Abstrak
PENDAHULUAN
Komunikasi adalah hal penting yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Dengan adanya komunikasi, manusia bisa berhubungan dengan manusia
lainnya untuk menyampaikan suatu pesan maupun informasi. Komunikasi antar
pribadi (interpersonal communication) ialah komunikasi antara dua orang atau
lebih secara tatap muka, yang memungkinkan setiap individu menangkap reaksi
dari pihak lain secara langsung, baik verbal maupun non verbal. 1 Komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi yang terjadi dalam suatu keluarga. Apabila
komunikasi yang dilakukan oleh orang tua tidak harmonis atau tidak tepat dalam
1
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Rosdakarya, 2010), hal.
81.
memilih pola komunikasi, maka akan timbul konflik antara orang tua dan anak,
begitu juga sebaliknya.2
2
Hendri Gunawan, Jenis Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Perokok Aktif di Desa
Jembayan Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara, e-Journal Komunikasi, 2013, 1 (3):
218-233.
3
Munnal Hani’ah, Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi (Yogyakarta: Diva Press,
2015), hal. 18.
4
Maria Anggita Karningtyas, Pola Komunikasi Interpersonal Anak Autis di Sekolah Autis
Fajar Nugraha Yogyakarta, Jurnal Ilmu Komunikasi (JIK), 7(2).
Dengan kondisi anak autis yang tidak seperti anak normal lainnya, membuat
orang tua lebih memilih untuk menyembunyikan anak dengan gangguan autisme
dari lingkungan karena merasa malu, sedih, bahkan kecewa memiliki anak autis.
Namun masih banyak orang tua yang memperlakukan anak mereka yang memiliki
gangguan autisme seperti anak normal pada umumnya, dan mencari informasi
tentang gangguan tumbuh kembang dari sang anak yang berbeda. Pola komunikasi
yang dilakukan dalam suatu keluarga autis akan berbeda antara keluarga yang
menerima anak autis dengan keluarga yang menolak keberadaan anak autis. Hal
inilah mengapa penulis mengambil judul Pola Komunikasi Keluarga Autis di
Yogyakarta, karena masih rendahnya kesadaran keluarga yang memiliki anak autis
dalam berkomunikasi dengan baik, serta kurangnya pengetahuan akan dampak
bagi anak autis sendiri mengenai komunikasi yang kurang baik dalam keluarga.
5
Yuli Setyowati, Pola Komunikasi Keluarga & Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus
Penerapan Pola Komunikasi Keluarga & Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak
pada Keluarga Jawa), Jurnal Ilmu Komunikasi, Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD
“APMD” Yogyakarta, 2013.
6
Sri Rachmayanti & Anita Zulkaida, Penerimaan Diri Orang Tua terhadap Anak Autisme
dan Peranannya dalam Terapi Autisme, Jurnal Ilmiah Psikologi, 2011.
“Peran Orang Tua untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis”7, Retnowati
(2008) dengan judul “Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk
Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta)”8, dan Nurhajati (2014) dengan
judul “Komunikasi Keluarga dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia
Remaja”9. Penelitian ini akan berbeda dengan kelima penelitian diatas, karena
penelitian ini akan fokus pada pola komunikasi yang dipergunakan orang tua
terhadap anak dengan gangguan autis.
KOMUNIKASI
Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio yang
berarti sama, dan dalam arti kata berarti sama makna mengenai suatu hal.10
Sedangkan secara terminologis, komunikasi adalah penyampaian informasi oleh
seseorang kepada pihak yang lain.11 Dapat disimpulkan, komunikasi adalah
penyampaian suatu informasi ataupun gagasan dari seseorang kepada orang lain
yang dapat dipahami maknanya dengan tujuan menimbulkan efek tertentu kepada
komunikannya.
KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Komunikasi interpersonal adalah bentuk komunikasi yang terdiri sedikitnya
dari dua orang dengan hubungan yang baik, saling menguntungkan, dan adanya
kesadaran untuk berpikiran positif tentang hubungan mereka. 12 Ada beberapa
tahapan dalam terbentuknya hubungan interpersonal, yaitu kontak, keterlibatan,
keakraban, perusakan dan pemutusan.
7
Ika Miftachur Rachmah, Peran Orang Tua untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Auti,
Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016.
8
Retnowati dan Hubeis, Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk
Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta), Jurnal Komunikasi Pembangunan, 6(1).
9
Lestari Nurhajati & Damayanti Wardyaningrum, Pola Komunikasi Keluarga dalam
Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja, Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata
Sosial, 1(4), 236-248.
10
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag., Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 200), hal. 11.
11
Ibid, hal. 11.
12
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT Rosdakarya, 2010),
hal. 46.
PENGERTIAN POLA KOMUNIKASI
Ada beberapa tipe pola komunikasi yang sering digunakan dalam suatu
keluarga, yaitu sebagai berikut:13
Pola asuh adalah salah satu pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua
yang dilakukan kepada anak untuk tujuan mendidik, mempengaruhi ataupun
mencapai suatu tujuan yang diinginkan orang tua. Bila komunikasi berjalan
dengan baik, anak akan berkembang dan tumbuh dengan kepribadian yang baik,
kuat, memiliki sikap positif, dan perkembangan intelektual yang baik.
Menurut
Baumrind yang dikutip oleh Ayu Winda Santosa dan Adjianti Marheni dalam
Jurnal
13
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag., Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 38.
Psikologi Udayana 2013, Vol. 1, 54-62 ada 3 macam pola asuh orang tua terhadap
anak, yaitu:
1. Pola Otoriter
Pola otoriter adalah pola yang ditandai dengan adanya aturan yang
diberikan oleh orang tua terhadap anak tanpa adanya diskusi yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Hal ini akan berdampak negatif pada
anak,seperti anak akan merasa ketakutan, tidak senang, tegang,
cenderung ragu, tidak bisa menyelesaikan suatu masalah, dan memiliki
komunikasi yang buruk.
2. Pola Permisif
Pola permisif adalah pola yang ditandai dengan kebebasan terhadap anak
untuk berperilaku sesuai keinginan sang anak tanpa menyadari bahwa
perilaku tersebut baik atau buruk, karena orang tua tidak pernah
menyalahkan maupun membenarkan sang anak.
3. Pola Autoritatif atau Demokrasi
Pola autoritatif adalah pola yang ditandai dengan sikap terbuka oleh
orang tua terhadap anaknya. Orang tua cenderung menghargai pendapat
maupun perilaku disiplin tanpa meninggalkan pengawasan terhadap
aktivitas anak, serta menggunakan hukuman jika diperlukan untuk
memberikan pelajaran jika anak berbuat salah.14
PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Psikologi komunikasi bertujuan untuk memahami perilaku komunikasi
individu yakni sebab-sebab mengapa perilaku komunikasi itu muncul. Komunikasi
terapeutik dan komunikasi persuasif adalah komunikasi yang menggunakan
pendekatan psikologi komunikasi. Dalam hal ini, peristiwa mental yang dimaksud
adalah persepsi dan berpikir dalam lingkup komunikasi intrapersonal. Selain itu,
sikap, kepribadian, motivasi, dan emosi akan muncul sebagai beberapa faktor yang
memengaruhi perilaku komunikasi.
14
Ayu Winda Santosa dan Adjianti Marheni, Program Studi Psikologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana, Perbedaan Kemandirian Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang
Tua pada siswa SMP Negeri di Denpasar, Jurnal Psikologi Udayana 2013, Vol. 1, 54-62, hlm. 55
HUBUNGAN ORANG TUA DAN ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Hadis dan ayat Al-Qur’an pun telah mengatur tentang komunikasi yang baik
antara orang tua dan anak, sebagaimana tertera di dalam sural As-Saffat sebagai
berikut:
ك ََُب ذَْْأ
َ ى َرَت اَذ اَم ْرُْظنَاف
ٰ ۚ َاي َل َاق
ن
ى رَأ ِ َأ مِانم لا ِِف
َ ٰ َْ َ ي
ن
س لا َُهعَم َغ ََلب اّم لَف ِ
ّ ِي إ نََْنُب َاي َل َاق َي ْع
ّ لا ن مِ َن يرِبا
ص ْن ِإ ۚرمْؤ ُت ام ل ع ْفا تِ َبأ
َ َ َ ْ َ َُ
ُنه ن
َ لا ءاَش ِ ِ
َ َُِد ج َتس
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".15
PENGERTIAN AUTIS
Menurut Sunu (2012:7), autisme berasal dari kata ‘auto’ yang berarti sendiri.
Istilah ini dipakai karena orang yang mengidap gejala autisme seolah-olah ia hidup
16
sendiri. Sedangkan menurut Indria Gamayanti (2008), autisme adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan yang terjadi
pada anak.17 Sedangkan menurut Priyana (2010:2), autisme adalah masalah yang
berhubungan dengan interaksi sosial, komunikasi, dan bermain saat anak berusia
dibawah tiga tahun dan anak mengalami retardasi mental.18
PENYEBAB AUTIS
Ada beberapa faktor yang diduga kuat yang menjadikan anak berkebutuhan
khusus autis, yaitu:19 genetik, pestisida, obat-obatan, usia orang tua,
perkembangan
otak, flu berkepanjangan saat masa kehamilan, dan mercuri didalam tubuh.
15
Q.S. As-Saffat/37 : 102
16
Sicillya E. Boham, Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis (Studi pada Orang
Tua dari Anak Autis di SLB AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado), Jurnal, volume
II Nomor 4,2013
17
Tin Suharmini, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Kanwa Publisher.
2009), hlm. 71.
18
Sicillya E. Boham, Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis (Studi pada Orang
Tua dari Anak Autis di SLB AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado), Jurnal, volume
II Nomor 4,2013
19
Hasdianah HR, Autis Pada Anak Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan,
(Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), hal. 73-77.
JENIS-JENIS AUTIS
Menurut Autism Society of America ada lima jenis autisme yang perlu
diketahui:20
1. Autistic Disorder
Jenis autis ini disebut pula dengan true autism atau childhood autism karena
banyak dialami oleh anak usia tiga tahun diawal usianya. Dalam sebagian
kasus besar, anak yang mengalami autistic disorder tidak mampu untuk
berbicara dan bergantung dengan komunikasi non verbal. Hal ini yang
menyebabkan anak akan menjauhkan diri dari lingkungan bahkan bersifat
acuh tak acuh.
2. Sindrom Asperger
Sindrom ini dicirikan dengan definisi interaksi sosial dan sulit menerima
perubahan terkait rutinitas sehari-hari. Anak yang mengalami sindrom ini
cenderung kurang sensitif terhadap rasa sakit, tidak sanggup untuk
mengatasi paparan sinar cahaya yang tiba-tiba mengenainya ataupun suara
yang keras. Namun anak yang memiliki sindrom ini tidak mengalami
gangguan dalam kemampuan bahasa, serta kecerdasannya rata-rata atau
diatas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder
Umumnya, sindrom ini didiagnosis saat anak usia lima tahun dengan
beragam gangguan. Tingkat keparahan anak yang memiliki sindrom ini
bervariasi dan cenderung mengalami gangguan dalam keterampilan verbal
dan non verbal.
4. Childhood Disintegrative Disorder
Gejala sindrom ini akan timbul saat anak berusia tiga sampai empat tahun.
Pada dua tahun pertama, anak akan terlihat normal. Tetapi beberapa waktu
kemudian, akan terjadi regresi mendadak dalam aspek sosial, komunikasi
dan bahasa, serta keterampilan motorik.
5. Rett Syndrome
Sindrom yang jarang ditemukan ini lebih banyak dialami oleh anak
20
Munnal Hani’ah, Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi, (Yogyakarta: Diva Press,
2015), hal. 21-22.
perempuan ataupun perempuan dewasa dengan peningkatan ukuran kepala
20
Munnal Hani’ah, Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi, (Yogyakarta: Diva Press,
2015), hal. 21-22.
yang tidak normal. Gejala lain yang tampak adalah hilangnya kontrol otot
yang mengakibatkan masalah dalam gerakan mata, gerakan mata dan kaki
yang berulang, serta keterampilan motorik yang terhambat.
METODE PENELITIAN
21
Nawari Ismail, Metodologi Penelitian Untuk Studi Islam, (Yogyakarta: Samudra Biru,
2015), hal. 98.
orang ahli dalam hal bidang yang diteliti, ketetapan dalam operasionalisasi
konsep, dan pembuktian.
“Kalo di rumah anaknya suka main sama satu mainan gitu mba, tapi
ya kita tetep ngasih beberapa mainan baru dan ngejelasin gitu.
22
Siti Muman Muniroh, Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis, Jurnal Penelitian,
7(2).
Anaknya tuh paham perintah dan omongan kita kok. Tapi kadang
ya masih bingung aja kalo anak lagi pengen mainan yang kecil-
kecil gitu.”23
Dalam penelitian lapangan, keluarga #1 selalu mengajak
berkomunikasi anak meskipun terkadang anak cenderung cuek dan tidak
menanggapi. Misalnya saat orang tua menanyakan apa yang sedang
dilakukan anak, anak akan diam dan masih bermain dengan mainan yang
disukainya. Namun orang tua akan melontarkan pertanyaan serupa hingga
anak memberikan respon kepada orang tua meski jawaban dari anak
terkadang tidak sesuai dengan pertanyaan. Tidak berbeda jauh dengan
keluarga #1, keluarga #2 memberikan komunikasi yang baik bagi anak
yang memiliki kebutuhan khusus autis dengan mengulang-ulang
pertanyaan dan selalu membuat percakapan dengan sang anak.
Namun berbeda dengan keluarga #3 yang memiliki anak
berkebutuhan khusus sedang saat melakukan komunikasi saat di dalam
rumah. Keluarga #3 cenderung membiarkan anak yang memiliki gangguan
autis dan memperlakukan anak tersebut seperti anak normal pada
umumnya. Saat dalam rumah, orang tua membiarkan anak untuk bermain
sendiri dan orang tua melakukan kegiatannya untuk membersihkan rumah
dan pekerjaan lainnya. Orang tua akan mengajak berbicara anak ataupun
melakukan komunikasi saat anak meminta sesuatu atau pun saat anak
sudah melakukan hal-hal yang berlebihan seperti lari-lari dan berteriak.
Orang tua keluarga #4 berkomunikasi dengan anak secara berulang-ulang
untuk memberikan pemahaman akan suatu hal seperti perintah untuk
meletakkan mainan atau pun merapikannya. Anak pun memahami
komunikasi yang dilakukan oleh Ibu atau pun Ayah dengan bantuan sang
kakak dan adik dalam memberikan contoh.
24
Ayu Winda Santosa dan Adjianti Marheni, Program Studi Psikologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana, Perbedaan Kemandirian Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang
Tua pada siswa SMP Negeri di Denpasar, Jurnal Psikologi Udayana 2013, Vol. 1, 54-62, hlm. 55
25
Wawancara dengan keluarga #2 pada 12 April 2018
“Kami gak ngasih hukuman sih mbak kalo sama anak, takutnya
gimana-
gimana. Kan karena autis gitu anaknya jadi gak terlalu paham kan.”26
27
Wawancara dengan keluarga #2 pada 12 April 2018
26
Wawancara dengan keluarga #3 pada 2 Mei 2018
27
Wawancara dengan keluarga #2 pada 12 April 2018
3. Komunikasi dalam hal bersosialisas
Manusia adalah makhluk sosial yang akan membutuhkan satu sama
lain. Setiap individu akan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sekitar,
termasuk anak berkebutuhan khusus autis akan melakukan sosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal bersosialisasi, anak
berkebutuhan khusus autis dari keluarga #1 cenderung mau untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya meskipun anak masih usil dan
terkadang menyakiti. Sedangkan untuk anak berkebutuhan khusus autis
dari keluarga #2, anak terbuka dengan lingkungan sekitar. Hanya saja,
anak masih belum bisa mengikuti anak yang lain dalam hal mengobrol dan
bermain. Anak berkebutuhan khusus dari keluarga #2 hanya ikut
bergabung dan berkumpul dengan teman ataupun tetangganya.
Sama halnya dengan anak berkebutuhan khusus autis dari keluarga
#3, dalam hal bersosialisai anak akan ikut bergabung dengan lingkungan
sekitarnya. Akan tetapi, orang tua keluarga #3 masih membatasi sosialisasi
anak dengan lingkungan sekitar dengan alasan anak yang masih cenderung
hiperaktif. Sedangkan untuk anak autis dari keluarga #4 menjelaskan
bahwa sosialisasi anak mulai membaik dan mau bergabung dengan
lingkungan sekitar saat kosa kata anak mulai bertambah. Hanya saja, saat
anak mengajak bermain teman maupun tetangga, anak autis keluarga #4
akan bersikap usil dan akan terlihat seperti menyakiti.
4. Komunikasi dalam hal keagamaan
Orang tua memiliki kewajiban untuk mengenalkan agama kepada
anak untuk menuntun anak kepada hal yang lebih baik. Dengan
mengenalkan agama kepada anak, anak akan mampu membedakan hal baik
dan buruk, apa yang diperbolehkan dan dilarang oleh Allah SWT. Tidak
hanya mengenalkan agama kepada anak yang terlahir normal, orang tua
harus mengenalkan agama kepada anak yang lahir yang memiliki
kekurangan, seperti anak berkebutuhan khusus autis.
Keluarga #1 mulai mengajarkan agama kepada anak mengenai do’a
sehari-hari yang mampu diamalkan oleh anak. Orang tua keluarga #1
mengajarkan do’a saat anak melakukan aktivitas sehari-hari seperti saat
akan tidur, ketika makan, dan keluar rumah, orang tua akan mengajarkan
anak tentang do’a-do’a tersebut. Hal ini karena orang tua dari keluarga #1
yang beragama Islam, menganggap penting untuk mengajarkan anak
bagaimana tentang ajaran-ajaran yang sesuai deng syariat Islam. Orang tua
keluarga #2 masih ditahap memperkenalkan anak kepada huruf hija’iyah
dan menganggap anak masih terlalu kecil untuk paham mengenai sholat.
Orang tua keluarga #3 menjelaskan apabila mereka belum
memberikan pemahaman mengenai agama kepada sang anak. Hal ini
dikarenakan anak yang belum dirasa paham untuk memahami seperti hal
tersebut. Pengetahuan mengenai agama yang masih awam, menjadikan
orang tua keluarga #3 tidak terlalu memperdulikan mengenai kewajiban
sholat kepada anak. Sedangkan untuk orang tua keluarga #4 sudah
mengajari anak berkebutuhan khusus mengenai sholat saat anak masih
kecil. Hal ini karena orang tua keluarga #4 tidak membedakan antara anak
dengan gangguan autis dan anak mereka yang normal dalam hal menerima
ilmu tentang agama. Orang tua keluarga #4 sebagai seorang muslim
memberikan pengetahuan dan praktik nyata kepada anak-anak untuk
menjadi muslim yang baik.
KESIMPULAN
1. Pola komunikasi yang dilakukan oleh 4 keluarga dari orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus autis sedang dan ringan
menunjukkan
3 keluarga menggunakan pola Interaksional dimana adanya keterbukaan
antara orang tua dan anak. Hanya saja, satu keluarga yang menggunakan
pola Stimulus-Respons. Pola komunikasi dalam keluarga akan
mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak
berkebutuhan khusus autis, 3 keluarga yaitu keluarga #1, #2, dan #4
menggunakan pola demokrasi dan keluarga #3 menggunakan pola
permisif.
2. Faktor pendukung dalam komunikasi orang tua kepada anak
berkebutuhan khusus adalah adanya media visual maupun audio yang
digunakan saat komunikasi sedang berlangsung. Sedangkan faktor
penghambat dari komunikasi antara orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus autis adalah anak yang hiperaktif dan kurangnya
fokus pada anak.
3. Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus autis sedang maupun ringan,
berkomunikasi dengan cara memberikan penjelasan berulang-ulang dan
menggunakan media gambar ataupun lainnya untuk menyampaikan suatu
pesan.
SARAN-SARAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebgai
berikut:
1. Bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus autis untuk
memberikan komunikasi yang baik kepada anak. Diharapkan bagi orang
tua untuk tetap terbuka meskipun anak memiliki kekurangan dalam hal
memahami. Orang tua hendaknya memberikan pemahaman yang
berulang kepada anak dan memberikan hukuman kepada anak untuk
melatih kepatuhan.
2. Bagi masyarakat untuk tidak mengucilkan anak yang memiliki gangguan
autis dan menghargai keberadaan mereka. Selain itu, masyarakat
disarankan untuk memberikan ruang hidup yang baik dan
memperlakukan anak berkebutuhan khusus autis seperti memperlakukan
anak normal pada umumnya.
3. Untuk terapis maupun lembaga pemerintahan disarankan dapat membantu
memberikan alternatif terapi bagi anak berkebutuhan khusus autis. Selain
itu, disarankan untuk melakukan pendataan menyeluruh ke pelosok desa
untuk mengetahui anak berkebutuhan khusus autis serta untuk melakukan
penanganan yang baik bagi mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Boham, S. E. (2013). Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis (Studi pada
orang tua dari anak autis di Sekolah Luar Biasa AGCA Center Pumorow
Kelurahan Banjer Manado). Jurnal Acta Diurna, 2(4).
Djamarah, Syaful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Gunawan, H. (2013). Jenis pola komunikasi orang tua dengan anak perokok aktif
di Desa Jembayan Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara.
Ejournal Ilmu Komunikasi, 1(3), 218-233.
Hani’ah, Munnal. 2015. Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi, Yogyakarta:
Diva Press.
Hasdianah HR. 2013. Autis pada Anak Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Ismail, Nawari. 2015. Metodologi Penelitian untuk Studi Islam. Yogyakarta:
Samudra Biru.
Muniroh, S. M. (2012). Dinamika resiliensi orang tua anak autis. Jurnal penelitian,
7(2).
Nurhajati, L., & Wardyaningrum, D. (2014). Komunikasi Keluarga dalam
Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja. Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(4), 236-248.
Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2011). Penerimaan diri orangtua terhadap anak
autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(1).
Retnowati, Y., & Hubeis, A. V. S. (2008). Pola komunikasi orang tua tunggal
dalam membentuk kemandirian anak (kasus di Kota Yogyakarta). Jurnal
Komunikasi Pembangunan, 6(1).
Santosa, A. W. U., & Marheni, W. (2013). Perbedaan Kemandirian Berdasarkan
Tipe Pola Asuh Orang Tua pada Siswa SMP Negeri di Denpasar. Jurnal
Psikologi Udayana, 1(1), 54-62.
Setyowati, Y. (2013). Pola komunikasi keluarga dan perkembangan emosi anak
(studi kasus penerapan pola komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap
perkembangan emosi anak pada keluarga Jawa). Jurnal Ilmu Komunikasi,
2(1).
Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa
Publisher