Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sistem Pernafasan

2.1.1. Anatomi Paru

Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm. pembentukan paru

dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut. Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua

kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang disebut primary lung bud. Bagian proksimal

foregut membagi diri menjadi dua, yaitu esophagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya

trakea akan bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal

bronki dan cabang-cabangnya. Bronchial tree terbentuk setelah embrio berumur 16 minggu,

sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya terus meningkat hingga

anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah besar sesuai dengan perkembangan dinding

toraks. Jadi, pertumbuhan dan perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai

pertumbuhan somatic berhenti.

2.1.2. Pengertian Pernafasan

Pernafasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen

(O2) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung karbondioksida

(CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Sisa respirasi berperan untuk menukar udara

ke permukaan dalam paru-paru. Udara masuk dan menetap dalam sistem pernafasan dan masuk

dalam pernafasan otot sehingga trakea dapat melakukan penyaringan, penghangatan dan

melembabkan udara yang masuk, juga melindungi organ lembut. Penghisapan ini disebut

inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi.


2.1.3. Saluran Pernafasan

Secara fungsional (faal) saluran pernafasan dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu

1. Zona Konduksi

Zona konduksi berperan sebagai saluran tempat lewatnya udara pernapasan, serta

membersihkan, melembabkan dan menyamakan suhu udara pernapasan dengan suhu

tubuh. Disamping itu zona konduksi juga berperan pada proses pembentukan suara. Zona

konduksi terdiri dari hidung, faring, trakea, bronkus, serta bronkioli terminalis.

a. Hidung

Rambut, zat mucus serta silia yang bergerak kearah faring berperan sebagai system

pembersih pada hidung. Fungsi pembersih udara ini juga ditunjang oleh konka nasalis

yang menimbulkan turbulensi aliran udara sehingga dapat mengendapkan partikel-

partikel dari udara yang seterusnya akan diikat oleh zat mucus. System turbulensi

udara ini dapat mengendapkan partikel-partikel yang berukuran lebih besar dari 4

mikron.

b. Faring

Faring merupakan bagian kedua dan terakhir dari saluran pernapasan bagian atas.

Faring terbagi atas tiga bagian yaitu nasofaring, orofaring, serta laringofaring.

c. Trakea

Trakea berarti pipa udara. Trakea dapat juga dijuluki sebagai eskalator-muko-siliaris

karena silia pada trakea dapat mendorong benda asing yang terikat zat mucus kearah

faring yang kemudian dapat ditelan atau dikeluarkan. Silia dapat dirusak oleh bahan-

bahan beracun yang terkandung dalam asap rokok.


d. Bronki atau bronkioli

Struktur bronki primer masih serupa dengan struktur trakea. Akan tetapi mulai bronki

sekunder, perubahan struktur mulai terjadi. Pada bagian akhir dari bronki, cincin

tulang rawan yang utuh berubah menjadi lempengan-lempengan. Pada bronkioli

terminalis struktur tulang rawan menghilang dan saluran udara pada daerah ini hanya

dilingkari oleh otot polos. Struktur semacam ini menyebabkan bronkioli lebih rentan

terhadap penyimpatan yang dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Bronkioli

mempunyai silia dan zat mucus sehingga berfungsi sebagai pembersih udara. Bahan-

bahan debris di alveoli ditangkap oleh sel makrofag yang terdapat pada alveoli,

kemudian dibawa oleh lapisan mukosa dan selanjutnya dibuang.

2. Zona Respiratorik

Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang berhubungan. Pertukaran

gas antara udara dan darah terjadi dalam alveoli. Selain struktur diatas terdapat pula

struktur yang lain, seperti bulu-bulu pada pintu masuk yang penting untuk menyaring

partikel-partikel yang masuk. Sistem pernafasan memiliki sistem pertahanan tersendiri

dalam melawan setiap bahan yang masuk yang dapat merusak.

Sistem Saluran Pernapasan


2.1.4. Fungsi Pernafasan

Adapun fungsi pernafasan yaitu :

1. Mengambil oksigen yang kemudian dibawa oleh darah keseluruh tubuh (sel-selnya)

untuk mengadakan pembakaran

2. Mengeluarkan karbon dioksida yang terjadi sebagai sisa dari pembakaran, kemudian

dibawa oleh darah ke paru-paru untuk dibuang (karena tidak berguna lagi oleh tubuh)

3. Melembabkan udara.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida antara darah dan udara berlangsung di

alveolus paru-paru. Pertukaran tersebut diatur oleh kecepatan dan di dalamnya aliran udara

timbal balik (pernapasan), dan tergantung pada difusi oksigen dari alveoli ke dalam darah

kapiler dinding alveoli. Hal yang sama juga berlaku untuk gas dan uap yang dihirup. Paru-

paru merupakan jalur masuk terpenting dari bahan-bahan berbahaya lewat udara pada

paparan kerja.

Proses dari sistem pernapasan atau sistem respirasi berlangsung beberapa tahap, yaitu

1. Ventilasi, yaitu pergerakan udara ke dalam dan keluar paru

2. Pertukaran gas di dalam alveoli dan darah. Proses ini disebut pernapasan luar

3. Transportasi gas melalui darah

4. Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan. Proses ini disebut pernapasan dalam

5. Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang disebut juga

pernapasan seluler.

2.1.5. Mekanika Pernafasan

Proses terjadinya pernapasan terbagi 2 bagian, yaitu:

1. Menarik napas (inspirasi)

2. Menghembus napas (ekspirasi)

Bernapas berarti melakukan inspirasi dan ekskresi secara bergantian, teratur,

berirama dan terus menerus. Bernapas merupakan gerak reflek yang terjadi pada otot-otot

pernapasan. Reflek bernapas ini diatur oleh pusat pernapasan yang terletak di dalam

sumsum penyambung (medulla oblongata). Oleh karena seseorang dapat menahan,


memperlambat atau mempercepat napasnya, ini berarti bahwa reflex napas juga di bawah

pengaruh korteks serebri. Pusat pernapasan sangat peka terhadap kelebihan kadar karbon

dioksida dalam darah dan kekurangan oksigen dalam darah.

Inspirasi merupakan proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi akan

meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding dada (tekanan

intraktorakal). Inspirasi terjadi bila mulkulus diafragma telah dapat rangsangan dari

nervus prenikus lalu mengkerut datar. Muskulus interkostalis yang letaknya miring,

setelah dapat dapat rangsangan kemudian mengkerut datar. Dengan demikian jarak antara

stenum (tulang dada) dan vertebrata semakin luas dan lebar. Rongga dada membesar

maka pleura akan tertarik, dengan demikian menarik paru-paru maka tekanan udara di

dalamnya berkurang dan masuklah udara dari luar. Ekspirasi merupakan proses pasif

yang tidak memerlukan konstraksi otot untuk menurunkan intratorakal. Ekspirasi terjadi

apabila pada suatu saat otot-otot akan kendur lagi (diafragma akan menjadi cekung,

muskulus interkoatalis miring lagi) dan dengan demikian rongga dada menjadi kecil

kembali, maka udara didorong keluar. Terjadilah proses respirasi.

2.2 Penyakit Paru (ISPA)

2.2.1. Definisi

Menurut Depkes (2004) infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan istilah yang

diadaptasi dari istilah bahasa inggris Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi

tiga unsur penting yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Dengan pengertian sebagai

berikut: Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ mulai
dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah

dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Batas 14 hari diambil

untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan

dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari.

Berdasarkan pengertian diatas, maka ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang

berlangsung selama 14 hari. Saluran nafas yang dimaksud adalah organ mulai dari hidung

sampai alveoli paru beserta organ adneksanya seperti sinus, ruang telinga tengah, dan pleura

(Habeahan, 2009).

Menurut Depkes RI (1996) istilah ISPA mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran

pernafasan dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut:

1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan

berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit.

2. Saluran pernapasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ

adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA

secara otomatis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian

bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan

batasan ini maka jaringan paru-paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory

tract).

3. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari ini. Batas 14 hari ini

diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat

digolongakan ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (Suhandayani, 2007).
2.2.2. Epidemiologi

Pada akhir tahun 2000, ISPA mencapai enam kasus di antara 1000 bayi dan balita. Tahun

2003 kasus kesakitan balita akibat ISPA sebanyak lima dari 1000 balita (Oktaviani, 2009). Setiap

anak balita diperkirakan mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya dan proporsi kematian

yang disebabkan ISPA mencakup 20-30% (Suhandayani, 2007). Untuk meningkatkan upaya

perbaikan kesehatan masyarakat, Departemen Kesehatan RI menetapkan 10 program prioritas

masalah kesehatan yang ditemukan di masyarakat guna mencapai tujuan Indonesia Sehat 2010,

dimana salah satu diantaranya adalah Program Pencegahan Penyakit Menular termasuk penyakit

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (Depkes RI, 2002).

Kota medan merupakan kota terbesar ketiga yang saat ini berkembang menjadi kota

Metropolitan, data profil kesehatan kota Medan berdasarkan kunjungan di Puskesmas tahun 2003

sebesar 765.763 orang, sedangkan sampai Juni 2004 sebesar 473.539 orang, dimana penyakit

ISPA masih berada pada urutan pertama yaitu sebanyak 225.494 pasien (47,62%). Angka

tertinggi terdapat di Kecamatan Medan Perjuangan yaitu sebanyak 1.293 kasus (3,3%). Di

Kabupaten Deli Serdang pada 2004, diketahui angka morbiditas kasus ISPA sebanyak 12.871

kasus (31,7%) dengan rincian 6.638 terjadi pada kelompok umur bayi (51,5%) dan 6.233 kasus

pada usia 1-4 tahun (48,5%) (Agustama, 2005).

2.2.3. Etiologi
Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebabnya

antara lain dari genus Streptococcus, Stafilococcus, Pnemococcus, Hemofilus, Bordetella dan

Corinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Micsovirus, Adenovirus,

Coronavirus, Picornavirus, Micoplasma, Herpesvirus.

Sumber : http://www.kcom.edu/faculty/chamberlain/website/lectures/intraurt.htm.

Penyebab lainnya, yaitu :

a. Agent

Infeksi dapat berupa flu biasa hingga radang paru-paru. Kejadiannya bisa secara akut atau

kronis, yang paling sering adalah rinitis simpleks, faringitis, tonsilitis, dan sinusitis.

Rinitis simpleks atau yang lebih dikenal sebagai selesma/common cold/koriza/flu/pilek,

merupakan penyakit virus yang paling sering terjadi pada manusia. Penyebabnya adalah

virus Myxovirus, Coxsackie, dan Echo. Berdasarkan hasil penelitian Isbagio (2003),

mendapatkan bahwa bakteri Streptococcus pneumonie adalah bakteri yang menyebabkan


sebagian besar kematian 4 juta balita setiap tahun di negara berkembang. Isbagio ini

mengutip penelitian WHO dan UNICEF tahun 1996, di Pakistan didapatkan bahwa 95%

S.pneumococcus kehilangan sensitivitas paling sedikit pada satu antibiotika, hampir 50%

dari bakteri yang diperiksa resisten terhadap kotrimoksasol yang merupakan pilihan

untuk mengobati infeksi pernafasan akut. Demikian pula di Arab Saudi dan Spanyol 60%

S. pneumonie ditemukan resisten terhadap antibiotika.

Berdasarkan hasil penelitian Parhusip (2004), yang meneliti spektrum dari 101

penderita infeksi saluran pernafasan bagian bawah di BP4 Medan didapatkan bahwa

semua penderita terlihat hasil biakan positif, pada dua penderita dijumpai tumbuh dua

galur bakteri sedangkan yang lainnya hanya tumbuh satu galur. Bakteri gram positif

dijumpai sebanyak 54 galur (52,4%) dan bakteri gram negatif 49 galur (47,6%).

Dari hasil biakan terlihat bahwa yang terbanyak adalah bakteri Streptococcus

viridans 38 galur sebesar 36,89%, diikuti oleh Enterobacter aerogens 19 galur sebesar

18,45%, Pseudomonas aureginosa 16 galur sebesar 15,53%, Klebsiella sp 14 galur

sebesar 13,59%, Stapilococcus aureus 13 galur sebesar 12,62%, Pneumococcus 2 galur

sebesar 1,94%, dan Sreptococcus pneumonie 1 galur sebesar 0,97%.

b. Manusia

1. Umur

Berdasarkan hasil penelitian Daulay (1999) di Medan, anak berusia dibawah 2 tahun

mempunyai risiko mendapat ISPA 1,4 kali lebih besar dibandingkan dengan anak yang

lebih tua. Keadaan ini terjadi karena anak di bawah usia 2 tahun imunitasnya belum

sempurna dan lumen saluran nafasnya masih sempit. Berdasarkan hasil penelitian Maya
di RS Haji Medan (2004), didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia yang

rawat inap dari tahun 1998 sampai tahun 2002 terbesar pada kelompok umur 2 bulan - <5

tahun adalah 91,1%,22 demikian juga penelitian Maafdi di RS Advent Medan tahun

2006, didapatkan bahwa proporsi balita penderita pneumonia terbesar pada kelompok

umur 2 bulan - <5 tahun sebesar 82,1%, sementara kelompok umur <2 bulan sebesar

17,9%.23

2. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian Kartasasmita (1993), menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan prevalensi, insiden maupun lama ISPA pada laki-laki dibandingkan

dengan perempuan. Namun menurut beberapa penelitian kejadian ISPA lebih sering

didapatkan pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan, terutama anak usia muda,

dibawah 6 tahun. Menurut Glenzen dan Deeny, anak laki-laki lebih rentan terhadap ISPA

yang lebih berat, dibandingkan dengan anak perempuan. Berdasarkan hasil penelitian

Dewi, dkk di Kabupaten Klaten (1996), didapatkan bahwa sebagian besar kasus terjadi

pada anak laki-laki sebesar 58,97%, sementara untuk anak perempuan sebesar 41,03%.

3. Status Gizi

Di banyak negara di dunia, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama

kematian terutama pada anak dibawah usia 5 tahun. Akan tetapi anak-anak yang

meninggal karena penyakit infeksi itu biasanya didahului oleh keadaan gizi yang kurang

memuaskan. Rendahnya daya tahan tubuh akibat gizi buruk sangat memudahkan dan

mempercepat berkembangnya bibit penyakit dalam tubuh. Hasil penelitian Dewi, dkk
(1996) di Kabupaten Klaten, dengan desain cross sectional didapatkan bahwa anak yang

berstatus gizi kurang/buruk mempunyai risiko pneumonia 2,5 kali lebih besar

dibandingkan dengan anak yang berstatus gizi baik/normal.

Hasil penelitian Mustafa di Kota Banda Aceh (2006), dengan desai cross

sectional, berdasarkan hasil analisis bivariat antara penyakit ISPA dengan status gizi anak

balita menunjukkan bahwa anak balita yang menderita penyakit ISPA didapatkan 2,19

kali mempunyai status gizi tidak baik dibandingkan dengan anak balita yang tidak

menderita penyakit ISPA (p = 0.038). Salah satu penentuan status gizi adalah klasifikasi

menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 920/Menkes/SK/VIII/2002 untuk

keperluan Pemantauan Status Gizi (PSG) anak balita dengan mengukur berat badan

terhadap umur. Status gizi diklasifikasikan menjadi 4, yaitu:

1) Gizi lebih : bila Z_Skor terletak > +2 SD

2) Gizi Baik : bila Z_Skor terletak diantara ≥ -2 SD s/d +2 SD

3) Gizi kurang : bila Z_Skor terletak pada < -2 SD s/d ≥ - 3 SD

4) Gizi Buruk : bila Z_Skor terletak < -3 SD.26

4. Berat Badan Lahir

Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) ditetapkan sebagai suatu berat lahir <2.500

gram. Menurut Tuminah (1999), bayi dengan BBLR mempunyai angka kematian lebih

tinggi dari pada bayi dengan berat ≥2500 gram saat lahir selama tahun pertama

kehidupannya. Pneumonia adalah penyebab kematian terbesar akibat infeksi pada bayi

baru lahir. Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan

bahwa proporsi anak balita yang menderita pneumonia dengan berat badan lahir <2.500

gram sebesar 62,2%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara kejadian pneumonia dengan balita BBLR (p <0,05). Nilai OR 2,2 (CI

95%; 1,481-4,751), artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,2 kali

lebih besar pada anak balita yang BBLR.

5. Status ASI Eksklusif

Air Susu Ibu (ASI) dibutuhkan dalam proses tumbuh kembang bayi kaya akan

faktor antibodi untuk melawan infeksi-infeksi bakteri dan virus, terutama selama minggu

pertama (4-6 hari) payudara akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal mengandung

zat kekebalan (Imunoglobulin, Lisozim, Laktoperin, bifidus factor dan sel-sel leukosit)

yang sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi.

Bayi (0-12 bulan) memerlukan jenis makanan ASI, susu formula, dan makanan

padat. Pada enam bulan pertama, bayi lebih baik hanya mendapatkan ASI saja (ASI

Eksklusif) tanpa diberikan susu formula. Usia lebih dari enam bulan baru diberikan

makanan pendamping ASI atau susu formula, kecuali pada beberapa kasus tertentu ketika

anak tidak bisa mendapatkan ASI, seperti ibu dengan komplikas postnatal.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan

bahwa proporsi balita yang tidak mendapat ASI eksklusif menderita pneumonia sebesar

56,2%, sedang yang tidak menderita pneumonia 38,8%. Hasil uji statistic diperoleh

bahwa anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2 kali lebih besar pada anak

balita yang tidak mendapat ASI eksklusif.

6. Status Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk melindungi seseorang terhadap penyakit

menular tertentu agar kebal dan terhindar dari penyakit infeksi tertentu. Pentingnya

imunisasi didasarkan pada pemikiran bahwa pencegahan penyakit merupakan upaya

terpenting dalam pemeliharaan kesehatan anak.

Imunisasi bermanfaat untuk mencegah beberapa jenis penyakit seperti, POLIO

(lumpuh layu), TBC (batuk berdarah), difteri, liver (hati), tetanus, pertusis.

Bahkan imunisasi juga dapat mencegah kematian dari akibat penyakit-penyakit

tersebut. Jadwal pemberian imunisasi sesuai dengan yang ada dalam Kartu Menuju Sehat

(KMS) yaitu BCG : 0-11 bulan, DPT 3x : 2-11 bulan, Polio 4x : 0-11 bulan, Campak 1x :

9-11 bulan, Hepatitis B 3x : 0-11 bulan. Selang waktu pemberian imunisasi yang lebih

dari 1x adalah 4 minggu.30

Berdasarkan hasil penelitian Syahril di Kota Banda Aceh (2006), didapatkan

bahwa ada hubungan yang bermakna antara kejadian pneumonia pada balita dengan

status imunisasi. Hasil uji statistik diperoleh nilai OR = 2,5 (CI 95%; 2.929 – 4.413),

artinya anak balita yang menderita pneumonia risikonya 2,5 kali lebih besar pada anak

yang status imunisasinya tidak lengkap.28 Berbeda dengan hasil penelitian Afrida di

Medan (2007), hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang

bermakna antara status imunisasi bayi dengan kejadian penyakit ISPA (p>0,05).

c. Lingkungan

1. Kelembaban Ruangan
Berdasarkan KepMenKes RI No. 829 tahun 1999 tentang kesehatan perumahan

menetapkan bahwa kelembaban yang sesuai untuk rumah sehat adalah 40- 70%, optimum

60%.

Hasil penelitian Chahaya, dkk di Perumnas Mandala Medan (2004), dengan

desain cross sectional didapatkan bahwa kelembaban ruangan berpengaruh terhadap

terjadinya ISPA pada balita. Berdasarkan hasil uji regresi, diperoleh bahwa factor

kelembaban ruangan mempunyai exp (B) 28,097, yang artinya kelembaban ruangan yang

tidak memenuhi syarat kesehatan menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita

sebesar 28 kali.

2. Suhu Ruangan

Salah satu syarat fisiologis rumah sehat adalah memiliki suhu optimum 18- 300C.

Hal ini berarti, jika suhu ruangan rumah dibawah 180C atau diatas 300C keadaan rumah

tersebut tidak memenuhi syarat. Suhu ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan

menjadi faktor risiko terjadinya ISPA pada balita sebesar 4 kali.

3. Ventilasi

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah menjaga agar

aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti keseimbangan O2 yang

diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan

menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun

bagi penghuninya menjadi meningkat.30 Sirkulasi udara dalam rumah akan baik dan

mendapatkan suhu yang optimum harus mempunyai ventilasi minimal 10% dari luas

lantai.
Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa prevalens rate

ISPA pada bayi yang memiliki ventilasi kamar tidur yang tidak memenuhi syarat

kesehatan sebesar 69,9%, sedangkan untuk yang memenuhi syarat kesehatan sebesar

30,1%. Hasil uji statistik diperoleh bahwa ada hubungan yang bermakna antara kondisi

ventilasi dengan kejadian penyakit ISPA (p <0,05).

4. Penggunaan Anti Nyamuk

Penggunaan Anti nyamuk sebagai alat untuk menghindari gigitan nyamuk dapat

menyebabkan gangguan saluran pernafasan karena menghasilkan asap dan bau tidak

sedap. Adanya pencemaran udara di lingkungan rumah akan merusak mekanisme

pertahanan paru-paru sehingga mempermudah timbulnya gangguan pernafasan.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), didapatkan bahwa adanya hubungan

yang bermakna antara penggunaan anti nyamuk dengan kejadian penyakit ISPA (p

<0,05).

5. Bahan Bakar Untuk Memasak

Bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari dapat menyebabkan

kualitas udara menjadi rusak. Kualitas udara di 74% wilayah pedesaan di China tidak

memenuhi standar nasional pada tahun 2002, hal ini menimbulkan terjadinya peningkatan

penyakit paru dan penyakit paru ini telah menyebabkan 1,3 juta kematian.

Berdasarkan hasil penelitian Afrida (2007), prevalens rate ISPA pada bayi yang

dirumahnya menggunakan bahan bakar untuk memasak adalah minyak tanah sebesar

76,6%, sedangkan gas elpiji sebesar 33,3%. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada

hubungan yang bermakna antara penggunaan bahan bakar memasak dengan kejadian

penyakit ISPA (p < 0,05).


6. Keberadaan Perokok

Rokok bukan hanya masalah perokok aktif tetapi juga perokok pasif. Asap rokok

terdiri dari 4.000 bahan kimia, 200 diantaranya merupakan racun antara lain Carbon

Monoksida (CO), Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan lain-lain.

Berdasarkan hasil penelitian Pradono dan Kristanti (2003), secara keseluruhan

prevalensi perokok pasif pada semua umur di Indonesia adalah sebesar 48,9% atau

97.560.002 penduduk. Prevalensi perokok pasif pada laki-laki 32,67% atau 31.879.188

penduduk dan pada perempuan 67,33% atau 65.680.814 penduduk. Sedangkan prevalensi

perokok aktif pada laki-laki umur 10 tahun ke atas adalah sebesar 54,5%, pada

perempuan 1,2%.

Prevalensi perokok pasif pada balita sebesar 69,5%, pada kelompok umur 5-9

tahun sebesar 70,6% dan kelompok umur muda 10-14 tahun sebesar 70,5%.

Tingginya prevalensi perokok pasif pada balita dan umur muda disebabkan karena

mereka masih tinggal serumah dengan orang tua ataupun saudaranya yang merokok

dalam rumah.

Berdasarkan hasil penelitian Syahril (2006), dari hasil uji statistik diperoleh nilai

OR = 2,7 (CI 95%; 1.481 – 4.751) artinya anak balita yang menderita pneumonia

risikonya 2,7 kali lebih besar pada anak balita yang terpapar asap rokok dibandingkan

dengan yang tidak terpapar.

7. Status Ekonomi dan Pendidikan

Persepsi masyarakat mengenai keadaan sehat dan sakit berbeda dari satu individu

dengan individu lainnya. Bagi seseorang yang sakit, persepsi terhadap penyakitnya

merupakan hal yang penting dalam menangani penyakit tersebut. Untuk bayi dan anak
balita persepsi ibu sangat menentukan tindakan pengobatan yang akan diterima oleh

anaknya.

Berdasarkan hasil penelitian Djaja, dkk (2001), didapatkan bahwa bila rasio

pengeluaran makanan dibagi pengeluaran total perbulan bertambah besar, maka jumlah

ibu yang membawa anaknya berobat ke dukun ketika sakit lebih banyak. Bedasarkan

hasil uji statistik didapatkan bahwa ibu dengan status ekonomi tinggi 1,8 kali lebih

banyak pergi berobat ke pelayanan kesehatan dibandingkan dengan ibu yang status

ekonominya rendah.

Ibu dengan pendidikan lebih tinggi, akan lebih banyak membawa anak berobat ke

fasilitas kesehatan, sedangkan ibu dengan pendidikan rendah lebih banyak mengobati

sendiri ketika anak sakit ataupun berobat ke dukun. Ibu yang berpendidikan minimal

tamat SLTP 2,2 kali lebih banyak membawa anaknya ke pelayanan kesehatan ketika sakit

dibandingkan dengan ibu yang tidak bersekolah, hal ini disebabkan karena ibu yang

tamat SLTP ke atas lebih mengenal gejala penyakit yang diderita oleh balitanya.

2.2.4. Patogenesis

Menurut Baum (1980), saluran pernapasan selama hidup selalu terpapar dengan dunia

luar sehingga guna mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien.

Ketahanan saluran pernapasan terhadap infeksi mauapun partikel dan gas yang ada di udara amat

tergantung pada tiga unsur alami yang selalu terdapat pada orang sehat, yaitu:

1. Keutuhan epitel mukosa dan gerak mukosilia.

2. Makrofag alveoli.

3. Antibodi.
Sudah menjadi suatu kecenderungan bahwa infeksi bakteri mudah terjadi pada saluran

napas yang sel-sel epitel mukosanya rusak, akibat infeksi terdahulu. Selain itu, hal-hal yang

dapat menggangu keutuhan lapisan mukosa dan gerak sila adalah:

1) Asap rokok dan gas SO₂ yang merupakan polutan utama dalam pencemaran udara.

2) Sindrom immotil.

3) Pengobatan dengan O₂ konsentrasi tinggi (25 % atau lebih).

Makrofag banyak terdapat di alveolus dan akan dimobilisasikan ke tempat lain bila

terjadi infeksi. Asap rokok dapat menurunkan kemampuan makrofag membunuh bakteri,

sedangkan alkohol akan menurunkan mobilitas sel-sel ini (Baum,1980).

Antibodi setempat yang ada pada saluran pernapasan ialah imunoglobulin A (IgA).

Antibodi ini banyak terdapat di mukosa. Kekurangan antibodi ini akan memudahkan terjadinya

infeksi saluran pernapasan, seperti yang sering terjadi pada anak. Mereka dengan defisiensi IgA

akan mengalami hal yang serupa dengan penderita yang mengalami imunodefisiensi lain, seperti

penderita yang mendapat terapi sitostatik atau radiasi, penderita dengan neoplasma yang ganas

dan lain-lain (immunocompromised host) (Baum,1980).Menurut Baum (1980) gambaran klinik

radang yang disebabkan oleh infeksi sangat tergantung pada:

1) Karakteristik inokulum meliputi ukuran aerosol, jumlah dan tingkat virulensi jasad renik

yang masuk.

2) Daya tahan tubuh seseorang tergantung pada utuhnya sel epitel mukosa, gerak mukosilia,

makrofag alveoli dan IgA.

3) Umur mempunyai pengaruh besar. ISPA yang terjadi pada anak dan bayi akan

memberikan gambaran klinis yang lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa.
Gambaran klinis yang buruk dan tampak lebih berat tersebut terutama disebabkan oleh

infeksi virus pada bayi dan anak yang belum memperoleh kekebalan alamiah.

2.2.5. Klasifikasi

a. Klasifikasi Berdasarkan Lokasi Anatomi

1) Infeksi Saluran Pernafasan atas Akut (ISPaA)

Infeksi yang menyerang hidung sampai bagian faring, seperti pilek, otitismedia,

faringitis.

2) Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA)

Infeksi yang menyerang mulai dari bagian epiglotis atau laring sampai dengan alveoli,

dinamakan sesuai dengan organ saluran nafas, seperti epiglotitis, laringitis,

laringotrakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia.

a. Pneumonia

Definisi : Penyakit peradangan parenkim paru yang meliputi alveolus dan jaringan

interstitial.

Patofisiologi : Pneumonia terjadi akibat inhalasi atau aspirasi mikroorganisme

melalui jalan nafas, aliran darah, aspirasi benda asing, transplasental atau selama

persalinan pada neonatus.

Etiologi :

 Anak usia <3bln : Streptokokus grup B, Streptokokus Aureus, C. Trakomatis,

bakteri gram negatif.

 Anak usia 3bln-5th : S. Pneumonia, H. Influenzae

 Anak usia > 5th : M. Pneumonia, C. Pneumonia, S.pneumonia, H.influenzae.


Gejala : Batuk, sesak nafas yang timbul mendadak, demam, nyeri dada (pleuritik),

espektorasi purulen.

Pemeriksaan fisik : demam (>39°c), dispneu, takipneu, nafas cuping hidung, sianosis.

Pemeriksaan paru : retraksi dinding dada, perkusi sonor sampai redup.

Pemeriksaan penunjang :

 Darah tepi : lekositosis dengan hitung jenis bergeser ke kiri.

 Analisa gas darah : hipoksemia, Asidosis respiratorik.

 Foto thorax : infiltrat alveolar, konsolidasi (pneumonia lobaris), penebalan

pleura (pleuritis)

Penatalaksanaan :

 Kriteria MRS :

a. Ada kesukaran nafas

b. Sianosis

c. Usia <6bln

d. Ada penyulit ( muntah-muntah, dehidrasi, empiema)

e. Diduga infeksi Staphylococcus

f. Imunokompromis

g. Perawatan di rumah kurang baik

h. Tidak respon dengan pemberian antibiotik oral.

 Oksigenasi

 Pemberian cairan dan kalori yang cukup sesuai berat badan, peningkatan suhu

dan status dehidrasi.

 Sesak tidak terlalu hebat, diet enteral bertahap melalui selang nasogastrik
 Sekresi lendir berlebihan inhalasi dengan salin normal

 Asidosis, koreksi Na-bicarbonat 1 meg/kgBB atau berdasarkan hasil AGD

dengan rumus BB (kg) x 0,3 x base excess

 Medikamentosa :

Berdasarkan kelompok usia :

< 3 bln : penisilin + Aminoglikosid

> 3 bln : Ampisilin + kloramfenikol

Dosis :

Ampisilin 100mg/kgBB/hari

Kloramfenikol : 100mg/kgBB/hari

Gentamisin 5mg/kgBB/hari

Sefalosporin ( Empiema) IV 48-72 jam setelah panas turun lalu dilanjutkan

per oral 7-10hari

Berdasarkan kuman penyebab :

Stafilokokus : perlu 6 minggu parenteral

Haemophylus influenzae/Streptococcus pneumonia : 10-14 hari

Diagnosis banding :

 Bronkiolitis

 Payah jantung

 Aspirasi benda asing

 Abses paru

Diagnosis banding pada bayi :

 Meningitis
 Ileus

b. Bronkiolitis

Definisi : infeksi akut pada bronkiolus ditandai dengan obstruksi inflamasi pada

saluran nafas. Sering pada anak < 2 th.

Etiologi : Respiratory syncytial virus, virus parainfluenzae, adenovirus, mikoplasma,

virus influenzae.

Patogenesis : invasi virus pada bronkiolus edema, akumulasi mukus & debris

seluler obstruksi saluran nafas kecil.

Anamnesis : pada anak usia < 2 th dengan sesak nafas, mengi ygang timbul mengikuti

ISPA

Pemeriksaan fisik : demam ringan, takipneu, sianosis, nafas cuping hidung.

Pemeriksaan paru : suara vesikuler menurun, ekspirium di perpanjang, wheezing.

Pemeriksaan penunjang

 Analisa gas darah : pCO2 tinggi

 Foto thorax AP-lateral : normal atau emfisematosa (hiperinflasi paru),

Atelektasis sekunder (obstruksi/inflamasi)

Diagnosis banding : Asma bronkiale, Aspirasi benda asing, bronkopneumonia, Gagal

jantung, Miokarditis.

Penatalaksanaan :

 Oksigenasi dengan konsentrasi 35-40%

 Posisi nyaman : supine dengan kepala tegak

 Cairan yang cukup


 Kortikosteroid : Dexamethsone 0,5 mg/kgBB dilanjutkan 0,5 mg/kgBB/hari di

bagi 3-4 dosis.

 Antibiotik diberikan jika curiga infeksi sekunder (Pneumonia).

 Mukosilier klirens β-agonis (salbutamol 0,1 mg/kgBB/dosis, sehari 4-6x

diencerkan dengan saline normal) atau teofilin inhalasi/per oral.

c. Bronkitis

Definisi : Proses keradangan pada bronkus

Etiologi :

 Infeksi : virus (Parainfluenza), bakteri (streptococcus), dan fungi (monilia)

 Alergi : Asma

 Kimiawi : Aspirasi susu, aspirasi isi lambung, Asap rokok, uap/gas yang

merangsang.

Gejala klinis :

 Didahului ISPaA (virus)

 Batuk pilek 3-4 hari

 Sifat batuk : kering yang disertai nyeri/panas subternal, riak jernih purulen

setelah 10 hari menjadi encer lalu hilang, dapat disertai muntah-muntah.

Pemeriksaan fisik :

 Keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit.

 Panas sub febris

 Sesak tidak ada, rhonki basah kasar / rhonki kering ada.

 Dapat di temukan nasofaringitis dan conjungtivitis

Pemeriksaan penunjang :
 Foto thorax : peningkatan corak bronkovaskuler / bisa juga normal.

 Laboratorium : Leukosit meningkat / normal

Penatalaksanaan :

 kontrol batuk agar sekret encer dengan perbanyak minum, pemberian

uap/mukolitik bila perlu diikuiti dengan fisioterafi dada.

 Antibiotik diberikan jika ada kecurigaan infeksi sekunder (Ampicilline,

Cloxacilline, Chloramphenichole, Erythomycine)

 Pemberian antitusif dan antihistamin harus diawasi, karena dapat

mengakibatkan sekret menjadi kental sehingga dapat menimbulkan

atelektasis/pneumonia.

2.2.6. Gejala klinis

Penyakit saluran pernapasan atas dapat memberikan gejala klinik yang beragam, antara

lain:

1) Gejala koriza (coryzal syndrome), yaitu pengeluaran cairan (discharge) nasal yang

berlebihan, bersin, obstruksi nasal, mata berair, konjungtivitis ringan. Sakit tenggorokan

(sore throat), rasa kering pada bagian posterior palatum mole dan uvula, sakit kepala,

malaise, nyeri otot, lesu serta rasa kedinginan (chilliness), demam jarang terjadi.

2) Gejala faringeal, yaitu sakit tenggorokan yang ringan sampai berat. Peradangan pada

faring, tonsil dan pembesaran kelenjar adenoid yang dapat menyebabkan obstruksi nasal,

batuk sering terjadi, tetapi gejala koriza jarang. Gejala umum seperti rasa kedinginan,

malaise, rasa sakit di seluruh badan, sakit kepala, demam ringan, dan parau (hoarseness).
3) Gejala faringokonjungtival yang merupakan varian dari gejala faringeal. Gejala

faringeal sering disusul oleh konjungtivitis yang disertai fotofobia dan sering pula disertai

rasa sakit pada bola mata. Kadang-kadang konjungtivitis timbul terlebih dahulu dan

hilang setelah seminggu sampai dua minggu, dan setelah gejala lain hilang, sering terjadi

epidemi.

4) Gejala influenza yang dapat merupakan kondisi sakit yang berat. Demam, menggigil,

lesu, sakit kepala, nyeri otot menyeluruh, malaise, anoreksia yang timbul tiba-tiba, batuk,

sakit tenggorokan, dan nyeri retrosternal. Keadaan ini dapat menjadi berat. Dapat terjadi

pandemi yang hebat dan ditumpangi oleh infeksi bakterial.

5) Gejala herpangina yang sering menyerang anak-anak, yaitu sakit beberapa hari yang

disebabkan oleh virus Coxsackie A. Sering menimbulkan vesikel faringeal, oral dan

gingival yang berubah menjadi ulkus.

6) Gejala obstruksi laringotrakeobronkitis akut (cruop), yaitu suatu kondisi serius yang

mengenai anak-anak ditandai dengan batuk, dispnea, dan stridor inspirasi yang disertai

sianosis (Djojodibroto, 2009).

2.2.7. Faktor resiko

Berdasarkan hasil penelitian, ISPA yang terjadi pada ibu dan anak berhubungan dengan

penggunaan bahan bakar untuk memasak dan kepadatan penghuni rumah, demikian pula terdapat

pengaruh pencemaran di dalam rumah terhadap ISPA pada anak dan orang dewasa. Pembakaran

pada kegiatan rumah tangga dapat menghasilkan bahan pencemar antara lain asap, debu, grid

(pasir halus) dan gas (CO dan NO). Demikian pula pembakaran obat nyamuk, membakar kayu di
dapur mempunyai efek terhadap kesehatan manusia terutama Balita baik yang bersifat akut

maupun kronis. Gangguan akut misalnya iritasi saluran pernafasan dan iritasimata.

Faktor lingkungan rumah seperti ventilasi juga berperan dalam penularan ISPA, dimana

ventilasi dapat memelihara kondisi atmosphere yang menyenangkan dan menyehatkan bagi

manusia. Suatu studi melaporkan bahwa upaya penurunan angka kesakitan ISPA berat dan

sedang dapat dilakukan di antaranya dengan membuat ventilasi yang cukup untuk mengurangi

polusi asap dapur dan mengurangi polusi udara lainnya termasuk asap rokok. Anak yang tinggal

di rumah yang padat (<10m2/orang) akan mendapatkan risiko ISPA sebesar 1,75 kali

dibandingkan dengan anak yang tinggal dirumah yang tidak padat (Achmadi, 1993 dalam Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2004).

Faktor lain yang berperan dalam penanggulangan ISPA adalah masih buruknya

manajemen program penanggulangan ISPA seperti masih lemahnya deteksi dini kasus ISPA

terutama pneumoni, lemahnya manajemen kasus oleh petugas kesehatan, serta pengetahuan yang

kurang dari masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangannya, sehingga banyaknya kasus

ISPA yang datang ke sarana pelayanan kesehatan sudah dalam kategori berat (Badan Penelitian

dan Pengembangan Kesehatan, 2004).

2.2.8. Penatalaksanaan

Menurut Rasmaliah (2005) penatalaksan ISPA ada tiga:

1. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik parenteral, oksigen dan

sebagainya.

2. Pneumonia: diberi obat antibiotik kotrimoksasol per oral. Bila penderita tidak mungkin

diberi kotrimoksasol atau ternyata dengan pemberian kotrimoksasol keadaan penderita


menetap, dapat dipakai obat antibiotik pengganti yaitu ampisilin, amoksisilin atau

penisilin prokain.

3. Bukan pneumonia: tanpa pemberian obat antibiotik. Diberikan perawatan di rumah, untuk

batuk dapat digunakan obat batuk tradisional atau obat batuk lain yang tidak mengandung

zat yang merugikan seperti kodein,dekstrometorfan dan, antihistamin. Bila demam

diberikan obat penurun panas yaitu parasetamol. Penderita dengan gejala batuk pilek bila

pada pemeriksaan tenggorokan didapat adanya bercak nanah (eksudat) disertai

pembesaran kelenjar getah bening dileher, dianggap sebagai radang tenggorokan oleh

kuman streptococcuss dan harus diberi antibiotik (penisilin) selama 10 hari.

8.1. Perawatan dirumah

Beberapa hal yang perlu dikerjakan seorang ibu untuk mengatasi anaknya yang menderita

ISPA:

1. Mengatasi panas (demam)

Untuk anak usia 2 bulan samapi 5 tahun demam diatasi dengan memberikan

parasetamol atau dengan kompres, bayi dibawah 2 bulan dengan demam harus segera

dirujuk. Parasetamol diberikan 4 kali tiap 6 jam untuk waktu 2 hari. Cara

pemberiannya, tablet dibagi sesuai dengan dosisnya, kemudian digerus dan

diminumkan. Memberikan kompres, dengan menggunakan kain bersih, celupkan

pada air (tidak perlu air es).

2. Mengatasi batuk
Dianjurkan memberi obat batuk yang aman yaitu ramuan tradisional yaitu jeruk nipis

½ sendok teh dicampur dengan kecap atau madu ½ sendok teh , diberikan tiga kali

sehari.

3. Pemberian makanan

Berikan makanan yang cukup gizi, sedikit-sedikit tetapi berulang-ulang yaitu lebih

sering dari biasanya, lebih-lebih jika muntah. Pemberian ASI pada bayi yang

menyusu tetap diteruskan.

4. Pemberian minuman

Usahakan pemberian cairan (air putih, air buah dan sebagainya) lebih banyak dari

biasanya. Ini akan membantu mengencerkan dahak, kekurangan cairan akan

menambah parah sakit yang diderita.

5. Lain-lain

Tidak dianjurkan mengenakan pakaian atau selimut yang terlalu tebal dan rapat,

lebih-lebih pada anak dengan demam. Jika pilek, bersihkan hidung yang berguna

untuk mempercepat kesembuhan dan menghindari komplikasi yang lebih parah.

Usahakan lingkungan tempat tinggal yang sehat yaitu yang berventilasi cukup dan

tidak berasap. Apabila selama perawatan dirumah keadaan anak memburuk maka

dianjurkan untuk membawa kedokter atau petugas kesehatan. Untuk penderita yang

mendapat obat antibiotik, selain tindakan diatas usahakan agar obat yang diperoleh

tersebut diberikan dengan benar selama 5 hari penuh. Dan untuk penderita yang

mendapatkan antibiotik, usahakan agar setelah 2 hari anak dibawa kembali kepetugas

kesehatan untuk pemeriksaan ulang.


8.2 Pencegahan dan Pemberantasan

Pencegahan dapat dilakukan dengan :

1. Menjaga keadaan gizi agar tetap baik.

2. Immunisasi.

3. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan.

4. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA.

2.3 Kerangka Konsep

Distribusi Frekuensi ISPA

Anda mungkin juga menyukai