Anda di halaman 1dari 21

BAB I

DEFENISI

A. Pengertian
Surveilans adalah suatu pengamatan yang sistematis, efektif dan terus menerus
terhadap timbulnya dan penyebaran penyakit pada suatu populasi serta terhadap
keadaan atau peristiwa yang menyebabkan meningkatnya atau menurunnya resiko
terjadinya penyebaran penyakit:

a. Pada saat pasien masuk rumah sakit tidak ada tanda-tanda infeksi, tidak dalam masa
inkubasi infeksi tersebut.

b. Inkubasi terjadi 2 x 24 jam setelah pasien dirawat di rumah sakit apabila tanda-tanda
infeksi sudah timbul sebelum 2 x 24 jam sejak mulai dirawat, maka perlu diteliti masa
inkubasi dari infeksi tersebut.

c. Infeksi pada lokasi yang sama tetapi disebabkan oleh mikroorganisme yang berbeda
dari mikroorganisme saat masuk rumah sakit atau mikroorganisme penyebab sama
tetapi lokasi infeksi berbeda.

d. Infeksi terjadi setelah pasien pulang dan dapat dibuktikan berasal dari rumah sakit.

Ada 2 keadaan yang bukan disebut HAIs:

a. Infeksi yang berhubungan dengan komplikasi atau meluasnya infeksi yang sudah ada
pada waktu masuk rumah sakit.

b. Infeksi pada bayi baru lahir yang penularannya melalui placenta (mis: toxoplasmosis,
sifilis) dan baru muncul pada atau sebelum 48 jam setelah masa kelahiran.

1. Infeksi Luka Infus (ILI)/Plebitis

Keadaan yang terjadi disekitar tusukan atau bekas tusukan jarum infus dirawat di rumah
sakit. Infeksi ini ditandai dengan rasa panas, pengerasan dan kemerahan (color,tumor
dan rubor) dengan atau tanpa nanah (pus) pada daerah bekas tusukan jarum infus
dalam waktu 2x24 jam atau kurang dari waktu tersebut bila infus terpasang.
2. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi saluran kemih pada pemasangan kateter urine/Catheter Associated Urinary Tract
Infections (CaUTI) adalah infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan penggunaan
kateter urine.

3. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)

Ditemukannya kuman patogen pada pemeriksaan kultur darah dan infeksi tersebut tidak
berhubungan dengan infeksi di tempat lain.

4. Hospital Associated Pneumo nia (HAP)

Seseorang yang setelah lebih dari 48 jam dirawat di rumah sakit menunjukkan gejala,
demam (>380C), batuk dan sesak napas, disertai dahak purulen dan pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan lekositosis (>12.000/mm3) atau lekopenia (<4000/mm3) dan pada
pemeriksaan jasmani didapatkan ronkhi dan pada gambaran radiologi toraks ditemukan
infiltrate baru. Tidak dalam masa inkubasi.

5. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

HAIs pneumonia yang terjadi setelah 48 jam pada pasien yang terpasang ventilasi
mekanik baik melalui pipa endotrachea/tracheostomi.

6. Infeksi Daerah Operasi (IDO) /Surgical Site Infection (SSI)

Infeksi akibat tindakan pembedahan, dapat mengenai berbagai lapisan jaringan tubuh.

7. Dekubitus

Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan


menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area
secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.

B. Tujuan
1. Mendapatkan data dasar

Data dasar atau awal infeksi diperlukan untuk dapat menghitung data dasar dari
infeksi rumah sakit. Diharapkan data dasar ini dapat membantu rumah sakit menurunkan
rate endemis ini dengan melakukan upaya untuk pencegahan infeksi yang memadai.
2. Menurunkan angka infeksi di rumah sakit

Penurunan resiko infeksi ini dapat berorientasi pada tujuan akhir turunnya angka
infeksi fan turunnya biaya perawatan atau berorientasi pada proses pengolahan data
infeksi yang dapat dipergunakan untuk menentukan langkah penurunan laju infeksi,
angka kesakitan, angka kematian serta biaya perawatan/biaya operasional rumah sakit.

3. Mengidentifikasi KLB

Penyimpanan data dasar infeksi merupakan satu tanda kejadian luar biasa. Untuk
mengenali adanya penyimpangan angka laju infeksi dan menetapkan adanya suatu KLB
membutuhkan suatu keterampilan khusus dari Komite PPI rumah sakit. Tanpa
keterampilan tersebut maka KLB tidak dapat dikenali dan dinilai sebagai suatu kejadian
endemik biasa. Laporan adanya kecurigaan terhadap KLB lebih sering datang dari
dokter yang merawat pasien atau bekerja di laboratorium dari petugas pengendali HAIs.
Kelemahan dalam kecepatan waktu ini sering menjadi keterbatasan dalam penggunaan
data surveilans. Untuk mengatasi hal tersebut maka sebaiknya kegiatan surveilans
dilaksanakan secara teratur, sehingga dapat memonitor perubahan yang terjadi. PPI di
rumah sakit akan dapat mengetahui dengan lebih cepat seandainya suatu kejadian luar
biasa infeksi di RS, sehingga dapat dengan segera melakukan upaya-upaya
pengendalian yang tepat.

4. Mengevaluasi sistem pengendalian infeksi

Sistem pengendalian infeksi di rumah sakit sudah dijalankan, dapat diidentifikasi


berdasarkan data-data surveilans dan program upaya pencegahan, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dikerjakan. Hal ini penting karena prinsip
dari surveilans adalah kegiatan yang dilakukan terus menerus sehingga dapat diyakini
oleh banyak pihak bahwa permasalahan dan evaluasi terus menerus maka suatu upaya
pengendalian yang tampaknya rasional pada akhirnya dapat disimpulkan sebagai suatu
yang tidak efektif sama sekali.

5. Menggambarkan mutu pelayanan pasien

Keberhasilan pencegahan dan pengendalian infeksi rumah sakit di berbagai negara


termasuk di Indonesia merupakan salah satu indikator mutu pelayanan kesehatan,
selain juga merupakan salah satu kriteria penilaian akreditasi rumah sakit.
6. Mengantisipasi tuntutan malpraktik

Terhadap adanya tuntutan malpraktik, program surveilans yang baik dengan


kompilasi data yang baik memberikan bukti-bukti yang mendukung kualitas pelayanan
rumah sakit.
BAB II
RUANG LINGKUP
A. Ruang Lingkup

1. Jenis Surveilans Infeksi Rumah Sakit

a. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)


b. Infeksi Luka Infus (ILI) /Plebitis
c. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
d. Infeksi Daerah Operasi (IDO)
e. Ventilator Associate Pneumonia (VAP)
f. Hospital Associate Pneumonia (HAP)
g. Dekubitus
2. Lingkup Area Staf Instalasi yang terlibat

a. Pelaksana panduan ini adalah tenaga kesehatan yang terdiri dari:


 Staf medis
 Staf perawat
 Staf bidan
b. Instalasi yang terlibat dalam pelaksanaan panduan surveilans adalah:
 Instalasi Rawat Jalan
 Instalasi Rawat Inap
- Rawat inap Lantai 1
- Rawat inap Lantai 2
3. Kewajiban dan Tanggung jawab

a. Seluruh staf Rumah Sakit Umum Lasmi Kartika wajib memahami panduan surveilans
ini.

b. Perawat yang bertugas (perawat penanggung jawab pasien) bertanggung jawab


melakukan panduan surveilans ini.

c. kepala ruangan (IPCLN)

- Kepala Ruangan (IPCLN) memahami surveilans infeksi rumah sakit dalam


pelaksanaan surveilans HAIs di Ruangan

- Terlibat dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan panduan surveilans


infeksi rumah sakit.

-
d. Komite PPI

- Memantau dan memastikan panduan surveilans infeksi rumah sakit dikelola


dengan baik oleh kepala ruangan.

- Menjaga standar dalam menerapkan panduan surveilans infeksi rumah sakit.


BAB III
TATALAKSANA

Metode Pelaksanaan Surveilans

Surveilans yang dilaksanakan Rumah Sakit Umum Lasmi Kartika adalah target
surveilans, dengan target survey meliputi Infeksi Aliran Darah Primer (IADP), Infeksi Luka
Infus (ILI) /Plebitis, Infeksi Daerah Operasi (IDO), Infeksi Saluran Kemih (ISK), Ventilator
Associated Pneumonia (VAP), Hospital Associated Pneumonia (HAP), dekubitus.

A. Jenis Surveilans Infeksi Rumah Sakit Lasmi Kartika

1. Infeksi Aliran Darah Primer (IADP)

a. Definisi IADP

 Infeksi Aliran Darah Primer merupakan jenis infeksi yang terjadi akibat masuknya
mikroba melalui peralatan yang kita masukkan langsung ke sistem pembuluh darah.
Dalam istilah CDC disebut sebagai Blood Stream Infection (BSI).

 Infeksi Aliran Darah Primer adalah ditemukannya organism dari hasil kultur darah
semi-kuantitatif/kuantitatif disertai tanda klinis yang jelas serta tidak ada hubungannya
dengan infeksi ditempat lain dan/atau dokter yang merawat menyatakan telah terjadi
infeksi.

Akses langsung ke peredaran darah ini dapat berupa kateter vena maupun arteri yang
kita lakukan terhadap pasien, baik dalam rangka perawatan maupun diagnostik, yang
secara umum disebut sebagai kateter intravaskuler (Intravascular Catheter).
Contohnya pemasangan vena sentral (CVC: Central Venous Catheter), vena perifer
(infus), hemodialisa.

Seringkali Phlebitis dilaporkan sebagai IADP. IADP berbeda dengan Phlebitis


(Superficial & Deep Phlebitis).

Perbedaan antara IADP dengan Phlebitis adalah:

- Phlebitis merupakan tanda-tanda peradangan pada daerah lokal tusukan infus.


Tanda – tanda peradangan tersebut adalah merah, bengkak, terasa seperti
terbakar dan sakit bila ditekan.

- IADP adalah keadaan bakteremia yang diagnosanya ditegakkan melalui


pemeriksaan kultur.
b. Kriteria IADP

Ada beberapa kriteria untuk menentukan IADP. Kriteria IADP 1 dan 2 dapat digunakan
untuk semua peringkat umur pasien termasuk usia < 1 tahun, minimal ditemukan satu
kriteria seperti tersebut:

 Kriteria 1 IADP:

- Ditemukan pathogen pada > 1 kultur darah pasien dan

- Mikroba dari kultur darah itu tidak berhubungan dengan infeksi di bagian lain dari
tubuh pasien.

 Kriteria 2 IADP:

- Pasien menunjukkan minimal satu gejala klinis: demam (suhu > 380C), menggigil
atau hipotensi, dan

- Tanda dan gejala klinis serta hasil positif pemeriksaan laboratorium yang tidak
berhubungan dengan infeksi di bagian lain dari tubuh pasien, dan

- Hasil kultur yang berasal dari > 2 kultur darah pada lokasi pengambilan yang
berbeda didapatkan mikroba kontaminan kulit yang umum, misalnya difteroid
(Corynebacterium spp), Bacillus spp (bukan B anthracis), Propionibacterium spp,
Staphylococcus coagulase negatif termasuk S. epidermidis, Streptococcus
viridans, Aerococcus spp, Micrococcus spp.

 Kriteria 3 IADP:

- Pasien anak usia < 1 tahun menunjukkan minimal satu gejala seperti berikut:
demam (suhu rektal > 380C), hipotermi (suhu rectal < 370C), apnoe atau
bradikardia, dan

- Tanda dan gejala serta hasil pemeriksaan positif laboratorium yang tidak
berhubungan dengan infeksi di bagian lain dari tubuh pasien, dan

- Hasil kultur yang berasal dari > 2 kultur darah pada lokasi pengambilan yang
berbeda didapatkan mikroba kontaminan kulit yang umum, misalnya difteroid
(corynebacterium spp), Bacillus spp (bukan B anthracis), Propionibacterium spp

c. Faktor risiko IADP

Risiko IADP tentunya adalah semua pasien yang dipasang kateter vaskuler,
sedangkan risiko infeksi dan hasil pemeriksaan tergantung dari:

- Lama pemasangan: berapa hari peralatan dipasang.


- Jenis jalur intravascular (vena sentral, vena perifer, dialisa dan sebagainya) yang
dipasang.

- Lokasi pemasangan: subclavian, femoral, internal jugular, perifer.

- Teknik pemasangan: keahlian petugas, teknik aseptic, jenis antiseptic, jenis dan
bahan peralatan terpasang (polyethylene, polyurethane, silicon.

- Perawatan: ruang perawatan, perawatan peralatan, frekuensi manipulasi.

- Kondisi pasien: usia, penyakit yang mendasari.

- Teknik kultur.

2. Infeksi Daerah Operasi (IDO)

a. Definisi IDO

IDO dalam istilah CDC disebut sebagai Surgical Site Infection (SSI). Ada beberapa
stadium dalam operasi, sehingga penilaian ada tidaknya IDO juga dikelompokkan
berdasarkan seberapa jauh organ atau jaringan yang dioperasi, sehingga dikenal
istilah:

- IDO Superfisial: bila insisi hanya pada kulit dan jaringan bawah kulit (subkutan).

- IDO Profunda: bila insisi mengenai jaringan lunak yang lebih dalam (fascia dan
lapisan otot).

- IDO Organ/Rongga tubuh: bila insisi dilakukan pada organ atau mencapai rongga
dalam tubuh.

b. Kriteria IDO

 Kriteria IDO Superfisial (Superficial Incisional SSI):

- Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah tindakan operasi

- Infeksi yang terjadi hanya pada kulit dan jaringan bawah kulit (subkutan) yang
dilakukan insisi

- Adanya drainase purulen/pus dari insisi superficial

- Adanya kuman dari biakan cairan atau jaringan yang diambil secara aseptic dari
tempat insisi superficial

- Terdapat salah satu tanda-tanda infeksi ; rasa nyeri, pembengkakan terlokalisir,


kemerahan, atau hangat pada perabaan

- Diagnosis IDO ini ditegakkan oleh dokter yang menangani pasien tersebut, dimana
terdapat 2 spesifikasi IDO superficial :
 Superficial Incisional Primary (SIP)
Infeksi yang terjadi pada insisi primer dari tindakan operasi melalui satu atau
lebih insisi
 Superficial Incisional Secondary (SIS)
Infeksi yang terjadi pada insisi sekunder dari tindakan operasi melalui lebih dari
satu insisi

 Kriteria IDO Profunda (Deep Incisional SSI)

- Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah tindakan operasi tanpa
pemasangan implant dan dalam waktu 1 tahun setelah tindakan operasi dengan
pemasangan implant (implant adalah bahan atau jaringan yang bukan dari tubuh
manusia dan ditempatkan secara permanent pada tubuh manusia, cth: katup
jantung protesa, protesa tulang panggul)

- Infeksi yang terjadi pada jaringan lunak yang lebih dalam (fasia dan lapisan otot)
yang dilakukan insisi

- Adanya drainase purulen/pus dari jaringan lunak

- Adanya kuman dari biakan cairan atau jaringan yang diambil secara aseptic dari
tempat insisi superficial

- Terdapat salah satu tanda-tanda infeksi ; febris > 380 C, rasa nyeri yang
terlokalisir.

- Diagnosis IDO ini ditegakkan oleh dokter yang menangani pasien tersebut,
dimana terdapat 2 spesifikasi IDO profunda :
 Deep Incisional Primary (DIP)
Infeksi yang terjadi pada insisi primer dari tindakan operasi melalui satu atau
lebih insisi
 Deep Incisional Secondary (DIS)
Infeksi yang terjadi pada insisi sekunder dari tindakan operasi melalui lebih dari
satu insisi

 Kriteria IDO Organ/rongga tubuh

- Infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30 hari setelah tindakan operasi tanpa
pemasangan implant dan dalam waktu 1 tahun setelah tindakan operasi dengan
pemasangan implant

- Infeksi yang terjadi pada seluruh bagian tubuh


- Adanya drainase purulen/pus dari drain yang dipasang melalui “stab wound”
kedalam organ/rongga tubuh

- Adanya kuman dari biakan cairan atau jaringan yang diambil secara aseptic dari
tempat insisi superficial

- Infeksi organ/rongga tubuh yang yang ditemukan berdasarkan pemeriksaan


langsung, selama re-operasi, hasil pemeriksaan histopatologi (PA), atau radiologi

- Diagnosis IDO ini ditegakkan oleh dokter yang menangani pasien tersebut

c. Faktor risiko IDO

 Kondisi pasien : usia, obesitas, malnutrisi, ASA Score, karier MRSA, DM, lama
rawat pasca operasi
 Prosedur operasi : cukur rambut sebelum operasi, tindakan lebih dari 1 jenis, benda
asing, transfuse darah, lamanya operasi, antibiotic profilaksis
 Tindakan operasi : operasi bersih, operasi terkontaminasi, operasi kotor

3. Infeksi Saluran Kemih (ISK)

Infeksi Saluran Kemih (ISK) dalam istilah CDC disebut sebagai Urinary Tract Infection
(UTI), merupakan jenis infeksi yang terjadi pada saluran kemih (ginjal, ureter, kandung
kemih, utrethra , dan jaringan sekitar retroperitonial atau rongga perinefrik).
a. Faktor resiko ISK
Faktor resiko untuk terjadinya ISK adalah pasien yang terpasang kateter berkaitan
dengan :
 Kondisi pasien (faktor intrinsik) : pasien dengan penyakit DM, malnutrisi, Kondisi
organik (obstruksi, disfungsi kandung kemih, refluks)
 Prosedur Pemasangan : Teknik pemasangan, ukuran kateter
 Perawatan : perawatan meatus urethra, jalur kateter, pengosongan kantong urin,
pengambilan sampel urin

b. Kriteria ISK
 Infeksi Saluran Kemih Simptomatis
- Ditemukan tanda dan gejala sebagai berikut; Demam > 38 0
C, Disuria dan
nyeri suprapubik. Untuk anak umur ≤ 1 tahun ; Demam > 38 0
C (rektal),
hipotermi < 37 0 C (rektal), apnea, bradikardia, letargia, muntah-muntah.
- Hasil biakan urin tengah (midsteam) ≥ 105 kuman per ml urin dengan jumalah
tidak lebih dari 2 spesies
- Ditemukan kuman dengan pewarnaan gram dari urin yang tidak
disentrifugasi
 Infeksi Saluran Kemih Asimptomatis
- Pasien tanpa kateter urin menetap dalam 7 hari sebelum biakan pertama
dengan hasil yang positif
- Hasil biakan urin tengah (midsteam) ≥ 105 kuman per ml urin dengan jumalah
tidak lebih dari 2 spesies dengan hasil yang positif setelah dilakukan 2x
pemeriksaan yang berturut-turut
 Infeksi Saluran Kemih (ginjal, ureter, kandung kemih, utrethra , dan jaringan
sekitar retroperitonial atau rongga perinefrik)
Kriteria ini terjadi apabila terkait dengan organ ginjal, ureter, kandung kemih,
utrethra , dan jaringan sekitar retroperitonial atau rongga perinefrik, dan
ditemukan paling sedikit 1 tanda dan gejala sebagai berikut :
- Demam > 38 0 C
- Nyeri tekan pada daerah yang dicurigai terinfeksi
- Adanya pus/purulen pada daerah yang dicurigai terinfeksi
- Kultur darah positif
- Terdapat bukti adanya infeksi pada pemeriksaan radiologi (USG, CT-Scan,
MRI)
- Diagnosa infeksi ditetapkan oleh dokter yang menengani pasien tersebut
dan dokter memberi antimikroba terkain infeksi yang terjadi
Untuk anak umur ≤ 1 tahun ;
- Demam > 38 0
C (rektal), hipotermi < 37 0
C (rektal), apnea, bradikardia,
letargia, muntah-muntah
- Adanya pus/purulen pada daerah yang dicurigai terinfeksi
- Kultur darah positif
- Terdapat bukti adanya infeksi pada pemeriksaan radiologi (USG, CT-Scan,
MRI)
- Diagnosa infeksi ditetapkan oleh dokter yang menengani pasien tersebut
dan dokter memberi antimikroba terkain infeksi yang terjadi

4. Infeksi Luka Infus (ILI)/ PLEBHITIS

a. Definisi Phebhitis

Plebhitis termasuk dalam klasifikasi HAIs oleh CDC yang dikelompokkan dalam CVS-
VASC (Arterial or Venous Infection)
b. Kriteria Phebhitis

 Pasien mengalami demam > 380 C, eritema, panas saat palpasi pada vena dan
terdapat purulen/pus pada vena
 Nilai hasil kultur semikuantitatif > 15 koloni mikroba pada canul intravena
 Untuk pasien ≤ 1 tahun ; demam > 380 C (rektal), Hipotermi <370 C (rectal),
apneu,bradikardi, letargi, eritema, , panas saat palpasi pada vena

c. Prosedur Pencegahan Plebhitis


 Cuci tangan sebelum dan sesudah palpasi, insersi, penggantian alat dan
setiap mengganti balutan.
 Lengkapi identitas pasien
 Memastikan cairan yang akan digunakan dalam kondisi yang terjamin
kesterilannya dan tidak ada partikel dalam cairan.
 Melakukan kewaspadaan aseptik yaitu :
- Cuci tangan/antiseptik tangan.
- Antisepsi lokasi insersi dengan alkohol 70 % dan tunggu kering.
- Tidak memegang kembali area yang sudah diantisesi.
- Menutup area insersi dengan sterile transparant dressing.

 Pemasangan kanula pada vena dianjurkan pada ekstremitas atas dan


hindarkan melakukan pencukuran, gunakan clipper sebagai pengganti razor bila
harus mencukur
 Memantau setiap setiap hari dan ganti balutan segera bila kotor, lembab
dengan selalu menerapkan teknik aseptik.
 Jangan menggunakan antimicrobial ointments pada area insersi, desinfeksi
dengan alkohol 70 % pada port injeksi sebelum digunakan dan tutup
segera dengan stop cock steril bila tidak diperlukan.
 Penggantian IV kateter perifer pada dewasa 72 jam (3 hari) dan anakanak
maksimal 96 jam (4 hari).
 Mengganti set infus tidak lebih dari 48 jam dan untuk lipid dalam 24 jam
secara aseptik.
 Kateter sentral tidak dianjurkan penggantian secara rutin.
 Petugas cukup memakai sarung tangan non steril digunakan pada pemasangan
infus perifer untuk menghindarkan paparan darah saat penusukan.
 Desinfeksi injection Port menggunakan alkohol 70% sebelum melakukan
injeksi
 Memantau kateter setiap hari dan segera cabut bila ditemukan tanda infeksi.
(hangat, merah, nyeri, bengkak, pengerasan vena)
5. PNEUMONIA

Pneumonia merupakan peradangan jaringan atau parenkim paru-paru. Dasar diagnosis


pneumonia dapat berdasarkan 3 hal, yaitu :

a. Gejala klinis, meliputi :


- Demam > 380 C tanpa ditemui penyebab lain
- Perubahan status mental pada usia ≥ 70 tahun,
- Timbulnya onset baru sputum purulen (sekresi yang berasal dari paru-paru,
bronchus atau trakhea yang mengandung ≥ 25 netrofil dan ≤ 10 sel epitel
squamus/lapangan mikroskop kekuatan rendah (x100)) atau perubahan sifat
sputum (warna, konsistensi, bau dan jumlah)
- Ronchi basah atau suara nafas bronchial
- batuk yang memburuk, dyspnea (sesak nafas) atau tachypnea
b. Laboratorium
- leukopenia (<4.000 WBC/mm3) atau leukositosis (≥12.000 SDP/mm3)
- Memburuknya status pertukarangas, misalnya : desaturasi O2 (PaO2/FiO2 ≤ 240)
c. Radiologis
- Infiltrat baru atau progresif yang meneta
- Konsolidasi dan Kavitasi
- Pneumatoceles pada bayi berumur ≤ 1 tahun

Ada 2 jenis pneumonia yang berhubungan dengan HAIs, yaitu Pneumonia Hospital
Acquired Pneumonia (HAP) dan Pneumonia yang terjadi akibat pemakaian ventilasi
mekanik atau sering disebut sebagai Ventilator Associated Pneumonia (VAP)

a. Defenisi HAP dan VAP


HAP adalah infeksi saluran nafas bawah yang mengenai parenkim paru setelah
pasien dirawat di rumah sakit > 48 jam tanpa dilakukan intubasi dan sebelumnya
tidak menderita infeksi saluran nafas bawah. HAP dapat diakibatkan oleh tirah
baring lama (koma, trakheostomi, refluk gaster, Endotracheal Tube/ETT)
VAP adalah infeksi saluran nafas bawah yang mengenai parenkim paru setelah
pemakaian ventilasi mekanik > 48 jam, dan sebelumnya tidak ditemukan tanda-
tanda infeksi saluran nafas.

b. Kriteria HAP dan VAP


Ada 3 tipe spesifik pneumonia :
 Pneumonia Klinis, dapat diidentifikasi apabila terdapat ;
- Tanda dan gejala klinis pneumonia
- Tanda Radiologis pneumonia
- Tanda dan gejala klinis pneumonia untuk bayi ≤ 1 tahun, terdapat minimal 3
tanda berikut ;
 suhu yang tidak stabil dan tidak ditemukan penyebab lain
 Leukopenia (<4.000 /mm3) atau leukositosis (≥15.000 /mm3)
 Terjadi perubahan sifat sputum dan peningkatan sekresi pernafasan
 Apneu, tacypneu, atau pernafasan cuping hidung dengan retraksi dinding
dada
 Rhonci basah kasar maupun halus
 Bradycardia (<100x/menit) atau tachycardia (<170x/menit)
- Tanda dan gejala klinis pneumonia untuk anak ≥ 1 tahun atau ≤ 12 tahun
terdapat minimal 3 tanda berikut ;
 Demam > 38,40 C atau Hypotermi (<36,50 C) tanpa ditemui penyebab lain
 Leukopenia (<4.000 /mm3) atau leukositosis (≥15.000 /mm3)
 Terjadi perubahan sifat sputum dan peningkatan sekresi pernafasan
 Batuk yang memburuk, Apneu, tacypneu
 Wheezing, Rhonci basah kasar maupun halus
 Memburuknya pertukaran gas

 Pneumonia dengan gambaran laboratorium spesifik , terdapat 2 spesifikasi;


- Pneumonia dengan gambaran laboratorium spesifik untuk infeksi bakteri dan
jamur berfilamen terdapat minimal 1 tanda laboratorium berikut;
 Tanda dan gejala klinis pneumonia
 Tanda Radiologis pneumonia
 Kultur positif dari darah yang tidak ada hubungannya dengan sumber
infeksi lain
 Kultur positif dari cairan pleura
 Kultur kuantitatif positif dari spesimen saluran nafas bawah
 ≥ 5% sel yang didapat dari spesimen saluran nafas bawah mengandung
bakteri intraseluler padapemeriksaan mikroskopik langsung
- Pneumonia dengan gambaran laboratorium spesifik untuk infeksi virus,
legionella spp, chlamydia, mycoplasma, dan patogen terdapat minimal 1
tanda laboratorium berikut;
 Tanda dan gejala klinis pneumonia
 Tanda Radiologis pneumonia
 Kultur positif untuk virus atau chlamydia dari sekresi pernafasan
 Deteksi antigen atau antibody virus positif dari sekresi pernafasan
 Terjadi peningkatan titer 4x atau lebih IgG
 PCR positif untuk dari chlamydia atau mycoplasma
 Tes micro-IF positif untuk chlamydia dan Legionella spp dari sekrei
pernafasan atau jaringan
 Terdeteksinya antigen Legionella pneumophila serogrup I dari urine
dengan pemeriksaan RIA atau EIA
- Pneumonia pada pasien imunokompromis, dapat diidentifikasi bila :
 Ditemukan tanda dan gejala klinis pneumonia (Hemoptysis, Nyeri dada
pleuritik)
 Ditemukan tanda radiologis pneumonia
 Ditemukan candida spp dari kultur darah dan kultur sputum yang diambil
selama kurun waktu 48 jam
 Ditemukan minimal 1 tanda laboratorium berikut; adanya jamur atau
Pnemocystis carinii dari spesimen yang terkontaminasi pada saat pemeriksaan
mikroskopik langsung maupun dengan kultur jamur. Spesimen kultur sputum dapat
diambil dengan batuk dalam, induksi, aspirasi.

6. DECUBITUS

a. Defenisi Decubitus

Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti sebagai suatu luka
akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam
Sabandar (2008). National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), (1989)
mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi
ketika jaringan lunak tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal
dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan
mengakibatkan hipoksia jaringan

b. Faktor Resiko Decubitus

Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi predisposisi
terjadinya luka dekubitus pada pasien yaitu :

 Gangguan input sensorik


Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan
tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang
sensoriknya normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh
terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya
merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar
dan berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk
mengubah posisi.
 Gangguan fungsi motorik Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara
mandiri berisiko tinggi terjadi dekubitus.
Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak mampu mengubah posisi
secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan
peluang terjadinya dekubitus. Pada pasien yang mengalami cedera medulla
spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada
pasien yang mengalami cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar 85% dan
komplikasi luka merupakan penyebab kematian pada 8% populasi ini (Ruller &
Cooney, 1981 dalam Potter & Perry, 2005).
 Perubahan tingkat kesadaran Pasien bingung, disorientasi atau mengalami
perubahan tingkat kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka
dekubitus.
Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak
mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak
dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah posisi yang lebih baik.
 Gips, traksi, alat ortotik dan peralatan lain. Gips dan traksi mengurangi mobilisasi
pasien dan ekstremitasnya.
Pasien yang menggunakan gips dan traksi berisiko tinggi terjadi dekubitus karena
adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada
kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika
gips terlalu ketat dikeringkan atau jika ekstremitasnya bengkak.

c. Kriteria Derajat Decubitus

NPUAP (1995) dalam Potter & Perry (2005) ada perbandingan luka dekubitus derajat
I sampai derajat IV yaitu:

 Derajat I
Adanya eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit
tidak berwarna, hangat atau keras juga dapat menjadi indikator.
 Derajat II
Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet atau lubang yang
dangkal.
 Derajat III
Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik yang
mungkin akan melebar kebawah tapi tidak melampaui fascia yang berada
dibawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau
tanpa merusak jaringan sekitarnya.
 Derajat IV
Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai dekstruksi ekstensif, nekrosis jaringan
atau kerusakan otot, tulang atau struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan
epidermis, dermis, subkutaneus, otot dan kapsul sendi.Dekubitus tidak
berkembang dari stadium satu sampai ke stadium empat (NPUAP, 1995).
Maklebust (1995) peringatan klinik untuk diingat. Walaupun sistem tahapan
menggunakan urutan nomor untuk menggambarkan dekubitus, tetapi tidak berarti
ada perkembangan tingkat keparahan luka dekubitus

d. Kriteria Decubitus

 Pasien minimal mengalami 2 gejala berikut ; kemerahan, rasa nyeri,


pembengkakan di tepian luka decubitus
 Hasil kultur yang positif dari spesimen cairan atau jaringan harus diambil dari
bagian dalam luka decubitus dengan menggunakan jarum aspirasi. Specimen
jaringan diambil dengan cara biopsy tepian ulkus decubitus.

e. Pencegahan luka Decubitus

 Merubah posisi pasien sedikitnya 2 jam sekali


 Anjurkan atau bantu pasien untuk duduk dikursi roda selama 10 menit untuk
mengurangi tekanan
 Memperbaiki dan menjaga keadaan umum klien, misalnya anemia diatasi,
hipoalbuminemia dikoreksi, nutrisi dan hidrasi yang cukup, vitamin (vitamin C)
dan mineral (Zn)
 Segera bersihkan feses dan urin dari kulit karena bersifat iritatif terhadap kulit
 Inspeksi daerah yang tertekan dan laporkan apabila terjadi kemerahan dan
berikan lotion untuk menjaga kelembaban kulit
 Jaga agar kulit tetap kering dan bersih
 Jaga agar linen tetap rapi dan tidak ada kerutan
 Beri perhatian khusus pada daerah-daerah yang beresiko terjadi decubitus
 Gunakan kasur busa, kasur perubah tekanan atau kasur pencegah decubitus
f. Penatalaksanaan luka dekubitus :
 Hilangkan tekanan pada daerah-daerah yang terkena dengan mengubah-ubah
posisi.
 Mengusahakan agar ventilasi antara badan dan tempat tidur berjalan lancer.
 Sistemik : antibiotik spectrum luas seperti amoksisilin 4 x 500 mg selama 15-30
hari, siklosporin 1-2 gr/hari selama 3-19 hari atau golongan kuinolon 4 x 500
mg/hari selama 14 hari.
 Topikal : salep antibiotic seperti salep kloramfenikol 2 %.

B. PERHITUNGAN INSIDEN RATE

1. SURGICAL SITE INFECTION ( SSI)

Jumlah kasus infeksi luka operasi

---------------------------------------------- X 100

Jumlah kasus operasi

2. Ventilator Associated Pneumonia ( VAP)

Jumlah VAP

------------------------------------------- x 1000

Jumlah hari pemakaian ventilator

3. Blood stream Infections ( BSI )

Jumlah Bakteremia

------------------------------------------------------------- X 1000

Jumlah hari pemakaian kateter vena sentral

4. URINARY TRACTUS INFECTION

Jumlah UTI

-------------------------------------------------- x 1000

Jumlah hari pemakaian kateter urine


5. Plebitis

Jumlah plebitis

--------------------------------------------------------------X 1000

Jumlah hari pemakaian kateter vena perifer

6. Dekubitus

Jumlah dekubitus

-------------------------------------------- x 1000

Jumlah lama hari tirah baring


BAB IV
DOKUMENTASI

1. Surveilans harian HAIs.


2. Hasil surveilans HAIs dilaporkan ke Direktur, Tim PPI, Tim PMKP dan unit terkait.

Anda mungkin juga menyukai