Anda di halaman 1dari 24

POLA KOMUNIKASI ORANG TUA TERHADAP ANAK

BERKEBUTUHAN KHUSUS AUTIS DI YOGYAKARTA

PARENTS COMMUNICATION’S PATTERN TO THE


AUTISM CHILD DISORDER IN YOGYAKARTA

Sevtia Eka Novarita dan M. Nurul Yamin


Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan Lingkar Barat
,Tamantirto,
Kasihan, Bantul, Yogyakarta 55183, Indonesia
E-mail: ekanov49@gmail.com
moehyamien@yahoo.com

Abstrak

Manusia tidak bisa dilepaskan dari komunikasi, baik komunikasi


interpersonal maupun komunikasi intrapersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang sering dilakukan dalam suatu
keluarga. Komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak akan
menimbulkan dampak yang baik pula pada keluarga seperti keharmonisan dalam
suatu keluarga. Hanya saja tidak semua keluarga mampu berkomunikasi dengan
baik diantara anggota keluarga. Terlebih keluarga yang memiliki anak
berkebutuhan khusus autis, dimana tidak semua orang tua mampu menerima anak
yang terlahir dengan gangguan autis. Penerimaan ini akan berdampak pada pola
komunikasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus
autis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pola komunikasi
yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus di
Yogyakarta. Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Karakteristik subyek dalam penelitian ini sebanyak empat orang dengan dua
orang tua memiliki anak gangguan autis ringan dan dua lainnya dengan
gangguan autis sedang. Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara
sebagai metode utama dan observasi sebagai metode pendukung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tiga keluarga menggunakan pola komunikasi interaksional
dan satu keluarga menggunakan pola stimulus-respons. Pola komunikasi yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus akan berpengaruh
pada pola asuh yang dilakukan dalam suatu keluarga. 3 keluarga menggunakan
pola demokrasi dan satu keluarga lainnya menggunakan pola komunikasi
permisif. Selain itu, faktor pendukung dari komunikasi yang dilakukan oleh orang
tua adalah dengan adanya bantuan media visual dan audio. Sedangkan faktor
penghambat dari komunikasi yang dilakukan oleh orang tua adalah kurangnya
fokus pada anak karena memiliki gangguan autis dan perilaku anak yang
hiperaktif.
Kata kunci: Pola Komunikasi, Orang Tua, Anak Berkebutuhan Khusus Autis.
Abstract
Humans can not be separated from communication, both interpersonal
communication and intrapersonal communication in everyday life. Interpersonal
communication is a communication that is often done in a family. Good
communication between parents and children will have a good impact on families
such as harmony in a family. It's just that not all families are able to communicate
well with family members. Especially families who have children with special
needs autism, where not all parents are able to accept children born with autism
disorder. This acceptance will have an impact on the pattern of communication
made by parents to children with autism needs. The purpose of this study is to find
out how the pattern of communication made by parents to children with special
needs in Yogyakarta. This research was a qualitative descriptive study.
Characteristics in this study were four people with two parents having mild autism
disorder and two more with moderate autism disorder. The technique of collecting
data was conducted by interview as the main method and based on supporting
method. The results of the study showed that three people use interactional
communication patterns and one family using stimulus-response patterns.
Communication patterns performed by parents of children with special needs will
affect the pattern of care carried out in a family. Three families used a pattern of
democracy and one other family using permissive communication patterns. In
addition, the supporting factor of communication made by parents is with the help
of visual and audio media. While the inhibiting factor of communication
performed by parents is the lack of focus on children because it has autism
disorder and hyperactive child behavior.

Keywords: Communication Patterns, Parents, Children with Autism Special Needs.

PENDAHULUAN

Komunikasi adalah hal penting yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
manusia. Dengan adanya komunikasi, manusia bisa berhubungan dengan manusia
lainnya untuk menyampaikan suatu pesan maupun informasi. Komunikasi antar
pribadi (interpersonal communication) ialah komunikasi antara dua orang atau
lebih secara tatap muka, yang memungkinkan setiap individu menangkap reaksi
dari pihak lain secara langsung, baik verbal maupun non verbal. 1 Komunikasi
interpersonal merupakan komunikasi yang terjadi dalam suatu keluarga. Apabila
komunikasi yang dilakukan oleh orang tua tidak harmonis atau tidak tepat dalam

1
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: PT Rosdakarya, 2010), hal.
81.
memilih pola komunikasi, maka akan timbul konflik antara orang tua dan anak,
begitu juga sebaliknya.2

Komunikasi keluarga yang baik adalah aspek penting dan memiliki


pengaruh besar untuk kehidupan anak. Namun kenyataannya tidak semua
komunikasi yang dilakukan dalam sebuah keluarga berjalan sesuai dan
semestinya. Idealita mengenai komunikasi yang harus berjalan baik untuk
menyampaikan informasi atau pesan dari orang tua kepada anak, nyatanya tidak
sesuai dengan yang ada di lapangan. Tidak berjalannya komunikasi yang baik,
akan menimbulkan berbagai dampak, seperti informasi tidak dapat tersampaikan
dengan baik dan hubungan orang tua dan anak yang kurang harmonis. Ditambah
dengan anak yang terlahir dengan fisik dan psikis yang tidak sempurna,
menambah komunikasi yang seharusnya berjalan dengan semestinya, tidak
berjalan dengan baik.

Data dari Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Daerah Istimewa


Yogyakarta pada Maret 2018, jumlah anak autis yang bersekolah di Sekolah Luar
Biasa (SLB) dan Sekolah Inklusi mencapai 434 siswa yang tersebar di Kabupaten
Sleman, Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta. Autisme atau
ASD (Autistic Spectrum Disorder) adalah gangguang perkembangan fungsi otak
yang kompleks dan bervariasi, sehingga menyebabkan otak tidak mampu
berfungsi sebagaimana mestinya.3 Anak autis lebih cenderung menikmati
kegiatan dengan dirinya sendiri atau dengan kata lain, anak autis kurang mampu
berkomunikasi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dalam berkomunikasi, anak
autis akan lebih banyak menggunakan komunikasi non verbal daripada
komunikasi verbal untuk mengungkapkan ekspresi dan keinginannya seperti
gerakan-gerakan tubuh dan sentuhan. Hal ini karena anak autis memiliki
kesulitan dalam hal pengungkapan
bahasa verbal.4

2
Hendri Gunawan, Jenis Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Perokok Aktif di Desa
Jembayan Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara, e-Journal Komunikasi, 2013, 1 (3):
218-233.
3
Munnal Hani’ah, Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi (Yogyakarta: Diva Press,
2015), hal. 18.
4
Maria Anggita Karningtyas, Pola Komunikasi Interpersonal Anak Autis di Sekolah Autis
Fajar Nugraha Yogyakarta, Jurnal Ilmu Komunikasi (JIK), 7(2).
Dengan kondisi anak autis yang tidak seperti anak normal lainnya, membuat
orang tua lebih memilih untuk menyembunyikan anak dengan gangguan autisme
dari lingkungan karena merasa malu, sedih, bahkan kecewa memiliki anak autis.
Namun masih banyak orang tua yang memperlakukan anak mereka yang memiliki
gangguan autisme seperti anak normal pada umumnya, dan mencari informasi
tentang gangguan tumbuh kembang dari sang anak yang berbeda. Pola komunikasi
yang dilakukan dalam suatu keluarga autis akan berbeda antara keluarga yang
menerima anak autis dengan keluarga yang menolak keberadaan anak autis. Hal
inilah mengapa penulis mengambil judul Pola Komunikasi Keluarga Autis di
Yogyakarta, karena masih rendahnya kesadaran keluarga yang memiliki anak autis
dalam berkomunikasi dengan baik, serta kurangnya pengetahuan akan dampak
bagi anak autis sendiri mengenai komunikasi yang kurang baik dalam keluarga.

Penelitian ini memiliki rumusan masalah: (1) Bagaimana pola komunikasi


yang dipergunakan oleh orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus autis? (2)
Bagaimana faktor pendukung dan penghambat komunikasi orang tua terhadap
anak berkebutuhan khusus autis? Tujuan dari penilitan ini adalah untuk
mengetahui pola komunikasi orang tua terhadap anak berkebutuhan khusus autis
dan mengetahui faktor pendukung-penghambat komunikasi orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus autis.

Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti


sebelumnya, diantaranya adalah Yuli Setyowati (2013) dengan judul “Pola
Komunikasi Keluarga & Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola
Komunikasi Keluarga & Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada
Keluarga Jawa)”5, Rachmayanti dan Zulkaida (2011) dengan judul Rachmayanti
dan Zulkaida (2011) dengan judul “Penerimaan Diri Orang Tua terhadap Anak
Autisme dan Peranannya dalam Terapi Autisme”6, Rachmah (2013) dengan judul

5
Yuli Setyowati, Pola Komunikasi Keluarga & Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus
Penerapan Pola Komunikasi Keluarga & Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak
pada Keluarga Jawa), Jurnal Ilmu Komunikasi, Program Studi Ilmu Komunikasi STPMD
“APMD” Yogyakarta, 2013.
6
Sri Rachmayanti & Anita Zulkaida, Penerimaan Diri Orang Tua terhadap Anak Autisme
dan Peranannya dalam Terapi Autisme, Jurnal Ilmiah Psikologi, 2011.
“Peran Orang Tua untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Autis”7, Retnowati
(2008) dengan judul “Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk
Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta)”8, dan Nurhajati (2014) dengan
judul “Komunikasi Keluarga dalam Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia
Remaja”9. Penelitian ini akan berbeda dengan kelima penelitian diatas, karena
penelitian ini akan fokus pada pola komunikasi yang dipergunakan orang tua
terhadap anak dengan gangguan autis.

KOMUNIKASI
Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio yang
berarti sama, dan dalam arti kata berarti sama makna mengenai suatu hal.10
Sedangkan secara terminologis, komunikasi adalah penyampaian informasi oleh
seseorang kepada pihak yang lain.11 Dapat disimpulkan, komunikasi adalah
penyampaian suatu informasi ataupun gagasan dari seseorang kepada orang lain
yang dapat dipahami maknanya dengan tujuan menimbulkan efek tertentu kepada
komunikannya.

KOMUNIKASI INTERPERSONAL
Komunikasi interpersonal adalah bentuk komunikasi yang terdiri sedikitnya
dari dua orang dengan hubungan yang baik, saling menguntungkan, dan adanya
kesadaran untuk berpikiran positif tentang hubungan mereka. 12 Ada beberapa
tahapan dalam terbentuknya hubungan interpersonal, yaitu kontak, keterlibatan,
keakraban, perusakan dan pemutusan.

7
Ika Miftachur Rachmah, Peran Orang Tua untuk Meningkatkan Komunikasi Anak Auti,
Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2016.
8
Retnowati dan Hubeis, Pola Komunikasi Orang Tua Tunggal dalam Membentuk
Kemandirian Anak (Kasus di Kota Yogyakarta), Jurnal Komunikasi Pembangunan, 6(1).
9
Lestari Nurhajati & Damayanti Wardyaningrum, Pola Komunikasi Keluarga dalam
Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja, Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata
Sosial, 1(4), 236-248.
10
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag., Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 200), hal. 11.
11
Ibid, hal. 11.
12
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT Rosdakarya, 2010),
hal. 46.
PENGERTIAN POLA KOMUNIKASI
Ada beberapa tipe pola komunikasi yang sering digunakan dalam suatu
keluarga, yaitu sebagai berikut:13

1. Model Stimulus – Respons


Pola ini menunjukkan komunikasi sebagai proses aksi – reaksi.
Pola S – R akan mengasumsikan bahwa kata verbal, isyarat non verbal,
gambar, dan tindakan tertentu akan merangsang orang lain memberikan
respon dengan cara tertentu.
2. Model ABX
Dalam komunikasi keluarga, maksud pola ini adalah bahwa
seseorang (A) menyampaikan informasi atau pesan kepada seorang
lainnya (B) mengenai suatu hal (X). Dalam keluarga, biasanya seorang
Ayah (A) akan memberikan informasi atau bertukar pikiran dengan Ibu
(B) mengenai anaknya (X), dan sang anak tidak ikut terlibat dalam
komunikasi tersebut.
3. Model Interaksional

Model ini berlawanan dengan model S – R, karena model S – R


menganggap manusia adalah pasif. Berbeda dengan model
interaksional yang menganggap manusia jauh lebih aktif. Interaksi
yang dilakukan antar individu bersifat aktif, dan kreatif. Komunikasi
akan berjalan lancar saat komunikan cepat dalam hal memberikan
pemaknaan dan penafsiran pesan yang disampaikan oleh komunikator.

Pola asuh adalah salah satu pola komunikasi yang digunakan oleh orang tua
yang dilakukan kepada anak untuk tujuan mendidik, mempengaruhi ataupun
mencapai suatu tujuan yang diinginkan orang tua. Bila komunikasi berjalan
dengan baik, anak akan berkembang dan tumbuh dengan kepribadian yang baik,
kuat, memiliki sikap positif, dan perkembangan intelektual yang baik.
Menurut
Baumrind yang dikutip oleh Ayu Winda Santosa dan Adjianti Marheni dalam
Jurnal

13
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag., Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), hal. 38.
Psikologi Udayana 2013, Vol. 1, 54-62 ada 3 macam pola asuh orang tua terhadap
anak, yaitu:

1. Pola Otoriter
Pola otoriter adalah pola yang ditandai dengan adanya aturan yang
diberikan oleh orang tua terhadap anak tanpa adanya diskusi yang
dilakukan oleh kedua belah pihak. Hal ini akan berdampak negatif pada
anak,seperti anak akan merasa ketakutan, tidak senang, tegang,
cenderung ragu, tidak bisa menyelesaikan suatu masalah, dan memiliki
komunikasi yang buruk.
2. Pola Permisif
Pola permisif adalah pola yang ditandai dengan kebebasan terhadap anak
untuk berperilaku sesuai keinginan sang anak tanpa menyadari bahwa
perilaku tersebut baik atau buruk, karena orang tua tidak pernah
menyalahkan maupun membenarkan sang anak.
3. Pola Autoritatif atau Demokrasi
Pola autoritatif adalah pola yang ditandai dengan sikap terbuka oleh
orang tua terhadap anaknya. Orang tua cenderung menghargai pendapat
maupun perilaku disiplin tanpa meninggalkan pengawasan terhadap
aktivitas anak, serta menggunakan hukuman jika diperlukan untuk
memberikan pelajaran jika anak berbuat salah.14

PSIKOLOGI KOMUNIKASI
Psikologi komunikasi bertujuan untuk memahami perilaku komunikasi
individu yakni sebab-sebab mengapa perilaku komunikasi itu muncul. Komunikasi
terapeutik dan komunikasi persuasif adalah komunikasi yang menggunakan
pendekatan psikologi komunikasi. Dalam hal ini, peristiwa mental yang dimaksud
adalah persepsi dan berpikir dalam lingkup komunikasi intrapersonal. Selain itu,
sikap, kepribadian, motivasi, dan emosi akan muncul sebagai beberapa faktor yang
memengaruhi perilaku komunikasi.

14
Ayu Winda Santosa dan Adjianti Marheni, Program Studi Psikologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana, Perbedaan Kemandirian Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang
Tua pada siswa SMP Negeri di Denpasar, Jurnal Psikologi Udayana 2013, Vol. 1, 54-62, hlm. 55
HUBUNGAN ORANG TUA DAN ANAK DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Hadis dan ayat Al-Qur’an pun telah mengatur tentang komunikasi yang baik
antara orang tua dan anak, sebagaimana tertera di dalam sural As-Saffat sebagai
berikut:

‫ك ََُب ذَْْأ‬
َ ‫ى َرَت اَذ اَم ْرُْظنَاف‬
ٰ ۚ ‫َاي َل َاق‬
‫ن‬
‫ى رَأ‬ ‫ِ َأ مِانم لا ِِف‬
َ ٰ َْ َ ‫ي‬
‫ن‬
‫س لا َُهعَم َغ ََلب اّم لَف‬ ِ
ّ ‫ِي إ نََْنُب َاي َل َاق َي ْع‬

ّ ‫لا ن مِ َن يرِبا‬
‫ص‬ ‫ْن ِإ‬ ۚ‫رمْؤ ُت ام ل ع ْفا تِ َبأ‬
َ َ َ ْ َ َُ
‫ُنه‬ ‫ن‬
‫َ لا ءاَش‬ ِ ِ
َ َ‫ُِد ج َتس‬

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama
Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam
mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia
menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu;
insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".15
PENGERTIAN AUTIS
Menurut Sunu (2012:7), autisme berasal dari kata ‘auto’ yang berarti sendiri.
Istilah ini dipakai karena orang yang mengidap gejala autisme seolah-olah ia hidup
16
sendiri. Sedangkan menurut Indria Gamayanti (2008), autisme adalah istilah
yang digunakan untuk menggambarkan jenis gangguan perkembangan yang terjadi
pada anak.17 Sedangkan menurut Priyana (2010:2), autisme adalah masalah yang
berhubungan dengan interaksi sosial, komunikasi, dan bermain saat anak berusia
dibawah tiga tahun dan anak mengalami retardasi mental.18

PENYEBAB AUTIS
Ada beberapa faktor yang diduga kuat yang menjadikan anak berkebutuhan
khusus autis, yaitu:19 genetik, pestisida, obat-obatan, usia orang tua,
perkembangan
otak, flu berkepanjangan saat masa kehamilan, dan mercuri didalam tubuh.
15
Q.S. As-Saffat/37 : 102
16
Sicillya E. Boham, Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis (Studi pada Orang
Tua dari Anak Autis di SLB AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado), Jurnal, volume
II Nomor 4,2013
17
Tin Suharmini, Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus (Yogyakarta: Kanwa Publisher.
2009), hlm. 71.
18
Sicillya E. Boham, Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis (Studi pada Orang
Tua dari Anak Autis di SLB AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado), Jurnal, volume
II Nomor 4,2013
19
Hasdianah HR, Autis Pada Anak Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan,
(Yogyakarta: Nuha Medika, 2013), hal. 73-77.
JENIS-JENIS AUTIS

Menurut Autism Society of America ada lima jenis autisme yang perlu
diketahui:20

1. Autistic Disorder
Jenis autis ini disebut pula dengan true autism atau childhood autism karena
banyak dialami oleh anak usia tiga tahun diawal usianya. Dalam sebagian
kasus besar, anak yang mengalami autistic disorder tidak mampu untuk
berbicara dan bergantung dengan komunikasi non verbal. Hal ini yang
menyebabkan anak akan menjauhkan diri dari lingkungan bahkan bersifat
acuh tak acuh.
2. Sindrom Asperger
Sindrom ini dicirikan dengan definisi interaksi sosial dan sulit menerima
perubahan terkait rutinitas sehari-hari. Anak yang mengalami sindrom ini
cenderung kurang sensitif terhadap rasa sakit, tidak sanggup untuk
mengatasi paparan sinar cahaya yang tiba-tiba mengenainya ataupun suara
yang keras. Namun anak yang memiliki sindrom ini tidak mengalami
gangguan dalam kemampuan bahasa, serta kecerdasannya rata-rata atau
diatas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder
Umumnya, sindrom ini didiagnosis saat anak usia lima tahun dengan
beragam gangguan. Tingkat keparahan anak yang memiliki sindrom ini
bervariasi dan cenderung mengalami gangguan dalam keterampilan verbal
dan non verbal.
4. Childhood Disintegrative Disorder
Gejala sindrom ini akan timbul saat anak berusia tiga sampai empat tahun.
Pada dua tahun pertama, anak akan terlihat normal. Tetapi beberapa waktu
kemudian, akan terjadi regresi mendadak dalam aspek sosial, komunikasi
dan bahasa, serta keterampilan motorik.
5. Rett Syndrome

Sindrom yang jarang ditemukan ini lebih banyak dialami oleh anak
20
Munnal Hani’ah, Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi, (Yogyakarta: Diva Press,
2015), hal. 21-22.
perempuan ataupun perempuan dewasa dengan peningkatan ukuran kepala

20
Munnal Hani’ah, Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi, (Yogyakarta: Diva Press,
2015), hal. 21-22.
yang tidak normal. Gejala lain yang tampak adalah hilangnya kontrol otot
yang mengakibatkan masalah dalam gerakan mata, gerakan mata dan kaki
yang berulang, serta keterampilan motorik yang terhambat.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah deskriptif kualitatif.


Hal ini karena tema penelitian membutuhkan analisis terhadap suatu fakta
maupun fenomena yang akan diselidiki dalam studi kasus. Dalam penelitian ini
terdapat dua variabel yang harus dioperasionalkan, yaitu pola komunikasi dan
anak berkebutuhan khusus autis. Pola komunikasi dan anak berkebutuhan
khusus autis. Lokasi penelitian yang akan diambil oleh peneliti adalah kota
Yogyakarta yang akan mengambil data informan dari Pusat Layanan Autis di
Yogyakarta.

Subyek penelitian ini adalah keluarga autis yang berdomisili di


Yogyakarta dan tercatat di Pusat Layanan Autis (PLA) Yogyakarta. Peneliti
memiliki beberapa kriteria dalam pemilihan informan primer, yaitu: (1)
Informan adalah orang tua dari anak yang didiagnosis autis (2) Informan
berdomisili di Yogyakarya (3) Informan berada dalam keadaan sadar dan tidak
ada unsur keterpaksaan. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut: pengamatan, wawancara, studi kepustakaan,
dan dokumentasi.

Teknik analisis data yang akan digunakan oleh peneliti memiliki 2


tahapan, yaitu analisis yang dilakukan di lapangan dan analisis
pascalapangan.21
Analisis lapangan akan menghasilkan kesimpulan sementara yang diperoleh
dari wawancara mendalam kepada orang tua anak berkebutuhan khusus autis
tentang pola komunikasi yang dilakukan kepada anak berkebutuhan khusus
autis. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan untuk melakukan teknik
pengujian kredibilitas, yaitu: pengoptimalan waktu penelitian, triangulasi,
pengecekan oleh

21
Nawari Ismail, Metodologi Penelitian Untuk Studi Islam, (Yogyakarta: Samudra Biru,
2015), hal. 98.
orang ahli dalam hal bidang yang diteliti, ketetapan dalam operasionalisasi
konsep, dan pembuktian.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komunikasi Keluarga Autis


Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia, terlebih dalam
suatu keluarga. Setiap individu memiliki cara untuk berkomunikasi dengan
individu lainnya, seperti orang tua yang melakukan komunikasi kepada anak
berkebutuhan khusus autis akan berbeda dari orang tua satu dan orang tua lainnya.
Baik buruknya komunikasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak
berkebutuhan khusus autis, bergantung pada penerimaan orang tua terhadap anak
mereka yang mengalami gangguan autis. Orang tua yang memiliki anak
berkebutuhan khusus autis akan memiliki tingkat stres yang lebih tinggi daripada
orang tua pada umumnya, dan hal ini yang nantinya akan mempengaruhi
komunikasi yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak.22 Dalam penelitian ini,
penulis menemukan komunikasi yang berbeda antara keluarga #1, keluarga #2,
keluarga #3, dan keluarga #4 yang dilakukan oleh setiap keluarga kepada anak
berkebutuhan khusus autis.

1. Komunikasi dalam rumah


Komunikasi anak dengan orang tua sering dilakukan saat di dalam
rumah. Hanya saja komunikasi yang dilakukan oleh setiap keluarga saat di
dalam rumah berbeda-beda, ditambah dengan adanya anak berkebutuhan
khuhsus autis menjadikan komunikasi dalam rumah mennjadi hal yang
penting. Seperti halnya keluarga #1 yang telah mengetahui jika anak
memiliki kebutuhan khusus autis, orang tua memberikan komunikasi yang
lebih intensif kepada anak dengan cara memberikan penjelasan berulang-
ulang saat anak menanyakan tentang permainan ataupun mengenai
aktivitas orang tua saat di dalam rumah, seperti kutipan wawancara dengan
Ibu keluarga #1, yaitu:

“Kalo di rumah anaknya suka main sama satu mainan gitu mba, tapi
ya kita tetep ngasih beberapa mainan baru dan ngejelasin gitu.

22
Siti Muman Muniroh, Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis, Jurnal Penelitian,
7(2).
Anaknya tuh paham perintah dan omongan kita kok. Tapi kadang
ya masih bingung aja kalo anak lagi pengen mainan yang kecil-
kecil gitu.”23
Dalam penelitian lapangan, keluarga #1 selalu mengajak
berkomunikasi anak meskipun terkadang anak cenderung cuek dan tidak
menanggapi. Misalnya saat orang tua menanyakan apa yang sedang
dilakukan anak, anak akan diam dan masih bermain dengan mainan yang
disukainya. Namun orang tua akan melontarkan pertanyaan serupa hingga
anak memberikan respon kepada orang tua meski jawaban dari anak
terkadang tidak sesuai dengan pertanyaan. Tidak berbeda jauh dengan
keluarga #1, keluarga #2 memberikan komunikasi yang baik bagi anak
yang memiliki kebutuhan khusus autis dengan mengulang-ulang
pertanyaan dan selalu membuat percakapan dengan sang anak.
Namun berbeda dengan keluarga #3 yang memiliki anak
berkebutuhan khusus sedang saat melakukan komunikasi saat di dalam
rumah. Keluarga #3 cenderung membiarkan anak yang memiliki gangguan
autis dan memperlakukan anak tersebut seperti anak normal pada
umumnya. Saat dalam rumah, orang tua membiarkan anak untuk bermain
sendiri dan orang tua melakukan kegiatannya untuk membersihkan rumah
dan pekerjaan lainnya. Orang tua akan mengajak berbicara anak ataupun
melakukan komunikasi saat anak meminta sesuatu atau pun saat anak
sudah melakukan hal-hal yang berlebihan seperti lari-lari dan berteriak.
Orang tua keluarga #4 berkomunikasi dengan anak secara berulang-ulang
untuk memberikan pemahaman akan suatu hal seperti perintah untuk
meletakkan mainan atau pun merapikannya. Anak pun memahami
komunikasi yang dilakukan oleh Ibu atau pun Ayah dengan bantuan sang
kakak dan adik dalam memberikan contoh.

Pola komunikasi yang dilakukan oleh keluarga akan mempengaruhi


pola asuh yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak berkebutuhan
khusus autis. Ada 3 pola asuh yang dipengaruhi oleh pola komunikasi yang
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya, yaitu pola otoriter yang
ditandai
23
Wawancara dengan keluarga #1 pada 11 April
2018
dengan adanya aturan oleh orang tua kepada anak tanpa adanya diskusi,
pola permisif yang mana ditandai dengan kebebasan terhadap anak untuk
berperilaku sesuai keinginan, serta pola demokrasi yang ditandai dengan
adanya sikap terbuka oleh orang tua terhadap anaknya.24 Pada penelitian
ini, keluarga #1 menerapkan komunikasi yang terbuka antara anggota
keluarga. Orang tua keluarga #1 selalu menghargai apa yang diinginkan
oleh anak jikalau itu masih dalam tahap wajar yakni tidak melanggar
norma dan aturan agama. Selain itu, orang tua akan memberikan hukuman
kepada anak jika anak melakukan kesalahan.

Tidak jauh berbeda dengan keluarga #1, keluarga #2 dan keluarga #4


juga menerapkan komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak.
Hanya saja, pada keluarga #2 tidak memberikan hukuman kepada anak
saat melakukan kesalahan. Akan tetapi orang tua keluarga #2 akan
memasang raut wajah yang menunjukkan ekspresi bahwa orang tua tidak
menyukai perbuatan anak. Sedangkan untuk orang tua keluarga #4 tetap
memberikan hukuman kepada anak berkebutuhan khusus autis saat anak
melakukan kesalahan. Hal ini dilakukan oleh orang tua keluarga #4 untuk
melatih kepatuhan anak , sebagaimana wawancara dengan Ibu keluarga #2
dan Ayah keluarga #4:

“Kalau untuk hukuman, kami gak memberikan mbak. Hanya saja


nanti kalau pas dia dibilangin dan ngeyel, dia harus tau kalau kami
marah. Misalnya nanti agak melotot atau bagaimana. Soalnya mau
dikasih hukuman, anaknya juga belum ngerti, jadi kasihan kalau
mau ngasih hukuman.”25
Sedangkan untuk orang tua keluarga #3 tidak memberikan hukuman
maupun menampakkan raut wajah kecewa atau pun marah saat anak
melakukan kesalahan. Orang tua keluarga #4 menganggap anak belum
paham dan membiarkan anak untuk melakukan yang diinginkan oleh anak.
Seperti kutipan wawancara berikut:

24
Ayu Winda Santosa dan Adjianti Marheni, Program Studi Psikologi, Fakultas
Kedokteran, Universitas Udayana, Perbedaan Kemandirian Berdasarkan Tipe Pola Asuh Orang
Tua pada siswa SMP Negeri di Denpasar, Jurnal Psikologi Udayana 2013, Vol. 1, 54-62, hlm. 55
25
Wawancara dengan keluarga #2 pada 12 April 2018
“Kami gak ngasih hukuman sih mbak kalo sama anak, takutnya
gimana-
gimana. Kan karena autis gitu anaknya jadi gak terlalu paham kan.”26

2. Komunikasi dalam hal pendidikan


Pendidikan tidak hanya didapatkan dari Sekolah maupun lembaga
informal lainnya. Pendidikan pertama bisa di dapatkan dari rumah dan
pengajaran yang baik oleh orang tua kepada anak. Bukan hanya guru
yang memiliki tugas untuk mengajarkan pendidikan berupa kesenian,
ilmu sosial, ilmu alam. Akan tetapi orang tua juga memiiki tugas untuk
mengajarkan hal tersebut kepada anak saat anak berada di rumah.

Dalam hal pendidikan, orang tua keluarga #1 berkomunikasi dengan


anak dalam hal pendidikan seperti bernyanyi, mengenalkan anak dengan
huruf dan angka, pengetahuan umum, dan lain sebagainya. Orang tua
keluarga #1 melakukan komunikasi secara berulang dan bertahap untuk
memberikan pemahaman kepada anak. Sedangkan untuk keluarga #2, ayah
dari anak berkebutuhan khusus autis mengaku akan mengulang materi
yang telah diberikan di sekolah kepada anak. Seperti wawancara berikut:

“Biasa ibuknya suka ngasih penjelasan berulang-ulang gitu mba,


misalnya nyanyi, ngenalin huruf, hewan. Sama ngeliatin gambar gitu
buat anaknya biar paham. Kan di PAUD juga pelajarannya masih yang
main-main gitu mbak.”27
Berbeda dengan keluarga #3 yang akan berkomunikasi masalah
pendidikan saat anak memiliki fokus yang baik. Apabila anak tidak
memiliki fokus yang baik, orang tua dari keluarga #3 tidak akan
memberikan pelajaran maupun menjelaskan sesuatu kepada sang anak.
Sedangkan untuk keluarga #4, orang tua berkomunikasi dengan anak
berkebutuhan khusus autis mengenai pendidikan dengan mudah saat anak
mulai berusia 6 tahun saat kosa kata anak mulai bertambah. Orang tua
memberikan penjelasan berulang-ulang dan mengajarkan apa yang
diperoleh anak dari sekolah.

27
Wawancara dengan keluarga #2 pada 12 April 2018
26
Wawancara dengan keluarga #3 pada 2 Mei 2018

27
Wawancara dengan keluarga #2 pada 12 April 2018
3. Komunikasi dalam hal bersosialisas
Manusia adalah makhluk sosial yang akan membutuhkan satu sama
lain. Setiap individu akan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sekitar,
termasuk anak berkebutuhan khusus autis akan melakukan sosialisasi
dengan lingkungan sekitarnya. Dalam hal bersosialisasi, anak
berkebutuhan khusus autis dari keluarga #1 cenderung mau untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya meskipun anak masih usil dan
terkadang menyakiti. Sedangkan untuk anak berkebutuhan khusus autis
dari keluarga #2, anak terbuka dengan lingkungan sekitar. Hanya saja,
anak masih belum bisa mengikuti anak yang lain dalam hal mengobrol dan
bermain. Anak berkebutuhan khusus dari keluarga #2 hanya ikut
bergabung dan berkumpul dengan teman ataupun tetangganya.
Sama halnya dengan anak berkebutuhan khusus autis dari keluarga
#3, dalam hal bersosialisai anak akan ikut bergabung dengan lingkungan
sekitarnya. Akan tetapi, orang tua keluarga #3 masih membatasi sosialisasi
anak dengan lingkungan sekitar dengan alasan anak yang masih cenderung
hiperaktif. Sedangkan untuk anak autis dari keluarga #4 menjelaskan
bahwa sosialisasi anak mulai membaik dan mau bergabung dengan
lingkungan sekitar saat kosa kata anak mulai bertambah. Hanya saja, saat
anak mengajak bermain teman maupun tetangga, anak autis keluarga #4
akan bersikap usil dan akan terlihat seperti menyakiti.
4. Komunikasi dalam hal keagamaan
Orang tua memiliki kewajiban untuk mengenalkan agama kepada
anak untuk menuntun anak kepada hal yang lebih baik. Dengan
mengenalkan agama kepada anak, anak akan mampu membedakan hal baik
dan buruk, apa yang diperbolehkan dan dilarang oleh Allah SWT. Tidak
hanya mengenalkan agama kepada anak yang terlahir normal, orang tua
harus mengenalkan agama kepada anak yang lahir yang memiliki
kekurangan, seperti anak berkebutuhan khusus autis.
Keluarga #1 mulai mengajarkan agama kepada anak mengenai do’a
sehari-hari yang mampu diamalkan oleh anak. Orang tua keluarga #1
mengajarkan do’a saat anak melakukan aktivitas sehari-hari seperti saat
akan tidur, ketika makan, dan keluar rumah, orang tua akan mengajarkan
anak tentang do’a-do’a tersebut. Hal ini karena orang tua dari keluarga #1
yang beragama Islam, menganggap penting untuk mengajarkan anak
bagaimana tentang ajaran-ajaran yang sesuai deng syariat Islam. Orang tua
keluarga #2 masih ditahap memperkenalkan anak kepada huruf hija’iyah
dan menganggap anak masih terlalu kecil untuk paham mengenai sholat.
Orang tua keluarga #3 menjelaskan apabila mereka belum
memberikan pemahaman mengenai agama kepada sang anak. Hal ini
dikarenakan anak yang belum dirasa paham untuk memahami seperti hal
tersebut. Pengetahuan mengenai agama yang masih awam, menjadikan
orang tua keluarga #3 tidak terlalu memperdulikan mengenai kewajiban
sholat kepada anak. Sedangkan untuk orang tua keluarga #4 sudah
mengajari anak berkebutuhan khusus mengenai sholat saat anak masih
kecil. Hal ini karena orang tua keluarga #4 tidak membedakan antara anak
dengan gangguan autis dan anak mereka yang normal dalam hal menerima
ilmu tentang agama. Orang tua keluarga #4 sebagai seorang muslim
memberikan pengetahuan dan praktik nyata kepada anak-anak untuk
menjadi muslim yang baik.

Faktor Pendukung dan Penghambat Komunikasi Keluarga Autis


Setiap keluarga memiliki hambatan dan faktor pendukung dalam
berkomunikasi. Faktor pendukung dan penghambat yang menjadikan komunikasi
antara orang tua dengan anak berkebutuhan khusus akan berjalan lancar ataupun
sebaliknya. Seperti halnya komunikasi yang kurang ataupun kosa kata yang sulit
untuk dipahami oleh orang tua, bisa menghambat komunikasi yang seharusnya
berjalan lancar. Selain kosa kata yang sulit dipahami, fokus yang kurang dari anak
dan hiperaktif membuat anak sulit dikendalikan dan menghambat
tersampaikannya pesan dengan baik kepada anak.

KESIMPULAN

Komunikasi tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari, termasuk


komunikasi dalam suatu keluarga yang terdiri dari orang tua dan anak. Tidak
semua keluarga mampu menyampaikan komunikasi yang baik diantara anggota
keluarga.
Ditambah dengan adanya anak berkebutuhan khusus autis dalam suatu keluarga.
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:

1. Pola komunikasi yang dilakukan oleh 4 keluarga dari orang tua yang
memiliki anak berkebutuhan khusus autis sedang dan ringan
menunjukkan
3 keluarga menggunakan pola Interaksional dimana adanya keterbukaan
antara orang tua dan anak. Hanya saja, satu keluarga yang menggunakan
pola Stimulus-Respons. Pola komunikasi dalam keluarga akan
mempengaruhi pola asuh yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak
berkebutuhan khusus autis, 3 keluarga yaitu keluarga #1, #2, dan #4
menggunakan pola demokrasi dan keluarga #3 menggunakan pola
permisif.
2. Faktor pendukung dalam komunikasi orang tua kepada anak
berkebutuhan khusus adalah adanya media visual maupun audio yang
digunakan saat komunikasi sedang berlangsung. Sedangkan faktor
penghambat dari komunikasi antara orang tua dengan anak
berkebutuhan khusus autis adalah anak yang hiperaktif dan kurangnya
fokus pada anak.
3. Orang tua dengan anak berkebutuhan khusus autis sedang maupun ringan,
berkomunikasi dengan cara memberikan penjelasan berulang-ulang dan
menggunakan media gambar ataupun lainnya untuk menyampaikan suatu
pesan.

SARAN-SARAN

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebgai
berikut:

1. Bagi orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus autis untuk
memberikan komunikasi yang baik kepada anak. Diharapkan bagi orang
tua untuk tetap terbuka meskipun anak memiliki kekurangan dalam hal
memahami. Orang tua hendaknya memberikan pemahaman yang
berulang kepada anak dan memberikan hukuman kepada anak untuk
melatih kepatuhan.
2. Bagi masyarakat untuk tidak mengucilkan anak yang memiliki gangguan
autis dan menghargai keberadaan mereka. Selain itu, masyarakat
disarankan untuk memberikan ruang hidup yang baik dan
memperlakukan anak berkebutuhan khusus autis seperti memperlakukan
anak normal pada umumnya.
3. Untuk terapis maupun lembaga pemerintahan disarankan dapat membantu
memberikan alternatif terapi bagi anak berkebutuhan khusus autis. Selain
itu, disarankan untuk melakukan pendataan menyeluruh ke pelosok desa
untuk mengetahui anak berkebutuhan khusus autis serta untuk melakukan
penanganan yang baik bagi mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Boham, S. E. (2013). Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Autis (Studi pada
orang tua dari anak autis di Sekolah Luar Biasa AGCA Center Pumorow
Kelurahan Banjer Manado). Jurnal Acta Diurna, 2(4).

Djamarah, Syaful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam
Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Gunawan, H. (2013). Jenis pola komunikasi orang tua dengan anak perokok aktif
di Desa Jembayan Kecamatan Loa Kulu Kabupaten Kutai Kartanegara.
Ejournal Ilmu Komunikasi, 1(3), 218-233.
Hani’ah, Munnal. 2015. Kisah Inspiratif Anak-anak Autis Berprestasi, Yogyakarta:
Diva Press.
Hasdianah HR. 2013. Autis pada Anak Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan.
Yogyakarta: Nuha Medika.
Ismail, Nawari. 2015. Metodologi Penelitian untuk Studi Islam. Yogyakarta:
Samudra Biru.

Karningtyas, M. A. (2014). Pola Komunikasi Interpersonal Anak Autis di Sekolah


Autis Fajar Nugraha Yogyakarta. Jurnal Ilmu Komunikasi (JIK), 7(2).

Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Mulyana, Deddy. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.

Muniroh, S. M. (2012). Dinamika resiliensi orang tua anak autis. Jurnal penelitian,
7(2).
Nurhajati, L., & Wardyaningrum, D. (2014). Komunikasi Keluarga dalam
Pengambilan Keputusan Perkawinan di Usia Remaja. Jurnal Al-Azhar
Indonesia Seri Pranata Sosial, 1(4), 236-248.

Rachmah, I. M. (2016). Peran orang tua untuk meningkatkan komunikasi anak


autis (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim).

Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2011). Penerimaan diri orangtua terhadap anak
autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(1).
Retnowati, Y., & Hubeis, A. V. S. (2008). Pola komunikasi orang tua tunggal
dalam membentuk kemandirian anak (kasus di Kota Yogyakarta). Jurnal
Komunikasi Pembangunan, 6(1).
Santosa, A. W. U., & Marheni, W. (2013). Perbedaan Kemandirian Berdasarkan
Tipe Pola Asuh Orang Tua pada Siswa SMP Negeri di Denpasar. Jurnal
Psikologi Udayana, 1(1), 54-62.
Setyowati, Y. (2013). Pola komunikasi keluarga dan perkembangan emosi anak
(studi kasus penerapan pola komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap
perkembangan emosi anak pada keluarga Jawa). Jurnal Ilmu Komunikasi,
2(1).
Suharmini, Tin. 2009. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Yogyakarta: Kanwa
Publisher

Anda mungkin juga menyukai