Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

ILMU PENYAKIT DALAM


Dyspneu e.c TB MILIER

Preseptor:

dr. Pandang Tedi Adriyanto, M.Sc., Sp. PD

Penyusun:
Devin Reynando Rofiandy
121001186002

SMF Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Islam Bandung
Rumah Sakit Umum Daerah Syamsudin, S.H. Sukabumi
Periode 3 Desember – 4 Desember 2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ...........................................................................................................1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian ......................................................................2

BAB II ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien.......................................................................................3


2.2 Anamnesis ..............................................................................................3
2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................5
2.4 Resume ...................................................................................................7
2.5 Pemeriksaan Penunjang .........................................................................7
2.6 Diagnosis Kerja ......................................................................................8
2.7 Tatalaksana.............................................................................................8
2.8 Prognosis ................................................................................................8

BAB III KAJIAN KASUS

3.1 Kajian Diagnosis Kerja ..........................................................................9


3.1.1 TBC MILIER ................................................................................9

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA

4.1 TBC MILIER .......................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Paru-paru adalah organ pada system pernapasan (respirasi) dan


berhubungan dengan sistem peredaran darah (sirkulasi) vertebrata yang bernapas
dengan udara. Fungsinya adalah menukar oksigen dari udara dengan karbon
dioksida dari darah. Prosesnya disebut "pernapasan eksternal" atau bernapas. Paru-
paru juga mempunyai fungsi nonrespirasi. Istilah kedokteran yang berhubungan
dengan paru-paru disebut juga pulmo-, dari kata Latin pulmones untuk paru-paru
1,2,3
.

Manusia mempunyai dua paru-paru — paru-paru kanan dan kiri. Keduanya


terletak di dalam rongga dada. Paru-paru kanan lebih besar daripada yang kiri,
karena paru-paru kiri terletak dekat jantung. Kedua paru-paru beratnya sama-sama
sekitar 1,3 kg, tetapi paru-paru kanan lebih berat. Paru-paru termasuk bagian
saluran pernapasan bawah yang dimulai di trakea dan bercabang ke dalam bronkus
dan bronkiolus. Saluran ini menerima udara yang dihirup melalui zona konduksi.
Zona konduksi berakhir di bronkiolus terminal 7.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
pada anak di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Pada tahun 2009
diperkirakan terdapat 9,4 juta kasus baru TB di seluruh dunia dengan jumlah
kematian 1,7 juta orang. Pada seluruh kasus yang ditemukan, sekitar 11% terdapat
pada anak, literatur lain menulis perkiraan jumlah kasus TB anak sebesar 1,3 juta
dengan 450.000 kematian setiap tahunnya.3,4
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB berat dan merupakan 3-
7% kasus TB dengan angka kematian yang tinggi. Tuberkulosis milier merupakan
jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari infeksi kronis, progresif lambat,
hingga penyakit fulminan akut, yang disebabkan penyebaran hematogen dan
mengenai banyak organ.2
Tuberkulosis milier yang timbul di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah
dan virulensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien
(non spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga
dapat memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi
morbili, pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan
kortikosteroid jangka lama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan
penyakit adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan
yang padat, polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial
ekonomi.2
BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ani nuraeni
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Pernikahan : Menikah
Usia : 52 tahun
Agama : Islam
Alamat : Jln.Raya cisaat
Pendidikan Terakhir : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RS : 02 Desember 2019
Tanggal pemeriksaan : 03 Desember 2019

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara alloanamnesis dengan keluarga pasien.
2.2.1 Keluhan utama
Penurunan kesadaran
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Syamsudin Sukabumi dengan keluhan
penurunan kesadaran,sejak 1 hari SMRS awalnya pasien masih dapat
berkomunikasi dengan keluarga pasien kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran secara progresif dengan waktu secara perlahan dan menetap. sebelumnya
pasien mengeluhkan adanya batuk lama sudah lebih dari 5 tahun ,batuk berdahak
berwarna kuning kehijauan disertai adanya darah. Pasien mengeluhkan demam
hilang timbul sudah 2 bulan terakhir, sering berkeringat pada malam hari, sulit tidur
dan lemas. Dan pasien mengalami penurunan berat badan yang drastis dalam 2
bulan terakhir (penurunan 14 kg).
Riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis ada (nenek buyut). Riwayat
perdarahan dari kulit, hidung, gusi dan saluran cerna tidak ada. Riwayat kejang
tidak ada. Riwayat sakit kepala tidak ada. Riwayat menderita sakit kuning tidak
ada. Riwayat bepergian ke daerah endemik malaria tidak ada. Buang air kecil warna
dan jumlah biasa, riwayat nyeri saat buang air kecil tidak ada. Buang air besar warna
dan konsistensi biasa.
Pasien memiliki riwayat keluhan serupa pada saat umur 30 tahun. Saat itu
keluhan batuk berdahak bercampur dengan darah. Pasien positif terdiagnosa TB
paru berdasarkan pemeriksaan sputum dan rontgen thorax.
Riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami TB paru dan kelenjar
namun pengobatan regimen yang sudah diberikan tidak dipatuhi dengan baik
sampai putus obat , 1 bulan terakhir pasien sering mengeluhkan lemas badan dan
tidak nafsu makan.
Riwayat Pengobatan :
 Memiliki riwayat magh kronis
 Memiliki Riwayat TB Paru
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat gagal jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat keluhan sesak dari kecil disangkal
 Riwayat keganasan disangkal
 Riwayat kolesterol tinggi disangkal
 Riwayat Asam urat tinggi disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat penyakit kuning disangkal
 Riwayat penyakit liver disangkal
 Riwayat batu empedu disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat penyakit liver disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit jantung dikeluarga disangkal
 Terdapat Riwayat penyakit Tuberkolosis
 Riwayat penyakit Pnemonia disangkal
 Riwayat penyakit kuning disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Memiliki Riwayat berhubungan dengan orang yang memiliki
penyakit paru
 Riwayat kolesterol tinggi di keluarga tidak diketahui
 Riwayat kadar asam urat tinggi di keluarga disangkal

Riwayat Kebiasaan :
 Pasien memiliki kebiasaan merokok lebih 20 tahun
 Pasien memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat stelan atau warung
(Paramex)
2.3 Pemeriksaan Fisik
2.3.1 Pemeriksaan generalis:
Keadaan umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Coma
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 80/60 mmHg
Laju Nadi : 102 x/menit
Laju Nafas : 26 x/menit
Suhu : 38,5°C
Kepala : Normocephali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil
bulat isokor , refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung
(+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-), massa (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), massa (-/-)
Mulut : Mukosa oral basah, faring hiperemis (-), sianosis(-)
Lidah : Atrofi(-), tremor (-), lidah kotor (-), frenulum ikterik
Leher :Trakea ditengah, pembesaran KGB (+), nyeri dan
tidak ada tanda peradangan JVP 5 +/- 2 cmH2O.

Thorax
 Inspeksi :Pergerakan napas tampak simetris statis dan
dinamis, spider nevi (-), gynecomastia (-)
 Palpasi :Pergerakan napas teraba simetris statis dan dinamis,
vocal fremitus kanan sama dengan kiri, sela iga tidak
membesar
 Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri, batas paru
hepar pada sela iga ke-7, dengan peranjakan 1 sela iga
 Auskultasi : VBS pada lapang paru kanan sama dengan kiri,
ronkhi (+/+), wheezing (+/+), fremitus resonance kanan sama dengan kiri.

Cor
 Inspeksi : Iktus cordis terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi dan
kuat angkat.
 Perkusi
Batas atas : ICS III
Batas kanan : Sternal line dextra
Batas kiri : midclavicular line sinistra ICS 5
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II terdengar regular,
murmur(-), gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : Tampak cembung, tanda indflamasi (-), caput
medusa (-)
 Auskultasi : Bising usus (+)
 Perkusi : Pekak pada regio abdomen kanan, ruang HMM.
 Palpasi : Supel, , tidak terdapat
hepatomegali, lien tidak teraba.
Punggung: normal
Ekstremitas: akral dingin, CRT < 2s, edema -/-/-/-
Kulit: Jaundice (-)

Pemeriksaan Neurolgis
1. Tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk : negatif
Kernig : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Sakit kepala :-
Penglihatan kabur : -
Bradikardia :-
Papil edema : tidak dinilai
3. Saraf kranial
N. I (kanan/kiri) : tidak dinilai
N. II (kanan/kiri)
Asies visus : tidak dinilai
Lihat warna : tidak dinilai
Kampus visus : tidak dinilai
Funduskopi : tidak dinilai
N.III-IV-VI (kanan/kiri)
Kedudukan bola mata : Di tengah / di tengah
Ptosis : -/-
Eks/enoftalmus : -/-
Gerak bola mata
Pupil
Bentuk/besar :Bulat, isokor 3mm/ 3mm
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Refleks akomodasi : (+) masbr
2.4 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Syamsudin Sukabumi dengan keluhan
penurunan kesadaran,sejak 1 hari SMRS awalnya pasien masih dapat
berkomunikasi dengan keluarga pasien kemudian pasien mengalami penurunan
kesadaran secara progresif dengan waktu secara perlahan dan menetap. sebelumnya
pasien mengeluhkan adanya batuk lama sudah lebih dari 5 tahun ,batuk berdahak
berwarna kuning kehijauan disertai adanya darah. Pasien mengeluhkan demam
hilang timbul sudah 2 bulan terakhir, sering berkeringat pada malam hari, sulit
tidur dan lemas. Dan pasien mengalami penurunan berat badan yang drastis
dalam 2 bulan terakhir (penurunan 14 kg).
Pasien memiliki riwayat keluhan serupa pada saat umur 30 tahun. Saat itu keluhan
batuk berdahak bercampur dengan darah. Pasien positif terdiagnosa TB paru
berdasarkan pemeriksaan sputum dan rontgen thorax.
Riwayat penyakit dahulu pasien pernah mengalami TB paru dan kelenjar
namun pengobatan regimen yang sudah diberikan tidak dipatuhi dengan baik
sampai putus obat , 1 bulan terakhir pasien sering mengeluhkan lemas badan dan
tidak nafsu makan.

Diagnosa Banding
 TB milier
 Pneumonia
 Anemia defisiensi Fe

2.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan darah rutin tanggal 3 desember 2019 :
Hb: 11,3 (meningkat)
Leukosit: 23800 (meningkat)
Ht: 34 (meningkat)
Mcv: 72 (meningkat)
Mch: 214 (meningkat)
TANGGAL 4 DESEMBER 2019

RONTGEN THORAX PA

Kesan :
Sugestif tbc paru milier dengan kardiomegali tanpa bendungan paru

2.6 Diagnosis Kerja


1. Tb disseminata
Tb milier
2. Anemia mikrositik hipokrom ec susp defisiensi Fe
DD/ penyakit kronik
2.7 Tatalaksana
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- Sucralfat syr 3 x 1 cth (po)
- As folat 1x1
- Bromhexine 1x1

2.8 Prognosis
Ad vitam : ad malam
Ad functionam : ad malam
Ad sanctionam : ad malam
BAB III
KAJIAN KASUS
3.1 Kajian Diagnosa Kerja
A. Perempuan, 52 tahun dengan TB milier dan anemia
 Dari anamnesis ditemukan :
- Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS
- Demam sejak 2 bulan SMRS
- Batuk berdahak bercampur darah dari 5 tahun yang lalu
- Nyeri ulu hati
- Tidak nafsu makan
- Penurunan berat badan drastis
- Kebiasaan merokok 2 bungkus sehari sejak 20 tahun yang lalu
 Dari pemeriksaan fisik ditemukan :
- KA (+/+)
- Hepatomegaly (+)
- Akral dingin ,CRT < 2s
 Dari pemeriksaan Lab menunjukan :
- Terlampir
 Diagnosis : TB milier dengan anemia
 Usulan pemeriksaan :
- Hematologi rutin
- Ro Thorax
- Hasil terlampir
 Tatalaksana :
- Infus Nacl 0,9% 20 tpm
- As.folat 1x1
- Bromhexine 1x1
- Metronidazole 3x500mg IV
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Tuberkulosis (TBC) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Infeksi tuberkulosis sering mengenai paru-
paru, yang disebut TBC paru, namun dapat pula menginfeksi organ lain seperti
sistem saraf pusat, limfatik, pencernaan, genitourinarius, tulang, sendi, dan bahkan
kulit 1,2.

2.2. Epidemiologi
Lebih dari 3,8 juta kasus baru (TBC paru dan ekstra paru) dilaporkan pada
tahun 2001, 90% diantaranya berasal dari negara-negara berkembang. Walaupun
demikian, karena rendahnya jumlah kasus yang terdeteksi, kasus yang telah
dilaporkan tersebut hanya mewakili sebagian kecil dari total kasus TBC.
Diperkirakan sekitar 8,5 juta kasus baru di seluruh dunia yang muncul pada tahun
2001, 95% terdapat di negara-negara berkembang terutama di Asia ( 5 juta
penderita) 2,3.
WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Indonesia menduduki peringkat ke 3 dunia dari 22
negara dengan masalah TB terbesar setelah cina dan india 7.

2.3. Etiologi
Penyebab TBC dengan mengkontaminasi susu adalah M. bovis. M.
africanum diisolasi pada kasus di Afrika barat, tengah dan timur. M. microti paling
sedikit virulensinya, M. canetii sangat jarang dan terjadi di Afrika. M. tuberculosis
paling sering menyerang manusia 2,8.
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu bakteri yang berbentuk
batang tipis yang sedikit lengkung dan berukuran 0.5µm × 3µm serta mempunyai
lilin D pada dinding sel. Adanya lilin pada dinding sel tersebut membuatkan bakteri
ini tahan asam dan alkali, rentan daripada kering dan disinfektan yang lain. Bakteri
ini tumbuh secara perlahan serta akan mencentus respon imun sel yang kuat pada
individu yang sehat 2,8.
Mycobacterium memilliki karakteristik berbentuk batang lurus atau sedikit
melekung, tidak berspora dan tidak berkapsul, berukuran lebar 0,3-0,6 μm dan
panjang 1-4 μm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. Tuberculosis adalah
asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut
cord factor, Mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi, polisakarida
seperti arabinogalaktan dan arabinomanan 2,8.
Gambar 2.1. Dinding Sel Mycobacterium 2

2.4. Patogenesis dan Transmisi


Kuman TBC ditularkan terutama melalui droplet dari penderita yang
terinfeksi TBC, yaitu ketika penderita batuk, bersin, atau berbicara. Bila partikel
infeksi ini terisap oleh orang sehat, akan menempel pada saluran nafas/jaringan
paru. Partikel dapat masuk ke alveolar jika ukuran <5um. Kuman akan dihadapi
pertama kali oleh neutrofil, kemudian oleh makrofag 2,8.
Infeksi TBC dimulai ketika bakteri mencapai alveoli paru, kemudian bakteri
difagositosis dan bereplikasi di dalam makrofag alveolar. Lokasi infeksi primer
bakteri di paru disebut sarang primer/fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul
peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis local), dan juga diikuti
oleh pembesaran kelenjar getah bening hilus (limfadenitis regional). Sarang primer
limfangitis lokal dan limfadenitis regional ini disebut kompleks primer/Ranke,
semua proses ini memakan waktu 3-8minggu. Penyebaran lebih lanjut adalah
melalui aliran darah yang kemudian menuju organ-organ tubuh lain, dimana
kemudian dapat timbul lesi TBC sekunder di apeks paru, kelenjar getah bening
perifer, ginjal, otak, dan tulang 2.
Kuman TBC yang masuk dapat:
- mati oleh sistem imun
- bermultiplikasi dan kemudian menyebabkan TBC primer
- menjadi dorman dan tetap asimtomatik, atau
- akan berproliferasi setelah periode laten (reaktivasi penyakit) 2,6
TBC merupakan suatu penyakit inflamasi granulomatosa, dimana
makrofag, sel limfosit T, limfosit B dan fibroblas akan beragregasi dan membentuk
granuloma, dengan sel-sel limfosit yang mengelilingi makrofag yang terinfeksi
tadi. Fungsi granuloma disini tidak hanya untuk mencegah penyebaran bakteri,
namun juga untuk mengadakan komunikasi dengan sistem imun selular. Sel
limfosit T (CD4+) kemudian mengeluarkan sitokin seperti interferon gama, yang
akan mengaktivasi makrofag untuk menghancurkan bakteri yang menginfeksinya.
Sel limfosit T (CD8+) dapat langsung membunuh sel-sel yang terinfeksi 2,6,8.

Kuman yang dorman pada tuberkulosis primer akan muncul bertahun-tahun


kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis post primer/TB sekunder.
TB sekunder terjadi karena imunitas tubuh yang menurun (malnutrisi, alkohol,
AIDS, diabetes). TB sekunder ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru, dalam waktu 3-10 minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu
granuloma yang terdiri dari sel Histiosit dan sel Datia-Langhans yang dikelilingi
oleh sel-sel limfosit dan jaringan ikat. Granuloma ini lalu berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitarnya da bagian tengahnya mengalami nekrosis
yang menjadi lembek membentuk jaringan perkejuan (nekrosis kaseosa). Jika
jaringan perkejuan dibatukkan keluar akan terjadi kavitas yang berdinding tipis,
kelamaan dindingnya akan menebal karena infiltrasi fibroblas dalam jumlah besar
sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Bila bakteri TBC masuk ke dalam
aliran darah dari jaringan yang telah rusak, bakteri kemudian menyebar ke seluruh
tubuh dan membentuk banyak fokus infeksi yang tampak sebagai tuberkel putih
kecil pada jaringan. Bentuk berat TBC ini lebih sering ditemukan pada bayi dan
orang lanjut usia, bentuk ini dikenal sebagai tuberkulosis milier 2,6,8.

Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran
kuman TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik
(droplet nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di
hancurkan. Sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang di namakan fokus
primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman TB dari fokus primer Ghon
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe
yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang di
perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-
12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh (gambar 2).6,9
Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan kuman yang
besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam perjalanannya di dalam
pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan membentuk tuberkel di
tempat tersebut. Semua tuberkel yang di hasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata
yang menyerupai butir padi-padian (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini
berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm , sedangkan secara histologik merupakan
granuloma. Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah
terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman
TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata
terjadi karena tidak adekuatnya sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi
TB, misalnya pada anak dibawah 5 tahun (balita) , terutama dibawah 2 tahun.2,6,8,9

Gambar 2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis8


Imunopatogenesis TB
Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.
Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh semua
kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi
multiplikasi, pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal
sebagai TB primer. Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten
dengan uji tuberkulin positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman TB
laten tumbuh dan muncul manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB (TB
pasca-primer) 2,6,8
Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan
hipersensitivitas tipe lambat. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T
CD4+ dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang
dikeluarkan M. TB limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk
mengaktifkan makrofag dan limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF
α dan INF γ. Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi TB dan
mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag dan limposit-T CD4+ memproduksi
enzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen intermediate khususnya nitrogen oksida
dan Interleukin-12. Nitrogen oksida ini selanjutnya diaktifkan oleh TNF α dan INF
γ untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh M. TB yang virulen. Peran
imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan menghancurkan basil terutama pada
jumlah basil yang sedikit. Kemampuan membunuh M. TB juga bergantung pada
jumlah makrofag setempat yang aktif.2,6,8,9

Gambar 3. Hipersensitifitas tipe IV 8


Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler,
yaitu terjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD4+ dan limposit-T CD8+
sitotoksik serta sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan
sekitar dan perkijuan. Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif,
menyebabkan M. TB menjadi dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan
parut. Proses ini dapat merugikan tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian
pinggir daerah nekrosis dan membentuk hipersensitifitas tipe lambat kemudian
difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila makrofag belum diaktifkan oleh
imunitas seluler, maka M. TB dapat tumbuh dalam makrofag sampai
hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah daerah nekrosis.
Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk membunuh basil
dan mencegah perkembangan penyakit. Hipersensitifitas tipe lambat lebih berperan
pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan. .Apabila M.
TB masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan dihancurkan di tempat
yang baru dengan terbentuknya tuberkel. Adanya reseptor spesifik terhadap antigen
yang dihasilkan M. TB pada limposit-T di darah dan jaringan limfe, menyebabkan
pengumpulan dan aktivasi makrofag lebih cepat dan destruksi M. TB. Tuberkel
yang terjadi tetap kecil dengan perkijuan yang minimal, cepat sembuh dan tidak
diikuti oleh terjadinya penyebaran hematogen atau limfogen ke jaringan lain.6,8

Gambar 4. Respon imunologis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis 8


2.5. Klasifikasi Tuberkulosis
Klasifikasi Tuberkulosis dibagi menjadi 2 :
1. Tuberkulosis Pulmonal
- Tuberkulosis primer
Tuberkulosis primer terjadi karena infeksi melalui jalan pernapasan
(inhalasi) oleh Mycobacterium tuberculosis. Biasanya terjadi pada anak-anak.
Terlokalisir pada paru-paru tengah dan bawah, lymphadenopati hilar dan
paratrakea, biasanya TB primer sembuh spontan, terdapat nodul kalsifikasi kecil
(lesi Ghon).2,5,6
Pada anak-anak dan penderita gangguan imunitas, clinical illness :
 efusi pleura
 kavitasi akut ( tuberkulosis primer progresif
 Obstruksi bronkus  kolaps segmental atau lobar paru
 emfisema obstruktif
 bronkiektasis
 TB milier dan/atau meningitis tubekulosa.
Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena
perluasan infiltrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain
adalah atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar ke dalam
bronkus. Baik pleuritis maupun atelektasis tuberkulosis pada anak-anak mungkin
demikian luas sehingga sarang primer tersembunyi dibelakangnya.2,6

- Tuberkulosis sekunder
Tuberkulosis yang bersifat konis ini dapat terjadi pada orang dewasa. Saat
ini, pendapat umum mengenai penyakit tersebut adalah bahwa timbul re-infeksi
pada seorang yang masa kecilnya pernah menderita tuberkulosis primer, tetapi tidak
diketahui dan meyembuh sendiri. Terlokalisasi di segmen apikal dan posterior lobus
superior paru karena konsentrasi oksigen yang tinggi. Terbentuk kavitasi yaitu lesi
satelit jika masif, pneumonia tuberkulosa . Sepertiga penderita tidak diobati maka
akan terjadi TB berat dalam beberapa minggu atau bulan setelah onset. Dapat terjadi
remisi spontan atau berkembang menjadi kronis dan progresif ( consumption ) lalu
lesi pulmonal menjadi fibrotic dan menjadi kalsifikasi.1.2,5,9
Pada awal perjalanan penyakit biasanya simptom sering tidak spesifik :
 Demam, berkeringat malam, penurunan berat badan, anoreksia, malaise dan
lemah badan
 Batuk (non-produktif  sputum purulen), blood streaking
 Nyeri dada pleuritik
 Dyspnea, adult respiratory distress syndrome ( ARDS ).
 Dapat dideteksi rales dan ronkhi

2. Tuberkulosis Ekstrapulmonal
 TB KGB ( lymphadenitis tuberkulosa )
 pleura
 saluran nafas atas
 genitourinari
 skeletal
 meningitis dan tuberculoma
 gastrointestinal
 perikardial ( tuberkulosis perikarditis )
 TB milier / diseminata
Tuberkulosis Ekstrapulmonal Ringan :
Pada lymph, pleura, tulang (kecuali vertebrae), sendi, kelenjar adrenal
Tuberkulosis Ekstrapulmonal Berat
Pada meningitis, TB spine, perikarditis, peritonitis, TB usus, TB saluran
kemih, dan lain-lain.2,3,7

2.6. Diagnosis
A. Gambaran Klinis
 Sistemik atau konstitusional
 Demam (low grade)
 Keringat malam walau tanpa beraktivitas
 Berat badan menurun
 Rasa kurang enak badan (malaise)
 Fatigue
 Anoreksia (nafsu makan menurun)
 Lokal/respiratory
 Batuk produktif (terus-menerus dan berdahak) ≥ 2 minggu
 Hemoptisis ringan-masif
 Nyeri dada, pleuritic pain
 Sesak nafas 2,7,9
B. Pemeriksaan Fisik
Kelainan pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior, serta daerah apek lobus inferior. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan :
- Suara nafas bronchial, suara nafas melemah dan ronki basah.
- Tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
- Pada pleuritis tuberculosis : perkusi ditemukan pekak, auskultasi
ditemukan suara nafas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan.
- Pada limfadenitis tuberculosis : pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher, kadang-kadang didaerah ketiak 2.
C. Pemeriksaan Bakteriologis
1. Bahan Pemeriksaan :
 Dahak (paling sering)
 Cairan pleura
 Cairan cerebrospinal
 Bilasan bronkus
 Bilasan lambung
 Urin
 Feses
 Jaringan biopsy.
2. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :
Mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam 2 hari
kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :
 S : dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama
kali.
 P : dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur.
 S : dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
3. Cara pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi dari specimen dahak dapat dilakukan dengan cara
mikroskopis. Pemeriksaan mikroskopis biasa menggunakan Ziehl-Nielsen.
Pemeriksaan mikroskopis fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk penapisan).2
4. Interpretasi
Pemeriksaan sputum dapat diinterpretasikan berdasarkan IUATLD
(International Union against Tuberculous Lung Disease) :
Jumlah BTA Report

Tidak ditemukan dalam 100 HPF -

1-9 / 100 HPF Jumlah bakteri

10-99 / 100 HPF + atau +1

1-10 / 1 HPF ++ atau +2

>10 / 1 HPF +++ atau +3

Hasil pemeriksaan dahak 3 kali ialah :


- 3 kali positif atau 2 kali positif dan 1 kali negative : BTA (+)
- 1 kali positif , 2 kali negative : ulangi BTA, bila
- Bila 1 kalin positif, 2 kali negative : BTA (+)
- Bila 3 kali negative : BTA (-)
5. Kultur / Biakan :
Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
Agar base media : Middle broo 2,3,5,7

D. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Tuberkulin
Tes tuberculin intradermal mendeteksi infeksi TB walaupun tidak dapat
membedakan antara bentuk TB aktif atau dalam keadaan dorman. PPD
(purified protein derivate) merupakan fraksi protein dari tubercle bacilli
yang avirulen. Saat diberikan kepada individu dengan TB aktif atau dorman
maka akan menyebabkan eritema dan indurasi (edema) pada tempat yang
disuntik akibat dari akumulasi limfosit yang tersensitasi.
2. Tes Mantoux
Tes Mantoux merupakan tes pilihan. Tuberculin diinjeksi secara
intradermal dengan menggunakan jarum. Tes TB dan langkah tidak menjadi
tes rutin untuk menyelidiki adanya TB.
Interpretasi hasil, tes harus dibaca 48-72 jam setelah injeksi. Semakin besar
area reaksi kulit maka semakin kuat adanya infeksi TB. Hasil yang positif
menunjukan adanya indurasi 5-15 mm. Namun, reaksi yang signifikan (>10mm)
tidak menunjukkan adanya TB yang signifikan (TB yang sudah sembuh, cek
dengan radiologi).2,5,7

3. Radiologi
a. Pada awal penyakit gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan
dengan batas-batas tidak tegas, bila lesi sudah meliputi jeringan kyat maka
bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas yang tegas yang dikenal sebagai
tuberkuloma.
b. Pada kavitas, bayangan berupa cincin yang berdinding tipis menjadi menebal,
karena dinding menjadi sklerotik.
c. Pada kalsifikasi, bayangan tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas
tinggi.
d. Pada tuberculosis milier, gambaran terlihat berupa bercak-bercak halus yang
umumnya tersebar pada seluruh lapang paru, menyerupai gambaran ‘badai
kabut’ (snow storm appearance).

Gambar 2. Alur Diagnosis TB Paru 2


2.7. Komplikasi TB
Komplikasi dari penyakit TB diantaranya:
1. Efusi Pleura
Terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau melalui
penyebaran hematogen.
2. Penyebaran Milier
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang berukuran 1-2 mm
atau sebesar kepala jarum (millium), tersebar merata di kedua belah paru dengan
gambaran badai kabut (snow storm appearance) Dapat menyebar ke ginjal, tulang,
sendi, meningens dan sebagainya.
3. Atelektasis Bronkus
Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru yang
bersangkutan sering menduduki lobus kanan (sindroma lobus medius) karena
perforasi kelenjar kedalam bronkus.
4. Kavitasi (Lubang)
Terjadi akibat melunaknya sarang keju. Dinding kavitas sering tipis
berbatas licin tetapi dapat juga tebal berbatas tidak licin. Lubang kecil dikelilingi
oleh jaringan fibrotik dan bersifat stasioner pada pemeriksaan berulang (follow-up)
dinamakan lubang sisa (residual cavity) dan menandakan suatu proses spesifik lama
yang sudah tenang. 2,3,8

2.8. Penatalaksanaan TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan
a. Tujuan :
 Menyembuhkan penderita
 Mencegah kematian
 Mencegah kekambuhan
 Menurunkan tingkat penularan
b. Prinsip Pengobatan
• OAT diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah
cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan
• Dosis tahap intensif dan lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal sebaiknya
pada saat perut kosong
• Apabila paduan obat tidak yang digunakan tidak adekuat, kuman TBC
akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten) sehingga diperlukan
pengawasan langsung (DOT) oleh seorang PMO.
c. Tahap Intensif (2-3 bulan)
 Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap semua OAT.
 Bila diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu > penderita TBC BTA + menjadi
BTA – pada akhir pengobatan intensif
d. Tahap Lanjutan (4bulan atau 7 bulan)
 Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap semua OAT.
 Bila diberikan secara tepat biasanya penderita menular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu > penderita TBC BTA + menjadi
BTA – pada akhir pengobatan intensif
e. Program nasional Penanggulangan TBC 2,3,6

Kategori 1 Kategori 2 Kategori 3

WHO 2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E5 2 HRZ / 4H3R3

2 RHZE / 4 H3R3 2 HRZES / HRZE / 5 HRE 2 HRZ / 4 HR

2 RHZE / 4 HR 2 HRZES / HRZE / 5H3R3E3 2 HRZ / 6 HE

2 HRZE / 6 HE 2 HRZ / 4 H3R3

Indonesia
2 HRZE / 4H3R3

f. Paduan OAT yang digunakan di Indonesia


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
a. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Paduan obat yang dianjurkan :
1) 2 RHZE / 4 RH atau
2) 2 RHZE / 4R3H3 atau
3) 2 RHZE/ 6HE.
Paduan ini dianjurkan untuk
1) TB paru BTA (+), kasus baru
2) TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh
paru)
Pada evaluasi hasil akhir pengobatan, bila dipertimbangkan untuk
mem perpanjang fase lanjutan, dapat diberikan lebih lama dari waktu yang
ditentukan. (Bila perlu dapat dirujuk ke ahli paru). Bila ada fasilitas biakan
dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
b. TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh menggunakan 5 macam OAT pada fase
intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat
sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 5 bulan atau
lebih, sehingga paduan obat yang diberikan : 2 RHZES / 1 RHZE / 5 RHE.
Bila diperlukan pengobatan dapat diberikan lebih lama tergantung dari
perkembangan penyakit. Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi,
maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (P2
TB).
c. TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi dengan
menggunakan minimal 5 OAT (minimal 3 OAT yang masih sensitif),
seandainya H resisten tetap diberikan. Lama pengobatan minimal selama
1 - 2 tahun. Sambil menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan obat 2
RHZES, untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi
1) Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan
paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (P2TB)
2) Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil
yang optimal
3) Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru

d. TB Paru kasus putus berobat


Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali
sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
1) Pasien yang menghentikan pengobatannya < 2 bulan, pengobatan OAT
dilanjutkan sesuai jadwal.
2) Pasien menghentikan pengobatannya 2 bulan:
o Berobat 4 bulan, BTA saat ini negatif , klinik dan radiologik tidak
aktif / perbaikan, pengobatan OAT STOP. Bila gambaran
radiologik aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II
maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat > 4 bulan, BTA saat ini positif : pengobatan dimulai dari
awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu
pengobatan yang lebih lama. Jika telah diobati dengan kategori II
maka pengobatan kategori II diulang dari awal.
o Berobat < 4 bulan, BTA saat ini positif atau negatif dengan klinik
dan radiologik positif: pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang sama
Jika memungkinkan sebaiknya diperiksa uji kepekaan (kultur
resistensi) terhadap OAT.
e. TB Paru kasus kronik
1) Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi,
berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan
hasil uji resistensi (minimal terdapat 3 macam OAT yang masih
sensitif dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan
obat lini 2 seperti kuinolon, betalaktam, makrolid.
2) Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup.
3) Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan
penyembuhan.
4) Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru 2,3,5,7,8
Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus

g. Paket Kombipak.
Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid
dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan
program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping
OAT KDT.
Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang
penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (multidrug
resistant tuberculosis). Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemi
TB merupakan prioriti utama WHO. International Union Against Tuberculosis and
Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarakan untuk menggantikan paduan obat
tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB primer pada tahun
1998. Dosis obat tuberkulosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO seperti
terlihat pada table.3.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal.
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan
pengobatan yang tidak disengaja.
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar.
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit.
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi.3,4,7
6.

Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT


Dosis (mg) / BB (kg)
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis
(mg/kgBB/Har Harian Intermitten Maksimu
i) (mg/kgBB/Har (mg/kgBB/Har m < 40 40-60 > 60
i) i)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai 750 1000
BB

A.Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif.
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1


Berat Badan Tahap Intensif Tahap Lanjutan
tiap hari selama 56 hari 3 kali seminggu selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3. Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1


Dosis per hari / kali Jumlah
hari/kali
Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Tablet menelan
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol obat
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

B. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)
Catatan:
a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin
adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan
aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).2,3,4,7
Tabel 4. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2
Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Berat Tiap hari 3 kali seminggu
Badan
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
+ 500 mg Streptomisin inj. + 2 tablet Etambutol
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
+ 750 mg Streptomisin inj. + 3 tablet Etambutol
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tablet Etambutol
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tablet Etambutol

Tabel 5. Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2


Tahap Lama Tablet Kaplet Tablet Etambutol Streptomis Jumlah/
Pengobat Pengobata Isoniasi Rifampisi Pirazinami in Injeksi
an n d n d Tablet Tablet kali
menelan
@ 300 @ 450 mg @ 500 mg @ 250 @ 400 obat
mg mg mg

Tahap
Intenif
(dosis 2 bulan 1 1 3 3 - 0,75 gr 56
harian
1 bulan 1 1 3 3 - - 28
Tahap
Lanjutan
(dosis 3x 4 bulan 2 1 - 1 2 - 60
seminggu
)
C.Kategori 3 (2 HRZ / 4 H3R3)
Tahap Intensif : HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan
Tahap lanjutan : HR diberikan 3 kali seminggu selama 4 bulan
Diberikan untuk:
 Penderita baru BTA negatif dan rontgen (+) sakit ringan
 Penderita ekstra paru ringan yaitu TBC kelenjar limfe (limfadenitis)
pleuritis eksudativa unilateral TBC kulit, TBC tulang (kecuali tulang
belakang) sendi dan kelenjar adrenal.
D. OAT Sisipan (HRZE)
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA+ atau
penderita BTA + pengobatan ulang dengan kategori 2 hasil pemeriksaan dahak
masih BTA + diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.
Tabel 6. Dosis KDT untuk Sisipan
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
RHZE (150/75/400/275)
30-37 kg 2 tablet 4KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Tabel 7. Dosis OAT Kombipak untuk Sisipan


Tahap Lamanya Tablet Kaplet Tablet Tablet Jumlah
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Rifampisin Pirazinamid Etambutol hari/kali
menelan obat
@ 300 mg @ 450 mg @ 500 mg @ 250 mg
Tahap
Intensif
(dosis 1 bulan 1 1 3 3 28
harian)

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang


dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit / dokter spesialis paru / fasiliti yang mampu menanganinya.2,3,4,7

Efek Samping OAT


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek
samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan
dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf
tepi, kesemutan, rasa terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis 100 mg perhari atau dengan vitamin
B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain
ialah menyerupai defisiensi piridoksin
(syndrom pellagra).
Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat timbul
pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,
hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan
pengobatan simtomatik ialah :
a. Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
b. Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
c. Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
d. Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
e. Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop
dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
f. Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu
dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan
lagi walaupun gejalanya telah menghilang
g. Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air
mata, air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan
tidak berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar dimengerti dan
tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai
pedoman TB pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin)
dan kadang-kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini
kemungkinan disebabkan berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat.
Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang
lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa
berkurangnya ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun
demikian keracunan okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang
sekali terjadi bila dosisnya 15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang
diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam
beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan
pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan
dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien.
Risiko tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi
ginjal. Gejala efek samping yang
terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan keseimbangan.
Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya dikurangi
0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat keseimbangan makin
parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-
tiba disertai sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping
sementara dan ringan (jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga
yang mendenging dapat terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini
mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25gr Streptomisin dapat menembus
barrier plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada wanita hamil sebab dapat
merusak syaraf pendengaran janin.3,4,7,8

Tabel 8. Efek Samping Minor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsumakan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur
sakit perut
Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin/allopurinol
Kesemutan sampai dengan INH Beri vitamin B6 1x100 mg/hari
rasa terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa

Tabel 9. Efek Samping Mayor OAT dan Penatalaksanaannya


Efek samping Kemungkinan Penyebab Tatalaksana
Mayor Hentikan pengobatan
Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
pada kulit dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
ganti etambutol
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisisn dihentikan,
(vertigo dan nistagmus) ganti etambutol
Ikterik/Hepatitis Imbas Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Obat (penyebab lain sampai ikterik
disingkirkan) menghilang dan boleh
diberikan
hepatoprotektor
Muntah dan bingung Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
(suspect drug-induced dan lakukan uji fungsi
pre-icteric hepatitis) hati
Gangguan penglihtatan Etambutol Hentikan Etambutol
Kelainan sistemik, Rifampisin Hentikan Rifampisin
termasuk syok dan
purpura

Catatan : Penatalaksanaan efek samping obat:


1. Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung yang dapat diatasi secara
simptomatik
2. Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit,
umumnya disebabkan oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat
dilakukan pemberian dosis rendah dan desensitsasi dengan pemberian dosis
yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan pengawasan yang ketat.
Desensitisasi ini tidak bias dilakukan terhadap obat lainnya
3. Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok
atau gagal ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol,
gangguan nervus VIll karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan
agranulositosis karena thiacetazon
Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka
waktu pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik 2,3,7,9,10
DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland edisi 26. 1996. Jakarta: EGC


2. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1.2009. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
3. Pedoman Diagnostik. Jakarta EGC
4. Sidharta H.dr., Atlas Ultrasonografi Abdomen dan Beberapa Organ
Penting edisi 2. 2000. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
5. Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-López,
and Iris Estrada. Immunology, pathogenesis, virulence. In: tuberculosis
2007 from basic science to patient care. 2007:157-205. Diunduh dari
www.tuberculosistextbook.com..
6. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Dalam: Buku pedoman nasional
penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2, cetakan I. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2006.
7. World Health Organization. Global Tuberculosis Control 2010. WHO,
Geneva, Switzerland,2010.
8. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis. Dalam:
Rom W, Garay SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary pathophysiology.
Edisi ke-5. Volume I;2004.
9. Roth JG, Baker SK. Miliary tuberculosis. Dalam: Rom WN, Garay SM,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia;2003.h.960-71.
10. Guidi R, Bolli V, Lanza C, Biagetti C, Osimani P, Benedictis FM.
Macronodular hepatosplenic tuberculosis. Acta Radiologica Short Reports
2012;1:21

Anda mungkin juga menyukai