Anda di halaman 1dari 21

Case Report

BLEFAROKONJUNGTIVITIS EC STEVEN JOHNSON SYNDROME

Pembimbing:
Dr. Aryanti Ibrahim, Sp.M

Oleh:
Andi Nabila Maharani I, S.Ked
1618012071

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DR. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
2018
BAB I
LAPORAN KASUS

A. Identitas
Nama : An.U
Usia : 11th
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Way Kandis, Bandar lampung
Masuk RSUAM : 9-04-2018

B. Anamnesa
Keluhan Utama : keluar air mata terus menerus
Keluhan tambahan : mata merah dan penglihatan kabur

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan mata kiri dan kanan pasien sering mengeluarkan
air mata yang terus-menerus keluar disertai dengan kotoran yang berwarna
hijau kekuningan sejak ± 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan adanya
mata yang masih terasa merah dan penglihatan yang buram pada mata kiri.
Pasien mengaku sering mengucak mata dengan tangannya tanpa sadar.
Keluhan mata gatal, nyeri, dan silau dirasakan pada mata kiri pasien. Pasien
tidak mengeluhkan adanya demam, rasa nyeri kepala, mual dan muntah.
Riwayat kelopak mata kiri dan kanan bengkak, kemerahan pada bagian
kelopak, serta rasa nyeri pasien rasakan pada 3 bulan yang lalu, namun kini
sudah tidak dirasakan kembali.
Tiga bulan sebelumnya pasien di rawat dibagian anak RSUDAM dengan
keluhan kulit yang melepuh pada seluruh bagian tubuh hingga ke mata, akibat
alergi terhadap obat amoxcicilin yang pasien konsumsi setelah mengeluhkan
demam, batuk, dan pilek. Riwayat pengobatan pada mata pasien akibat
penyakitnya tersebut sudah pasien lakukan dengan baik, namun pasien tidak
mengingat obat apa saja yang sudah diberikan. Kini pasien datang untuk
kontrol dengan keluhan yang ada.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Steven Johnson Syndrome pada 3 bulan sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :


Anggota keluarga tidak ada yang mengalami penyakit mata dengan gelaja yang
sama.

C. Pemeriksaan Fisik
Status Present
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernapasan : 18x/menit
Suhu : 36,6oC

Status Generalis
Kepala
- Bentuk : Normochepal
- Rambut : Hitam, tersebar merata
- Mata : Simetris (status ophtalmologi)
- Hidung : Sekret (-), nyeri (-)
- Telinga : Simetris, sekret (-)
- Mulut : Bibir sianosis (-)

Leher
- Inspeksi : Dalam batas normal, edema (-), hiperemis (-)
- Palpasi : Massa (-), pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
- JVP : Tidak dilakukan pemeriksaan
Thoraks
- Paru : Kesan dalam batas normal (Simetris, FTka=Ftki,
sonor +/+, vesikuler +/+)
- Jantung : Kesan dalam batas normal (Batas jantung normal,
BJ I/II reguler

Abdomen
- Hepar : Kesan dalam batas normal (tidak ada pembesaran)
- Lien : Kesan dalam batas normal (tidak ada pembesaran)

Ekstremitas : Normotonus, kekuatan 5

D. STATUS OFTALMOLOGIS

Oculus Dextra (OD) Oculus Sinistra (OS)


6/10 Visus 6/15
Normal Lapang Pandang Normal
Normal Pergerakan Bola Normal
mata
Eksoftalmus (-), endoftalmus (-), Bulbus okuli Eksoftalmus (-), endoftalmus (-),
deviasi (-), strabismus (-), deviasi (-), strabismus (-),
nistagmus (-) nistagmus (-)
Madarosis (+) Supersilia Madarosis (+)
Madarosis (+) Silia Madarosis (+)
Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Distichiasis (-) Distichiasis (-)
N III, IV, VI normal Parese/paralise N III, IV, VI normal
Edema (+), hiperemis (+), nyeri Palpebra Edema (+), hiperemis (+), nyeri
tekan (-), ektropion (-), entropion superior tekan (-), ektropion (-), entropion
(-), hordeolum (-) (-), hordeolum (-), trikiasis (-)
Edema (-),ektropion (-), entropion Palpebra inferior Edema (+),ektropion (-),
(-),hiperemis (-), nyeri tekan (-) entropion (-),hiperemis (-), nyeri
tekan (-)
Hiperemis (-), anemis (-), papil (- Conjungtiva Hiperemis (+), anemis (-), papil
), folikel (-), sikatriks (-), korpus palpebra (-), folikel (-), sikatriks (-),
alienum (-) korpus alienum (-)
Hiperemis (-), folikel (-), papil (-) Conjungtiva Hiperemis (+), folikel (-),
fornix papil (-)
Injeksi (-), jaringan fibrovaskular Conjungtiva Injeksi (+), jaringan
(-), perdarahan sub konjungtiva (- bulbi fibrovaskular (-), perdarahan sub
), sekret (+) konjungtiva (-), sekret (+)
Ikterik (-) Sklera Ikterik (-)
Jernih, infiltrat (-), ulkus (-), Cornea Jernih, infiltrat (-), ulkus (-),
edema (-) edema (-)
Normal, hipopion (-), hifema (-) Camera Oculi Normal, hipopion (-), hifema (-)
Anterior
Coklat, reguler Iris Coklat, reguler
Bulat ditengah, reflek cahaya (+) Pupil Bulat ditengah, reflek cahaya (+)
Jernih Lensa Jernih
Positif Fundus Refleks Positif
Tidak dilakukan Corpus vitreum Tidak dilakukan

E. RESUME
Pasien datang dengan keluhan mata kiri dan kanan pasien sering mengeluarkan
air mata yang terus-menerus keluar disertai dengan kotoran yang berwarna
hijau kekuningan sejak ± 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan adanya
mata yang masih terasa merah dan penglihatan yang buram pada mata kiri.
Pasien mengaku sering mengucak mata dengan tangannya tanpa sadar.
Keluhan mata gatal, nyeri, dan silau dirasakan pada mata kiri pasien. Pasien
tidak mengeluhkan adanya demam, rasa nyeri kepala, mual dan muntah.
Riwayat kelopak mata kiri dan kanan bengkak, kemerahan pada bagian
kelopak, serta rasa nyeri pasien rasakan pada 3 bulan yang lalu, namun kini
sudah tidak dirasakan kembali. Riwayat SJS 3 bulan sebelumnya.

Status Oftalmologis:
OD :
Visus : 6/10

OS :
Visus : 6/15

F. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Pemeriksaan kultur

G. Diagnosis banding
- Blefarokonjungtivitis et causa SJS OS
- Blefaritis et causa SJS OD
- Blefaritis Anterior et causa Bakteri OS
- Konjungtivitis et causa Bakteri OS

H. DIAGNOSIS KERJA
Blefarokonjungtivitis et causa SJS OS dan Blefaritis et causa SJS OD

I. PENATALAKSANAAN
a. Non Farmakologi
1. Kompres dengan air hangat 3-4 kali/hari selama 10-15menit/hari
2. Pembersihan secret kelopak mata dengan shampo bayi
3. Hindari dari paparan debu
4. Istirahat yang cukup
5. Tutup mata baik dengan kacamata maupun kain
6. Jangan dikucek

b. Farmakologi
1. Sulfasetamid 10% zalf 3,5 gram No. I s.3.dd.ung I.os

J.PROGNOSA
Quad ad vitam : Dubia ad bonam
Quad ad functionam : Dubia ad bonam
Quad ad sanationam : Dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan yang

membungkus permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola

mata. Konjungtiva terbagi menjadi 3 bagian yaitu (1) konjungtiva

palpebra, menutupi permukaan belakang palpebra (2) konjungtiva bulbi,

menutupi permukaan depan bola mata hingga berbatasan dengan kornea di

limbus (3) konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva

palpebra dan konjungtiva bulbi.(Wijana,1993)

A. Konjungtiva palpebral

Hubungannya dengan tarsus sangat erat. Gambaran dari gl. Meibom

yang ada di dalamnya tampak membayang sebagai garis sejajar

berwarna putih. Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat

kelenjar Henle. Histologis : terdiri dari sel epitel silindris. Di

bawahnya, stroma dengan bentuk adenoid dengan banyak pembuluh

getah bening.

B. Konjungtiva forniks

Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan

dengan jaringan yang di bawahnya lebih lemah dan membentuk

lekukan-lekukan dan juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh

karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat

peradangan mata. Dengan berkelok-keloknya konjungtiva ini,

pergerakan mata menjadi lebih mudah. Di bawah konjungtiva forniks


superior terdapat gl. lakrimal dari Krause. Melalui konjungtiva forniks

superior juga terdapat muara saluran air mata.

C. Konjungtiva bulbi

Tipis dan tembus pandang, meliputi bagian anterior bulbus okuli.

Dibawah konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya sama

dengan konjungtiva palpebra, tetapi tak mempunyai kelenjar. Dari

limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai epitel kornea. Di

dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris

yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang

mengandung rambut dan kelenjar yang disebut karunkula.

Perdarahan :

Berasal dari A.konjungtiva posterior dan A.siliaris anterior. Yang berasal

dari A.siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m.rektus menembus

sklera dekat limbus untuk mancapai bagian dalam mata. Juga memberi

cabang-cabang yang mengelilingi kornea dan memberi makanan kepada

kornea. Antara kedua arteri ini terdapat anastomose.

Persarafan :

Berasal dari N.V (I), yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas

terutama dibagian palpebra. (Wijana,1993).


(www.google.com)

2.2 Definisi SJS

Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi

buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi

kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih

buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal

necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema

multiforme (EM) (Adithan,2006).

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi

mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa,

mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara

lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor,

eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis,

dll.

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr.

Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter

tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006).


2.3 Etiologi SJS

Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap

obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis.

fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen).

Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5

persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera

setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006; Siregar,

2004).

Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai

faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun

terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi

(virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol,

tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara

dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan,

kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004).

2.4.Faktor predisposisi SJS

Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3

kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih

sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang

dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan

sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004).


2.5 Patofisiologi SJS

Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan

dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang

disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan

antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type

hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit

T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan

kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) :

1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan

2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin,

hiperglikemia dan glukosuriat

3. Kegagalan termoregulasi

4. Kegagalan fungsi imun

5. Infeksi

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat

berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak,

gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul

mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan

uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu.

Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa

penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir,

mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus
yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai

krusta hemoragik (Ilyas, 2004).

2.6. Manifestasi klinis SJS

SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14

hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada,

muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan

kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna

merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh

tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering

membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah

dilepas bila digosok.

Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan

halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang.

Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit

dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut

rontok (Adithan, 2006).

Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang

melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata.

Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-

sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat

merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap

infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN.


Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik

untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi

orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :

 Ruam

 Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin

 Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada

hampir seluruh tubuh.

 Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta

berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala

prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut,

anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis

ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

 Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.

 Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi

permukaan dalam kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas

kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron,

kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi

dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera

mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan

terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi

kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang

diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial

pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun.


Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru

mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

Sindrom Steven Johnson

2.7.Manifestasi SJS pada mata

a. Konjungtivitis

Konjungtivitis pada sindrom Steven Johnson merupakan konjungtivitis

yang disebabkan karena proses alergi akibat reaksi terhadap non infeksi,

dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah

beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik.

Merupakan reaksi hiper sensitivitas tipe cepat atau lambat, atau reaksi

antibody humoral terhadap allergen. Pada keadaan yang berat merupakan

bagian dari sindrom Steven Johnson, suatu penyakit eritema multiforme

berat akibat reaksi alergi pada orang dengan prediposisi alergi obat-obatan.

Pada pemakaian mata palsu atau lensa kontak juga dapat terjadi reaksi

alergi. Dengan gambaran klinis berupa mata merah, sakit, bengkak, panas,

berair, gatal, dan silau. Sering berulang dan menahun, bersamaan dengan

rinitis alergi. Biasanya terdapat riwayat atopi sendiri atau dalam keluarga.
Pada pemeriksaan ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palbebra dan

bulbi serta papil besar pada konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan

komplikasi pada konjungtiva. Pada keadaan akut dapat terjadi kemosis

berat. Terapi pada konjungtivitis akibat reaksi alergi biasanya akan

sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan untuk menghindarkan penyebab dan

menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan misalnya

vasokonstriktor local pada keadaan akut (epinefrin 1:1.000), astringen,

steroid topical dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan

edemanya. Untuk pencegahan diberikan Natrium kromoglikat 2% topical 4

kali sehari untuk mencegah degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat

dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik. Penggunaan steroid

sistemik berkepanjangan hrus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus,

katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin sistemik hanya

sedikit bemanfaat. Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan bersifat

sistomatik dengan pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan

sekret, mediatrik, steroid topical dan pencegahan simblefaron (Ilyas,

2004).

Konjungtivitis
b. Simblefaron

Simblefaron adalah perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva

bulbi, dan konjungtiva forniks. Jenis simblefaron :

 Simblefaron partialis anterior : perlengketan antara konjungtiva

palpebra dan konjungtiva bulbi atau kornea.

 Simblefaron partialis posterior : perlengketan antara konjungtiva

forniks

 Simblefaron totalis : perlengketan antara konjungtiva palpebra, bulbi

dan forniks.

Dapat disebabkan akibat trauma kecelakaan, operasi, luka bakar oleh zat

kimia, dan peradangan. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia,

lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan terganggu. Terapi yang dapat

diberikan jika terjadi simblefaron, jika ringan dapat dilepaskan dan diberi

salep, pada keadaan yang hebat dilakukan operasi plastik, setelah simblefaron

dilepaskan pada tempat lepasnya ditutup dengan membran mukosa mulut atau

bibir (Wijana, 1993).

Simblefaron
C. Blefaritis

Blefaritis adalah radang pada kelopak mata. Radang yang sering terjadi pada
kelopak merupakan radang kelopak dan tepi kelopak. Radang bertukak atau
tidak pada tepi kelopak biasanya melibatkan folikel dan kelenjar rambut.
Blefaritis ditandai dengan pembentukan minyak berlebihan di dalam kelenjar
didekat kelopak mata yang merupakan lingkungan yang disukai oleh bakteri
yang dalam keadaan normal ditemukan di kulit. Biasanya orang sering
menganggap kelelahan pada mata, mata yang berpasir, terasa silau juga tidak
nyaman bila terkena sinar matahari atau pada saatberada pada lingkungan
yang berasap, memberikan gambaran berupa mata merah dan seperti ada
benda asing di dalam mata.

Blefaritis dapat disebabkan infeksi staphylococcus, dermatitis


seboroik, gangguan kelenjar meibom, atau gabungan dari ketiganya.
Blefaritis anterior biasanya disebabkan karena infeksi staphylococcus atau
dermatitis seboroik yang menyerang bulu mata. Pada infeksi staphylococcus
aureus, didapatkan pada 50% pada pasien yang menderita blefaritis, tapi
hanya 10% orang yang tidak memberikan gejala blefaritis namun ditemukan
bakteri staphylococcus. Infeksi staphylococcus epidermidis, didapatkan
sekitar 95% pasien. Blefaritis seboroik serupa dengan dermatitis seboroik,
dan posterior blefaritis (meibomian blefaritis) disebabkan gangguan kerja
kelenjar meibom. Kelenjar meibom yang ada sepanjang batas kelopak mata,
dibelakang batas bulu mata, kelenjar ini menghasilkan minyak ke kornea dan
konjungtiva. Kelenjar ini disekresikan dari lapisan luar air mata, yang bisa
menghambat penguapan air mata, dan membuat permukaan mata menjadi
tetap halus, dan membantu menjaga struktur dan keadaan mata.

Berdasarkan letaknya, blefaritis dibagi menjadi:


- Blefaritis anterior : blefaritis yang terjadi di kelopak mata bagian luar,
tempat dimana bulu mata tertanam. Blefaritis anterior biasanya
disebabkan oleh infeksi bakteri (staphyloccus blepharits) atau ketombe
di kepala dan alis mata (blefaritis seboroik). Walaupun jarang, dapat juga
disebabkan karena alergi.
- Blefaritis posterior : blefaritis yang terjadi di kelopak mata bagian dalam,
bagian yang kontak langsung dengan bola mata. Blefaritis posterior
dapat disebabkan karena produksi minyak oleh kelenjar di kelopak mata
yang berlebihan (blefaritis meibom) yang akan mengakibatkan
terbentuknya lingkungan yang diperlukan bakteri untuk bertumbuh.

Klasifikasi berdasarkan penyebabnya :


1. Blefaritis Bakterial :
- Blefaritis superficial
- Blefaritis skuamosa
- Blefaritis ulseratif
- Blefaritis angularis
- Meibomianitis
- Hordeolum
- Kalazion
2. Blefaritis Virus :
- Herpes zoster
- Herpes simpleks
- Vaksinia
- Moluskum kontagiosum
3. Blefaritis Jamur :
- Infeksi superficial
- Infeksi jamur dalam
4. Blefaritis pedikulosis
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien datang dengan keluhan mata kiri dan kanan pasien sering mengeluarkan
air mata yang terus-menerus keluar disertai dengan kotoran yang berwarna
hijau kekuningan sejak ± 3 bulan yang lalu. Keluhan disertai dengan adanya
mata yang masih terasa merah dan penglihatan yang buram pada mata kiri.
Pasien mengaku sering mengucak mata dengan tangannya tanpa sadar.
Keluhan mata gatal, nyeri, dan silau dirasakan pada mata kiri pasien. Pasien
tidak mengeluhkan adanya demam, rasa nyeri kepala, mual dan muntah.
Riwayat kelopak mata kiri dan kanan bengkak, kemerahan pada bagian
kelopak, serta rasa nyeri pasien rasakan pada 3 bulan yang lalu, namun kini
sudah tidak dirasakan kembali.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan: palpebra superior udem, hiperemis, secret


kuning kehijauan, pseudoptosis, dan hilangnya bulu mata (madarosis).
Ditemukan injeksi konjungtiva pada oculo sinistra.

Diagnosis untuk kasus ini adalah Blefarokonjungtivitis e.c SJS OS dan


Blefaritis e.c SJS OD. Blefarokonjingtivitis merupakan suatu peradangan pada
kelopak mata (blepharitis) dan konjungtiva (konjungtivitis).
Konjungtivitis pada sindrom Steven Johnson merupakan konjungtivitis yang
disebabkan karena proses alergi akibat reaksi terhadap non infeksi, dapat
berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa
hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan
reaksi hiper sensitivitas tipe cepat atau lambat, atau reaksi antibody humoral
terhadap allergen. Pada keadaan yang berat merupakan bagian dari sindrom
Steven Johnson, suatu penyakit eritema multiforme berat akibat reaksi alergi
pada orang dengan prediposisi alergi obat-obatan. Pada pemakaian mata palsu
atau lensa kontak juga dapat terjadi reaksi alergi. Dengan gambaran klinis
berupa mata merah, sakit, bengkak, panas, berair, gatal, dan silau. Sering
berulang dan menahun, bersamaan dengan rinitis alergi.
Penatalaksanaan pada kasus diberikan kompres dengan air hangat 3-4 kali/hari
selama 10-15menit/hari, Sulfasetamid 10% salep 3,5 gram 3 kali sehari.
Pengobatan pada infeksi kelopak mata dan konjungtiva diperlukan pemberian
antibiotik lokal dan kompres hangat pada mata bagian luar.

Anda mungkin juga menyukai