RHINITIS ALERGI
Pembimbing :
Disusun oleh:
Putri Justicarici N
1102014213
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian
luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan;
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
hidung luar seperti piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah : 1)
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),
4) ala nasi, 5) kolumela, dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar
dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2)
prosesus frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal ; sedangkan
kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di
bagian bawah hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2)
sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala
mayor dan 3) tepi anterior kartilago septum.(2)
Anatomi Hidung Luar
Rongga hidung bagian depan dan atas mendapat persarafan sensoris dari
nervus nasalis anterior cabang dari nervus ethmoidalis anterior. Rongga hidung
bagian lainnya mendapat persarafan sensoris dari nervus maxilla. Persarafan
parasimpatis rongga hidung berasal dari nervus nasalis posterior inferior &
superior cabang dari ganglion sphenopalatina. Persarafan simpatis berasal dari
ganglion cervical superior. Efek persarafan parasimpatis pada cavum nasi yaitu
sekresi mukus dan vasodilatasi. Dalam rongga hidung, terdapat serabut saraf
pembau yang dilengkapi sel-sel pembau. Setiap sel pembau memiliki rambut-
rambut halus (silia olfaktoria) di ujungnya dan selaput lendir meliputinya untuk
melembabkan rongga hidung.(3)
2.3.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (Von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung
dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.(5)
2.3.2 Etiologi
Rinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 – 30 % semua populasi dan pada 10 – 15 %
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50 %. Peran lingkungan dalam dalam rhinitis alergi
yaitu sebagai sumber alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan, terpapar dan
merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki kecenderungan
alergi.
a. Sumber pencetus
Rhinitis Alergi jenis musiman muncul disebabkan oleh reaksi alergi terhadap
Serbuk sari rumput (di akhir musim semi dan musim panas)
Rhinitis Alergi jenis sepanjang tahun muncul disebabkan oleh reaksi alergi
Kecoa
Jamur yang tumbuh di dinding, tanaman rumah, karpet, dan kain pelapis
b. Faktor Risiko
eksim
Gender laki‐laki.
2.3.3 Klasifikasi
1. Rhitis alergi musiman (hay fever) umumnya disebabkan kontak dengan allergen
dari luar rumah seperti benang sari dari tumbuhan yang menggunakan angin untuk
penyerbukannya dan spora jamur. Alergi terhadap tepung sariber beda beda
bergantung geografi dan jenis tanaman yang ada, juga jumlah serbuk yang ada di
dalam udara. Udara panas, kering dan angin mempengaruhi banyaknya serbuk di
udara bila dibandingkan dengan saat udara dingin, lembab dan hujan yang
membersihkan udara dari serbuk tersebut. Jenis ini biasanya terjadi di negara
dengan 4 musim
1. Ringan (mild), ditemukan dengan tidur normal, aktivitas sehari-hari, saat olah
raga dan saat santai normal, bekerja dan sekolah normal, dan tidak ada keluhan
mengganggu.
2.3.4 Patofisiologi
Gejala klinis yang khas adalah bersin yang berulang. Bersin biasanya pada
pagi hari dan karena debu. Bersin lebih dari lima kali sudah dianggap patologik
dan perlu dicurigai adanya rinitis alergi dan ini menandakan reaksi alergi fase
cepat. Gejala lain berupa keluarnya ingus yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, mata gatal dan banyak air mata. Pada anak-anak sering gejala tidak
khas dan yang sering dikeluhkan adalah hidung tersumbat.1,8,9
1. Allergic salute
2. Allergic crease
3. Allergic shiner
2.3.6 Diagnosis
Uji kulit atau Prick test, digunakan untuk menentukan alergen penyebab rinitis
alergi pada pasien. Alergen dapat berupa tungau debu, bulu binatang, jamur, dan
serbuk sari. Tes kulit yang positif menunjukkan adanya antibiodi IgE yang
spesifik terhadap alergen tersebut.
2.3.7 Penatalaksanaan
1. Antihistamin
2. Dekongestan oral
3. Sodium kromolin
4. Kortikosteroid inhalasi
5. Imunoterapi
6. Netralisasi antibodi
7. Konkotomi
1. Antihistamin
adalah pengobatan rinitis alergi yang paling sering diresepkan. Obat ini bekerja
secara kompetitif dengan mediator alergi, histamin, pada reseptor Histamin-1.
Efeknya berupa mengurangi vasodilatasi, hipersekresi kelenjar mukus, dan refleks
iritasi untuk bersin. Antihistamin yang bekerja pada reseptor H-1 dibagi menjadi
dua generasi berdasarkan sifat sedatifnya, generasi pertama bersifat sedatif karena
bersifat lipofilik dan generasi kedua bersifat lipofobik. Contoh antihistamin
generasi pertama adalah klorfeniramin, difenhidramin, siproheptadin.
Antihistamin generasi kedua memiliki keuntungan tidak menyebabkan sedasi,
namun efek samping lain ternyata dilaporkan suatu kasus kecil berupa anemia
aplastik dan golongan tertentu tidak boleh diberikan pada penderita dengan
gangguan jantung karena menyebabkan aritmia. Antihistamin generasi kedua
yang aman adalah loratadin, setirizin, feksofenadin. Dianjurkan konsumsi
antihistamin agar dimakan secara reguler dan bukan dimakan seperlunya saja
karena akan memberikan efek meredakan gejala alergi yang efektif. Apabila
antihistamin generasi pertama dipilih, maka pemberian secara reguler akan
memberi toleransi kepada pasien terhadap efek sedasi sehingga ia mampu tetap
toleran terhadap pekerjaannya.
2. Dekongestan oral
3. Sodium kromolin
Bekerja pada intraseluler dengan menstabilkan dinding sel mastosit yaitu berupa
mencegah pelepasan mediator-mediator ke luar sel. Kerja dari obat ini adalah
dengan menghambat influks Ca2+ lebih banyak ke dalam sel mast sehingga
degranulasi mediator terhambat. Obat ini dapat diberikan sebagai pilihan alternatif
apabila antihistamin tidak dapat ditoleransi pada pasien.
5. Imunoterapi.
Cara ini lebih dikenal sebagai desensitisasi atau hiposensitisasi. Caranya adalah
dengan memberikan injeksi berulang dan dosis yang ditingkatkan dari alergen,
tujuannya adalah mengurangi beratnya reaksi tipe I atau bahkan menghilangkan
sama sekali. Imunoterapi bekerja dengan pergeseran produksi antibodi IgE
menjadi produksi IgG atau dengan cara menginduksi supresi yang dimediasi oleh
sel T (lebih meningkatkan produksi Th1 dan IFN-y). Dengan adanya IgG, maka
antibodi ini akan bersifat "blocking antibody" karena berkompetisi dengan IgE
terhadap alergen, kemudian mengikatnya, dan membentuk kompleks antigen-
antibodi untuk kemudian difagosit. Akibatnya alergen tersebut tidak ada dalam
tubuh dan tidak merangsang membran mastosit.
6. Antibodi netralisasi
bekerja dengan cara memberikan anti IgE monoklonal. Antibodi ini berikatan
dengan IgE yang bebas di dalam tubuh dan tentu saja secara langsung akan
mengurangi produksi IgE selanjutnya oleh sel B. Hasil akhirnya adalah
konsentrasi IgE yang rendah mengurangi sensitivitas basofil. Cara ini tidak hanya
digunakan untuk rinitis alergi, tetapi jenis alergi lain seperti alergi makanan.
7. Konkotomi
dilakukan pada konka inferior, dikerjakan apabila hipertrofi berat tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.
Secara umum, pasien dengan rinitis alergi tanpa komplikasi yang respon
dengan pengobatan memiliki prognosis baik. Pada pasien yang diketahui alergi
terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rinitis pasien ini dapat terjadi musiman.
Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan penyakit sinusitis dan telinga
yang berulang. Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk
status kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rinitis
alergi dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga
dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang ditemukan
karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.
2.3.10 Komplikasi
KESIMPULAN
1. Hilger PA. Penyakit Hidung. In: Highler, AB. BOIES Buku Ajar Penyakit
THT. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 1997. P. 210-7.
2. Anatomi dan fisiologi hidung dan sinus paranasal. Available from
:http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25985/4/Chapter%20II.pdf .
Accesed at : November 14, 2019.
3. Anatomi Hidung. Available from :
http://www.scribd.com/doc/38904487/Anatomi-Hidung . Accesed at :
November 14, 2019..
4. Anatomi Hidung. Available from :
http://www.scribd.com/doc/52832505/7/Anatomi-Hidung Accesed at :
November 14, 2019.
5. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. In : Soepardi EA,
Iskandae N, Ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung dan Tenggorok. 6th
ed. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2007. p. 128-32.
6. Oliver P, Raap P, Holz M, Hormann K, Klimek L. Pathophisiology of Itching
and Sneezing in Allergic Rhinitis. Dept of Otorhinolaryngology, University
Hospital Mannheim, Germany. Article. Swiss Med Wkly 2009; 139 (3-4). p
35-40.
7. Rinitis Alergi. Available from : http://www.scribd.com/doc/19986753/Rinitis-
Alergi. Accesed at : November 14, 2019.