggul atau empiema yang tidak dapat dijelaskan.
2. Selain itu, abses harus dipikirkan sebagai diagnosis banding setiap
pasien yang datang dengan ISK yang gagal berespons secara cepat

13
terhadap terapi antibiotik, terutama pada mereka yang diketahui
mengalami kelainan anatomis saluran kemih atau diabetes melitus.
3. Pemeriksaan foto rontgen dada dan abdomen dapat memperlihatkan
berbagai temuan, termasuk kelainan yang tersamar, temuan yang tidak
spesipik atau tidak ada sama sekali.
4. Namun, ultrasonografi akan memperlihatkan suatu masa, dengan
dinding yang sering menebal dan tidak rata dengan eko internal yang
heteroge. Akan tetapi pada suatu penelitian yang membandingkan
dengan CT, pemeriksaan ultrasonografi memberikan hasil negatif palsu
pada 36% kasus. Jad, pemindaian CT merupakan pemeriksaan
diagnostik pilihan karena pemeriksaan tersebut dapat mengidentifikasi
abses dan menentukan keterlibatan struktur yang berada disekitar atau
yang berjauahn dengan abses.

Penatalaksanaan
1. Abses perinefrik menimbulkan angka kematian besar 50% meskipun
deteksi awal oleh pemindaian CT, drainasi perkutan segera, dan terapi
antimikrobial yang efektif telah menurunkan kematian.
2. Tidak seperti abses intrarenal, terapi antibiotik saja tidak cukup dalam
menangani abses perinefrik.
3. Drainase perkutan dengan panduan CT atau ultrasonografi dengan
terapi tambahan antibiotik dianjurkan sebagai penatalaksanaan pilihan.
4. Jika drainase perkutan menemuai kegagalan atau dikontraindikasikan,
dilakukan drainasse melalui pembedahan.
5. Terapi antimikrobial empiris harus diarahkan terutama terhadap
uropatogen garam negatif dan s. Aureus yang umum dijumpai.

D. Abses Renal
1. Abses intrarenal diklasifikasikan menjadi abses korteks ginjal dan abses
kortikomedular ginjal.
2. Pengobatan abses renal masih diperdebatkan, mungkin karena
kegagalan sejumlah penelitian terkini untuk membedakan abses korteks

14
ginjal dan abses kortikomedular ginjal yang berbeda dalam hal
patogenesis, prognosis dan penatalaksaannya.
3. Seperti pada abses perirenal, pasien dengan abses intrarenal dapat
datang tiba-tiba ke Unit Gawat Darurat dengan keluhan demam, nyeri
punggung, mual dan muntah, yang menyerupai gejala pioleneferesis,
akan tetapi angka kematian akibat abses intrarenal berkolerasi positif
dengan waktu diagnosis.

Abses Korteks Ginjal (Karbunkel Ginjal) - Abses Kortikomedular


Ginjal
Patogenesis
1. Kebunkel ginjal akibat penyebaran hetogenesis bakteri dan fokus
infeksi primer ditempat lain di tubuh, biasanya lesi kulit seperti
kerbunkel di kulit, furunkel, paronikia,selulitis, osteomielitias dan
infeksi endovsakular.
2. Penyebab tersering adalah infeksi s.aureus, dengan faktor predisposisi
berupa kondisi yang meningkatkan risiko bakterimia akibat stafilokokus
seperti diabetes melitus dan penggunaan obat intravena.
3. Sebagian karbunkel tmbul secara unilateral dengan lesi tungga yang
terbentuk di ginjal kanan. Hanya 10% dari lesi tersebut yang akhirnya
mengalami ruptur melalui simpai ginjal dan membentuk abses
perinefrik.
4. Sebaliknya, infeksi kortikomedular ginjal terjadi paling sering sebagai
komplikasi ISK yang menjalar naik baik dengan atau tanpa kelainan
penyerta saluran kemih, yang mencakup sebagian besar gangguan
obstruktif seperti jaringan perut akibat batu ginjal atau infeksi
sebelumnya, atau kelainan genitouriania akibat diabetes melitus.
5. Basil enterik aerob Gram-negatif, yang meliputi spesies Escheria coli,
sering menyebabkan infeksi kortikomedular ginjal.
6. Perbedaan lain antara abses korteks ginjal dan abses kortikomedular
ginjal adalah bahwa infeksi kortikomedular akibat infeksi gram negatif
sering meneybabkaan sering infeksi parenkim yang parah dan dapat

15
meluas ke atau menimbulkan perforasi ginjal simpai ginjal sehingga
lebih sering membentuk abses perinefrik.

Gambaran Klinis
1. Tidak seperti abses intrarenal lain, kerbunkel ginjal tiga kali lebih
sering dialami pria dibanding wanita.
2. Karbunkel tersebut paling sering dialami antara dekade kedua dan
keempat pada pasien yang datang dengan menggigil, demam, nyeri
punggung, atau perut dan beberapa tanda lokal.
3. Meskipun 95% pasien datang dengan peningkatan nilai hitung leukosit,
sebagian pasien tidak mengalami bakteriurea atau disurea karena pasien
hanya terbatas di korteks dan umumnya tidak mempunyai jalan keluar.
4. Akibatnya, hasil urinalisis biasanya normal. Demikian juga kultur darah
biasanya memberikan hasil negatif.
5. Meskipun disuria tidak selalu timbul pada pasien infeksi
kortikomedular ginjal, mereka dapat memiliki riwayat ISK berulang,
batu ginal atau riwayat pemasangan alat genitourinaria sebelumnya.
6. Sekali lagi, leukositosis biasanya ditemukan, tetapi hasil urinalisis
sering abnormal pada abses kortikomedular ginjal (70% dari kasus)
dengan bakteriurea, piuria, proteinurea, atau hematuria akibat drainase
ke dalam sistem pengumpul.

Diagnosis
1. Gambaran klinis yang tidak spesifik berupa demam, menggigil dan
nyeri punggung dapat ditemukan dengan berbagai proses di ginjal.
2. Abses korteks ginjal dapat menyerupai tumor ginjal kristal ginjal, abses
kortikomedula ginjal, dan abses perirenal. Selain itu, abses korteks
ginjal sulit dibedakan dari abses medular ginjal.
3. Ultrasonografi berguna dalam mendiagnosis abses kortikal karena
pemeriksaan tersebut memberikan informasi mengenai morfologi ginjal
dan menandai suatu lesi intrarenal sebagai lesi kistik, tumor, atau
supuratif.

16
a. Selain itu, ultrasonografi dapat memberikan informasi mengenai
kebadaan uropati obstruktif, proses retroperitoneal atau
intraabdominal, dan komplikasi supuratif di ginjal.
b. Meskipun pemeriksaan ultrasonografi di UGD sering dugunakan
untuk mendiagnosis pasien dengan abses intrarenal, tidak terdapat
studi terkini yang mengemukakan sensitifitas dan spesipitas
kegunaannya di UGD.
4. Sampai saat ini, pemindaian dengan CT memberikan informasi banyak
mengenai anatomi organ dan mampu mendeteksi abses yang berukuran
< 2 cm.
a. Khususnya pada keadaan ketika ultrasonografi memberikan hasil
yang negtif dan meragukan, pemindaian CT dapat bermanfaat dalam
menegakkan diagnosis definitif.
b. Pada CT, kebanyak abses terlihat sebagai massa berdensitas rendah
dengan penguatan vaskular di dindingnya, gas di dalamnya masa
berdensitas rendh dan berifat patognomonik untuk suatu abses.

Faktor Prognostik
1. Bambeger et al menunjukan bahwa faktor prognostik yang buruk adalah
abses dengan diameter lebih dari 5 cm, keterlibatan lebih dari suatu
organisme, keberadaan basil gram negatif , lama terapi kurang dari 4
minggu dan penggunaan aminoglikosida sebagai satu satunya
antibiotik.
2. Faktor yang menimbulkan tidak bereaksi terhadap terapi tunggal
antibiotik mencakup abses yang besar, obstruksi renal usia lanjut dan
urosepsis.

Penatalaksanaan
1. Tidak seperti EPN, terapi lini pertama abses ginjal adalah dengan obat.
2. Pada penelitian berskala besar, terdapat banyak bukti bahwa
keberhasilan penggunaan obat abses ginjal dengan antibiotik saja dapat
mencapai 86%. Karena S.aureus biasanya menjadi penyebab karbunkel

17
ginjal, organisme tersebut merespon terhadap antibiotik
antistreptokokus, dan intervensi bedah tidak diperlukan.
3. Jika urinalisis tidak memperlihatkan adanya bakteri atau kokus gram-
positif, oksasilin atau nafsilin 1-2 gram setiap 4-6 jam menjadi
pengobatan pilihan.
a. Untuk pasien yang alergi engan penisilin sefalosforin generasi
pertama dapat mengatasi organisme gram positif secara memadai.
b. Antibiotik parenteral harus dilanjutkan selama 10 hari hingga 2
minggu dan dilanjutkan dengan obat-obatan antistapilokokus oral
selama 2-4 minggu.
c. Proses pemulihan meliputi pengurangan demam setelah pemberian
antibiotik IV 5-6 hari dan pereda nyeri punggung dalam waktu < 24
jam.
4. Untuk abses kortikomedular ginjal, terapi dengan obat memberikan
hassil yang baik pada sebagian besar kasus akan tetapi terapi tunggal
antibiotik biasanya memberikan hasil yang baik pada bases ginjal yang
lebih kecil dibanding dengan abses yang berukuran lebih besar yang
berdiameter > 5 cm.
a. Pada sebagian kasus, untuk lesi yang terbatas di parenkim ginjal,
terapi percobaan secara intensif dengan antibiotik yang sesuai harus
dicoba sebelum mempertimbangkan drainase bedah.
b. Terapi dengan antimikrobial harus menargetkan organisme bakteri
yang enjadi penyebab tersering, yang meliputi spesies E. Coli,
Klebsiella dan Proteus.
c. Monoterapi dapat diberikan dengan penisilin berspektrum luas dan
sefalosporin atau siproploksasin berspektrum luas terapi kombinasi
terbuktu lebih efektif daripada monoterapi.
5. Pertimbangan yang dapat digunakan dokter gawat darurat dalam
menentukan apakah intervensi bedah diperlukan mencakup kegagalan
dengan terapi antibiotik, abses besar dengan diameter > 5 cm, abses
multifokal, uropati obstruktif, usia lanjut keadaan pasien yang
memburuk, dan pasien ddengan gangguan fungsi imun.

18
6. Drainase abses perkutan yang dikombinasi dengan antibiotik parenteral
dosis lengkap telah terbukti sukses dan mengobati pasien yang
memerlukan drainase bahkan memberrikan beberapa kelebihan berupa
minimalisasi proses invasi, melindungi nefron dan menurunkan angka
kesakitan.
7. Bila perlu dilakukan drainase secara terbuka, insisi dan drainase, bukan
nefrektomi total, adalah cara yang dianjurkan jika keadaan
memungkinkan.
8. Nefrektomi dicadangkan untuk pasien lansia pasien sepsis dengan
kerusakan parenkim ginjal difus yang memerlukan intervensi beddah
untuk bertahan hidup.

E. Nefrolitiasis
1. Penyakit batu pada sistem urologi merupakan salah satu penyakit
saluran kemih tersering, dan salah satu penyakit yang paling sering
dijumpai di UGD.
2. Sekitar 2-5% populasi akan mengalami batu ginjal selama perjalanan
hidup mereka.
3. Beberapa faktor berkorelasi dengan peningkatan insiden pemberntukan
batu; pria lebih sering mengalaminya dibanding wanita (rasio 3:1), usia
antara 20-50 tahun, gaya hidup yang terlalu santai, cuaca yang hangat
(insiden puncak selama 3 bulan terpanas) dan penduduk di bagian
tenggara Amerika Serikat.
4. Selain itu, terdapat peningkatan predisposisi genetik dalam keluarga.
5. Nefrolitiasis merupakan suatu penyakit berulang untuk sebagian besar
orang, 37% kambuh dalam waktu 1 tahun, 50% dalam waktu 5 tahun,
dan 70 % dalam waktu 9 tahun.
TABEL 6.1 Tipe batu ginjal
Tipe Komposisi Insiden Faktor Resiko
Batu
Kalsium Kalsium oksalat 75% Hiperkalsiuria (akibat
atau kalsium fosfat peningkatan asupan antasida,susu

19
dan vitamin C,A,D, penyakit
tulang,imobilisasi,penyakit ulkus
peptikum
Hiperparatiroidisme
Hiperoksaluria (akibat penyakit
usus halus, pembedahan pintas
jejunoileal)
Riwayat keluarga
Dehidrasi
Diet asupan makanan yangkaya
akan oksalat seperti kopi,
minuman cola, bir, buah lemon,
bayam, vitamin c berdosis tinggi.
Struvit Magnesium 15% Infeksi ginjal kronik
amonium fosfat ISK dengan bakteri pemecah
urea (Proteus, Klebsiella,
Pseudomonas spesies)
Urin yang alkali (pH 7,6 ) dalam
waktu lama
Komposisi yang biasa ditemukan
dalam batu “tanduk rusa
(staghom)’
Asam Asam urat 10% Peningkatan ekskresi asam urat
urat lewat urin (Ph urin menjadi
asam) akibat diet yang kaya akan
purin seperti daging, kacang-
kacangan kering, ikan
Sistin Sistin 1% Disebabkan oleh kelainan
herediter yang langka sistinuria.

1. Terdapat empat tipe dasar batu ginjal (Tabel 6.1):


a. Kalsium

20
b. Struvit
c. Asam urat
d. Sistin
2. Pengambilan dan kemudian analisis batu perlu dilakukan untuk
menentukan kemungkinan penyebab pembentukan batu dan menuntun
penatalaksanaan selanjutnya.

Gambaran Klinis
1. Gambaran klasik berupa kolik ginjal merupakan suatu riwayat onset
nyeri punggung yang timbul mendadak, hebat dan semakin bertambah
(crescendo); nyeri ini akhirnya menjalar ke bagian bawah abdomen dan
testis atau labia ipsilateral begitu batu menuruni ureter.
a. Pasien sering ditemukan menggeliat di tempat tidur dan tidak dapat
menemukan posisi yang nyaman.
b. Hal tersebut sangat berbeda pada pasien dengan peritonitis yang akan
berbaring dengan tenang untuk menghindari gerakan.
c. Nyeri tersebut bersifat kolik, berfluktuasi tetapi jarang menghilang.
d. Mual dan muntah hampir selalu ditermukan, dan distensi abdomen
dengan ileus tidak jarang dijumpai.
e. Riwayat demam atau menggigil mengisyaratkan adanya infeksi dan
harus ditelusuri secara agresif.
f. Sekitar sepertiga pasien akan memberikan riwayat hematuria makro.

Diagnosis
1. Pemeriksaan laboratorium terpenting yang harus dilakukan pada
keadaan klinis tersebut adalah urinalisis.
2. Hematuria hampir selalu ditemukan, meskipun tidak terdapat korelasi
antara derajat hematuria dan luas obstruksi ureter. Bahkan, sekitar 20%
pasien yang memiliki gambaran ureterolitiasis pada IVP tidak
mengalami hematuria mikroskopik.
3. Piuria dapat ditemukan tanpa adanya infeksi dan mungkin merupakan
akibat dari peradangan ureter. Akan tetapi, temuan bakteriuria

21
mengimplikasikan ISK dan menggigil dan pasti memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut, terutarna jika terdapat demam dan menggigil.
4. Kultur urin harus dilakukan bila terdapat kecurigaan akan infeksi. Nilai
hitung leukosit > 15.000 mengisyaratkan adanya infeksi sebagai
penyebab, sedangkan leukositosis ringan tanpa disertai demam biasanya
menggambarkan demarginasi.
5. Beberapa penulis juga menganjurkan untuk melakukan pemeriksaan
kadar asam urat serum, karena kadarnya akan meningkat pada 50%
pasien dengan batu asam urat, dan kadar kalsium serum sebagai uji
saring hiperparatiroidisme dan gangguan metabolisme kalsium lainnya.
6. Pemeriksaan laboratorium penting lainnya mencakup hitung darah
lengkap, elektrolit, urea nitrogen darah dan kreatinin serum.

Pemeriksaan Radiografi
1. IVP memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, dan menegakkan
diagnosis penyakit batu ginjal pada 96% kasus.
2. Meskipun foto abdomen bidang datar (ginjal, ureter dan kandung
kemih) merupakan pemeriksa an standar radiografi sebelum IVP, foto
ginjal, ureter dan kandung kemih yang berdiri sendiri bukan merupakan
pemeriksaan yang dapat dipercaya untuk mendiagnosis penyakit batu
ginjal.
3. Kontraindikasi terhadap medium radiokontras adalah alergi terhadap zat
pewarna kontras dan insufisiensi ginjal.
4. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan pada pasien yang tidak dapat
menoleransi IVP adalah CT heliks, ultrasonografi dan pemindaian
ginjal.

Diagnosis Banding
1. Hal yang utama adalah tidak melupakan kondisi yang mengancam
nyawa, seperti rupture aneurisma aorta abdominalis.
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat sering kali dapat
memperjelas patologi penyebab.

22
Penanganan
1. Pilar utama penatalaksanaan untuk ureterolitiasis adalah hidrasi IV,
analgesia dan antiemetik bila diperlukan.
2. Hidrasi dapat dimulai dengan pemberian infus kristaloid IV berupa 1 L
NaCl 0,9% selama 30-60 menit, kemudian 200-500 ml/jam.
TABEL 6.2. Diagnosis banding untuk kolik ginjal
Aneurisma Dapat memiliki gambaran klinis Pemindaian CT
Aorta yang serupa, dengan hematuria dengan kontras atau
Abdominalis makroskopik atau mikroskopik. angiogram, jika
(mengalami Lebih mungkin dialami pria yang keadaan pasien
diseksi atau berusia lebih tua. stabil.
ruptur) Dapat datang dengan hipotensi.
Lakukan palpasi untuk mencari
massa abdomen yang berdenyut
dengan nyeri tekanan fokal.
Dengarkan adanya bising (bruit).
Palpasi nadi ekstreminitas yang
berjauhan.
Plelonefritis Nyeri punggung ringan hingga IVP (atau
Akut hebat, meskipun biasanya tidak Pemeriksaan
seakut kolik ginjal. pencitraan radiologis
Gejala prodromal lebih lama timbul, lainnya) jika
disertai demam. obstruksi bertahan.
Urinalisis memperhatikan piuria dan
bakteriuria.
INGAT: obstruksi renal dengan
pielonefritis merupakan suatu
kedaruratan uralogis yang
memerlukan konsultasi segera.
Nekrosis Akibat papil ureter bagian bawah IVP-dapat memperli
Papilar yang terkelupas. hatkan papila bakteri

23
Dijumpai pada pasien dengan yang terkelupas
penyakit sel sabit, diabetes, sebagai bayangan
penyalahgunaan NSAID, atau lusen di dalam pelvis
riwayat ISK akut atau kronik. ginjal tetapi juga
UA dapat memperlihatkan hematuria dapat menyerupai
dan piruria. gambaran batu.
Memerlukan konsultasi urologis
dengan kemungkinan rawat inap.
Infark Ginjal
1. Ermboli a. Datang dengan keluhan nyeri IVP memperlihatkan
Renalis punggung akut dan hematuria. nihilnya fungsi
Merupakan gangguan vaskular ginjal Ginjal.
tersering.
Kebanyakan berasal dari jantung
fibrilasi atrium, endokarditis
bakterial akut, trombus mural.
2. Aneurisma Juga datang dengan nyeri punggung Angiografi darurat
a. renalis akut dan hematuria. diindikasikan.
Biasanya kecil dan tidak bermakna
secara klinis.
Diseksi atau ruptur jarang terjadi
tetapi akan menimbulkan syok.
3. Trombosis Nyeri punggung akut dengan IVP menunjukan
vena hematuria dan proteinuria. penurunan fungsi
renalis Faktor predisposisinya adalah ginjal dan
sindrom nefrotik, keganasan, dan peningkatkan ukuran
kehamilan. ginjal.
Konsultasi urologis darurat
diperlukan pada semua kasus infark
ginjal.
Kehamilan Nyeri abdomen unilateral. Uji kehamilan
Ektopik Riwayat amenorea, pendarahan diperlukan pada

24
abnormal vagina. semua wanita usia
Dapat datang dengan syok. subur.
Apendisitis Gambaran klinis unilateral. Pemeriksaan
Gejala prodromal subakut. laboratorium dan
Nyeri tekan abdomenm dengan pemeriksaan fisik;
perubahan posisi untuk menjaga jika diagnosis masih
kuadran kanan bawah perut dari diragukan
rangsangan atau nyeri lepas. pemindaian CT
dengan kontras oral.
3. Pasien yang datang dengan kolik ginjal mengalami nyeri yang hebat
dan sering memerlukan analgesik narkotik dalam jumlah yang
bermakna (morfin sulfat atau meperidin dengan dosis yang dihitung
menurut umur dan berat badan).
4. NSAID terutama ketorolak, sering digunakan bersamaan dengan
narkotik karena NSAID tersebut diduga mengurangi nyeri dengan
menghilangkan ureterospasme dan tekanan simpai ginjal.
5. Obat-obatan anti nyeri harus diberikan dengan segera sambil
menunggu hasil tes selanjutnya.
6. Sebagian besar pasien yang tidak memiliki komplikasi dengan nyeri
yang dapat dikontrol dan masih bisa minum dapat pulang tanpa harus
mendapatkan pemantauan dan berbagai instruksi yang cermat.
7. Semua pasien harus diberikan penyaring urin dan diinstruksikan untuk
menyaring semua urin selama 72 jam setelah nyeri menghilang.
8. Pasien perlu diinstruksikan untuk kembali ke UGD dengan segera jika
mengalami demam atau menggigil, mual dan muntah persisten, atau
luka yang tidak tertahankan yang tidak mereda dengan obat narkotik
oral yang diresepkan.
9. Pemantauan urologis harus dilakukan dalam waktu 1-2 minggu.
10. Terdapat sejumlah keadaan yang mengindikasikan perawatan:
a. Obstruksi akut yang disertai infeksi.Temuan berupa demam, piuria,
atau bakiuria pada seorang pasien dengan kolik ginjal memerlukan
evaluasi lebih lanjut dan perawatan. Kultur darah dan urin harus

25
dilakukan dan pemberian antibiotik intravena, yang mengatasi
patogen urinaria yang umum ditemukan, harus segera dimulai
ketika pasien berada di UGD. Konsultasi dengan dokter ahli
urologi diperlukan.
b. Ginjal tunggal dengan obstruksi komplet. Pasien yang hanya
memiliki satu ginjal nyata menjadi individu yang tidak berginjal
dengan adanya obstruksi komplet dan memerlukan drainase
pembedahan.
c. Nyeri yang tidak terkendali. Pasien dengan nyeri yang hanya dapat
dikontrol dengan analgesia intravena memerlukan perawatan.
d. Emesis yang membandel. Pasien yang tidak mampu menoleransi
asupan cairan per oral harus diverifikasi untuk mendapatkan
hidrasi IV.
11. Skenario lainnya, yang mungkin perlu atau tidak memerlukan
perawatan di rumah sakit, tetapi harus didiskusikan dengan ahli urologi
adalah pasien dengan insufisiensi ginjal, ekstravasasi yang terlihat dari
IVP, batu berukuran besar dan obstruksi dengan derajat yang tinggi.

F. Torsi Testikular
1. Nyeri skrotum akut merupakan keluhan urologis tersering dan
diagnosa bandingnya adalah antara torsio testis dan penyebab nyeri
lain.
2. Meskipun epididimitis, orkitis, torsio apendiks testis, hidrokel dan
hernia merupakan keadaan yang sering ditemui oleh dokter gawat
darurat, dan merupakan suatu kedaruratan bagi pasien yang datang
dengan keluhan tersebut, torsio testis lah yang merupakan kedaruratan
urologi sebenarnya.

Epidemiologi / Patofisiologi
1. Torsio testis mempunyai grafik angka kejadian yang rata pada setiap
umur dengan penambahan dua puncak yang bermakna pada usia
kanak-kanak dan remaja.

26
2. Grafik yang merata ini terjadi karena adanya suatu deformitas yang
disebut sebagai deformitas lonceng (bellclapper’s deformity) pada
sekelompok populasi tertentu.
3. Kurang kuatnya sistem pelekatan fisik testis ini menyebabkan individu
dalam kelompok ini mempunyai risiko yang unik terhadap
penyakit dan menjadi penyebab terjadinya torsio di semua kelompok
usia.
4. Pada suatu penelitian serial, diperoleh hingga 40% orang yang
mengalam torsio mempunyai kelainan tersebut.
5. Kedua puncak dari grafik ini terjadi pada saat proses maturasi ketika
testis berkembang lebih cepat dibanding struktur pelekatannya
(tethering gubernaculum).
6. Akibatnya, testis dapat berotasi pada sumbunya dan memuntir
suplai darahnya.
7. Ketika torsio terjadi, suplai darah vena mengalami obstruksi dan
menimbulkan edema dan pendarahan. Hal tersebut selanjutnya
menimbulkan oklusi suplai darah arteri ke gonad.
8. Meskipun dilaporkan pada semua kelompok usia dari neonatus hingga
lansia, insiden puncaknya terjadi pada individu berusia antara 12 dan
18 tahun, dengan insiden 1 dari 4000 pada mereka yang berusia di
bawah 25 tahun.

Diagnosis
1. Evaluasi awal pasien dengan nyeri atau pembengkakan skrotum akut
harus berfokus pada penyingkiran kemungkinan torsio testis.
2. Riwayat nyeri dengan onset akut, tidak ada disuria, mengisyaratkan
torsio dibanding keadaan serupa seperti epididimitis atau orkitis.
3. Nyeri torsio biasanya digambarkan dengan onset yang sangat
mendadak dan tidak terkait dengan massa yang mempunyai ciri khas
tertentu seperti yang dapat dilihat pada hernia inguinal.
4. Tidak seperti torsio apendiks testis, nyeri tekan terjadi di seluruh area
testis, dan nyeri ini timbul terus-menerus dan tidak berkurang.

27
5. Ketiadaan testis letak tinggi atau keberadaan refleks kremaster tidak
boleh digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan torsio.
6. Hal yang menarik bagi dokter gawat darurat adalah fenomena torsio /
detorsio testis.
7. Gambaran klinis yang klasik adalah pria muda yang datang dengan
riwayat nyeri skrotum yang telah mereda ketika ia datang ke UGD. la
menyangkal adanya disuria atau pelepasan duh uretra; namun, ia
menyatakan bahwa ia telah mengalami dua episode nyeri tersebut
dalam dua hari terakhir.
8. Evaluasi laboratorium di unit gawat darurat hasilnya normal.
9. Di UGD konsep torsio testis intermiten harus dipikirkan dan rujukan
ke bagian urologi harus dilakukan; pasien dapat pulang dengan
instruksi untuk kembali bila nyeri datang lagi.
10. Dari segi pemeriksaan laboratorium, satu-satunya pemeriksaan wajib
adalah tes celup urin untuk mencari keberadaan hematuria / piuria.
Keberadaan salah satu dari ke dua hal tersebut mengisyaratkan adanya
penyebab infeksi pada nyeri yang dialami pasien. Konsultasi dengan
dokter ahli urologi harus dilakukan sejak awal karena eksplorasi bedah
merupakan terapi definitif.
11. Pemeriksaan pencitraan testis dan suplai darahnya dapat dilakukan
dengan menggunakan Doppler berwarna atau pencitraan radionuklir.
12. Meskipun pemeriksaan doppler dianggap sebagai standar penanganan
oleh banyak pihak, beberapa penelitian telah membuktikan
keterbatasan pemeriksaan ini, yang terjadi pada pasien anak.
13. Pada suatu penelitan, 40% hasil pemindaian pasien anak yang
mempunyai testis normal tidak memperhatikan adanya aliran darah.
Secara keseluruhan, bila dibandingkan dengan testis kontralateral,
spesifisitas pemeriksaan untuk mencari penurunan atau ketiadaan
aliran darah testis dilaporkan berada antara 83-100% dan
sensitivitasnya 89-100%. Pemeriksaan pencitraan radionuklir
dilaporkan memiliki sensitivitas sebesar 87-100% dan spesifisitas
sebesar 93-100%. Meskipun angka-angka tersebut mengesankan,

28
pencitraan radionuklir dianggap sebagai pemeriksaan alternatif untuk
kasus-kasus ketika pemeriksaan doppler tidak dapat dilakukan atau
hasil pemeriksaan doppler tersebut meragukan. .
14. Pada suatu penelitian, pemeriksaan doppler berwarna memiliki
sensitivitas hanya sebesar 57% untuk torsio. Jadi, hal yang harus
ditekankan sekali lagi adalah diagnosa penyakit tersebut tidak boleh
ditegakkan hanya berdasar pada satu pemeriksaan saja.
15. Banyaknya cara dan panjangnya waktu untuk mendiagnosis
menyebabkan penegakan dan pemastian diagnosis sering kali dibuat
hanya berdasar pemeriksaan klinis dan intervensi bedah.

Penatalaksanaan
1. Terapi di unit gawat darurat untuk pasien dengan kecurigaan torsio
testis berfokus pada analgesia dan persiapan eksplorasi bedah.
2. Pada pertengahan tahun 1990-an, terdapat sekelompok penulis yang
menyarankan protokol penanganan konservatif pasien dengan nyeri
akut skrotum. Sayangnya, literatur lanjutan tidak mendukung strategi
penatalaksanaan demikian.
3. Orchipexy oleh seorang dokter ahli urologi harus dilakukan pada
keadaaan darurat dan harus melibatkan kedua testis. Pada beberapa
kasus yang langka, terdapat laporan terjadinya torsio setelah orchipexy,
suatu fenomena yang tampaknya berkaitan dengan penggunaan benang
jahit yang dapat terserap.
4. Sebagai pilihan, mengingat sifat penyakit yang sensitif dengan waktu
(waktu untuk iskemia 4-6 jam), pada keadaan ketika tidak ada ahli
urologi untuk melakukan pembedahan, prosedur tersebut dapat
dilakukan oleh dokter bedah umum.

Prognosis
1. Secara keseluruhan, torsio testis menimbulkan prognosis yang relatif
buruk mengingat sisi yang terkena.

29
2. Kepustakaan melaporkan angka penyembuhan sebesar 55% hingga
turun sebesar 18% dengan waktu pembedahan sebagai satu-satunya
faktor prognostik terpenting. Dalam waktu 10 jam, > 80% testis akan
mati dan dalam waktu 24 jam, angka tersebut mencapai 100%. Alasan
untuk keterlambatan mencangkup keengganan dalam mencari
pertolongan medis serta kesalahan diagnosis.
3. Torsio ipsilateral tidak hanya berisiko pada testis yang terkena,
melainkan juga pada testis kontralateral. Terdapat bukti bahwa torsi
pada satu testis menimbulkan penurunan aliran darah pada sisi
kontralateral, dengan hipoksia relatif dan apoptosis. Pengurangan sel
benih yang ditimbulkannya telah berimplikasi pada penurunan
kesuburan pada pasien-pasien tersebut.
4. Salah satu solusi yang didukung adalah meningkatkan aliran darah
dengan menggunakan capsaicin yang terbukti mengurangi apoptosis
yang terjadi setelah torsio testis pada tikus.
5. Glukokortikoid dan nitrogen oksida juga dianjurkan sebagai obat
antiapoptosis dan juga telah terbukti efektif pada tikus, tetapi tidak ada
satupun penelitian yang dilakukan mengenai penggunaan obat-obat
tersebut pada subjek manusia.

G. Abses Periuretra
Latar Belakang
1. Abses periuretra merupakan suatu infeksi di area periuretra dan uretra
pria yang jarang terjadi tetapi dapat mengancam nyawa.
2. Spectrum penyakit ini bervariasi dari abses kecil yang terisolasi hingga
fasciitis nekrotikans yang meluas.
3. Abses periuretra biasanya dikenal sebagai komplikasi penyakit striktur
dan urethritis akibat gonokokus.
4. Faktor predisposisi tersering mencakup :
a. Penyakit striktur uretra
b. Obstruksi kemih
c. Abses periuretra sebelumnya

30
d. Gonore
e. ISK yang baru saja terjadi
f. Diabetes mellitus
g. Pembedahan atau trauma uretra
h. Pemasangan kateter Foley dalam jangka panjang
5. Resiko pada proses penyakit yang tampaknya jinak ini adalah ketika
abses menimbulkan perforasi pada fasia Buck, sehingga dapat terjadi
fasciitis nekrotikans yang meluas.

Diagnosis
1. Gambaran klinis sangat begantung pada area yang terkena.
2. Jika abses terbatas pada fasia Buck, pembengkakan skrotum dan penis
menjadi gejala utamanya.
3. Demam merupakan gejala yang umum dijumpai dan dapat disertai
dengan sepsis dan syok, bergantung pada luas penyakit.
4. Ekstravasasi urin yang terinfeksi telah dihubungkan dengan striktur
uretra, yang selanjutnya dapat menimbulkan kerusakan uretra.
5. Karena itu, tidaklah mengherankan bahwa organisme yang
menimbulkan ISK ditemukan pada hasil pemeriksaan abses, dan
mikroorganisme yang paling sering ditemukan adalah E.coli, proteus
mirabilis, Enterococcus species, Morganella morganii, Pseudomonas
aeruginosa, Staphylococcus epidemis dan Bacteroides species.
6. Diagnosis abses periuretra sebagian besar ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan klinis.
7. Akan tetapi, pemeriksaan sonografi uretra dan pencitraan doppler telah
terbukti memberikan keuntungan dalam mencegah paparan radiasi
pada testis, memberikan evaluasi mengenai distensibilitas uretra
menurut waktu terkini, memiliki kapasitas untuk menilai keterlibatan
jaringan spongiosum dan periuretra dan menilai lokasi arteri uretra
pada striktur uretra.
8. Uretrografi retrograd dapat memperlihatkan adanya ekstravasasi urin
tetapi secara keseluruhan memberikan lebih sedikit informasi dan data

31
diagnostik dibanding pemeriksaan ultrasonografi pada striktur uretra
anterior.

Penanganan
1. Pilar utama penatalaksanaan abses periuretra terdiri atas drainase
bedah dan antibiotik.
2. Debridemen luas dan pengeluaran urin segera melalui lubang
suprapubik tidak boleh ditunda.
3. Antibiotik empiris berspektrum luas harus segera diberikan dan harus
diubah sesuai organisme yang ditemukan pada hasil kultur spesimen
luka, urin dan darah.
4. Walther dan rekan sejawatnya menunjukkan bahwa sefalosporin dan
aminoglikosida IV yang diberikan selama 8 hari yang diikuti dengan
antibiotik oral dan intervensi bedah yang dilakukan dengan segera
akan mengurangi angka mortalitas hingga 1,6% pada 63 kasus,
sedangkan angka mortalitas terdahulu adalah mencapai 50% pada era
sebelum antibiotik ditemukan, 6% dengan penggunaan penisilin dan
sulfonamida, dan 4% dengan penggunaan oksitetrasiklin.

H. Fournier’s Gangrene
Epidemiologi
1. Pertama kali diutarakan oleh Jean-Alfred Fournier pada tahun 1764
sebagai suatu gangrene penis dan skrotum, fasciitis nekrotikans pada
area perineum, genital dan area perianal, menyerang kedua jenis
kelamin dan merupakan suatu kedaruratan murni.
2. Kegagalan mengenali keberadaan, keterlambatan pada
penatalaksanaan dan kurang agresifnya terapi medis dan pembedahan,
semuanya berperan dalam menimbulkan tingginya angka mortalitas
dan morbiditas pada penyakit ini.
3. Angka mortalitas menurut laporan bervariasi dari 3-45%, dan
penyebab kematian mencakup sepsis, koagulopati, gagal ginjal,
ketoasidosis diabetic, dan kegagalan beberapa organ.

32
4. Usia yang tua, disfungsi ginjal atau hati, dan sumber infeksi anorektal
menyebabkan angka kematian yang tinggi.
5. Meskipun glukosuria dijumpai pada lebih dari dua pertiga pasien,
keberadaan diabetes mellitus tampaknya tidak berdampak pada
prognosis penyakit dan hanya berkaitan dengan sekitar 20% kasus.
6. Selain itu, penggunaan alkohol dalam jangka panjang berhubungan
dengan 25-50% kasus.

Patofisiologi
1. Meskipun dijumpai pada anak-anak dan wanita, gangrene Fournier
lebih sering dialami pria (10:1) dan mulanya digambarkan sebagai
suatu infeksi gangrenosa yang parah pada skrotum.
2. Sumber mikroorganisme penyebab infeksi yang paling sering adalah
kulit (24%), anorektal (21%), dan urologis (19%).
3. Penyakit ini tampaknya memengaruhi individu dari kalangan atas
sampai individu dengan status sosioekonomi yang rendah, dan usia
rata-rata terjadinya penyakit adalah lebih tua dibandingkan hasil
penelitian sebelumnya, pada serangkaian penelitian terkini, usia rata-
rata pasien adalah 50 tahun.
4. Pemeriksaan bakteriologi pada kasus-kasus yang telah dikonfirmasi
mengungkapkan adanya campuran organisme aerob dan anaerob yang
mencakup Clostridia, Klebsiella, Streptococcus, coliform dan spesies
Staphylococcus. Organisme tersebut bekerja secara sinergis, bakteri
aerob menjaga agar tekanan oksigen cukup rendah untuk
memungkinkan pertumbuhan bakteri anaerob.
5. Selulitis dapat terbentuk pada awalnya, lalu pembuluh superfisial
mengalami thrombosis dan menimbulkan gangren pada kulit
superfisial dan lemak subkutan.
6. Meskipun penyebaran infeksi ke lapisan otot dapat menimbulkan
mionekrosis, hal tersebut bukan merupakan karakteristik gangren
Fournier.

33
7. Selain itu, meskipun skrotum mungkin sering terkena, testis yang
berbeda dibawahnya, yang menerima darah dari suatu sumber yang
independen, biasanya tidak terkena.
8. Jika testis sampai terkena, pencarian harus segera dilakukan untuk
menemukan adanya sumber infeksi intraabdominal atau
retroperitoneal.

Diagnosis
1. Gambaran klinis berupa fasciitis nekrotikans perineal, meskipun sering
dilaporkan timbul mendadak, sebenarnya lebih mungkin timbul secara
perlahan selama rentang beberapa hari.
2. Karena lokasinya, beberapa pasien mungkin datang lebih lambat dari
biasanya karena rasa malu.
3. Pada tahap awal, penyakit tersebut muncul dengan gejala nyeri,
eritema, dan pembengkakan skrotum.
4. Pada kasus yang lanjut, timbul indurasi yang teraba keras seperti kayu
dan cepat berkembang (hingga 1 inci/jam) dan meluas ke dinding
anterior abdomen, yang disertai dengan krepitus dan duh yang berbau
tidak sedap dan purulen.
5. Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit penyerta pada lebih dari
dua pertiga pasien tersebut.
6. Temuan pemeriksaan laboratorium mencakup leukositosis, anemia,
trombositopenia dan hiperglikemia seperti yang disebutkan
sebelumnya. Hipokalsemia, yang disebabkan oleh kelasi kalsium oleh
lipase bakteri, telah dilaporkan sebagai petunjuk diagnostik penting,
dan hiponatremia juga dapat ditemukan.
7. Pencitraan dapat mengungkapkan adanya udara bebas dalam skrotum
atau udara yang melintas ke atas melalui bidang fasia.
8. Ultrasonografi dapat memperlihatkan adanya gas di skrotum, dan
pemindaian dengan CT memungkinkan penentuan perluasan dari
penyakit.

34
9. Namun pada kenyataannya, tidak satupun dari pemeriksaan pencitraan
tersebut yang harus menunda pemberian terapi begitu terdapat
kecurigaan akan penyakit tersebut.

Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan gangren Fournier ditujukan untuk menstabilisasi
termodinamika pasien dan memulai pemberian antimikroba sesegera
mungkin.
2. Antibiotik yang sesuai mencakup regimen berspektrum luas.
a. Secara klasik, penisilin diberikan untuk mengatasi spesies
streptokokus, metronidazole untuk organisme anaerob dan
gentamisin atau sefalosporin generasi ketiga untuk coliform.
b. Rekomendasi terkini menggantikan kombinasi obat tersebut adalah
obat-obatan seperti imipenem atau meropenem sebagai obat tunggal
pada pasien dengan infeksi oleh polimikroba.
3. Konsultasi dengan dokter ahli urologi atau ahli bedah harus dilakukan
sebelum hasil pemeriksaan laboratorium dan pencitraan didapat.
4. Pemberian cairan, transfusi darah dan pemberian antibiotik tersendiri
tidak dapat menggantikan pengangkatan sarang infeksi dengan cara
pembedahan.
5. Oksigen hiperbarik, yang dianjurkan oleh beberapa ahli sebagai terapi
tambahan setelah pembedahan awal, tidak terbukti memperbaiki
prognosis ketika digunakan pada keadaan tersebut.

I. Darurat Penile
Fimosis
1. Suatu keadaan ketika prepusium tidak dapat ditarik ke belakang glans
penis.
2. Pada usia 3 tahun, 90% prepusium dapat ditarik.
3. Kurang dari 1% pria yang meningkatkan fimosis pada usia 17 tahun.
4. Biasanya tidak menimbulkan nyeri, tetapi dapat menimbulkan
obstruksi urin dengan pengembungan prepusium.
5. Dapat terjadi akibat balanitis berulang.

35
6. Dapat menimbulkan peradangan kronik dan karsinoma.
7. Penatalaksanaan pada anak laki laki yang berusia lebih tua dari 4 atau
5 tahun dan pada mereka yang mengalami balanitis atau balanopostitis
adalah kortikosteroid topikal (0,1% deksametason) yang dioleskan
pada prepusium tiga hingga empat kali sehari selama 6 minggu. Hal
tersebut melonggarkan cincin fimosis pada dua pertiga kasus dan
biasanya memungkinkan prepusium ditarik secara manual.
8. Pada anak laki-laki yang tidak disunat dan berusia lebih tua dari 7 atau
8 tahun dengan fimosis yang resisten terhadap kortikosteroid atau pada
anak laki-laki dengan pengembungan prepusium atau balanitis
berulang, sirkumsisi atau pemotongan di bagian dorsal (dorsal slit)
dianjurkan.

Parafimosis
1. Kondisi ketika prepusium telah tertarik dan tertinggal di belakang
glans penis, sehingga menjepit glans dan menimbulkan bendungan
vaskular yang terasa nyeri dan edema prepusium yang berada distal
dari cincin fimosis.
2. Dapat terjadi pada iatrogenik dan sering terjadi setelah memeriksaan
penis atau setelah pemasangan kateter uretra.
3. Dapat menyebabkan pembengkakan yang nyata pada glans penis
sehingga prepusium tidak dapat lagi ditarik ke depan, yang dapat
menimbulkan gangguan pada arteri dan gangren.
4. Pengurangan parafimosis dapat dimulai dengan pemberian tekanan
ringan dan terus menerus pada prepusium untuk mengurangi
pembengkakan. Balutan perban elastis (2 x 2 inci) yang digunakan
selama 5 menit dapat bermanfaat pada beberapa kasus. Pemberian es
dalam jangka pendek dapat berfungsi sebagai analgesik, dan blok
anastetik lokal di penis dapat diindikasikan pada pasien yang sangat
tergantung kenyamanannya.
5. Pada kasus parafimosis yang parah atau tidak dapat dikurangi, pasien
perlu menjalani dorsal slit atau sirkumsisi darurat oleh seorang ahli

36
urologi. Pasien dengan parafimosis yang berkurang perlu dijadwalkan
untuk menjalani dorsal slit atau sirkumsisi di kemudian hari, karena
parafimosis cenderung muncul kembali.

Balanitis
1. Peradangan glans, yang biasanya terjadi akibat higiene yang buruk
karena kegagalan untuk menarik dan membersihkan kulit di bawah
prepusium.
2. Biasanya berespons dengan salep antibiotik dan perawatan lokal.
Terkadang, terapi dengan antibiotik oral dapat diperlukan.
3. Balanitis berulang dapat menyebabkan fimosis.
4. Balanitis pada pasien yang lebih tua dapat menjadi pertanda diabetes;
pada kasus seperti ini, sirkumisi mungkin diperlukan.

Balanopostitis
1. Merupakan balanitis berat, di mana pita fimosis dapat dengan cukup
kuat menahan sekresi peradangan, dan menyebabkan berkembangnya
abses di rongga prepusium.
2. Penatalaksanaannya mencakup pembersihan dan pemberian krim
antijamur (klotrimazol dua kali sehari).
3. Pemantauan oleh dokter urologi dan kemungkinan sirkumsisi dapat
diindikasikan.
4. Pada keadaan terdapat infeksi sekunder oleh bakteri, sefalosporin oral
perlu diberikan.
5. Terkadang, pemotongan bagian dorsal (dorsal slit) darurat diperlukan.

Fraktur Penis
1. Robekan akut tunica albuginea, yang dapat muncul dengan
pembengkakan akut, perubahan warna dan nyeri tekan.
2. Biasanya disebabkan oleh trauma selama hubungan seksual yang
disertai dengan bunyi gemeretak.
3. Konsultasi dengan ahli urologi diindikasikan.

37
Penyakit Peyronie
1. Keadaan yang menimbulkan fibrosis funica albuginea, yaitu membran
elastik yang mengelilingi setiap corpus cavernosum yang terbentuk
lengkung penis selama ereksi.
2. Sulit didiagnosis pada keadaan flaksid; namun, riwayat akan trauma
yang menekuk penis pasien sebelumnya dapat menegakkan diagnosis.
3. Pemeriksaan fisik mengungkapkan rigi atau plak fibrosa di sepanjang
batang dorsal penis.
4. Kondisi yang jinak dapat pulih atau stabil secara spontan tanpa
pengobatan.
5. Komplikasi dapat mecakup disfungsi ereksi.
6. Informasi untuk menenangkan pasien dan pemantauan pasien
diindikasikan.

Priapismus
1. Nyeri dan nyeri tekan ereksi yang berkepanjangan serta berlangsung
sampai setelah aktivitas seksual selesai atau nyeri yang tidak
berhubungan dengan aktivitas seksual.
2. Paling sering terjadi pada pasien dengan penyakit sel sabit tetapi juga
dapat terjadi pada mereka dengan keganasan stadium lanjut atau
gangguan pembekuan darah, mereka yang menerima nutrisi paranteral
total, terapi dengan obat tertentu dan setelah trauma atau idiopatik.
3. Digolongkan, sebagai primer / idiopatik dan sekunder, atau iskemik /
veno-oklusif dan non iskemik/arterial.
a. Priapismus iskemik yang lebih lama dari 4 jam merupakan sindrom
kompartemen yang memerlukan intervensi medis darurat.
b. Priapismus non-iskemik lebih jarang terjadi dan disebabkan oleh
aliran masuk kavernosa yang tidak teratur; biasanya datang dengan
ereksi yang tidak sepenuhnya kaku dan tidak terasa nyeri.
4. Obat obatan yang dilaporkan menimbulkan priapismus mencangkup,
tetapi tidak terbatas pada :

38
a. Antidepresan- bupropion, trazadon, fluoksetin, setralin, lithium
b. Antipsikotik-klozapin
c. Penenang (tranquilizer)-mesoridazin, perfenazin
d. Ansiolitik- hidroksizin
e. Psikotropik-klorpromazin
f. Penyekat alfa-adrenergik-prazosin
g. Hormon-GnRH
h. Antikoagulan-heparin, warfarin
i. Narkoba-kokain, alkohol
5. Komplikasi dengan retensi urin, penularan dan impotensi.
6. Terapi awal mencangkup terbutalin 0,25-0,5 mg yang diberikan secara
subkutan di daerah deltoid.
7. Aspirasi korporal (corpus cavernosum) dan irigasi dengan NaCl 0,9%
atau penyekat α-adrenergik merupakan tahap penatalaksanaan
selanjutnya yang diberikan oleh dokter ahli urologi.

39
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Pada pasien Infeksi Saluran Kemih, pemilihan antibiotik harus dituntun
oleh pola resistensi terkini oleh patogen saluran kemih yang biasa
menjadi penyebab. Sebagai contoh resistensi terhadap trimetropim/
sulfametoksazol mencapai 35% pada bagian pesisir barat, sedangkan
potensi terhadap siprofloksasin dan nitrofurantoin, masing-masing
mencapai 1% dan 13%.
2. Pada pasien Pyelonefritis Emfisematosa pasien perlu segera diberikan
antimikroba yang sesuai dan penatalaksanaan diabetes harus dimulai.
3. Pada pasien Abses Perinefrik terapi antimikrobial harus di arahkan
terutama terhadap uropatogen Gram-negatif dan S.aureus yang umum
dijumpai.
4. Pada pasien Abses Renal pada penelitian berskala besar terdapat banyak
bukti bahwa keberhasilan pengobatan abses ginjal dengan antibiotik
saja dapat mencapai 86%.
5. Pada pasien Nefrolitiasis penatalaksanaan utama adalah hidrasi IV,
analgesik dan antiemetik bila diperlukan, hidrasi dapat dimulai dengan
pemberian infus kristaloid 1 liter NaCl 0,9% selama 30-60 menit
kemudian 200-500 ml/jam.
6. Pada pasien Torsi Testikular terapi di Unit Gawat Darurat untuk pasien
dengan Torsio Testikular berfokus pada analgesia dan persiapan
eksplorasi bedah. Salah satu solusi yang di sarankan adalah
meningkatkan aliran darah dengan menggunakan capsaicin yang
terbukti mengurangi apoptosis yang terjadi setelah torsio testis.
7. Pada pasien Abses Periouretra, sefalosforin dan aminoglikosida IV
yang diberikan selama 8 hari yang diikuti dengan antibiotik oral dan
intervensi bedah yang dilakukan dengan segera akan mengurangi angka
mortalitas hingga 1,6% pada 63 kasus.

40
8. Pada pasien Fournier’s Gangrene, antibiotik yang sesuai mencakup
regimen berspektrum luas. Secara klasik penisilin diberikan untuk
mengatasi spesies streptilokokus, metronidazol untuk organisme
anaerob dan gentamisin atau sefalosforin generasi ke 3 untuk coliform.
9. Pada pasien Darurat Penile penatalaksanaan pada anak laki laki yang
berusia lebih tua dari 4 atau 5 tahun dan pada mereka yang mengalami
balanitis atau balanopostitis adalah kortikosteroid topikal (0,1%
deksametason) yang dioleskan pada prepusium tiga hingga empat kali
sehari selama 6 minggu. Hal tersebut melonggarkan cincin fimosis
pada dua pertiga kasus dan biasanya memungkinkan prepusium ditarik
secara manual. Pada anak laki-laki yang tidak disunat dan berusia lebih
tua dari 7 atau 8 tahun dengan fimosis yang resisten terhadap
kortikosteroid atau pada anak laki-laki dengan pengembungan
prepusium atau balanitis berulang, sirkumsisi atau pemotongan di
bagian dorsal (dorsal slit) dianjurkan. Pengurangan parafimosis dapat
dimulai dengan pemberian tekanan ringan dan terus menerus pada
prepusium untuk mengurangi pembengkakan. Balutan perban elastis (2
x 2 inci) yang digunakan selama 5 menit dapat bermanfaat pada
beberapa kasus. Pemberian es dalam jangka pendek dapat berfungsi
sebagai analgesik, dan blok anastetik lokal di penis dapat diindikasikan
pada pasien yang sangat tergantung kenyamanannya.

41
DAFTAR PUSTAKA

Henderson S. 2013. Emergency Medicine Vademecum. Landes Bioscience. Texas.


Alih bahasa: dr. Albertus Agung Mahode, dr. Frans Dany, dan dr. Yanuar
Budi Hartanto. Jakarta: EGC.

Purnomo B. (2012). Dasar-Dasar Urologi. Ed. 3. Jakarta. Sagung Seto.

42

Anda mungkin juga menyukai