Anda di halaman 1dari 100

Book

Title
o

Author Name

Your text here


DA F TA R I S I
Free Rider Effect 1

The Black Box 8

Pramubhakti 30 Tahun Mengabdi 14

Orientasi dan Life Style Gen Milenial 20

Kinerja vs Peraturan di Sektor Publik 28

Meningkatkan Kinerja Generasi Millenia 38

Mengintip Misteri dan Marwah Jabatan 48

APIP Mengawal Akuntabilitas dan Inovasi 56

Potret Birokrat Tajir 66

Sebuah Perenungan 74

Sharing Session Peran Auditor Internal 78

Titik Kritis Pengadaan Barang dan Jasa 84

Humor 92

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur, penulis panjatkan kehadirat


Allah SWT berkat karunia kesehatan dan ilmu
sehingga penulis bisa menghadirkan cerita ini
kehadapan pembaca.

Tulisan yang bersumber dari Imajinasi dan


berbagai pengaJaman yang diramu menjadi satu,
semoga dapat membuka inspirasi bagi pembaca.

Dengan kesederhanaan bahasa mudah­


mudahan cerita ini dapat memberikan hiburan
yang edukatif bagi pembaca.

Wassalam.....

ii
z
BAB i

F ree Rider Effect,


Sebuah Tantangan dalam Ber-SPIP Integratif

Salam Satu Akuntabilitas!

Pergantian Kepemimpinan dan Kebijakan

Saya tertegun mendengar cerita seorang teman di satuan


kerja sarana prasana (satker sarpras). Teman saya ini ialah
seorang perencana atau desainer kebijakan. Itulah mengapa
ia sangat paham ketika bercerita tentang gaya kepemimpinan
atasannya, sang pengambil kebijakan. Bahasannya kerennya:
decision maker.
Menurut teman saya, pergantian kepemimpinan sangat
mempengaruhi kebijakan. Salah satu misalnya terkait dengan

1
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

honor kegiatan di tempat dia bekerja. Menurut kebijakan


pimpinan sebelumnya, kepada perencana diberikan insentif
berupa honor sebesar Rp.150 juta dalam setahun, dengan
asumsi satuan honor sebesar Rp.300.000 untuk sejumlah
500 output.
Kebijakan tentang honor ini berubah dalam periode
kepemimpinan selanjutnya. Katanya, kebijakan baru
dibuat lebih tersistem dan modern. Dengan melibatkan tim
kerja yang lebih banyak, rata-rata 12 orang, plus kegiatan
rapat-rapat, dana yang dibutuhkan juga semakin besar.
Pengeluaran membengkak menjadi Rp. 3,36 Milyar, dengan
hitung-hitungan 12 orang x 7 kali rapat x Rp.80.000 x 500
output.
Fantastis sekali ya. Biayanya membengkak puluhan kali
lipat.
Dengan output yang sama, yaitu 500 gambar dan output
berupa dokumen rencana anggaran biaya (RAB), terjadi
selisih pembiayaan ribuan %. Setelah dihitung-hitung,
terjadi inefisiensi sebesar Rp.3,21 Milyar.

Free Rider Effect dan Inefisiensi

Mari coba kita cari tahu, di mana letak permasalahannya.

2
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Rupa-rupanya, inefisiensi yang terjadi salah satunya


disebabkan ole adanya Free Rider Effect. Definisi dari
istilah ini adalah, “Beberapa Individu dalam suatu populasi
mengkonsumsi lebih banyak dari ukuran yang adil atas
sumber daya umum, atau membayar kurang dari ukuran
yang adil atas biaya sumber daya umum”.
Artinya, untuk menikmati manfaat atas suatu materi
dalam ukuran yang sama, yang tersedia bagi beberapa orang
pada suatu komunitas, ada sebagian anggota kelompok
yang membayar lebih besar daripada seharusnya. Sebagian
lainnya, menikmati manfaat tanpa melakukan pekerjaan
apapun atau membayar apapun. Kelompok yang kedua ini,
disebut sebagai free rider.
Dalam kasus yang diceritakan oleh teman saya tadi, saya
identifikasi minimal terdapat 9 orang yang masuk dalam
kategori free rider. Orang-orang ini mendapatkan tambahan
penghasilan berupa passive income sebagai layaknya bisnis
modern dalam Multi Level Marketing (MLM).

Jual Beli Jabatan

Dalam analisis lebih lanjut, inefisiensi yang ‘luar biasa’


tersebut memicu adanya ‘jual beli jabatan’. Orang-orang di

3
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

luar kelompok rela melakukan cara yang tidak halal untuk


menduduki posisi tertentu, karena mendapati iming-iming
benefit yang sangat menjanjikan. Yaitu, tak perlu banyak
bekerja untuk mendapatkan honor atau keuntungan lainnya
asalkan telah memiliki posisi atau jabatan tertentu.
Tak heran jika saat ini birokrasi pemerintahan semakin
marak dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) oleh
lembaga anti rasuah, Komisi Pencegahan Korupsi (KPK).
Satu di antara beberapa klasifikasi operasi tangkap tangan
ialah menangkap basah gratifikasi atau suap dengan motivasi
untuk membeli jabatan.

Mitigasi Risiko Hadirnya Free Rider Effect

Lalu, bagaimana caranya memitigasi risiko hadirnya free


rider effect yang berujung pada jual beli jabatan? Dalam kasus
ini, sebenarnya pemerintah sudah mengeluarkan regulasi
berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Pasal 2 PP tersebut berbunyi “Untuk mencapai pengelolaan
keuangan negara yang efektif, efisien, transparan dan
akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur dan
bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas

4
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

penyelenggaraan kegiatan pemerintahan”.


Dalam ketentuan ini sangat ditekankan adanya soft control,
khususnya peran pimpinan instansi dalam hal penegakan
integritas dan nilai etika. Pemimpin hendaknya memberikan
keteladanan pelaksanaan atas aturan perilaku (disebut juga
dengan tone of the top). Salah satu bagian dari pelaksanaan
integritas tersebut adalah mengarahkan penggunaan
anggaran negara sesuai amanah yang diembannya, dengan
profesional dan akuntabel.
Selain itu, free rider effect juga bisa ditekan dengan
aktivitas reviu yang dilakukan oleh APIP. Reviu merupakan
salah satu bagian dari rangkaian aktivitas pengawasan
intern. Dalam Pasal 48 huruf (2) PP 60 Tahun 2008
disebutkan bahwa aparat pengawasan intern pemerintah
(APIP) melakukan pengawasan intern melalui audit, reviu,
evaluasi, pemantauan dan lainnya.
Fenomena free rider effect dan inefisiensi anggaran
pemerintah seharusnya bisa dimitigasi risikonya ketika APIP
melakukan kegiatan reviu atas Rencana Kerja Anggaran
(RKA), sebuah dokumen rencana penganggaran. Dokumen
ini menjadi cikal bakal sebelum lebih lanjut disahkan
menjadi dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA/DPA).
Yang ketiga, mitigasi risiko terjadinya free rider effect

5
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

juga dapat dihindari dengan audit kinerja. Sebagai salah


satu syarat dalam pencapaian internal audit capability model
(IACM) pada level 3, institusi audit internal juga harus
melakukan bentuk pengawasan berupa audit kinerja. Audit
kinerja ini dilakukan terhadap pengelolaan keuangan negara
dan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah. Di
dalamnya dipertimbangkan aspek kehematan, efisiensi dan
efektivitas.

Epilog

SPIP menawarkan solusi yang konstruktif dalam


kaitannya dengan jual beli jabatan sebagai free rider effect
dengan pembenahan mulai dari hulu hingga ke hilir. Namun
demikian, untuk tujuan yang mulia itu tentunya diperlukan
komitmen bersama.

BERSAMA, PASTI BISA.

6
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

7
z
BAB ii

K egagalan Mengungkap The Black Box


Berujung OTT

Sungguh beruntung dipertengahan tahun 2000 saya


ditugaskan audit operasional Maskapai Penerbangan Swasta
Nasional, waktu penugasan 2 bulan dengan tim sebanyak 5
orang.
Penugasan ini adalah tergolong baru bagi kami yang
berlatar belakang Akuntan. Ketua tim telah menyusun
Program kerja audit dan telah disetujui secara berjenjang
Supervisor dan Partner KAP.
Kami bekerja berdasarkan PKA meliputi pemahaman
bisnis proses airline, Pengujian Sistem Pengendalian Intern
serta pengujian Substantif/ pengujian Rinci.
Sesuai arahan Supervisor agar kami fokus pada proses
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

PBJ sesuai dengan porsi biaya yang cukup dominan.


Saat briefing pendahuluan, penugasan dan pengujian
telah dibagi diantara anggota tim. Sandy dan Riky mendapat
tugas pengujian PBJ.
Tanpa terasa waktu penugasan lapangan (field work)
berjalan begitu cepat dan hampir dipenghujung Surat Tugas.
Simpulan sementara berdasarkan pengujian sesuai
prosedur dan teknik audit telah didokumentasikan ke dalam
Kertas Kerja Audit oleh anggota tim.
Simpulan sementara telah disampaikan dan dibaca
Partner, dan infonya kurang puas dengan hasil audit
terutama yang PBJ.
Konon katanya ada info “cuitan orang dalam” bahwa
ada permainan dalam maintenance pesawat, termasuk
pengadaan spartpart buatan dalam negeri yang seolah-olah
pengadaan dari Singapore dengan indikasi mark up lebih
dari 500%.
Tim tidak berhasil mengungkap permainan “mafia” itu
karena terlalu teknis, bagaikan misteri “the black box”
sehingga hanya melakukan pengujian di sekitar proses PBJ
secara normatif (around audit).
Mencermati berita tidak henti-hentinya pejabat publik
yang kena “operasi tangkap tangan” OTT oleh KPK,

9
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

berdasarkan hasil pengamatan ada beberapa hal yang dapat


dijelaskan dengan “the black box theory”.
Secara teori ada keterbatasan (constrain) dalam rancangan
Sistem Pengendalian Intern (SPI), yaitu “Kolusi” main
mata antar beberapa pihak yang berkepentingan. Seberapa
canggih rancangan SPI akan bisa diterobos “praktek kolusi”
yang biasanya melibatkan orang dalam.
Secara umum dalam pengadaan konstruksi kolusi
pengkondisian dalam bentuk-bentuk seperti berikut ini:
1. Pengkondisian Lelang
2. Pengkondisian Jago pemenang
3. Supplier pendukung
4. Penyedia-penyedia pendamping sebagai co_pilot.
5. Mark up Desain
6. Titipan volume/ Mark up volume
Praktek audit dilapangan pengujian oleh auditor sesuai
dengan Probity Audit (audit kejujuran) sudah mencakup
modus fraud dalam pengadaan barang dan jasa no. 1 s.d 4
tersebut.
Sedangkan untuk modus Fraud no. 5 berupa Mark Up
Desain agak sulit untuk dilakukan pengujian terkait dengan
kompetensi ilmu auditor. Secara literatur belum banyak
auditor yang mengungkap adanya “mark up desain”.

10
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Bentuk-bentuk Mark Up Desain yaitu:


1. Keadaan existing diasumsikan dengan koefisien besar
dan dibackup sesuai dengan asumsi fiksi/ tipuan. Hal ini
dibackup dengan gambar yang ‘nggandul’ agar tidak jelas
dan tidak ada perhitungan lab, serta dan tidak ada Berita
Acara serah terima lahan.
2. Asumsi dasar sudah di-mark up/ keadaan existing
sudah di-mark up, kemudian
koefisien di-mark up lagi meskipun kondisi lapangan
tidak mungkin dengan koefisien tersebut.
(Note : Permainan rumus/ koefisien/ hasil lab palsu/
tanpa tes lab).
Bukan tidak mungkin dalam “Black Box” tersebut
dijadikan sebagai tempat penyimpanan/ titipan dana taktis
“Kantong Semar” untuk tujuan tertentu, bahkan bisa jadi
untuk biaya politik pejabat publik yang dana pribadinya
tergerus dalam rangka kegiatan Pilkada.

Epilog

“Ada gula, ada semut” setiap jabatan publik pasti ada


rasa manisnya sehingga banyak orang yang memimpikan
jadi pejabat publik. Tidak sedikit pula pegawai yang terjebak

11
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

“jual beli jabatan” yang dipersyaratkan ada “mahar tunai”.


Meskipun sudah banyak pejabat publik yang tertangkap
tangan KPK seolah-olah tidak membuat jera pelaku
koruptor. Untuk itu salah pendekatan untuk mencegah dan
mengurangi korupsi dengan membongkar “Black Box”
modus korupsi melalui penguatan Sistem Pengendalian
Internal, Peningkatan Kompetensi serta Penguatan
Integritas auditor internal.

12
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

13
z
BAB III

K isah Inspiratif Seorang Pramubhakti:


Setelah 30 Tahun Mengabdi

“Pak. Kalau diizinkan, saya mau pindah. Saya ingin


menempati ruko sambil membuka usaha”, kalimat yang
diucapkan Buyung dengan intonasi pelan itu tak pelak
mengagetkan saya.
“Buyung kok bisa beli ruko ya?”, pikiran saya mendadak
menerawang dengan kalkulasi harga ruko. Pastinya mahal,
seperti dituliskan di brosur-brosur. Pada umumnya harga
ruko-ruko ini mencapai ratusan juta bahkan milyaran
Rupiah. Tentu tidak bisa masuk di nalar kalau dihubungkan
dengan penghasilan bulanan Buyung, seorang pegawai
honorer.
Honor atau gaji sebagai petugas kebersihan kurang lebih
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Rp. 2 juta perbulan. Sedangkan biaya hidup sehari-hari


boleh dibilang tidak murah. Masih bersyukur kalau jumlah
penghasilan tersebut bisa mencukupi pengeluaran sejak
gajian di awal bulan sampai akhir bulan.
Saya sebenarnya merasa berat untuk mengizinkan
buyung pindah dari komplek rumah dinas yang telah dia
tempati lebih dari 10 tahun. Saya membayangkan nantinya
kalau buyung tidak lagi tinggal di kompleks, siapa lagi yang
akan bersih-bersih lapangan tenis dan taman di komplek
perumahan itu.
Apalagi, kegiatan lain yang ditangani buyung secara
rutin ialah membersihkan mushola komplek. Ketika bulan
Ramadhan, dia bahkan lebih sibuk lagi mempersiapkan
hidangan buka puasa. Buyung sudah menjadi bagian yang
tak terlepaskan dari keseharian perumahan dinas kami.
Mengenal lebih jauh tentang Buyung
Buyung kecil menghabiskan waktunya di Dusun
Tacipi, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Selepas lulus
dari sekolah menengah pertama (SMP) dia merantau ke
kota Makassar dan melanjutkan pendidikan di Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK).
Usai menamatkan pendidikan pada tahun 1989, Buyung
memasukan lamaran pekerjaan di berbagai perusahaan

15
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

dan Instansi. Lebih dari lima tempat dia datangi. Rupanya


nasib baik melabuhkannya di Kantor Perwakilan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi
Sulawesi Selatas sebagai petugas kebersihan dengan honor
sekitar 25 ribu Rupiah perbulan kala itu.
Meskipun bertugas hanya sebagai petugas kebersihan,
pria sederhana yang nama aslinya “Ridwan” ini selalu ringan
tangan membantu setiap pegawai yang meminta bantuan
kepadanya. Kerja keras dia jalani demi untuk mengejar
cita-citanya bekerja di Kota Anging Mamiri. Belasan kali
buyung mencoba peruntungannya untuk mendaftar calon
pegawai negeri sipil (CPNS), tapi belum berhasil juga.
Kondisi tersebut tidak menyurutkan semangatnya dalam
bekerja. Di sela-sela waktunya bekerja, Buyung mencoba
menambah penghasilan dengan menyediakan Indomie bagi
pegawai yang enggan keluar kantor untuk makan siang.
Karena banyak permintaan dari pegawai bapak-bapak,
Buyung pun menyediakan rokok juga.
Ketekunan buyung dalam bekerja dan sifat ringan tangan
yang dia miliki membuat para pegawai senang dan merasa
terbantu sehingga rejeki lebih pun mengalir ke kantongnya.
Romansa Buyung dan Keyakinannya tentang Rejeki
Suatu ketika, Buyung mengatakan bahwa dia akan

16
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

melamar gadis yang masih berkuliah semester 6. Usianya


terpaut 16 tahun dari Buyung.
Wah ini baru surprise, pikir saya, calon istri buyung
Mahasiswi.
Selidik punya selidik Buyung ini memang luar biasa.
Ternyata sejak calon istrinya masih duduk di bangku kelas 1
sekolah menengah atas (SMA) Buyung lah yang membiayai
sekolahnya, dengan honor yang dia terima sebagai petugas
kebersihan. Dengan penghasilan sebesar itu Buyung masih
bisa menyisihkan biaya sekolah dan biaya kuliah untuk gadis
pujaan hatinya.
Buyung percaya akan prinsip “rejeki itu kakinya empat”,
semakin dikejar dia akan lari lebih cepat. Namun, dengan
ketekunan dan kejujuran dalam bekerja, rejeki itu justru
akan datang sendiri pada kita. Semangatnya tidak pernah
pudar meskipun sudah hampir 30 tahun bekerja sebagai
honorer saja. Buyung tak pernah kecewa dengan statusnya,
tetapi bahkan memiliki semangat yang tinggi dalam bekerja.
Buyung pun sempat belajar mengemudi mobil hingga
akhirnya mahir mengendarainya. Dengan keahlian Buyung
ini kantor merasa terbantu ketika sedang banyak tamu yang
datang. Buyung diperankan sebagai driver cadangan.
Suatu ketika istri buyung sudah lulus sarjana. Bagi orang

17
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

lain mungkin akan kesulitan mencarikan pekerjaan. Karena


sikap buyung yang ringan tangan menolong pegawai,
akhirnya sang istri pun dapat kerja di perusahaan daerah air
minum (PDAM) atas pertolongan orang lain yang mengenal
Buyung lewat jejaring pertemanannya.
Alhamdulillah setelah istrinya bekerja ekonomi buyung
semakin membaik. Dari penghasilan istrinya, keluarga kecil
Buyung bisa mengalokasikan untuk membeli rumah yang
bisa dikembangkan menjadi tempat usaha (ruko). Hingga
akhirnya, dia lontarkan kalimat yang mengagetkan saya di
atas.

Epilog

Kisah Buyung memberikan banyak pelajaran yang


sangat berharga. Di saat orang lain selalu berhitung secara
matematis tentang pemenuhan kebutuhan hidup, dengan
kesederhanaannya yang antimainstream, Buyung justru
menunjukkan bahwa kerja keras, kesungguhan, dan
keikhlasan pada akhirnya mengantarkannya mencapai cita-
cita.
Bagi sebagian besar orang, minimnya penghasilan
sering menjadi kendala mencapai cita-cita. Tak hanya

18
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

itu, motivasi dalam bekerja pun sering kali tergadaikan


manakala mendapati angka-angka di slip gaji seolah tak
akan mencukupi kebutuhan hidup.
Kisah Buyung telah mematahkan mitos-mitos
ketidakmungkinan. Satu lagi, kisah Buyung juga
menunjukkan bahwa jiwa pengabdian yang tetap terjaga
telah mengantarkannya mendapatkan kehidupan yang layak.
Saya pun hanya bisa tercenung, “Andai seluruh ASN
negeri ini memiliki jiwa seperti Buyung, mungkin kita akan
mendapati Indonesia yang lebih indah dan menyejahterakan.”

19
z
BAB IV

M emahami (Kembali)
Orientasi dan Life Style Gen Milenial

Sepucuk surat permohonan resign di Jumat pagi, memecahkan


Konsentrasi.
Kerja dan seakan melayangkan anganku kejadian 30 tahun
yang lalu.
Kumandang adzan Magrib mengiringi laju Kereta Senja Utama
dari Stasiun Balapan dengan tujuan terakhir Stasiun Senin Jakarta.
Setelah pengumuman kelulusan SMA dengan bermodalkan
restu ibu dan bapak, aku mencoba peruntungan mendaftar di
STAN milik Kementrian Keuangan.
Sekolah kedinasan yang mencetak para aparatur dan Abdi
Negara yang nantinya ditugaskan di seluruh penjuru Nusantara.
Jiwa Pengabdian orang tua sebagai PNS pendidik di sekolah dasar
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

rupanya mengalir ke diri saya. “Melanjutkan Jiwa Pengabdian


kedua orang tua” jawaban itulah yang aku sampaikan pada saat
tes wawancara dan Alhamdulillah membawa berkah sehingga
aku diterima sebagai Mahasiswa STAN di tahun 1990.
Ditengah ancaman hantu “Drop Out” aku lolos semester
demi terlewati dan berhasil menamatkan pendidikan Ajun
Akuntan. Selama 2 tahun praktek kerja, nasib baik berpihak
padaku sehingga lolos seleksi D IV dan menjalani pendidikan 2
tahun untuk meraih gelar Akuntan.
Dengan semangat Garuda di Dadaku, Pengabdian tidak
boleh berhenti karena ruang dan waktu, kata- kata tersebut
menghipnotisku serta mengiringi langkah dalam menuaikan
tugas selaku ASN. SK demi SK sebagai auditor di berbagai daerah
telah aku jalani lebih dari 12 tahun.
Di tengah kebanggaanku sebagai auditor dalam mengemban
tugas di bidang “Assurance dan Consulting” pimpinan mengamahkan
tugas baru yang lebih besar tanggung jawabnya sebagai struktural
pengelola keuangan.
Dalam melaksanakan penugasan tersebut, berbagai tantangan
dapat dapat diatasi dan sekaligus menjawab sebuah pertanyaan
“Rasa Pengabdian itu seperti apa?”
Karena terlalu panjang untuk diceritakan kepada para pembaca
namun Yang jelas seringkali” Pengabdian” harus keluar dari

21
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Comfort Zone atau Zona Kenyamanan.


Seperti halnya berganti jenis ragam penugasan maupun
berpindah ke tempat tugas yang baru. Perlu ekstra energi untuk
terus belajar mengenal lingkungan pekerjaan baru dan kembali
baru yang terkadang harus berpisah dengan keluarga sehingga
ada kesempatan menikmati Indomie Rasa Nusantara.
Contoh Nyata pengabdian dalam tugas sebagai struktural lebih
terasa pada saat Gempa 30 September 2009 di Sumatera Barat,
ditengah kegundahan para pegawai yang tidak bisa bekerja karena
kantor runtuh, kami berpikir keras untuk mengatasi kondisi yang
ada.
Alhamdulillah atas arahan pimpinan dengan berbagai jalan
bisa merombak rumah dinas menjadi kantor darurat sehingga
pelaksanaan tupoksi tidak terhenti. Itulah Jiwa Pengabdian Sejati
bahwa stake holder lebih membutuhkan layanan kita ditengah
kondisi darurat pasca gempa. Tanpa terasa sudah lebih 10 tahun
melaksanakan tugas di Jabatan Struktural, Berbagai Kuliner di
beberapa daerah sudah pernah dinikmati.
Apa yang sudah dijalani adalah berorientasi pengabdian dan
memenuhi pesan orang tua agar tetap “Eling lan Waspodo”
Eling/ ingat Yang Maha Kuasa dan Waspada/ berhati-hati
dalam bekerja.
Surat “permohonan resign” telah saya kirim melalui WA

22
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

ke Satrio untuk klarifikasi. Kabar terakhir Satrio bermohon


ijin untuk cuti mendampingi istri di Kota Bakwan sehingga
surat resign tersebut mengagetkan saya selaku pejabat pengelola
kepegawaian. Menjelang siang WA saya belum dibaca namun
pada akhirnya ketemu Satrio setelah sholat dhuhur di Masjid
kantor. Obrolan serius tapi santai dengan Satrio di Saung samping
kantin sambil menikmati kopi toraja.
Sayapun menggali informasi lebih detail terkait surat resign
yang diajukan Satrio. Cerita lengkapnya dimulai saat Diklat
Pengadaan Barang dan Jasa di Bogor. Satrio satu kelas dengan
temanya dari unit kerja lain, ngobrol-ngobrol akhirnya ditawarin
untuk pindah kerja dibagian IT perusahaan Holding perdagangan
berkantor pusat di Jakarta.
Gaji yang ditawarkan hampir mendekati Rp20 juta perbulan
atau 3 kali lipat dari penghasilan yang diterima saat ini. Salah satu
orientasinya tidak nyaman berpindah- pindah tempat dan ingin
mengembangkan karir lebih optimal di luar pada akhirnya Satrio
menerima tawaran tersebut.
Ceritapun mengalir, keinginan untuk resign semula katanya
spontan karena pengin Uji Nyali dengan berbekal potensi dirinya
dan usia yang masih fresh di dunia kerja.
Masa percobaan kerja 3 bulan dan sudah dijalaninya sebulan
semakin memantapkan langkah Satrio untuk resign dari ASN

23
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

meskipun satu bulan bekerja pada saat itu dengan memanfaatkan


surat cuti mendampingi istri melahirkan. Saya cukup terkaget
juga dengan peristiwa begitu cepat dan tidak terinfokan informasi
sebenarnya.
Pertimbangan atasan ketika menyetujui cuti karena alasan
(kemanusian) mendampingi istri yang melahirkan bayi kembar
ternyata tidak akuntable. Terkaget lagi dengan prospek imbalan
take home pay yang relatif cukup besar. Take home sebesar itu
melebihi penghasilan ASN yang mempunyai masa kerja lebih
dari 27 tahun. Sedangkan masa kerja Satrio berkisar 5 tahun.
Secara normatif saya memberikan nasehat. agar memikirkan
secara matang risiko mendatang dengan keputusan resign seperti
halnya beli tiket “one way” untuk sebuah perjalanan hidup yang
tidak mungkin bisa diralat lagi setelah adanya Surat Keputusan.
Pertanyaan saya selanjutnya, apakah keputusan tersebut sudah
mendapat restu orang tua? Terakhir saya menasehati Satrio agar
mengikuti proses resign sesuai prosedur.
Untuk tetap aktif berkantor sampai dengan permohonan
diproses di kantor pusat dan terbit surat keputusan. Saya mencoba
menganalis etos kerja, dan Expected Gen Millenial dengan
pendekatan periode jaman di mana masing masing Generasi
Hidup. Perbedaan jaman yang melatar belakangi perbedaan
keputusan untuk menjadi ASN dan Satrio yang baru 5 tahun

24
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

menjadi ASN untuk Resign.


Periode 90 an, awal kuliah adalah “Generasi Wesel” Yakni
kiriman uang lewat wesel yang bisa dicairkan di kantor pos. Uang
masuk dompet, makan nongkrong di Warung, beli buku di pasar
senin, beli tiket di Travel Biro, beli baju di pasar Blok M.
Sedangkan Gen Millenial hidup di jaman e-Money. Kiriman
uang orang tua lewat transfer rekening, Order makan lewat go
food, beli tiket lewat traveloka, beli baju lewat Shoppy, beli buku
lewat on line. Semua serba on line yang praktis.
“Berakit-rakit ke hulu berenang renang ketepian, bersakit sakit
dahulu bersenang senang kemudian”. Pepatah tersebut seolah-
olah tidak berlaku di Jaman Now jamannya generasi millenial.
Prinsip dasar ASN Abdi Negara sudah bergeser ke “Filosopy
Passion” Gen
Millenial hidup di Jaman Sriwi Jaya yang mengedankan Comfort
Zone.

Epilog

Perbedaan Jaman antara Generasi e-Wesel dengan Generasi


e-Banking tentunya berdampak pada Orientasi dan Lifestyle.
Generasi e-Wesel berorietasi pada Pengabdian dan cenderung
“Nrimo Ing Pandum” tidak menghitung seberapa besar penghasilan

25
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

yang penting cukup untuk hidup dengan pola sederhana.


Hal tersebut berbeda dengan oriemtasi Gen Millenial yang
lebih “menikmati hidup” pada posisi comfort zone. Dengan Life
Style Modern, travelling dan kuliner sebagai aktualisasi diri
tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit .
Pada akhirnya untuk Gen Millenial yang masih tetap memilih
sebagai Punggawa ASN untuk mendukung Life Style tersebut
tentunya harus berpikir usaha sampingan untuk menambah income
sehingga dapat bekerja dengan profesional dan berintegritas.

26
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

27
z
BAB V

M emperdebatkan Kembali Orientasi pada Kinerja versus


Orientasi pada Peraturan di Sektor Publik Indonesia

Pada suatu siang, melalui sebuah grup WhatsApp, saya


menerima undangan dari sebuah bidang atau unit di luar
bidang saya. Undangan ini adalah undangan makan siang
bersama untuk merayakan perpisahan seorang pegawai
yang akan dimutasikan ke lokasi lain. Makan siang ini akan
dilaksanakan di sebuah rumah makan yang cukup favorit di
kota tempat saya bekerja.
Lokasi rumah makan ini berlokasi di tengah kota, yang
berjarak sekitar 15 kilometer dari lokasi kantor saya. Kota
saya ini, selain dikenal sebagai ‘Kota Daeng’, juga dikenal
sebagai “Kota Kuliner”. Sebab, di kota ini terdapat banyak
warga masyarakat yang bergelar daeng dan juga banyak
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

tempat untuk mencicipi beragam masakan.


Beberapa anggota di grup tersebut kemudian memberikan
respon. Umumnya respon yang diberikan bersifat normatif
atau basa-basi, seperti: “Terima Kasih Pak, kami belum bisa
memenuhi undangan ini”. Saya adalah urutan ketiga yang
menanggapi undangan tersebut dengan kalimat: “Insya
Allah, Pak.”
Ketika tanggalnya tiba, usai menunaikan sholat dhuhur,
saya pun segera meluncur ke rumah makan tersebut.
Sialnya, belum sampai melewati dua kilometer dari kantor
saya, mobil yang saya kendarai sudah terjebak kemacetan.
Begitulah kondisi lalu lintas di kota saya. Sebagaimana
banyak terjadi di berbagai kota di Indonesia, pesatnya
pertumbuhan jumlah kendaraan ternyata tidak diikuti
dengan pertumbuhan infrastruktur jalan yang memadai.
Kondisi tersebut amat jauh berbeda ketika saya baru tiba
di kota ini tahun 2001. Saat itu, jumlah pusat perbelanjaan
(mall) masih bisa dihitung dengan jari tangan. Selain itu,
jumlah kendaraan yang lalu-lalang di jalan pun tidak seramai
saat ini. Bahkan, dulunya, bus dari luar kota masih diijinkan
untuk mengantarkan langsung penumpangnya sampai ke
depan pintu rumah penumpang.
Kembali ke acara makan siang itu. Setelah berjuang berat

29
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

melalui kemacetan, meski agak terlambat, sampailah saya


di acara makan siang tersebut. Acara makan siang ternyata
sudah dimulai. Sesuai dengan prediksi saya, yang hadir
dari bidang saya hanyalah saya seorang. Saya hadir di acara
makan siang itu pun sebenarnya sekedar menunjukkan
kesan bahwa bidang kami ingin menjaga kebersamaan dan
kekompakan dengan bidang tempat pegawai ini bekerja.
Singkat cerita, sambil menikmati hidangan menu favorit
“Ayam Goreng Kampung” yang terkenal di kota ini, saya
pun mengikuti berbagai seremoni acara, seperti wejangan
dari pimpinan bidang tempat asal pegawai yang akan mutasi
tersebut. Pimpinan bidang ini kebetulan juga adalah kolega
saya.
Sudah bisa ditebak, wejangan tersebut juga memuat
penilaian (assessment) atas pegawai yang akan mutasi
tersebut, seperti aspek prestasi, disiplin, serta partisipasinya
dalam berbagai kebersamaan di kantor saya.
Sebagai contoh, pandangan kolega saya tentang pegawai
yang akan mutasi tersebut tampak dari pernyataan berikut:
Terima kasih atas kerja keras Saudara sehingga target
bidang tahun 2017 ini bisa tercapai dengan baik. Tentunya,
hal itu tidak bisa dilepaskan dari kontribusi Saudara yang
luar biasa. Namun, terkait disiplin, terdapat hal yang perlu

30
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

ditingkatkan. Hasil pengamatan saya, Saudara mengambil


waktu istirahat siang yang terlalu lama. Untuk acara
kebersamaan, seperti senam pagi dan ulang tahun, Saudara
juga belum secara optimal berpartisipasi. Karenanya,
semoga di tempat yang baru, Saudara bisa lebih baik lagi.
Selanjutnya, penata acara atau master of ceremony (MC)
kemudian mempersilakan pegawai yang akan mutasi
tersebut untuk memberikan sambutan yang memuat
kesan dan pesannya ketika bekerja di bidang yang lama.
Ia mengawali sambutannya dengan ucapan terima kasih
kepada para pejabat struktural dan teman-temannya
karena bersedia mengadakan acara tersebut. Kemudian, ia
mengatakan:
Bagi saya, secara umum…dalam dunia kerja terdapat
dua mazhab. Mazhab yang pertama adalah rules (berbasis
peraturan administrasi, Red], sedangkan mazhab yang
kedua adalah perfomance (berbasis kinerja, Red).
Pegawai ini kemudian melanjutkan kalimatnya:
Saya ini termasuk penganut mazhab performance. Saya
mengakui bahwa hari Jumat saya sering PC[1], sementara
hari senin saya sering TD karena keluarga saya tinggal di
luar kota ini. Selain itu, pada jam istirahat siang hari, saya
baru kembali ke kantor di sore. Namun, yang terpenting

31
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

bagi saya pekerjaan saya selesai.


Kemudian, pegawai ini meneruskan sambutannya dengan
berbagai hal yang dapat menjustifikasi argumentasinya
tersebut.
Setelah pegawai ini memberikan sambutan, acara makan
siang pun ditutup oleh MC dan dilanjutkan dengan foto
bersama. Setelahnya, masing-masing peserta kemudian
kembali ke kantornya.
***
Ada hal yang menarik bagi saya terkait kalimat yang
disampaikan pegawai ini, yaitu orientasinya pada kinerja
(performance-oriented) daripada orientasinya pada peraturan
(rules-oriented). Ia mirip dengan perilaku beberapa orang
di kantor saya. Mereka ini lebih beriorientasi pada
kinerja, tetapi tidak lagi memerhatikan berbagai peraturan
administrasi di kantor. Mereka juga tidak peduli dengan
budaya organisasi.
Dari diskusi dengan pembina kepegawaian di kantor
saya terkait mazhab orientasi pada kinerja ini, saya menjadi
teringat joke ketika kuliah dulu. Karena lebih berorientasi
pada kinerja, kemungkinan mereka ini sering tidak masuk
kelas dan hanya hadir ketika ada ujian.
Lebih beriorientasi pada kinerja yang terjadi pada

32
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

beberapa pegawai ini sebenarnya sudah menjadi perhatian


manajemen kantor saya. Karenanya, setiap awal tahun,
kami meminta mereka menandatangani pakta integritas
yang memuat delapan hal penegasan komitmen mereka.
Pakta integritas tersebut menyatakan seorang pegawai
harus “bersikap dan bertindak sesuai dengan ketentuan
yang dijelaskan dalam aturan perilaku pegawai”. Kemudian,
pegawai harus “menjadi contoh kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan dalam melaksanakan
tugas kepada sesama pegawai di lingkungan kerja secara
konsisten”.
Karenanya, sebagai profesional birokrasi, saya sepakat
bahwa berkinerja itu penting. Namun, yang tidak kalah
pentingnya adalah kita mematuhi berbagai peraturan.
Kita harus bertindak sesuai dengan etika bernegara, etika
berorganisasi, dan etika bermasyarakat.
Terkait etika berorganisasi, setiap pegawai idealnya
melaksanakan setiap kebijakan yang ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang. Selain itu, pegawai juga melaksanakan
perintah kedinasan yang diberikan oleh atasannya, termasuk
mengikuti kegiatan tambahan yang diwajibkan atasannya.
Terakhir, pegawai mestinya mematuhi ketentuan jam kerja
di kantornya.

33
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Di sisi lain, perilaku pegawai yang akan mutasi ini


memunculkan pertanyaan menarik, yaitu mengapa beberapa
pegawai lebih beriorientasi pada kinerja dan kemudian
mengabaikan berbagai peraturan?
Pertanyaan di atas sepertinya dapat dijawab dengan teori
yang dikembangkan oleh Icek Ajzen yang disebut dengan
planned behaviour. Dalam teori ini, Ajzen menyatakan
bahwa perilaku seseorang dapat diprediksi berdasarkan tiga
hal, yaitu sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm),
dan kesan atas kendali perilaku (perceived behavior control).
Sikap adalah sesuatu yang dimiliki seseorang dalam
menanggapi sesuatu hal. Sikap ini dipengaruhi oleh
keyakinan (belief) pegawai. Keyakinan pegawai ini
dipengaruhi berbagai hal seperti pendidikan, pengasuhan,
lingkungan sekitar, informasi yang diterimanya, dan hal
lain yang membentuk persepsi pegawai.
Terkait pegawai yang mutasi ini, keyakinannya adalah
asalkan kinerjanya tercapai, berbagai peraturan administrasi
dapat diabaikan. Keyakinan pegawai ini tentu berbeda
dengan pegawai lain. Pegawai yang lebih patuh terhadap
peraturan biasanya memiliki keyakinan bahwa kepatuhan
adalah bagian dari etika. Dengan kata lain, pegawai tersebut
menganggap bahwa kepatuhan adalah bagian dari tanggung

34
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

jawab moralnya yang harus ia jaga sebagai pegawai.


Norma subjektif terkait dengan norma yang
interpretasikan secara subjektif oleh seorang anggota
masyarakat. Dalam konteks pegawai yang mutasi itu,
ketidakpatuhannya bisa jadi karena interpretasinya
terhadap norma di lingkungannya. Karenanya, tidak aneh
jika ada pegawai yang memiliki asumsi adalah sah-sah saja
peraturan itu dilanggar, asalkan kinerjanya tercapai.
Hal ini sama dengan pelanggaran lalu lintas. Masyarakat
dapat menginterpretasikan secara subjektif bahwa melanggar
peraturan lalu-lintas adalah hal yang wajar asalkan mereka
dapat tiba di kantor tepat waktu.
Kesan atas kendali perilaku adalah kendali perilaku
seseorang yang dipersepsikannya dalam menyikapi sesuatu
hal. Seseorang umumnya akan menimbang-nimbang
tindakan dalam menyikapi sesuatu hal: melakukan atau
tidak melakukan. Tindakannya ini didasarkan pada berbagai
pertimbangan, seperti risiko yang akan diterimanya.
Terkait perilaku pegawai yang mutasi tadi, pilihan
tindakannya akan dipengaruhi oleh konsekuensi antara
ia memilih berorientasi pada kinerja atau berorientasi
pada peraturan. Bisa jadi, kantor pusat tempatnya bekerja
lebih beriorientasi pada kinerja, sementara kantor cabang

35
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

tempatnya bekerja lebih berorientasi pada peraturan.


Karenanya, ia tidak ragu untuk mengutamakan berorientasi
pada kinerja daripada berorientasi pada peraturan.
Karena itu, sangat penting bagi para pejabat struktural
yang bekerja di sektor publik memahami tiga faktor yang
dapat memengaruhi perilaku pegawai. Mereka mestinya
melakukan upaya untuk mengubah keyakinan pegawai
jika ingin mengubah perilaku pegawai. Sebagai contoh,
perilaku ketidakpatuhan atas peraturan dapat diubah
dengan memberikan pemahaman kepada pegawai tentang
pentingnya kepatuhan. Pemberian pemahaman ini mesti
dilakukan secara formal dan informal, seperti melalui
pendekatan personal.
Kemudian, para pejabat struktural perlu melakukan
evaluasi terkait pemahaman pegawai atas suatu norma. Jika
pemahaman mereka ternyata tidak seperti yang diharapkan
organisasi, para pejabat struktural perlu memiliki strategi
mengubah pemahaman tersebut.
Sebagai contoh, mereka dapat menerapkan sanksi yang
lebih berat agar para pegawai memiliki pemahaman atas
suatu norma seperti yang diharapkan organisasi. Penerapan
sanksi ini mesti diterapkan secara konsisten dan adil, tidak
diskriminatif, baik terhadap mereka yang masih muda

36
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

ataupun yang sudah tua, baik wanita ataupun pria, apapun


etnik dan agamanya.
Hanya saja, dalam memilih berbagai alternatif tersebut,
para pejabat struktural perlu mempertimbangkan
konsekuensi sumber daya yang harus dikeluarkan. Misalnya,
instansi pemerintah mesti membeli mesin absensi,
menugaskan pegawai untuk memonitor data di mesin
absensi, dan melaporkan data hasil absensi. Manajemen
yang melibatkan para pejabat struktural juga akhirnya
mesti mengikuti berbagai rapat dan merancang strategi
berdasarkan informasi dari hasil absensi.
Persoalannya, lagi-lagi, hal ini dapat mengakibatkan
sektor publik malah lebih berfokus mengalokasikan sumber
dayanya pada peningkatan kepatuhan pada peraturan
dan akhirnya kinerja organisasi malah terabaikan. Itulah
sebabnya, ide ataupun konsep yang mengubah organisasi
sektor publik di Indonesia menjadi lebih berorientasi pada
kinerja sebagaimana diusung oleh para agen neo-liberal
reforms dari negara Barat sering lebih banyak gagalnya
daripada berhasilnya.***
[1] PC atau ‘pulang-cepat’ adalah istilah untuk pegawai yang pulang lebih

cepat dari jadual normal kantor, sementara TD atau ‘terlambat datang’ adalah

datang terlambat dari jadual normal kantor.

37
z
BAB VI

M engelola Generasi Millenia untuk Meningkatkan


Kinerja Organisasi Sektor Publik

Waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 WIT ketika


para pegawai di unit saya—yang kebanyakan produk
generasi millennia—sudah merapikan berbagai berkas dan
mematikan laptop mereka. Sebenarnya, pemandangan ini
tidaklah aneh.
Pemandangan ini menjadi aneh ketika ternyata masih
ada laporan yang harus mereka kirim ke kantor pusat sore
itu, tetapi mereka sudah berbaris rapi mengantre di depan
mesin kehadiran biometrik. Mereka sepertinya tidak begitu
peduli dengan tenggat waktu laporan yang mesti dikirim ke
kantor pusat.
Pada suatu kesempatan, saya pernah bertanya kepada
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

mereka kenapa mereka begitu bersemangatnya antre di


depan mesin tersebut tanpa peduli dengan tenggat waktu
penyampaian laporan tersebut? Seorang di antara mereka
menjawab: “Mau futsal, Pak.” “Mau senam Zumba, Pak,”
kata yang lain. Ada juga yang menjawab, “Mau nonton ke
Twenty One, Pak.”
Jawaban mereka ini mencerminkan identitas para
pegawai sektor publik produk generasi millenia. Mereka ini
suka duduk berlama-lama di depan komputer laptop sambil
‘berselancar’ di dunia maya dan menikmati game online.
Yang menjengkelkan, mereka sering melakukannya pada
saat jam kerja.
Pada waktu yang lain, saya juga pernah menemui mereka
pada hari libur masih berada di ruang kantor. Lagi-lagi,
mereka asyik dengan laptopnya. ”Sedang browsing mencari
beasiswa, Pak,” kata mereka ketika saya bertanya apa yang
sedang mereka kerjakan.
Yang mengejutkan, pada suatu kesempatan lain, tanpa
tedeng aling-aling ada di antara mereka yang mengajukan
cuti selama tiga bulan. Alasan yang diajukan oleh pegawai
ini adalah cuti tiga bulan akan membuatnya lebih dekat
dengan keluarganya. Ternyata, usut punya usut, ia sedang
menjajagi bekerja di tempat lain.

39
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Dari segi kreativitas, mereka ini memang keren habis.


Sebab, ketika pertama kali bertemu mereka, saya terpesona
dengan pentas seni yang mereka tampilkan di suatu acara
pisah-sambut.
Pentas seni ini luar biasa meriahnya. Penampilan mereka
menunjukkan tingginya nilai seni yang mereka miliki. Saya
sempat angkat topi terhadap kreativitas mereka ini.

Etos Kerja Para Millenia

Sebenarnya, tidak bijaksana membandingkan etos kerja


mereka dengan para pegawai era tahun 1990-an. Pada era
itu, ‘godaan’ teknologi informasi ketika bekerja di kantor
tidaklah terlalu banyak.
Jaringan Internet pun belum secepat seperti sekarang
ini. Aplikasi yang ada di laptop pun masih terbatas untuk
kebutuhan kerja, seperti Wordstar 7 dan Lotus/Excel.
Ketika itu, kami tidak memiliki kesempatan nge-game
seperti halnya para pegawai produk generasi millennia ini.
Soalnya, saat itu kapasitas harddisk komputer kami hanya
sekitar 250 Megabytes.
Karenanya, laptop pun hanya dapat kami gunakan
untuk pekerjaan kantor dan sedikit untuk game standalone.

40
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Sekarang, laptop sudah sedemikian canggihnya dengan


kapasitas harddisk yang besar. Karenanya, para pegawai
produk generasi millenia bisa menggunakan laptop untuk
bermain game Internet.
Saat bekerja pun para pegawai produk zaman now ini
sudah memiliki smartphone dengan beragam aplikasi yang
mudah diunduh. Bahkan, beberapa di antara mereka dapat
melaksanakan pekerjaan kantor sambil menjalankan bisnis
online mereka.
Ketika koneksi jaringan kantor ke Internet sedang lancar-
lancarnya, mereka seperti terhipnotis ‘menundukkan’
kepalanya ke laptop dan–seperti Anda maklumi–ber-
facebook ria.
Di sisi lain, teknologi informasi sangat mengganggu
(distracted) mereka. Mereka ini sering bekerja ‘seadanya’.
Bagi mereka, yang terpenting adalah pekerjaan selesai, tanpa
peduli kualitasnya. Mereka ini selalu ‘dihantui’ dunia maya.
Karena hantu dunia maya ini, mereka sangat individualis.
Karenanya, mereka tidak mampu bekerja teamwork.
Benarlah kata pameo, kecanggihan teknologi informasi saat
ini telah membuat mereka semakin jauh dari lingkungan
terdekatnya, tetapi mereka semakin dekat dengan
lingkungan terjauhnya.

41
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Sebagai contoh, mereka sering bertegur-sapa sambil


tersenyum-senyum sendiri dengan teman-teman mereka
di dunia maya, tetapi mereka jarang bertegur-sapa dengan
teman-teman mereka yang duduk di dekat meja mereka.

Memahami Perbedaan Generasi

Prensky (2001) mengidentifikasi para pegawai produk


generasi millenia ini sebagai ‘digital native’. Istilah ini
mungkin cukup familiar jika Anda mengenal istilah ‘native
speaker’ dalam bahasa Inggris.
Sebagaimana native speaker, yaitu orang-orang yang sangat
lincah dan lancar berbahasa Inggris karena mereka lahir di
negara yang bahasa utamanya adalah bahasa Inggris, digital
native ini sangat lincah dan lancar dalam menggunakan
teknologi informasi. Mereka ini seolah-olah dilahirkan dan
dibesarkan oleh ‘ibu’ digital.
Sebaliknya, generasi tua sebelum generasi millenia
disebut sebagai digital immigrant. Berbeda dengan generasi
millenia yang telah menjadikan teknologi informasi sebagai
bagian hidup mereka, generasi tua adalah ‘kaum pendatang’
atau ‘imigran’ teknologi informasi. Sebagai kaum pendatang,
mereka membutuhkan kerja keras untuk sekedar bisa

42
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

menggunakan teknologi informasi.


Berbeda dengan generasi tua, generasi millenia terbiasa
membaca teks dan mengeditnya langsung di depan layar
komputer. Sementara itu, generasi tua lebih terbiasa
membaca hard-copy. Mereka ini suka mengedit tulisan di
kertas.
Prensky mengatakan bahwa generasi tua sering
memandang sinis gaya hidup generasi millenia. Dalam
pandangan mereka, kebiasaan generasi millenia bekerja
multi-tasking membuat mereka kurang fokus atas apa
yang mereka kerjakan. Yang mengerikan, kurang fokusnya
generasi millinea ini ternyata menjadi salah satu sebab
menurunnya kualitas pendidikan di Amerika Serikat.
Generasi tua masih beranggapan bahwa cara ideal untuk
belajar adalah dengan menggunakan metoda yang pernah
mereka peroleh di masa lalu. Alhasil, generasi tua ini
ngotot memaksakan metode pembelajaran yang mereka
gunakan untuk mengajar generasi millenia. Akibatnya,
tentu bisa ditebak, pola pengajaran generasi tua dianggap
membosankan oleh generasi millenia.
Karenanya, sebagaimana pendapat Prensky, kita perlu
memahami karakteristik antar generasi agar tujuan
organisasi publik tercapai. Kita perlu memahami bahwa para

43
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

pegawai produk generasi millenia memiliki karakteristik


yang berbeda bila dibandingkan dengan para pegawai
produk generasi tua seperti saya ini.
Ertas (2015) juga menyatakan bahwa kegagalan kita
memahami para pegawai produk generasi millenia ini
dapat memunculkan berbagai permasalahan di lingkungan
kerja, seperti rendahnya tingkat kepuasan kerja dan tingkat
produktivitas mereka.
Jika kepuasan dan produktivitas ini tidak kita perhatikan,
organisasi sektor publik akan menanggung biaya besar.
Sebagai contoh, organisasi publik akan mengeluarkan
biaya rekrutmen yang besar karena banyak pegawai produk
generasi millenia mengundurkan diri di tengah jalan.
Burstein (2013) mengingatkan bahwa generasi millenia
ini memiliki potensi luar biasa. Lihat saja, banyak di antara
mereka yang mendirikan YouTube, Facebook, Twitter,
Groupon, Foursquere, Instagram, dan Tumblr. Di Indonesia,
kita juga melihat di antara mereka yang sukses. Mereka
sangat kreatif dan potensial untuk membawa kemajuan.
Karenanya, kita perlu berpikir kembali bagaimana
mengelola potensi para pegawai produk generasi millenia
ini di organisasi sektor publik. Saratovsky dan Fieldmann
(2015) menyarankan empat strategi mengelola mereka.

44
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Pertama, kita mesti memberikan kesempatan kepada


mereka untuk memimpin. Karenanya, jenjang karir
profesional birokrasi tidak boleh kaku seperti saat ini. Di
lingkungan pemerintahan daerah, politisi juga mesti
memerankan mereka.
Kedua, kita mesti menumbuhkan iklim transparansi
dalam organisasi. Itulah sebabnya informasi di organisasi
publik harus mudah diakses, seperti informasi anggaran,
belanja, dan pengeluaran. Kemudian, para pegawai produk
generasi millinia ini mesti dikenalkan dengan visi, misi, dan
peran organisasi.
Ketiga, kita mesti membangun komunikasi yang efektif
dengan baik, secara online maupun offline, yang mampu
menguatkan interaksi sosial mereka. Pola komunikasi ini
akan memperkuat modal sosial organisasi yang dalam banyak
literatur dianggap sebagai faktor dalam meningkatkan
kinerja organisasi.
Keempat, kita mesti memberikan kesempatan kepada
para pegawai produk generasi millenia ini untuk turut serta
dalam memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi
organisasi. Keterlibatan ini dapat memunculkan rasa
penghargaan dan pengakuan akan potensi mereka.

45
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Epilog

Para pegawai sektor publik produk generasi millenia


memiliki karakteristik yang berbeda dengan generasi
sebelumnya. Hal ini merupakan fakta yang tidak bisa ditolak.
Mereka hadir seiring dengan berjalannya waktu.
Kelak mereka ini akan mewarisi apa yang telah dibangun
oleh generasi sebelumnya. Merekalah yang nantinya akan
duduk di jajaran pimpinan organisasi publik di negeri ini.
Yang kita butuhkan saat ini adalah strategi untuk
menguatkan potensi mereka agar mereka dapat bermanfaat
bagi organisasi publik, bukan memandang mereka dengan
nada sinis.***

46
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

47
z
BAB VII

M engintip Misteri dan Marwah Jabatan,


Bagai Menangkap Durian Runtuh

Semangat Pagi...
Saya punya sebuah cerita untuk anda semua, tentang dua
orang sahabat bernama Dani dan Edwin. Mereka sedang
bertemu dan membicarakan pekerjaan masing-masing.
Begini ceritanya.
Dani mengeryitkan keningnya saat mendengar cerita
Edwin yang pernah ditawari jabatan menjadi admin dengan
mahar Rp.250 juta. Angka senilai itu saja sudah membuat
Dani terkejut, terlebih lagi ketika ia dengar bahwa mahar
untuk Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama mencapai Rp.350
juta.
Padahal, mahar senilai Rp.250 juta itu baru akan setara
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

dengan jumlah tunjangan struktural eselon 3 selama 200


bulan. Artinya, seandainya Edwin menerima tawaran jabatan
tersebut maka konsekuensinya tunjungan strukturalnya
selama 200 bulan harus diberikan kepada orang lain.

Menengok masa lalu dan masa kini

Dani dan Edwin bersahabat semenjak sekolah menengah


pertama (SMP). Selepas sekolah menengah atas (SMA), Dani
melanjutkan kuliah di perguruan tinggi sedangkan Edwin
memilih untuk mencari pekerjaan, karena keterbatasan
dana. Nasib mujur bagi Edwin yang tidak berapa lama
kemudian diterima sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Berawal dari acara reuni alumni SMP, pada akhirnya
Edwin dan Dani yang sudah hampir 8 tahun tidak bersua
dipertemukan kembali. Terakhir kali sebelumnya, Dani
bertemu Edwin dengan tampilan sederhana di Warkop
Pojok alon-alon.
Kini, penampilan Edwin jauh berubah drastis. Mobil
sedannya diparkir di paling ujung, made in America
keluaran terbaru. Begitu pula asesoris yang melekat di
badannya, tidak bisa dibilang murah. Kemewahan ini sudah
klop dengan gaya bicaranya yang menandakan dirinya

49
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

adalah pejabat.

Cerita tentang jabatan

Usai acara reuni, Edwin mengajak Dani berjalan-jalan


singkat dan berujung di rumah makan Father Suki, sebuah
modern cullinary life style ala Jepang. Sambil menikmati
Suki, Edwin membuka obrolan ringan seputar keluarga,
lingkungan pekerjaan dan “experience” promosi jabatan yang
dialaminya.
Dengan terbuka Edwin bercerita lingkungan kerjanya
yang tergolong “basah” sambil bergurau bahwa semua bisa
diatur dan dikendalikan. Misalnya, dalam urusan Pengadaan
Barang dan Jasa (PBJ) proses lelang “bisa dikondisikan”.
Jagonya sudah ditentukan dan persyaratan diatur.
Seandainya yang menang bukan jagonya, nanti sang
pemenang akan diboikot, tidak didukung supplier aspal (yang
sudah dikondisikan juga). Sehingga, pemenang yang bukan
jago akan kena black list. Jika tidak bisa bekerja (karena tidak
adanya ketersediaan aspal), lama-lama yang bukan jago akan
berpikir ulang sebelum mau ikut lagi. Karena kalau menang
pun juga nggak bisa bekerja.
Modus lain memperkaya diri dengan uang negara bisa

50
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

dilakukan dengan rekayasa pekerjaan konsultan updating


sarana prasarana (sapras). Hampir setiap tahun dianggarkan
updating sapras sebesar Rp.150 juta. Padahal, dia tahu
sendiri ada daerah yang sejak tahun 2013 hingga sekarang
selalu menerima updating sarpras, tetapi jumlah jalan tidak
berubah.
Saya jadi berpikir, itulah alasan mengapa pegawai yang
ditempatkan di unit sarpras dan peneliti anggaran sarpras
merupakan pegawai dengan basis ilmu yang tidak sesuai.
Mungkin ini disengaja agar pimpinan bisa mengambil
kesempatan dari ketidaktahuan stafnya. Anggaran sebesar
Rp.150 juta ujung-ujung nya menjadi “bancaan” setelah
dipotong fee dan pajak.
Modus lain pemborosan uang negara ialah dengan reviu
Detail Engineering Design (DED). Dengan alasan terjadi
inflasi, reviu DED membuat nominal anggaran menjadi lebih
tinggi meskipun tidak ada perubahan desain sama sekali.
Padahal, seharusnya pejabat pembuat komitmen (PPK)
membuat harga owner’s estimate dengan penyesuaian. Jadi,
tidak tiap tahun dianggarkan kegiatan reviu yang begitu
besar dan tidak efisien.
Terkait dengan risiko kenakalan pegawai dengan minta-
minta fee kepada rekanan, ada saja akal untuk “pura-pura”

51
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

menghukum. Paling-paling, mereka ini dimutasikan ke


organisasi perangkat daerah (OPD) lain, tetapi tiga bulan
kemudian oleh Baperjakat dikembalikan ke OPD asal.
Cerita Edwin makin berkembang hingga tentang dunia
malam yang tidak jauh-jauh dari “entertaiment”. Kita mungkin
pernah mendengar beberapa berita tentang penangkapan
kasus transaksi prostitusi. Sebenarnya dengan berita itu
para koruptor senang. Sebab, transaksi serah terima uang
dikamuflase sebagai transaksi prostitusi. Modus ini telah
berhasil mengelabui aparat sedangkan transaksi aslinya
tidak terlacak.
Sebenarnya masih banyak yang ingin diceritakan Edwan
kepada Dani.
Namun, matahari hampir terbenam sementara masing-
masing masih punya urusan yang harus dikerjakan. Kedua
sahabat yang berbeda nasib itupun berpisah di ujung
persimpangan.

Saat Matahari Terbenam

Tenggelamnya mentari sore itu mengiringi sebuah


kesimpulan. Meskipun bersahabat sejak dulu, tetapi
mereka berdua mempunyai pandangan yang berbeda dalam

52
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

memaknai arti “jabatan”.


Edwin berpandangan bahwa jabatan ialah privilege, sebuah
kenikmatan bagaikan “Buah Durian”. Pada umumnya
masyarakat berpendapat bahwa durian itu nikmat, meskipun
kulit luarnya berduri. Kenikmatan jabatan ini diimpikan
banyak orang karena disertai dengan penghasilan dan
fasilitas. Tidak kalah pentingya ialah bahwa sebuah jabatan
akan menaikkan derajat pergaulan di masyarakat.
Di sisi lain, Dani berprinsip untuk hidup dalam
kemanfaatan. Dia memandang jabatan dari sudut pandang
“Marwah Jabatan” ialah sebagai pemimpin. Dani teringat
petuah Ki Hajar Dewantoro,
“Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karso,
Tut Wuri Handayani”.
Artinya, ketika seorang pemimpin berada di depan
hendaknya memberikan teladan bagi pengikutnya. Ketika
di tengah hendaknya ia memberikan prakarsa atau ide, lalu
di belakang memberi dorongan atau motivasi.

Epilog

Dari Dani dan Erwin kita bisa melihat dua sudut


yang berbeda dalam memandang jabatan. Dalam hemat

53
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

saya, jabatan adalah amanah yang diberikan pimpinan.


Jabatan hanya “kemasan”. Substansi dari jabatan adalah
pelayanan. Semakin tinggi jabatan maka seseorang lebih
bisa berkontribusi dengan tenaga maupun pikiran untuk
masyarakat.
Jendral Sam Ratulangi mengatakan “Si Tou Tumou Tou“,
manusia hidup untuk menghidupi manusia (memanusiakan
manusia). Semoga kita semua dalam menjalankan tugas
negara, selalu diberikan “Rasa Eling lan Waspodo”, sehingga
senantiasa menjaga amanah dalam setiap jenjang jabatan.

54
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

55
z
BAB VIIi

P eran APIP dalam Mengawal Akuntabilitas dan Inovasi


pada Pemda Banyuwangi, the Sun Rise of Java

Ada dua peristiwa mengesankan yang terjadi dalam


waktu yang hampir bersamaan. Beberapa waktu yang lalu,
saya bertemu dengan seorang kawan lama dari Manado.
Saat ini beliau menduduki jabatan struktural Eselon III di
Inspektorat Kabupaten Banyuwangi.
Kami makan malam bersama di restoran Kampoeng
Popsa di Kota Makassar, sekedar mengobrol berbagi
cerita. Beberapa hari sebelumnya Azwar Anas Sang Bupati
Banyuwangi, yang juga adalah pimpinan kantor kawan saya
itu, diundang tampil di acara Kick Andy “Succes Story”.
“Wah, sudah ada bahan pembicaraan menarik nih”, pikir
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

saya waktu itu.

Penghargaan Paramsamya Purnakarya Nugraha

Salah satu berita menarik tentang Banyuwangi terbit di


beberapa surat kabar lokal pada 18 Juli 2019. Isinya tentang
penghargaan Paramsamya Purnakarya Nugraha, yang
diserahkan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia, Jusuf
Kalla, kepada Pemerintah Kabupaten Banyuwangi pada hari
sebelumnya.
Parasamya Purnakarya Nugraha berasal dari Bahasa
Sansekerta, berarti anugerah atas pekerjaan yang baik atau
sempurna untuk (kepentingan) semua orang. Penghargaan
ini mengapresiasi hasil karya tertinggi pelaksanaan
pembangunan 5 tahun dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan seluruh rakyat pada level pemerintah daerah.
Banyuwangi lah yang menyabetnya tahun ini.

Prestasi Nasional Lainnya

Selain penghargaan bergengsi di atas, setiap tahun


Kabupaten Banyuwangi juga tidak pernah sepi dari prestasi.
Dalam hal pelaporan keuangan, opini Wajar Tanpa

57
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan


(BPK) telah diperoleh sebanyak 6 kali.
Tahun ini pula, Banyuwangi mendapatkan peringkat
ke-3 nasional hasil penilaian Laporan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah (LPPD) oleh Kementerian Dalam
Negeri. Kabupaten Banyuwangi juga mendapatkan predikat
A dalam evaluasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN/RB) atas
Sistem Akuntabilitas Penyelenggaraan Kinerja Instansi
Pemerintah (SAKIP) yang dijalankannya.

Menggali Informasi tentang Keberhasilan Banyuwangi

Tak ingin sia-sia, pertemuan dengan kawan dari inspektorat


Banyuwangi itupun saya manfaatkan untuk menggali lebih
jauh tentang “Bagaimana praktek pengelolaan layanan
masyarakat dan pengawasan di Kabupaten Banyuwangi”.
Menjawab pertanyaan itu, ada beberapa hal yang saya catat.

1. Inovasi berupa e-audit


E-audit, singkatan dari electronic audit, merupakan sistem
informasi yang mendukung penyelenggaraan Manajeman
Risiko, penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan

58
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

(PKPT), Tentative Audit Objective (TAO), Program Kerja


Audit (PKA), Kertas Kerja Audit (KKA), Formulir Kendali
Mutu, perumusan temuan, dan pemantauan tindak lanjut.
E-audit telah hadir di Banyuwangi dan dimanfaatkan oleh
APIP. E-audit tersebut sangat membantu pekerjaan auditor.
Hanya perlu “klik” pada salah satu di antara berbagai pilihan
kegiatan audit akan muncul pilihan permasalahan dan
alternatif solusinya. Pilihan TAO, jenis-jenis PKA, prosedur
audit serta teknik audit bahkan format KKA bisa langsung
di-download.
Tak mengherankan jika sistem informasi ini menjadi
benchmarking institusi audit lainnya. Berkat kegunaannya,
aplikasi tersebut bahkan sudah diadopsi oleh 11 instansi
Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) lain di
Indonesia.

2. Pengembangan Manajemen Risiko bekerja sama


dengan Universitas Jember
Cukup menarik cerita kawan ini terkait dengan proses
pengelolaan risiko. Di Banyuwangi tiap-tiap organisasi
perangkat daerah (OPD) sudah melakukan identifikasi dan
analisis risiko. Pemerintah Daerah (Pemda) Banyuwangi
bekerja sama dengan Universitas Jember, salah satu kampus

59
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

ternama di Jawa Timur.


Berkat program ini, pengelolaan risiko menjadi lebih
mumpuni. Berbagai dokumen yang mendokumentasikan
komitmen pemda tentang manajemen risiko, misalnya
peta risiko, sudah diibuat sehingga setiap kegiatan yang
akan dilaksanakan dengan mudah diketahui risikonya. Hal
demikian merupakan sebuah langkah yang patut diacungi
jempol.

3. Melakukan Audit Kinerja terhadap OPD


Secara khusus pada Inspektorat Kabupaten Banyuwangi
terdapat inovasi penting lainnya. Inovasi ini ialah mengubah
pendekatan pengawasan yang dulunya berdasarkan rencana
reguler tahunan berbentuk PKPT, yang didominasi oleh
audit ketaatan/compliance audit, kini sudah bergeser ke audit
kinerja berbasis risiko.
Dengan begitu, laporan hasil audit oleh inspektorat tidak
lagi dominan di temuan keuangan, tetapi lebih banyak
menjangkau hingga efektivitas kegiatan-kegiatan pemda.
Bukankah memang seperti itu semestinya praktik audit
internal berkontribusi terhadap pengelolaan keuangan
publik?

60
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

4. Alokasi Anggaran Khusus untuk Inovasi


Pada dokumen pelaksanaan anggaran (DPA) inspektorat
dalam 3 tahun terakhir selalu dialokasikan dana lebih dari
Rp.100 juta secara spesifik untuk program inovasi. E-audit
merupakan salah satu hasil program inovasi ini.
Tidak hanya di inspektorat, pada setiap OPD lainnya
pun dianggarkan juga biaya khusus untuk inovasi. Berkat
dukungan sumber daya finansial ini, pada tahun 2019 ini
sudah ada 4 inovasi dari Pemerintah Daerah Banyuwangi
yang masuk di antara 100 inovasi nasional.

5. Monitoring Pelaksanaan Anggaran di OPD secara


online.
Pengembangan integrasi sistem perencanaan, pelaksanaan
dan pelaporan anggaran di Pemda Banyuwangi dalam kurun
5 tahun terakhir telah berbuah manis. Kondisi tersebut
tentu saja merupakan bagian dari upaya implementasi
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Telah terintegrasinya SPIP tersebut memudahkan
inspektorat untuk melakukan monitoring jarak jauh
(remote audit). Metode ini sangat cocok misalnya jika
diterapkan pada pengawasan tentang penyerapan anggaran
tiap-tiap OPD.

61
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Dengan metode pengawasan ini, apabila terdapat OPD


yang melakukan pengadaan barang dan jasa tidak sesuai
Standar Harga, maka tim inspektorat dapat dengan cepat
mendeteksinya. Mekanisme semacam ini sangat sesuai
dengan konsep peringatan dini atau “Early Warning System”.

6. Pengamanan Aset Kendaraan


Kendaraan operasional harus disimpan di kantor pada
periode di luar jam kerja. Terhadap pelanggaran terhadap
ketentuan tersebut dikenakan penalty, berupa pemotongan
atas tunjangan kinerja pengguna kendaraan tersebut selama
dua bulan.
Para pejabat pemda seperti sekretaris daerah dan kepala
dinas bepergian berangkat dan pulang kerja dengan
menggunakan kendaraan pribadi. Adapun kendaraan
operasional hanya dipakai saat jam kantor. Rupanya,
kebijakan ini bisa menghemat anggaran operasional kantor
sebanyak lebih dari 20%.

7. Fasilitator Check and Balance Unsur Legislatif


dan Eksekutif
Mengelola hubungan antara kepala daerah sebagai
eksekutif dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

62
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

sebagai legislatif bukanlah perkara mudah. Sebagus apapun


kepemimpinan seorang kepala daerah, jikalau ia tidak
mampu berkordinasi baik dengan legislatif maka akan jadi
kendala dalam melaksanakan pembangunan.
Untuk masalah ini, APIP Banyuwangi turut serta menjaga
keharmonisan relasi legislatif dan eksekutif. Sebab, dalam
urusan pengawasan APIP dan DPRD punya peran yang
“beririsan”. Legislatif berperan dalam penyusunan dan
pengesahan APBD, sementara APIP mengawal pelaksanaan.
Berkaitan dengan APBD ini, inspektorat sebagai APIP
di Kabupaten Banyuwangi menjalankan peran dengan
sangat baik. Inspektorat mendukung koordinasi Bupati
sebagai eksekutif sekaligus menjadi pengawas pada
tahapan pelaksanaan APBD. Dengan kata lain, inspektorat
melaksanakan peran check and balance.

Epilog

Sebagai catatan saya, berbagai prestasi yang telah diraih


Pemda Banyuwangi tidak terlepas dari inovasi yang tiap
tahun ditargetkan oleh kepala daerahnya. Program inovasi
pun telah diimbangi dengan alokasi anggaran di masing-
masing OPD.

63
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Inovasi-inovasi tersebut juga memenuhi satu di antara dua


kriteria. Yaitu, terkait langsung dengan pelayanan kepada
masyarakat, atau bisa memberikan manfaat tidak langsung
terhadap kemajuan pembangunan. Misalnya, event-event
spesial di Banyuwangi yang terbukti mampu mendatangkan
wisatawan dari luar daerah, bahkan dari mancanegara.
Untuk program inovasi ini, peran APIP sangat strategis
sebagai pengawal akuntabilitas. Inovasi yang dicanangkan
di Banyuwangi dicita-citakan bukan sekedar menjadi
inovasi yang menghabiskan anggaran daerah, tetapi menjadi
inovasi yang betul-betul meningkatkan layanan pemda
kepada masyarakat.
Pemda Banyuwangi ingin mewujudkan sebuah kondisi
ideal sebagaimana slogan mereka “Banyuwangi Bahagia”.
Demikian sejumput inspirasi yang saya catat dari obrolan
tentang Banyuwangi, the Sunrise of Java.
Semoga menginspirasi rekan-rekan APIP lainnya.

64
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

65
z
BAB ix

P otret Birokrat Tajir, Berdedikasi,


Mengabdi pada Negara

“Maaf Fren, ini aku sambil nyuci mukena dan sajadah


kantor. Soalnya tadi malam aku pulang kerja terlalu malam”,
begitu bunyi pesan WhatsApp dari RR Ratih, panggilan
akrab saya untuk Ratih Kusumaningrum, seorang teman
nun jauh di sana. Membacanya bagaikan dibasahi air hujan
di musim kemarau.
Saya terkesima dengan isi chat RR Ratih itu. Sebab,
sepengetahuanku yang bersangkutan masih keturunan
ningrat. Akan tetapi, di zaman yang hedonis seperti ini ia
masih mau mengerjakan pekerjaan kasar seperti mencuci,
meskipun barang yang ia cuci itu ialah miliknya sendiri.
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

RR Ratih merupakan teman saya semasa sekolah


menengah atas (SMA) di sebuah daerah di Pulau Jawa.
Seringkali saya dulu berada satu kelompok ekstrakurikuler
penelitian dengannya. Ibunya masih trah ke-3 keturunan
raja.
Untuk ukuran ekonomi, keluarga RR Ratih termasuk
berada. Bapaknya adalah seorang pegawai negeri sipil (PNS)
sedangkan ibunya mempunyai bisnis otomotif yang pada
era tahun 80-an begitu maju. Dengan kekayaan kedua orang
tuanya itulah Ratih hidup berkecukupan.
Selepas tamat SMA, saya mendengar bahwa RR Ratih
mengambil kuliah pada jurusan teknik, jurusan dan kampus
yang jauh berbeda dengan saya. Setelah itu komunikasi
kami terputus. Beberapa waktu yang lalu, tepatnya setelah
20 tahun putus kontak, saya menemukan jejaknya dengan
searching via media sosial. Selanjutnya, tak butuh waktu
lama bagi kami untuk ngobrol seperti halnya kawan yang
lama tak berjumpa.
Saya tertarik dengan cerita-cerita dari RR Ratih. Salah
satunya tentang pengalaman ketika ia dilamar salah satu
partai politik (parpol) untuk diusung jadi wakil walikota.
Ratih menolak dengan alasan tidak tertarik pada jabatan.
“Lagian nggak bakalan ada orang yang mau nyoblos

67
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

saya, musuh saya terlalu banyak.” Begitu cerita RR Ratih


mengulang kata-katanya dulu.
Padahal, parpol tersebut mencalonkan Ratih bukan tanpa
alasan. Di kalangan para punggawa pemerintah daerah
tempat ia mengabdi saat ini, RR Ratih terkenal sebagai
seseorang yang bersikap bagaikan sahabat Rasul “Umar Bin
Khatab”. Ia berani berkata “tidak” untuk yang semestinya
tidak diiyakan.
Misalnya, tentang pengesahan anggaran yang bersifat
pemborosan uang negara. Ratih akan dengan tegas
menolaknya. Berbagai permasalahan modus korupsi uang
negara juga ia temui dalam birokrasi. Bukannya lari atau
bahkan terlibat korupsi dan mengambil keuntungan, RR
Ratih justru memiliki alasan kuat untuk bertahan dalam
pemerintahan.
Sebenarnya Ratih juga mempunyai kompetensi sebagai
pengusaha, mewarisi jiwa bisnis ibunya. Sehingga, di samping
mengabdi sebagai PNS ia pun nyambi menyelenggarakan
bisnis di bidang properti. Pada hari kerja is bekerja sebagai
abdi negara, sementara sabtu minggu mengurusi bisnisnya.
Ratih bercerita, “Kalau saya kerja murni mengurusi usaha
properti, sakjane hasilnya jauh lebih besar. Saya pasti juga
terhindar dari penipuan-penipuan mandor. Tapi, niat

68
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

kerja saya sebagai PNS hanya untuk mencegah semakin


banyaknya pelaku korupsi. Itulah, meski saya jualan rumah
sudah cukup menghidupi, tapi saya tetap mempertahankan
jadi PNS di sini. Setidak-tidaknya untuk ngerem kegilaan
sistem yang dibuat agar tindakan menyimpang itu seolah-
olah menjadi legal”.
Sepak terjang Ratih menjadi semakin nyata ketika ia
diangkat menjadi Eselon 4 perencanaan teknis di pemdanya.
Tugas Ratih mengharuskannya mensupervisi semua desain.
Ratih selalu mencoret gambar perencanaan yang dibuat
dengan asal-asalan atau dibuat dengan titipan volume.
Menghindari “ketegasan” itu, atasannya membuat
kebijakan bahwa desain perencanaan teknis tidak perlu
diperiksa dan tanda tangan supervisor. Jelas, tindakan
penuh integritas Ratih ini dibenci di organisasinya sendiri.
Sewaktu Ratih di organisasi perangkat daerah (OPD)
perencanaan, ia semakin lincah mencoret rencana kerja
anggaran (RKA). Ia memverifikasi banyak hal, misalnya
tentang anggaran belanja modal alat berat yang begitu besar
diajukan, namun pemasukan pendapatan asli daerah (PAD)
dari sewa alat berat sangat minim. Ternyata pembelian alat
berat itu dimanfaatkan untuk kontraktor yang dipunyai
salah satu oknum PNS.

69
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Belanja modal mobil double cabin juga dia coret. Sebab,


sudah ada info yang dia terima tentang kondisi jalan-jalan
di kotanya yang bagus. Pembelian mobil double cabin itu
tidak perlu, hanya sekedar untuk memuaskan gengsi dengan
memakai duit negara.
Siang ini, perjuangan Ratih menumpas mafia di OPD tidak
berhasil. Ia menceritakannya dengan sedih pada saya. Reviu
OPD atas bidang Sapras tidak bisa dialakukan karena bukan
wewenangnya, meskipun dia tahu bahwa ada kesalahan di
dalam pengajuannya.
“Bidang sarpras tidak membolehin proyek-proyek siluman
itu dipangkas. Karena semua pekerjaan itu sudah ada yang
punya, alias sudah pesanan pihak lain yang kerja sama
dengan oknum orang dalam,” begitu Ratih berkisah.
“Hari ini saya survei ke beberapa gedung sekolah dasar
(SD) rusak yang diajukan anggarannya ke kami. Sungguh
memprihatinkan keadaannya. Teringat dengan proyek
pengadaan di bidang sarpras, rasanya semakin menyesakkan.
Ada ketidakadilan karena pengajuan anggaran OPD Sapras
itu jor-joran. Padahal mestinya yang jor-joran itu bisa
dialokasikan untuk banyak SD di pinggiran yang udah rusak
parah.”
“Hanya disetujui dana 20 juta rupiah untuk setiap SD

70
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

yang rusak itu. Sungguh ironis. Apakah karena proyek di


sekolah-sekolah itu tidak memberikan setoran pada para
pejabat, atau tidak ada deal-deal untuk mark up, sehingga
mereka harus mengalah dengan proyek-proyek yang sudah
terkondisikan?”, sambung Ratih lagi. Rasanya saya pun
turut murka mendengarnya.
Selanjutnya Ratih menceritakan bahwa baginya uang
negara itu harus diperlakukan seperti uang di dompet
sendiri. Ini adalah prinsipnya sejak masih berstatus Calon
Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Dengan prinsip itu, ia akan
eman-eman (berhemat) dalam membelanjakan uang negara.
Ratih bercerita bahwa ia suka ngeprint di atas kertas bolak
balik, selain juga pakai mode econo fast. Kalau tidak perlu,
ia tak mau melakukan perjalanan dinas. Bila ada snack rapat
tentu juga sesuai tingkat kedatangan pada rapat sebelumnya,
biar tidak mubazir. Semua itu biar hemat.
Ironi nya di lain pihak, ada yang memperlakukan uang
negara dengan menghambur-hamburkan sesuka hati.
Mereka lupa, kalau uang sendiri menjadi kikir, tapi kalau
uang negara diperlakukan seperti aji mumpung. Innalillaahi...
ke mana perginya hati nurani.
Ratih pun menceritakan empatinya terhadap kerusakan di
lingkungan sekitar.

71
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

“Gara-gara tindakan nakal oknum, saya jadi sering


memperbaiki jembatan yang dekat rumah dengan uang
pribadi. Saya suruh tukang, saya foto, sampai tukang saya
masuk nggrowong di bawah jembatan. Lha kalau tidak
segera saya perbaiki, khan kasian masyarakat yang lewat
ruas jalan di depan saya, bisa-bisa muter. Mungkin banyak
orang yang heran, saya PNS, orang dalem, tapi kok mau-
maunya nduitin pakai uang pribadi. Bukankah mudah
dengan memakai APBD?. Tapi pemikiran saya tidak seperti
itu, mengapa?. Karena jika ditangani dengan APBD, pasti
nanti rusak-rusak terus. Jadi saya mantap pakai uang sendiri
dengan suruhan tukang saya. Semakin banyak yang lewat
jembatan yang saya perbaiki, Alhamdulillah menjadi amal
jariyah” , ungkap Ratih pada kesempatan yang lain lagi.
Luar biasa Ratih, begitu ucap saya dalam hati, sesaat
sebelum mencoba menggali lebih lanjut lagi apa motivasinya
berbuat sosial yang demikian.
“Itulah rahasia ilahi. Pengeluaran saya sedikit, karena saya
nggak neko-neko. Saya hidup sederhana dan rejeki yang
saya dapat dari jualan properti biaya saya pakai lagi untuk
membiayai kegiatan sosial. Tanah yang awalnya saya beli
hanya Rp.150 juta aja, di tangan saya bisa terjual lagi hingga
laku Rp.900 juta. Tentunya dengan proses pengolahan dulu.”

72
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Ratih juga mengungkapkan bahwa gaya hidup keseharian


orang-orang pada jaman sekarang banyak yang makan
gengsi. Demi pengen naik tetapi nggak punya duit, mereka
rela sampai korupsi. Padahal, kondisi jalanan macet di
mana-mana.
Saya tahu benar maksud Ratih tentang gengsi itu.
Meskipun di rumahnya tersedia banyak mobil pribadi, ia
tetap berangkat ke kantor naik sepeda. Nyatanya ia baik-
baik saja. Baginya, lebih banyak benefit-nya naik sepeda
karena bisa hemat alokasi waktu untuk olah raga, sehingga
ia juga bisa mempunyai waktu lebih bagi keluarga.
Sungguh membanggakan punya sahabat yang telah lama
tidak bertemu tapi tetap baik hati, bahkan menjadi semakin
hebat, seperti Ratih. Di manapun RR Ratih berada, ia selalu
memberikan hal-hal baik untuk organisasi dan orang-orang
di sekitarnya.
Sosok Ratih bagi saya adalah potret birokrat tajir,
berdedikasi, dan mengabdi pada negara .
Semoga kami bisa seperti itu juga.
Amiiin...

73
z
BAB x

S ebuah Perenungan, Jajah Deso Milang Kori,


Berbahkti pada Ibu (Pertiwi)

Semangat pagi, Salam satu Akuntabilitas...

Ingatanku, kembali pada Almamater SMAN 1 Klaten.


Karena pada waktu itu transportasi masih sulit sehingga
harus indekost didekat stadion. Inilah awal perantauan saya
dalam rangka “Jajah Deso Milang Kori” yang terjemahan
bebasnya bepergian jauh menjelajah wilayah, menghitung
pintu demi pintu.
Maknanya melakukan sebuah perjalanan dalam rangka
mencari “hakekat hidup” dengan mengenal berbagai bentuk
kehidupan serta watak penduduknya yang berbeda-beda.
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Manakala terjadi masalah maka menggunakan pedoman/


pendekatan yang berbeda.
Syair lagu Ibu Pertiwi, menginspirasi saya untuk
menuliskan perjalanan tugas sebagai ASN dalam mengawal
Akuntabilitas Keuangan dan pembangunan.
Bait demi bait, mengandung makna yang begitu mendalam,
mari sama-sama kita simak dan resapi.....

Kulihat Ibu Pertiwi


Sedang bersusah hati
Air matamu berlinang
Mas intanmu terkenang

Hutan, gunung, sawah, lautan


Simpanan kekayaan

Kini Ibu sedang susah


Merintih dan berdoa

Kulihat Ibu pertiwi


Kami datang berbakti
Lihatlah Putra putrimu
Menggembirakan Ibu

75
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Ibu kami tetap cinta


Putramu yang setia
Menjaga harta pusaka
Untuk Nusa dan Bangsa

Setelah menjalani pendidikan ajun akuntan di


STAN, tahun 1994 dalam kurun waktu 25 tahun telah
melaksanakan penugasan tidak kurang dari 5 Tempat.
Bertugas sebagai ASN diberbagai tempat, bagaikan Musafir,
menempuh perjalanan pada 4 penjuru mata angin, yaitu
Barat-Timur, Utara-Selatan, “Dari Pulau Rote sampai
Pulau Sangihe”. Sungguh berat rasanya, ketika berpamitan
pada ibu yang sudah berusia lanjut, tinggal sendiri di usia 77
tahun dirumah. Pasti ibu merasa kesepian setelah ditinggal
alm bapak 5 tahun yang lalu.
Dalam rasa sepi, seperti biasanya ibu melepas saya di
depan pintu rumah ketika saya hendak kembali ke tempat
penugasan. Tanpa air mata didepan saya, karena ibu selalu
menguatkan saya dengan memberikan pesan, “Sebagai PNS
Bekerjalah dengan hati-hati, jaga Konduite”, sebagai wujud
bhakti pada Ibu Pertiwi dan Ibumu Sendiri.
Saat pesawat take off dari Bandara Adi Sucipto, tak terasa

76
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

air mata menetes, selalu ada kerinduan buat Ibunda. Betapa


mulianya Ibu, selalu memberikan doa dan semangat untuk
anakmu yang berangkat melaksanakan tugas. Saya tau
mungkin Ibunda ada rasa sepi namun mampu mengalahkan
tekad anakmu dalam berbakti pada Ibu Pertiwi.

Epilog

Mumpung masih diberikan kesempatan (waktu) sebagai


ASN, marilah kita bekerja profesional dan kita jaga Koundite
dengan baik sebagai wujud Darma Bhakti kita pada orang
tua dan Ibu Pertiwi tercinta.
Semoga Allah memberikan keberkahan dalam hidup kita.
Amiiin.

77
z
BAB xI

S
haring Session Peran Auditor Internal,
Menyelamatkan Uang Negara hingga Milyaran
Rupiah, dengan Reviu Perencanaan Penganggaran

Siang itu ditengah teriknya sinar matahari, saya


tersinggung dengan omongan DenMas Samson, masak
dibilang Auditor Internal kayak “Macan Ompong” What..
Apalagi DenMas Samson kalau ketemu selalu membanggakan
profesi dia sebagai Marketing Otomotif yang Sukses.
Cerita, waktu DenMas jadi kepala divisi regional Sumatera
target tercapai
125%, begitu juga saat di Sulawesi lebih 140% dan lebih tajir
lagi dengan bonus- bonus yang diterima dari perusahaan.
Yang jadi bahan obrolan dengan DenMas mengenai
kontribusi dan peran terhadap organisasi, kalau ukurannya
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

penjualan/ pendapatan perusahaan iya betul karena


berdampak langsung dengan pekerjaan marketing
dilapangan.
Beda dengan profesi internal auditor yang kadang
dianggap sebagai cost center, pekerjaan auditor internal
dalam prakteknya adalah memberikan “added value” melalui
kegiatan Assurance dan Consulting.
Memang harus diakui masih adanya auditor internal yang
lebih banyak mengalokasikan sumber daya pada kegiatan
assurance dibanding consulting.
Sebagai sharing seasion saya pernah mendapatkan
penugasan audit operasional, reviu perencanaan dan
penganggaran OPD Sapras dengan gambaran prosedur
dan hasil reviu sebagai berikut, kegiatan pemeliharaan
jalan kabupaten “Guyub Rukun” dalam RKA tahun 2020
diusulkan.

Pengajuan Anggaran Tahun 2020:


1. Pengaspalan paket A: (terdiri dari Jl. Kaliwage, Jl. Kali
Kliwon, Jl. Kali Legi, Jl. Kali Pon).
2. Perencanaan paket A 2020: (terdiri dari Jl. Kaliwage, Jl.
Kali Kliwon, Jl. Kali legi, Jl. Kali pon).

79
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

Pada Tahun 2017 sudah ada penanganan:


1. Pengaspalan Paket A : (terdiri dari Jl. Kali Pahing, Jl.
Kali Kliwon, Jl. Kali Asin, Jl. Kali Luber)
2. Perencanaan Paket A : (terdiri dari Jl.kali pahing Jl. Kali
Kliwin, Jl. Kali Asin, Jl. Kali Luber).

Hasi reviu disini ada duplikasi berulang-ulang dan yang


merugikan uang negara. Dari sisi nilai kedalaman kualitas
perencanaan tidak layak untuk dibayar ratusan juta karena
existing jalan sudah ada.
Nalarnya perencanaan Jl. Kali Kliwon tidak akan berubah,
karena ruas jalan sudah ada dan tidak ada perubahan struktur.
Saat pengajuan anggaran OPD Sapras yang tidak efektif
dan cenderung pemborosan senilai Rp.8,5 Milyar yaitu
fisik Rp.7 Milyar dan Perencanaan Rp.1,5 Milyar.
Perencanaan tiap paket yang dipecah masing-masing ada
5 paket untuk 3 kegiatan, sehingga perencanaan @100 jt x
15 paket = Rp.1,5 Milyar.
Diindikasikan pemecahan menjadi 5 paket @Rp.1,2
Milyar untuk ke
5 rekanan jago terkait dengan pembagian
penghonorannya (perencanaan dan pengawasan) lebih
banyak serta Fee yang didapat dari rekanan lebih banyak.

80
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

Dari cek phisik dilapangan, usulan kegiatan tersebut tidak


layak karena harusnya penanganan kondisi jalan tersebut
cukup dengan patching jika ada yang lubang atau sealing jika
retak.
Hasil phisik dilapangan kondisi jalan tidak ada lubang,
walaupun ada, itu sedikit di beberapa titik saja.
Jika ada retak sedikit di beberapa titik, tidak ada penurunan/
lendutan tapi penanganannya di lapis aspal total/ dioverlay.
Harusnya jika dengan penanganan dengan tata cara
prosedur patching dan sealing, biaya yg dikeluarkan hanya
sekitar Rp.50 jt s.d Rp.100 jt.
Namun kalau pakai prosedur yang patching dan sealing
bagi oknum pegawai untungnya sedikit sekali. Sedangkan
dengan dioverlay dan dimark up volume, sehingga biaya
menjadi besar dan keuntungan menjadi lebih besar.
Masalah lain di RAB penghonoran yang tidak efisien.
Contoh : pekerjaan pengaspalan/ overlay yang dipecah-
pecah, kemudian dibuat kegiatan selama 3 bulan. Padahal
dikerjakan 1-2 minggu selesai. Otomatis honor pengawas
lapangan yang harusnya 1 bulan x 1 org , dimark up menjadi
3 bulan x 5 orang, dengan asumsi 1 paket perorang.
Konsultan pengawas yang seharusnya selama 1
bulan saja yaitu:

81
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

1 pekerjaan x Rp50 jt. Tapi dibuat 5 pekerjaan x Rp100


jt (dengan BQ 3 bulan). Kalau pengaspalan 1 minggu tapi
dibuat 3 bulan otomatis akan membengkak biayanya.
Dalam perjalanan menuju lokasi saya memperhatikan
beberapa sekolah dasar yang kondisinya memprihatinkan,
berdasar informasi pegawai pendidikan memang di daerah
banyak bangunan sekolah yang kondisinya rusak berat
beberakali memang diusulkan perbaikan tapi yang disetujui
anggaran minim hanya berkisar Rp.20 jt persekolah.
Seandainya dana yang untuk overlay jalan tersebut
diefisienkan maka anggaran tersebut dapat dimanfaatkan
untuk rehab ratusan bangunan sekolah dasar.

Epilog

Dengan terbatasnya anggaran negara, perlu prioritas


dalam alokasi untuk masing-masing kegiatan, peran auditor
intern sangat strategis terutama dalam mengasurance
perencanaan kegiatan.
Titik kritis dalam perencanaan penganggaran seringkali
tidak tersentuh oleh auditor internal padahal dititik
tersebut terjadi potensi kerugian negara yang bermilyar-
milyar.

82
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

83
z
BAB xII

T
itik Kritis Sistem Pengendalian Intern
Pengadaan Barang dan Jasa dan Faktor Kolusi
dalam Perencanaan Penganggaran

Rasa letih setelah mengikuti Rapat kerja di kantor pusat


masih terasa, saya kembali ke tempat tugas sabtu pagi
dengan harapan bisa agak santai dibandingkan kalau jum’at
malam.

Berjumpa Dengan Mona


Setelah check in, diruang tunggu saya berkesempatan
ngobrol dengan Mona penumpang penerbangan transit
ke Kota XL. Saya memperkenalkan diri sebagai pengajar
Perguruan Tinggi.
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

“Mona” dinas di OPD Infrastruktur dengan jabatan Kasie,


sudah lebih dari 4 tahun. Bu Mona orangnya “humble”
pembicaraan mengalir mungkin karena saya pernah
bertugas di kota beliau.
Bu Mona bercerita ulah oknum pegawai nakal yang suka
titip diproyek serta suka minta fee. Kehidupan sehari hari
Glamour, rumah ada beberapa ditengah kota, kendaraan
sejumlah fungsinya city car, off road, mobil keluarga.
Gaya hidup keluarga high class sejajar dengan sosialita,
contoh kecil tangan tas saja harganya bisa mencapai Rp.25
juta bahkan ada juga yang Rp.35 juta atau lebih dari itu.
Belum lagi hoby traveling keluar negeri baik itu rangkaian
dinas study banding maupun sponsor rekanan.
Meskipun demikian ternyata si pegawai tersebut pernah
suatu saat ketahuan minta fee ke rekanan, oleh atasan
dikenakan sanksi berupa dipindahkan ke OPD lain namun
selang 3 bulan sudah balik lagi ke OPD awal. Info yang
berkembang pegawai tersebut rajin merenov rumah pribadi
pejabat tertentu.
Bahkan yang lagi trend beberapa waktu yang lalu adanya
wanita idaman lain dikalangan pegawai maupun pejabat
dianggap sebagai “jamu awet muda” info sekilas WIL
tersebut diberi uang belanja hingga puluhan juta rupiah tiap

85
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

bulan oleh pegawai yang tajir.


Waktu boarding masih beberapa saat lagi, kebetulan di
depan Jurnalis TV sedang melaporkan berita OTT Pejabat
Publik dan kami tertarik untuk mengulasnya, sambil
menunggu panggilan boarding.

Modus Dalam Pengadaan Barang Dan Jasa

Sebagian besar modus korupsi adanya keterlibatan orang


dalam yang membantu memperlancar keluarnya uang
negara dengan tidak sah, serta adanya praktek kolusi yang
melibatkan mafia PBJ.

Kelemahan Sistem Pengendalian Intern (SPI) antara lain :


1. Pada saat perencanaan sudah ada mindstrea/ niat tidak
baik/ moral hazard usulan kegiatan/proyek yang dijadikan
“kendaraan” untuk mengambil uang negara.
2. Ditingkat perencanaan sudah ada rekayasa seperti mark
up desain, mark up volume, fiktif, titipan suplier orang
dalam, honor-honor kegiatan yang tidak efisien dll.
3. Saat reviu dibidang Sapras bisa lolos karena bidang
Sapras seringkali tidak ada pegawai yang berlatar belakang
teknik.

86
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

4. Tahap Reviu RKA oleh APIP, pelaksanaan reviu tidak


terlalu detail karena faktor waktu dan kompetensi auditor.
5. Pemecahan paket 1, 2, 3, 4 dan seterusnya dengan
tujuan membagi jatah rekanan jago dan menyembunyikan
duplikasi perencanaan.
6. Pada tahap lelang meskipun dengan e-procurement
tapi sudah dikondisikan. Mestinya dengan Sistem Market
Place hanya rekanan yang sudah terverifikasi ekternal
yang bisa masuk dalam sistem, namun karena sistem sudah
diduplikasi (rekanan jago).
7. Waktu pelaksanaan, konsultan pengawas tidak
bekerja dengan baik.

Seringkali yang hadir di lapangan hanya satu orang dan


itupun tidak tiap hari. Sedangkan sesuai kontrak tenaga
ahli kualifikasi S1 lebih dari 3 orang. Terkadang kontrak
konsultan pengawas kena potong fee lebih 50%. Kecurangan
dalam tahap pelaksanaan seperti.

Bentuk Fraud Rekanan

Pada tahap pelaksanaan ini menjadi salah satu titik kritis


potensi-kecurangan rekanan seperti:

87
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

1. Ada kolom yg tdk dibuat


2. Harusnya kolom struktur, tapi ada beberapa kolom yg
bukan kolom struktur
3. Jarak begel dibuat renggang tdk sesuai hitungan
4. Mengurangi dimensi profil besi
5. Ukuran besi berbeda/ lebih kecil dari RAB
6. Memotong besi tidak diberi bending pada titik buhul
7. Kombinasi campuran semen dan pasir tidak sesuai
8. Spefisifikasi bahan-bahan lebih rendah dari RAB
9. Tukang yang digunakan tidak terampil
10.Pekerjaan Jalan, Kadar Aspal yang terpasang selisih
jauh dengan RAB, pengerjaan dalam kurun waktu 2 minggu
namun untuk honor pengawasan dalam RAB untuk 3 .

Dampak dari pembangunan Infrastruktur yang


“under speck” yaitu mengurangi usia bangunan dan
meningkatnya biaya pemeliharaan bahkan bisa juga proyek
menjadi “mangkrak”.

Dilema Pejabat Pembuat Komitmen

Di suatu kesempatan lain terkait dengan faktor Fraud


dan Kolusi saya sharing pendapat dengan beberapa rekan

88
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

sejawat, Pembuat Komitmen itu korban dari konspirasi


orang diluar sistem. Selama ini justru otak pemainnya
ada diluar lingkaran. Ada oknum yang selalu aman-aman
saja saat titip volume siluman. Sudah begitu PPK yang tanda
tangan dengan penyedia jasa yang diuber-uber.
Kondisi ini diperparah lagi oknum Satgas/ Pokja yang
titip-titip suplier dan yang minta minta ke penyedia. Kalau
penyedia sudah dibebani macam-macam seperti itu, jelas
mereka jadi curang juga dan ujung-ujungnya malah PPK
yang dituduh korupsi.
Nasib PPK selama ini memang selalu dijadikan kambing
hitam, padahal aktornya justru orang di luar itu. Karena
nalarnya kalau PPK mau main atas proyek
yang dia tandatangani jelas tidak mungkin, karena kalau
diperiksa, yang kena justru PPK.

Faktor Fraud Perencanaan Kegiatan

Saya pernah temukan pengaspalan jalan yang kondisinya


masih bagus dan baru tahun kemarin di aspal, saya coba cari
info terkait kriteria pemeliharaan jalan sebagai berikut:
1. Jika retak dengan sealing
2. Jika berlubang dengan patching

89
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

3. Jika dites sudah terjadi penurunan baru dilapis ulang.

Lah yang ini tidak ada angin, apa-apa diaspal ulang demi
untuk meghabiskan anggaran. Karena secara kebutuhan,
jalan masih baik-baik saja namun penanganan dengan
dilapis ulang. Jelas pekerjaannya hanya dibuat “asal” aja dan
tidak akan pengaruh, ibarat nya mengerjakannya dengan
sangat “underspek” pun akan tidak tampak.
Modus diatas seringkali tidak terungkap oleh auditor,
pengujian-pengujian biasanya terbatas hanya memeriksa/
mengecek antara kesesuaian RAB di dokumen kontrak
dengan kondisi di lapangan.

Epilog

Perlu adanya Pergeseran mindset auditor intern untuk lebih


banyak mengelokasikan sumber daya dengan melakukan
pengawasan di tahap perencanaan penganggaran sebagai
titik kritis dalam PBJ.
Perencanaan Penganggaran adalah “the black box theory”
bagi sebagian besar auditor dan merupakan “invisible
hand”. Kondisi tersebut bisa juga disebabkan minimnya
pemahaman dibidang teknik sipil, maupun lemahnya sistem

90
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

pengendalian internal ditahap perencanaan penganggaran


(tidak adanya reviu berjenjang/waskat).

91
z
Humor
Mas Prabu dan Sekretaris

Mas Prabu baru saja dilantik, sebagai Tantama Madya di


Kerajaan “Rindu Kamoe”, beginilah catatan keseharian
Mas Prabu:

(Episode The Power of Ringgit) Journal di Hari Senin Ce-


ria...

Mas Prabu ( MP) : Pagi syantikkkk...


(Mas Prabu yg Humble menyapa Sekretarisnya yg berna-
ma Mona)

Sekretaris (SK) : Pagi juga..., apa kabar boosku?


(dengan ramahnya Mona menyambut sapaan Mas Prabu)

MP : Luaaar biasa.... Mona, quality time libur akhir pekan,


ron-ron sama keluarga. (Mas Prabu, bertanya pula, aktivi-
tas Mona selama Libur Akhir Pekan)
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

MP : Non pagi ini, kelihatan kurang semangat... apa ada


problem... what... ? (Kepo juga, Mas Prabu... ini pengin tau
urusan pribadi mona)

SK : Nggk ada apa-apa sih bos, Cuma masalah sedikit


financial, bantulah bosku, pinjam uang dulu buat kartu
kredit sudah jatuh tempo..
(Ternyata tagihan kartu kredit mona sudah jatuh tempo,
lagi tanggung bulan pula...)

MP : Ah itu gampang Syantiik, untuk Mona saya pin-


jamin uang berapapun.. syaratnya Cuma satu.

SK : Siap bosku, apa itu syaratnya.... (Mona penasaran, jan-


gan-jangan)

MP: tidak yang seperti mona pikirkan, Cuma untuk tertib


administrasi, tolong dicatat nomor serinya... nanti kemba-
li harus sama juga nomor serinya...
(Jawab Mas Prabu dengan nada datar.......)

SK : Booosku.... (gedebrak.......)

93
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

94
Menuju Indonesia Adil dan Makmur

95
Warisan Birokrasi untuk Gen Millenial

96

Anda mungkin juga menyukai