PENDAHULUAN
1
dapat menyebabkan lupus eritematosus neonatal, walaupun kejadiannya
jarang (1:20.000 kelahiranhidup).5
Belum terdapat data epidemiologi SLE dalam kehamilan yang mencakup
semua wilayah di indonesia. Data tahun 2012 di RSUP Cipto Mangunkusumo
(RSCM) Jakarta didapatkan 1,4% kasus SLE dalam kehamilan dari total
kunjungan pasien di klinik Obsetri dan ginekologi, sementara di RS zainoel
Abidin Banda Aceh terdapat 9 kasus SLE atau 1,2% dari total pasien yang
berobatke Poliklinik Obstetri dan ginekologi selama tahun 2015.
Dalam bidang obstetric penyakit ini dianggap penting karena SLE
merupakan salah satu penyulit kehamilan, dimana mempunyai potensi untuk
mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm maupun kelainan
pertumbuhan janin. Bayi yang lahir dari ibu yang mengidap SLE dapat
menyebabkan lupus eritematosus neonatal, walaupun kejadiannya jarang
(1:20.000 kelahiran hidup).6
Mengingat manifestasi klinik, perjalanan penyakit SLE sangat beragam
dan risiko kematian yang cukup tinggi pada kehamilan dengan SLE maka
diperlukan upaya dini serta penatalaksanaan yang tepat agar pasien SLE
dalam kehamilan menjadi lebih baik.Sistemik Lupus Eritematosus yang
terjadi pada wanita hamil apabila dilakukan pengawasan yang tepat ANC
yang teratur dapat mengetahui komplikasi yang akan terjadi pada ibu hamil
sehingga dapat mengurangi morbilitas dan mortalitas baik pada ibu hamil
ataupun bayi.
2
1.2. TujuanPenelitian
Penelitian ini merupakan studycare series untuk melihat perbandingan
luaran ibu dan bayi pada penderita SLE dengan berbagai manifestasi klinis
yang berbeda
1.3. Sasaran
Sampel pasien adalah tiga orang pasien yang menderita SLE yang hamil
dengan berbagai jenis simtomatik yang berbeda
- G1 hamil 13-14 minggu Janin tunggal hidup intra uterine dengan
dyspnoe ec supc. Pleuritis, Supc perikarditis, Supc. Paten Ductus
arteriosus, Malnutrisi (BMI 16)
- G3P2A0 hamil 16-17 minggu janin tunggal hidup intra uterin dengan
Nefritis Lupus.
- G2P1 hamil 36-37 minggu janin presentasi kepala tunggal hidup, Susp
IUGR, FDJP 2, Ibu dengan Sistema Lupus Eritematous Tidak dalam
Terapi SLE, Anemia mikrositik hipokrom.
Instalasi yang terlibat dalam penelitian ini adalah poliklinik kebidanan RSUD
dr. Zainoel Abidin
1.4. Metodologi
Metodologi yang digunakan pada penelitian ini adalah case report series.
3
1.5. Output Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengetahui untuk Melihatperbandingan luaran
ibu dan bayi pada penderita SLE dengan berbagai manifestasi klinis yang
berbeda yang melahirkan di RSUD dr.Zainoel Abidin, sehingga dapat
memperoleh gambaran terapi yang tepat serta alur pemeriksaan pada pasien
SLE. Serta memberikan informasi supaya dapat dilakukan perencanaan yang
lebih baik bagi pasien SLE.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.2. Epidemiologi
5
SLE 20/100.000 orang. Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15 –
40 tahun tetapi semua umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering
menyerang pada wanita daripada pria ( 9 : 1 ) sedangkan pada anak-anak
meningkat 10 : 1. Pada wanita Eropa umur 15 -24 tahun prevalensinya 1/700
orang wanita. Pada wanita Amerika-Afrika umur 15 – 24 tahun prevalensinya
1/245 orang wanita. Yang menarik perhatian adalah penyakit SLE jarang
ditemukan di Afrika.13,14
2.3. Etiologi
2.3.1. Autoimun
6
peranan penting dalam SLE yaitu dengan mengatur sekresi autoantibodi oleh
sel B. 3
7
2.3.2. Genetik
Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien SLE memiliki kerabat dekat yang
juga menderita SLE. 1 Saudara kembar identik sekitar 25-70% (setiap pasien
4
memiliki manifestasi klinik yang berbeda) sedangkan non-identik 2-9%.1
Jika seorang ibu menderita SLE maka kemungkinan anak perempuannya
untuk menderita penyakit yang sama adalah 1:40 sedangkan anak laki-laki
4
1:25. Penelitian terakhir menunjukkan adanya peran dari gen-gen yang
mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haptolip MHC tertentu,
terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta komplemen (C1q , C1r , C1s , C4 dan
C2) telah terbukti. 1
8
dari sel di bawah kulit dan sistem imun menganggap perubahan tersebut
sebagai antigen asing dan memberikan respon autoimun. 3
2.4 Patogenesis
Sampai saat ini belum jelas mekanisme terjadinya SLE ini, interaksi
antara faktor lingkungan, genetik dan hormonal yang saling terkait
akanmenimbulkan abnormalitas respon imun pada tubuh penderita SLE.
Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE
adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-
obatan. Obat-obatan yang diduga mencetuskan SLE adalah, procainamine,
hidralasin, quidine dan sulfazalasine. Pada SLE ini sel tubuh sendiri dikenali
sebagai antigen. Target antibodi pada SLE ini adalah sel beserta
komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel
nukleoprotein.11,12,16
9
imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk
melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan
vasoaktif amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas
vaskuler yang akan memudahkan mengendapnya kompleks imun.
Pembentukan kompleks imun ini akan terdeposit pada organ/sistem sehingga
menimbulkan reaksi peradangan pada organ/sistem tersebut. Sistem
komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan
memperberat kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang
menimbulkan manifestasi klinis SLE tergantung dari organ/sistem mana yang
terkena. Pada plasenta proses tersebut akan menyebabkan terjadinya
vaskulitis desidua.11,12,16.
10
7. Paru-paru: pleurisy, hipertensi pulmonal,lesi parenkhim paru.
8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis
9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali,
hepatomegali)
10. Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia
11. Neuropsikiatri: psikosis, kejang, sindroma otak organgangguan kognitif
neuropati kranial dan perifer.Kecurigaan tersebut dilanjutkan dengan
melakukan eksklusi terhadap penyakitlainnya.
2.5.2. Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering berupa artritis atau atralgia (53-95%) dan
biasanya mengawali gejala yang lain. Selain kelemahan dan edema dapat pula
terjadi efusi yang bersamaan dengan poliartritis yang bersifat simetris,
nonerosif, dan biasanya tanpa deformitas4, bukan kontraktur atau ankilosis.
Kaku pagi hari jarang ditemukan. Adakalanya terdapat nodul reumatoid.
1
Mungkin juga terdapat nyeri otot dan miositis. Paling sering mengenai
interfalangeal proksimal (PIP) dan metakarpofalangeal, pergelangan tangan,
siku dan lutut. 4
2.5.4. Ginjal
Sebanyak 70% pasien SLE akan mengalami kelainan ginjal.
Pengendapan komplek imun yang mungkin mengandung ds-DNA,
bertanggung jawab atas terjadinya kelainan ginjal. Bentuk in situ kompleks
imun memungkinkan pengikatan DNA ke membran basalis glomeruluis dan
matriks ekstraseluler. Dengan mikroskop elektron, kompleks imun akan
tampak dalam pola kristalin di daerah mesangeal, subendotelial atau
subepitelial. IgG merupakan imunoglobulin yang paling sering tampak diikuti
oleh IgA dan IgM. Kadang-kadang tampak IgG, IgA, IgM, C3, C4 dan C1q
pada glomerulus yang sama (pola “full house“).2
2.5.6. Kardiovaskuler
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
3
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
Keadaan tersebut dapat menimbulkan nyeri dan arithmia.18
2.5.7. Paru
8
Efusi pleura , dan pleuritis dapat terjadi pada SLE. Diagnosis
pneumonitis lupus baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain telah
disingirkan seperti infeksi, virus jamur, tuberkulosis.1 Gejalanya berupa
12
takipnea, batuk, dan demam. Hemoptisis menandakan terjadinya pulmonary
hemorhage.4 Nyeri dada dan pernapasan pendek sering tejadi bersama
gangguan tersebut.18
2.5.9. Mata
Peradangan pembuluh darah pada mata dapat mengurangi suplai darah
ke retina, sehingga menyebabkan degenerasi sel saraf dan resiko terjadinya
perdarahan retina. Gejala yang paling umum adalah cotton-wool-like spots
pada retina. Sekitar 5% pasien mengalami kebutaan sementara yang terjadi
secara tiba-tiba.3 Kelainan lain berupa konjungtivitis, edema periorbital,
perdarahan subkonjungtival, uveitis dan adanya badan sitoid di retina. 1
Tabel 1. Persentase spektrum klinis LES tampak pada tabel dibawah ini15
13
2.6. Manifestasi klinis SLE pada kehamilan
14
pada SLE nampaknya dikaitkan dengan kejadian SLE flare. Pada suatu
penelitian kasus kontrol berskala besar, didapatkan hasil bahwa persalinan
preterm lebih sering pada kelompok SLE dibandingkan dengan kontrol (12%
vs 4%) . Sebagai tambahan, pecah ketuban sebelum waktunya lebih sering
dijumpai pada kehamilan dengan penyulit SLE.11
16
pertumbuhan janin terhambat, preeklampsia dini, dan kematian janin
berulang. Pada wanita tersebut, seperti halnya penderita lupus, juga memiliki
insiden tinggi terhadap trombosis arteri dan vena, serta hipertensi paru.6
17
bahwa trombosis dengan sindrom antifosfolopid disebabkan oleh aktivasi
jalur faktor jaringan.20
2.8. Diagnosis
Batasan operasional diagnosis SLE diartikansebagai terpenuhinya
minimum kriteria (de initif) atau banyak kriteria terpenuhi(klasik) yang
mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumhatology
(ACR)revisi tahun 1997.21,22 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan
tanda SLE dan padakondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik
lupus (NPSLE), maka dapat sajakriteria tersebut belum terpenuhi.Terkait
dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini
tidaklahmudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi
sebagai penyakitlain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis, anemia,
dermatitis dan sebagainya.Ketepatan diagnosis dan pengenalan dini penyakit
SLE menjadi penting.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas
85%dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya
ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada
pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan
SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada,
maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
18
- Kimia darah, Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah
(LEDSetiap 3-6 bulan bila stabil)
- anti-dsDNA, komplemen(C3,C4) Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan
penyakit ginjal aktif.
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam diskoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan folikular.
Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh
dokter
pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,
ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusi.
Serositis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub yang didengar
Pleuritis oleh dokter
pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Perikarditis Atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau
terdapat
bukti efusi perikardium
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila tidak
dilakukan pemeriksaan kualitatif
atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granular,tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan
elektrolit).
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan
metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan
elektrolit).
Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
hematologik atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
19
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan oleh obat-
obatan
Gangguan a. Anti-DNA : anti bodi terhadap native DNA dengan titer yang
imunologikb abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya anti bodi terhadap antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap anti bodi anti fosfolipid yang didasarkan
atas:
1) kadar serum anti bodi anti kardiolipin abnormal baik IgG atau
IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif menggunakan metoda standard,
atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-
kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema
Anti bodi anti nuklear Titer abnormal dari anti bodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan
positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun
(ANA) waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Keterangan:
a. Klasifikasi ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang
terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu.
b. Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun 1997.
20
substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya
diagnosis SLE dapat disingkirkan.
Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah
tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-dsDNA, Sm,
nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal
sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-dsDNA merupakan tes spesifik
untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesifisitasnya hampir
100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis
SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah
mungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE.23
Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif
menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak
menyingkirkan adanya SLE. Meskipun anti-Sm didapatkan pada 15% -30%
pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes
anti-Sm relatif spesifik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE.
Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesifik untuk SLE. Seperti anti-dsDNA, anti-
Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
21
2.8.4 Derajat Penyakit SLE
Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan SLE,
terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama
pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien.
Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan
kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam
nyawa.25
22
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke,
mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik,
psikosis, sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit
<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, trombosis vena atau arteri.
2.9.1 Tujuan
Meningkatkan kesintasan dan kualitas hidup pasien SLE melalui
pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan khusus pengobatan
SLE adalah:
a. Mendapatkan masa remisi yang panjang
b. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin
c. Mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas
hidup keseharian tetap baik guna mencapai kualitas hidup yang
optimal.
23
2.9.2 Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan
strategi pengobatanatau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini
seyogyanya dilakukan secarabersamaan dan berkesinambungan agar tujuan
pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari
dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli
obstetri dan reumatologi.
24
Tabel 3. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya.
2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut.
3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait
dengan pemakaian steroidseperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat
bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupunpemakaian
kontrasepsi.
4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien
SLE, mengatasi rasa lelah, stresemosional, trauma psikis, masalah terkait
dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,mengatasi
rasa nyeri.
5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya.
Perlu tidaknya suplementasimineral dan vitamin. Obat-obatan yang
dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis danbeberapa
jenis lainnya termasuk antibiotikum.
6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah
kelompok pendukung, yayasan yangbergerak dalam pemasyarakatan SLE
dan sebagainya.
25
keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE
dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam
kehidupan kesehariannya
27
Sindroma lupus eritematosus neonatal (SLE neonatal)
28
Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi
dan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasi. Untuk
meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah
standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya
Tabel 5. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE
Klinis Laboratorik
oesteoporosis
29
Per oral: 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi
Siklofosfamid 150 mg per gangguan lengkap, mielosupresif, lengkap
hari. limfoproliferatif, hitung jenis hematuria dan dan urin
IV: 500-750 keganasan, leukosit, lengkap
mg/m2 imunosupresi, urin infertilitas. tiap bulan,
dalam sititis sitologi
Dextrose hemoragik, lengkap. urin dan pap
250 ml, infertilitas smeartiap
infus tahun seumur
sekunder
selama 1 hidup.
jam.
OAINs: obat anti infllamasi non steroid, AST/ALT: aspartate serum transaminase/ alanine
serumtransaminase, LFT:liver function test
*hidroksiklorokuin saat ini belum tersedia di Indonesia.
30
Indikasi Pemberian Kortikosteroid
Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus SLE.
Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis
sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan
terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral.
Kerja pendek
Kerja
menengah
31
3.8
Kerja panjang
32
Sebagai panduan, untuk tapering dosis prednison lebih dari 40 mg
sehari maka dapatdilakukan penurunan 5-10 mg setiap 1-2 minggu. Diikuti
dengan penurunan 5 mgsetiap 1-2 minggu pada dosis antara 40-20 mg/hari.
Selanjutnya diturunkan 1-2,5 mg/hari setiap 2-3 minggu bila dosis prednison
< 20 mg/hari. Selanjutnya dipertahankandalam dosis rendah untuk
mengontrol aktivitas penyakit.
3. Sparing agen kortikosteroid
Istilah ini digunakan untuk obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkandosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Obat
yang sering digunakansebagai sparing agent ini adalah azatioprin,
mikofenolat mofetil, siklofosfamid danmetotrexate. Pemberian terapi
kombinasi ini adalah untuk mengurangi efek sampingKS.
Obat-obatan
- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis
danpengelolaan nyeri dan inflamasi.
- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat
denganpotensi ringan)
- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan
periksa mata padasaat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3
bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-
400 mg/hari) dan periksamata setiap 6-12 bulan.
- Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara.
33
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)
3. Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE
mencakup:
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari
selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia,
anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi
mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi
konvensional.
34
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan
lupus serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring
effect pada SLE ringan.39
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang
refrakter dengan obat lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada
SLE yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas
stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42
(saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan
CD40 (CD40LmAb).
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
2.12.3 Pemantauan
Batasan operasional pemantauan adalah dilakukannya observasi
secara aktif menyangkut gejala dan tanda baru terkait dengan perjalanan
penyakit dan efek pengobatan / efek sampingnya, baik yang dapat
diperkirakan maupun tidak memerlukan pemantauan yang tepat. Proses ini
dilakukan seumur hidup pasien dengan SLE. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah:
a. Anamnesis:
Demam, penurunan berat badan, kelelahan, rambut rontok meningkat,
nyeridada pleuritik, nyeri dan bengkak sendi. Pemantauan ini
dilakukan setiap kalipasien SLE datang berobat.
b. Fisik:
Pembengkakan sendi, ruam, lesi diskoid, alopesia, ulkus membran
mukosa, lesi vaskulitis, fundus, dan edema. Lakukanlah pemeriksaan
fisik yang baik. Bantuan pemeriksaan dari ahli lain seperti spesialis
35
mata perlu dilakukan bila dicurigai adanya perburukan fungsi mata
atau jika klorokuin/ hidroksiklorokuin diberikan.
c. Penunjang:
Hematologi (darah rutin), analisis urin, serologi, kimia darah dan
radiologi tergantung kondisi klinis
2.12.4 Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan
Kesuburan penderita SLE sama dengan populasi wanita bukan SLE.
Beberapa penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan
namun umumya ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih
aktif maka 50-60% eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan
remisi 3-6 bulan sebelum konsepsi hanya 7-10% yang mengalami
kekambuhan.43-44
Kemungkinan untuk mengalami preeklampsia dan eklampsia juga
meningkat pada penderita dengan nefritis lupus dengan faktor predisposisi
yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid (APS).43
Penanganan penyakit SLE sebelum, selama kehamilan dan pasca
persalinan sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Jika penderita SLE ingin hamil dianjurkan sekurang-kurangnya
setelah 6 bulan aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan
remisi total. Pada lupus nefritis jangka waktu lebih lama sampai 12
bulan remisi total.43,45,46 Hal ini dapat mengurangi kekambuhan lupus
selama hamil.
2. Medikamentosa:
a) Dosis kortikosteroid diusahakan sekecil mungkin yaitu tidak
melebihi 7,5 mg/hari prednison atau setara.
b) DMARDs atau obat-obatan lain seyogyanya diberikan dengan
penuh kehati-hatian. Perhatikan rekomendasi sebelum
memberikan obat-obat tersebut seperti tertera pada tabel 7.
36
Tabel 9. Obat-obatan pada kehamilan dan menyusui45,47,48
38
Trombosis vaskular:
- Penyakit tromboembolik vena (Trombosis vena dalam,
embolipulmonal)
- Penyakit tromboemboli arteri.
- Trombosis pembuluh darah kecil
Gangguan pada kehamilan:
- ≥ 1 kematian fetus normal yang tak dapat dijelaskan pada usia ≥
10minggu kehamilan atau
- ≥ 1 kelahiran prematur neonatus normal pada usia kehamilan ≤
34minggu atau
- ≥ 3 abortus spontan berturut-turut yang tak dapat dijelaskan pada
usiakehamilan < 10minggu
Kriteria Laboratorium:
- Positif lupus antikoagulan
- Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi antikardiolipin (sedang
atautinggi).
- Meningkatnya titer IgG atau IgM antibodi anti-beta2 glikoprotein
(antiβ2 GP) I (sedang atau tinggi).
39
4. Pada pasien SLE yang tidak hamil dan menderita trombosis yang
berhubungandengan APS, pemberian antikoagulan jangka panjang
dengan antikoagulanoral efektif untuk pencegahan sekunder terhadap
trombosis. Pemberianheparinisasi unfractionated dengan target aPTT
pada hari 1 – 10 sebesar 1,5– 2,5 kali normal. Selanjutnya dilakukan
pemberian tumpang tindih warfarinmulai hari ke-tujuh sampai ke-
sepuluh, kemudian heparin dihentikan. TargetINR adalah 2 – 3 kali
nilai normal.
5. Pada pasien hamil yang menderita SLE dan APS, kombinasi heparin
beratmolekul rendah (LMW) atau unfractionated dan aspirin akan
mengurangirisiko keguguran dan trombosis.
40
Tabel 10. Klasifikasi lupus nefritis menurut World Health Organization
Gambaran
klinis
Kela Pola Tempat Sedimen Proteinuri Kreatinin Tekanan Anti - C3/C4
s deposit a serum Darah dsdna
komplek (24 jam)
imun
I Normal Tidak ada Tidak < 200 mg Normal Normal Negati Normal
ada f
II Mesangial Mesangial Eritrosit 200-500 Normal Normal Negati Normal
saja / mg f
tidak
ada
III fokal dan Mesangial, Eritrosit 500-3500 Normal Normal Positif Menuru
Segmental subendotelial , mg sampai sampai n
proliferatif ,+ Lekosit meningkat meningka
subepitalial ringan t
sedikit
IV Difus Mesangial, eritrosit, 1000-3500 Normal Tinggi Positif Menuru
proliferative subendotelial lekosit, Mg sampai sampai n
,+ silinder tergantun titer
subepitalial eritrosit g ternggi
saat
dialisis
V Membranou Mesangial, Tidak >3000 mg Normal Normal Negati Normal
s subepitalial ada sampai f
meningkat sampai
sedikit Titer
sedang
Sumber : Appel GB, Silva FG, Pirani CL.65
Tabel ini hanyalah panduan, parameter bervariasi, biopsi diperlukan untuk ketepatan diagnosis.
x Kelas V dapat muncul bersama dengan kelas II atau IV, dimana keduanya akan didiagnosa
Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka
klasisikasilupus nefritis dapat dilakukan penilaian berdasarkan panduan WHO
(lihat tabel 9)
41
Pemeriksaan patologi memperlihatkan hubungan antara respon klinis
danhasil akhir. Difus proliferatif glomerulonefritis (klas IV) mempunyai
prognosisterburuk, 11-48% pasien akan mengalami Kelas VI gagal ginjal
dalam 5 tahun.66
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala
seringtidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria, proteinuria
atauhipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus nephritis tersebut
adalahpemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum kreatinin, serologi anti
dsDNA danC3.
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi
prognosis.Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk tersebut
adalah rashitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid, gagal
terhadap terapiimunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal yang
memburuk.
42
obat antihipertensibanyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi
pemilihan angiotensin-convertingenzim (ACE) inhibitor lebih
diutamakan terutama untuk pasien dengan proteinuriamenetap.
Pemberian ACE inhibitor saja atau dengan kombinasi. Diet rendah
garamdirekomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan lupus
nefritis aktif.Bila diperlukan loop diuretik dipakai untuk mengurangi
edema dan mengontrolhipertensi dengan monitor elektrolit yang baik.
4. Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko
prematuraterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal.
Asupan lemak juga harusdikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau
pasien nefrotik. Target terapi menurutGuidelines American Heart
Association (AHA) adalah kolesterol serum < 180 mg/dL, risiko
kardiovaskular pada pasien dengan SLE masih meningkat pada
kolesterolserum 200 mg/dL. Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang
menetap diobatidengan obat penurun lemak seperti HMG Co-A
reductase inhibitors
5. Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus,
karena infeksimerupakan penyebab 20% kematian pada pasien SLE
6. Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian
risikoosteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid
dalam dosis lebihdari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang
(lebih dari 3 bulan). Suplemenvitamin D, latihan pembebanan yang
ditoleransi, obat-obatan seperti calcitoninbila terdapat gangguan
ginjal, bisfosfonat (kecuali terdapat kontraindikasi) ataurekombinan
PTH perlu diberikan.
7. Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameterberikut : tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap,
trombosit, kalium, guladarah, kolesterol, fungsi hati, berat badan,
kekuatan otot, fungsi gonad, dandensitas massa tulang. Hal ini
dimonitor sesuai dengan situasi klinis dimana dapatdiperkirakan
dampak buruk dari kortokosteroid.
43
8. Pasien dianjurkan untuk menghindari obat antiinflamasi non steroid,
karena dapatmengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan
hipertensi serta meningkatkanrisiko toksisitas gastrointestinal (apalagi
bila dikombinasi dengan kortikosteroiddan obat imunosupresan
lainnya). Bila sangat diperlukan, maka diberikan dengandosis rendah
dan dalam waktu singkat, dengan pemantauan yang ketat.
9. Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda mengingat
risikomorbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk kejadian
gagal ginjal jugameningkat.
44
Vaksin in luenza rekombinan, pneumokokus dan hepatitis B dilaporkan aman
bagi penderita SLE.72
Table 12.Rekomendasi terapi lupus nefritis68
Derajat Histologi/gambaran Induksi Pemeliharaan
klinis
Proliferative
Ringan - Mesangial LN - Dosis tinggi kortikosteroid - Dosis rendah
- Fokal prolifera• ve LN (0,5-1 mg/kg/hr prednison kortikosteroid (misPrednison <
tanpa faktor buruk selama 4-6 0,125mg/kg selang sehari
prognos• k minggukemudian secara atau ditambah AZA (1-2
bertahap diturunkan mg/kg/hr) Pertimbangkan
dalam 3 bulan sampai 0,125 penurunan bertahap lebih
mg/kgselang sehari) bila lanjut.
tidak remisi dalam 3bulan
atau akti vitas penyakit
meningkatdalam tapering
kortikosteroid,tambahkan
obat imunosupresi lain
- Dosis rendah CYC (500
mg) setiap 2
minggu selama 3 bulan
- MMF (2-3 gr/hari)
minimal 6 bulan
- AZA ( 1-2 mg/kg/hari)
minimal 6 bulan
- Bila tidak ada remisi
setelah terapi 6-12bulan,
ganti terapi lain
Sedang - Fokal proliferatif LN - Pulse CYC saja atau - Pulse CYCper tiga bulan
tanpa faktor buruk kombinasi denganpulse MP selama 1 tahun setelah
prognostik untuk 6 bulan pertama ( remisi
- Difus proliferatif LN, Total - AZA (1-2 mg/kg/hari)
tidak memenuhi & pulse). Kortikosteroid 0,5 - Bila remisi setelah 6-12
kriteriapenyakit berat mg/kg/hariselama 4 mingu, bulan, MMF diturunkan
kemudian di kurangi 1, 0 gr/hari 2x perhari
- Dosis rendah CYC (500 selama 6-1 2bulan.
mg) setiap 2 minggu selama Pertimbangkan untuk
3 bulan menurunkan dosis setiap
dengankortikosteroid seperti akhir tahun bila remisi
diatas. atau ganti ke AZA
- MMF ( 3 g/hari)(Atau
AZA) dengankortikosteroid
seperti diatas. Bila tidakada
remisi setelah 6-12 bulan
pertama,
ganti terapi lain.
Berat - Histologi apapun - Pulse CYC bulanan Pulse CYC setiap 3 bulan
dengan fungsi renal kombinasi dengan selama 1 tahun setelah
abnormal ( Kreatinin pulse MP selama 6-12 remisi, atau Azatioprine
meningkat minimal bulan. (1-2 mg/kg/hari), MMF
30%) Bila tidal ada respon, (2-3 gr/hari). Optimalterapi
- Difus proliferative LN pertimbangkanMMF atau MMF atau AZA tidak diketahui.
dengan multipel rituximab Direkomendasikanmenggunakan
faktorprognostik yang minimal
buruk 1 tahun setelah remisikomplit.
- Mixed membranous dan Setelahdiambil keputusan
proliferatif (fokal untukmenghentikan obat,
ataudifus) histologi maka obat ditapperingsecara
- Fibrinoid bertahap denganmonitoring
nekrosis/cresen yang ketatterhadap pasien
>25%glomerulus
- Aktivitas dan kronisitas
index yang tinggi
- Penyakit yang moderat
tidak respon terhadap
terapi.
Ringan - Non nefrotik - Dosis tinggi kortikosteroid Dosis rendah kortikosteroid
proteinuria saja ataukombinasi dengan saja atau dengan AZA
dan fungsi ginjal normal AZA
45
Sedang/ Nefrotik proteinuria atau - Pulse CYC per 2 bulan - Dosis rendah kortikosteroid
Berat fungsi ginjal abnormal selama 1 tahun(7 pulse) - AZA
(peningkatan kreatinin - Siklosporin A (3-5 - MMF (1-2 gr/hari)
serum lebih 30%) mg/kg/hari) selama1 tahun
dan selanjutnya
diturunkanbertahap
- MMF (2-3 gr/hari) selama
6-12 bulan
AZA, azatioprin; CYC, siklofosfomid; LN, lupus nefritis; MMF, mikofenolat mofetil
47
Pemeriksaan lain yang didapat dari riwayat sakit dan gejala.
Indeks aktivitas penyakit (dari setiap kunjungan atau dari setiap perubahan terapi)
Efek samping terapi
*Setiap 3-6 bulan bila stabil
† Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antinuklear antibodi; EKG, elektrokardiogram; ENA, extractable nuklear
antigen; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time; SLICC, Systemic Lupus
International Collaborating Clinics.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada penatalaksanaan SLE
dengan kehamilan yaitu:1,3,4
Kehamilan dapat mempengaruhi perjalanan penyakit SLE
Plasenta dan fetus dapat menjadi target dari otoantibodi maternal
sehingga dapat berakhir dengan kegagalan kehamilan dan terjadinya
lupus eritemtosus neonatal.
Oleh karena itu diperlukan kerjasama yang baik antara obsterikus dan
ahli penyakit dalam dalam merawat penderita SLE yang hamil. Pada
umumnya penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga disarankan
untuk tidak terlalu banyak terpapar sinar matahari. Mereka disarankan untuk
menggunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan panjang, topi atau
payung bila akan berjalan dibawah sinar matahari. Karena infeksi mudah
terjadi maka penderita juga dinasehatkan agar memeriksakan diri bila
mengalami demam. Pada penderita yang akan menjalani prosedur infasif
diberikan antibiotika profilaksis. Modalitas utama pengobatan SLE adalah
pemberian kortikosteroid, anti inflamasi non steroid, aspirin, anti malaria dan
imunosupresan. 1,3,11
49
eksaserbasi pada saat persalinan atau pembedahan maka sebaiknya penderita
dipayungi dengan metil prednisolon dosis tinggi sampai 48 jam pasca
persalinan, setelah itu dosis obat diturunkan. Hampir semua obat untuk
penderita SLE diekskresikan bersama air susu dalam jumlah yang bervariasi
antara 0,1%-2% dosis obat, kecuali Imunosupresan yang dikontraindikasikan
untuk ibu menyusui. Pemberian aspirin dalam dosis besar (>3 gr/hari)
berhubungan dengan peningkatan kejadian kehamilan posterm dan
perdarahan selama persalinan. Dosis tinggi salisilat juga dilaporkan telah
menyebabkan oligohidramnion, penutupan prematur dari duktus arteriosus
dan hipertensi pulmonal pada neonatus. Pemakaian NSAID atau aspirin
dihindari beberapa minggu sebelum persalinan. Hidroksiklorokuin juga sering
dipakai dalam pengobatan SLE dan sampai saat ini pemakaian obat ini cukup
aman untuk wanita hamil.28
50
persalinan. Pemakaian alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) kurang baik
karena dapat meningkatkan risko infeksi terutama pada penderita yang
memakai imunosupresan yang lama.28
Hingga kini SLE belum dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun,
pengobatan yang tepat dapat menekan gejala klinis dan komplikasi yang
mungkin terjadi, mengatasi fase akut dan dengan demikian dapat
memperpanjang remisi dan survival rate.1
Penatalaksanaan SLE sesuai dengan gejala yang ditimbulkannya.
Penatalaksanan utama adalah menciptakan suatu lingkungan yang dapat
memberikan “istirahat” pada jiwa dan raga, perlindungan dari sinar matahari
(bahkan yang melalui jendela), nutrisi yang sehat, terapi pencegahan infeksi,
menghindari semua alergen dan faktor-faktor yang dapat memperberat
penyakit.1
Karena kesuburan pasien SLE tidak terganggu dan waktu konsepsi
sangat berhubungan dengan aktivitas penyakit, maka kontrasepsi merupakan
bagian yang penting untuk penanganan pasien SLE. Tampaknya kondom
dan diafragma merupakan alat kontrasepsi teraman, walaupun kurang efektif.
9
Penggunaan IUD sebaiknya dihindari karena pasien SLE mempunyai resiko
infeksi yang lebih besar. 6
Pada gagal ginjal terminal lupus nefritis dapat ditanggulangi dengan cukup
baik oleh dialisis dan transplantasi ginjal. 1
Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien
1
sedang mendapat pengobatan dengan obat imunosupresif. Seperti
disebutkan sebelumnya angka abortus, kelahiran mati, partus prematurus, dan
preeklampsia meningkat pada SLE dengan kehamilan. Terutama apabila
terjadi kelainan ginjal dan hipertensi, maka prognosis menjadi sangat buruk.
Abortus buatan dapat dipertimbangkan. Jika pasien demikian dalam jalannya
kehamilan menunjukkan gejala-gejala azotemia, maka kehamilan harus
diakhiri. Dan kehamilan tidak dianjurkan bagi SLE dengan komplikasi ginjal.
11
51
2.17 Prenatal care
Penderita SLE dengan kehamilan sebaiknya harus kontrol kehamilannya
setiap dua minggu pada trimeester pertama dan kedua dan sekali seminggu
pada trimester ketiga. Pada setiap kunjungan harus selalu ditanyakan tentang
tanda dan gejala aktifnya SLE. Darah dan urin sebaiknya diperiksa juga. 12
52
Pemberian obat anti malaria pada Kehamilan dengan SLE seperte
kloroquin dan hydroxychloroquin dapat menimbulkan kelainan kongenital
yang cukup berat, dikarenakan ototoksisitasnya. Akan tetapi banyak bayi
yang dilahirkan dari ibu-ibu yang minum obat anti malaria ternyata normal.12
NSAID adalah analgesik yang biasa diberikan pada penderita
kehamilan dengan SLE tetapi, malangnya obat ini dapat menyebabkan
kelainan yang cukup serius. Yaitu dapat menyebabkan kelainan faktor
pembekuan darah pada fetoneonatal. Pemberian aspirin dua minggu sebelum
partus dapat menyebabkan perdarahan intrakranial pada bayi-bayi prematur.
Indometasin dilaporkan berhubungan dengan kontriksi pada duktus arteriosus.
Yang mana bisa menyebabkan trombosis arteri pulmonalis, hipertrofi
pembuluh-pembuluh darah pulmo, gangguan oksigenasi dan gagal jantung.
NSAID juga berhubungan dengan menurunnya produksi uruin dan
oligohidramnion dan insufisiensi ginjal. Asetaminophen dan codein bisa
dipakai sebagai analgesi pada wanita hamil dengan SLE. 12
2.17.2 Penanganan obstetrik.
Tujuan utama dari kunjungan antenatal pada kehamilan dengan SLE
terutama setelah umur kehamilan > 20 minggu adalah deteksi hipertensi dan
proteinuria. Karena risiko terjadinya insufisiensi uteroplasenter . Dilakukan
pemeriksaan USG setiap 4 – 6 minggu mulai usia kehamilan 18 -20 minggu.
Dilakukan NST mulai umur kehamilan 32 minggu setiap minggu dan
pengukuran cairan amnion. Juga ibunya disuruh menghitung gerakan janin
setiap hari. USG dan pemeriksaan kesejahteraan janin harus dilakukan lebih
sering bila didapatkan SLE yang aktif, hipertensi, proteinurin, gangguan
pertumbuhan janin, dan bila didapatkan sindroma antifosfolipid. 9,12
SLE dapat eksaserbasi pada persalinan dan mungkin membutuhkan
pemberian steroid sesegera mungkin. Sebaiknya pemberian glukokortikoid
dosis tinggi yaitu hidrokortison 100 mg/IV tiap 8 jam diberikan pada waktu
persalinan dan seksio sesarea pada semua pasien yang mendapatkan
pemberian steroid yang menahun.Hal ini untuk menghinadarkan terjadinya
insufisiensi adreanal yang berat. Diberikan hidrokortison secara intravena 100
mg tiap 8 jam. Kemudian penanganan neonatus yang adekuat diperlukan
53
setelah persalinan berkaitan dengan neonatal heart block dan manifestasi SLE
lainnya. 12
Disarankan agar ibu yang dirawat dengan SLE untuk menyusui
bayinya jika memungkinkan karena keuntungan bagi ibu dan janin jauh lebih
besar dari kerugiannya. Jika janin lahir dengan berat badan rendah (BBRL)
dan ibu mendapatkan terapi kortikosteroid dalam dosis yang besar, secara
teoritis jumlah kortikosteroid per kgBB yang mungkin diterima janin melalui
ASI patut dikhawatirkan, namun jumlah prednisolon yang disekresikan
melalui ASI sangat kecil sehingga kami rasa kekhawatiran tersebut hanya
bersifat teoritis 9,12
54
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT
PENELITIAN
55
BAB IV
METODE PENELITIAN
1. Populasi target
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan penderita ibu hamil
yang menderita SLE yang berobat ke Poliklinik Obsgyn dan
Rawat inap di RSUD dr.Zainoel Abidin Banda Aceh.
2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau pada penelitian ini yaitu ibu hamil yang
menderita SLE yang berobat ke Poliklinik Obsgyn dan Rawat inap
di RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh periode Januari sampai
Desember 2017
Karakteristik responden
(usia ibu,BMI, pekerjaan,
pendidikan)
Usia kehamilan
Jumlah paritas
Derajat SLE
58
9. Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di
luar kandungan yaitu batasan usia kehamilan < 20 minggu atau berat janin
< 500 gram. Skala ukur adalah nominal.
10. Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau
tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Skala ukur hipertensi dikategorikan
nominal yaitu hipertensi dan tidak hipertensi.
11. Eklampsia didiagnosa apabila wanita dengan kriteria klinis preeklampsia
timbul kejang-kejang yang bukan disebabkan oleh penyakit neurologis
lain seperti epilepsi. Skala ukur adalah nominal.
12. Nefritis lupus adalah komplikasi ginjal pada lupus eritematosus sitemik ,
yang ditandai dengan proteinuria, hematuria, penurunan fungsi ginjal,
dan hipertensi. Diagnosa nefritis lupus dilakukan oleh dokter spesialis
penyakit dalam divisi ginjal hipertensi di RSUDZA Banda Aceh. Skala
ukur adalah nominal
59
sedangkan untuk memperoleh data BMI dilakukan pengukuran berat badan
dan tinggi badan di RSUDZA Banda Aceh.
60
Persiapan surat izin penelitian
Informed consent
Anamnesis
61
4.8.3 Analisis data
Metode analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis deskriptif persentase.
Metode ini digunakan untuk mengkaji variabel yang ada.
62
BAB V
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, terdapat 3 sampel dengan klinis SLE yang berbeda – beda untuk
sehingga dapat memperoleh gambaran terapi yang tepat serta alur pemeriksaan pada pasien
SLE. Serta memberikan informasi supaya dapat dilakukan perencanaan yang lebih baik bagi
pasien SLE. Kasus pertama dalam penelitian ini ialah Ny. DN usia 21 tahun dengan diagnosa
G1 hamil 33-34 minggu, Janin Presentasi Kepala Tunggal Hidup, KPD 1 hari (ICA 1),
inpartu, Fetal Distress, Ibu dengan Sistema Lupus Eritematous dalam Terapi. Pada pasien ini
dilakukan tindakan seksio sesarea a.i fetal distress. Dari hasil luaran pada bayi didapatkan
dari bagian anak di diagnosa dengan Preterem Neonatus, Low APGAR SCORE, Berat Badan
Lahir Rendah dengan asfixia berat serta perawatan bayi di NICU. SLE merupakan suatu
penyakit autoimun yang menyerang wanita muda. Kehamilan pada wanita dengan SLE
merupakan suatu keadaan dengan risiko mortalitas dan morbiditas yang tinggi terhadap ibu
maupun janin yang dikandungnya. Walaupun ibu dengan SLE dapat melahirkan janin yang
dikandungnya, namun risiko risko terhadap komplikasi SLE terhadap janin sulit untuk
dihindari. Risiko akan kematian janin, persalinan preterm, IUGR, dan sindrom lupus neonatal
merupakan menjadi masalah utama terhadap janin dengan ibu yang mempunyai SLE.7
Selama kehamilan, Ny. DN rutin mengkomsumsi Metil Prednisolon dan asam folat.
Pada kasus ini, pasien mengalami persalinan preterm dengan tindakan seksio sesarea dengan
indikasi fetal distress. Berdasarkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lateef pada tahun
2014 disebutkan bahwa kehamilan dengan SLE berhubungan dengan risiko komplikasi yang
tinggi dibandingkan dengan wanita normal. Berdasarkan data base national dari penelitiannya
yang mencatat 16,7 juta persalinan, dilaporkan tingginya peningkatan risiko kematian ibu,
preeklampsia, dan persalinan preterm terhadap ibu dengan SLE. Persalinan preterm
merupakan permasalahan yang paling sering ditemukan dalam kehamilan dengan SLE.
Kelainan thyroid juga merupakan salah satu variabel yang berhubungan dengan peningkatan
risiko kelahiran preterm terhadap ibu dengan SLE. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Moroni pada tahun 2016 menyebutkan dari 61 wanita yang menjadi sampel penelitiannya, 21
kehamilan (28,2%) yang mengalami persalinan preterm dengan rata – rata usia kehamilan
berupa 35 minggu. Seluruh bayi yang lahir dengan keadaan prematur mempunyai BBL rata –
63
rata 2786 ± 2932 gr, namun ditemukan 5 bayi dengan BBL dibawah 2500 gr. Indikasi
kelahiran preterm pada kasus ini terjadi dengan preterm spontan sebanyak 4 kasus,9 kasus
mengalami renal flare, 5 kasus dengan preeklampsi, dan 2 kasus dengan IUGR. Berdasarkan
data yang diterima, peningkatan skor dari SLE disease activity index (SLEDAI) (P=0.027),
proteinuria (P= 0.045), riwayat gangguan renal (P=0.004), dan hipertensi arterial (P= 0.009)
dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya persalinan preterm. Lateef juga menyebutkan,
pemberian terapihydroxychloroquine dapat menurunkan risko IUGR sebesar 85% (P=
0.023). 7,8
Kasus kedua dalam penelitian ini ialah Ny. ES usia 31 tahun dengan diagnosa P3 post
sectio caesarea 7 hari yang lalu a.i IUFD, PEB dengan permasalahan: (1) DD/ 1. Nefritis
lupus, 2. GNA, dan 3. Sindroma nefrotik, (2) leukositosis ec dd/ infeksi, (3)
hipoalbuminemia, dan (4) imbalance elektrolit. Luaran pada bayi didapatkan kematian janin
dalam kandungan pada usia kehamilan 7 bulan. Selama bertahun – tahun, kehamilan terhadap
wanita dnegan lupus dan kelainan ginjal tidak didukung dikarenakan oleh risiko komplikasi
yang tinggi terhadap ibu dan janin yang dikandungkan. Namun, dalam 40 tahun terakhir ini
angka kematian janin telah mengalami penurunan yang signifikan. Angka kematian janin
akibat kehamilan denagn lupus mengalami penurunan dari 43% pada tahun 1960 menjadi
17% pada tahun 2000. Berdasarkan dengan sistemik review dari 37 penelitian yang telah
dilakukan, 2751 kehamilan, 1842 diantara mengalami lupus nephritis, dilaporkan mengalami
abortus (5,9%), miscarriages (16.0%), stillbirth (3.6%), neonatal deaths (2.5%), dan IUGR
(12,7%). Pada penelitian Lateef, disebutkan bahwa dalam penelitiannya ditemukan 38%
mengalami kematian janin dengan pasien yang mempunyai SLE dibandingkan dengan 1,7%
kematian janin terhadap pasien yang tidak mempunyai SLE. Seluruh kematian janin, 1 pasien
dengan kematian janin mempunyai aPL, 5 pasien positif mempunyai lupus anticogulant , 3
pasien mempunyai anti – cardiolipin igG antibodi, dan 3 pasien mempunyai anti – beta 2 igG
antibodi. Selain aPL, prediktor lain yang dapat menyebabkan kematian janin pada penelitian
ini ialah hipertensi arterial. Faktor ini dapat menyebabkan disfungsi plasenta yang
menyebabkan sintesis faktor seperti endotel, oksigen reaktif, dan peningkatan sensitivitas
vaskular terhadap angiotensin II. Sebaliknya, angiotensin II dapat meningkatkan tekanan
darah dan menyebabkan kerusakan plasenta yang dapat mempengaruhi fetal outcome. 8
Kasus terakhir dalam penelitian ini ialah Ny. RFY usia 26 tahun dengan diagnosa
G2P1hamil 36-37 minggu janin presentasi kepala tunggal hidup, Susp IUGR, FDJP 2, Ibu
64
dengan Sistema Lupus Eritematous Tidak dalam Terapi SLE, Anemia mikrositik hipokrom.
Ketika bayi nya telah dilahirkan, kondisi bayi didiagnosa dengan kelainan lobster
clowsyndrom,susp infection of newborn. Pada penelitian yang dilakukan oleh Jakobsen,
didapatkan hasil berupa adanya kongenital anomali pada anak yang lahir dari ibu dengan
SLE. Pada penelitiannya ditemukan 6 bayi (9,7%) mempunyai kelainan katup jantung. 1 bayi
mengalami Atrial Septum Defect (ASD), 2 bayi mengalami ASD dengan non - Unspecified
Cardiac Defect (non CHB), 1 bayi mempunyai ASD dan Ventricular Septum Defect (VSD), 1
bayi mengalami VSD, dan 1 bayi mempunyai unspecified ductus problem. Pada penelitian
yang dilakukan oleh Vinet, dikatakan 507 wanita dengan SLE mempunyai 712 anak dengan
kelompok kontrol sebanyak 5862 wanita mempunyai 8561 anak. Dibandingkan dengan
kelompok kontrolnya, wanita dengan SLE melahirkan anak dengan kongenital anomali
sebanyak (13.6% (95% CI = 11.3 to 16.3) vs. 10.4% (95% CI = 9.7 to 11.1)). Berdasarkan
dengan analisis multivariat, disimpulan anak yang lahir dari ibu dengan SLE mempunyai
risiko terjadinya kongenital anomali adjusted OR = 1.28, 95% CI = 1.01 to 1.62). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Vinet, paparan pengobatan SLE tidak mempengaruhi
timbulnya kongenital anomali. Tatalaksana SLE menggunakanhydroxychloroquine,
azathioprine, aspirin dosis rendag dan low-molecular-weight heparin selama kehamilan aman
bagi ibu maupun janinnya.9,10
65
BAB VI
RENCANA TAHAP BERIKUTNYA
Penelitian ini merupakan case series, dan masih banyak perlu pengembangan,
terutama sampel penelitian yang masih sedikit hingga dibutuhkan penelitian lanjutan dan
sample yang lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang lebih bermakna serta bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Penelitian ini juga banyak melibatkan banyak divisi dari
berbagai macam bidang ilmu kedokteran dan perlunya data penunjang dari laboratorium
sehingga analisa dan diagnosa dapat lebih baik.
Rencana tahapan selanjutnya, penelitian ini akan berlanjut dan mencari sample lebih
banyak , dan dapat mendiagnosa secara dini ibu hamil yang menderita SLE , serta dapat
menjaring wanita usia reprodukfif yang mempunyai gejala SLE agar dapat merencanakan
kehamilan agar luaran bayi dan ibu lebih baik.
66
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dengan menilai 3 kasus SLE dan pembahasannya
didapatkan kesimpulan bahwa terdapat perbandingan luaran ibu dan janin yang berbeda
antara ketiga kasus SLE dengan manifestasi klinis yang berbeda – beda sehingga tatalaksana
SLE selama kehamilan juga berbeda berdasarkan dengan klinis dari SLE yang dimiliki oleh
ibu.
5.2 Saran
1. Bagi instalansi kesehatan agar lebih meningkatkan screaning faktor risko terhadap ibu
dengan SLE dengan tujuan untuk menurunkan risiko komplikasi terhadap ibu dan
janin
2. Bagi dokter penanggung jawab agar disusun perencanaan kehamilan yang adekuat
dan tatalaksana yang optimal untuk menurunkan risiko komplikasi terhadap ibu dan
janin
3. Bagi pasien agar rutin mengontrol gejala SLE nya untuk mencegah dan menurunkan
risiko komplikasi terhadap ibu dan janin.
67
DAFTAR PUSTAKA
69
regimens: current questions and tentative answers in rheumatology. Ann Rheum Dis
2002;61:718–22
33. 33. Kirwan JR. Systemic glucocorticoids in rheumatology. In Practical
Rheumatology. Third Edition. Mosby Elsevier Ltd. 2004; 121-5
34. Nieman LK, Kovacs W, Pharmacologic use of glucocorticoid. UpToDate 2010
35. Steinberg AD, Steinberg SC. Long term preservation of renal function in patients with
lupusnephritis receiving treatment that includes cyclophosphamide versus those
treated withprednisone only. Arthritis Rheum 1991;34:945-50
36. Gourley MF, Austin HA III, Scott D, Yarboro CH, Vaughan EM, Muir J, et al.
Methylprednisoloneand cyclophosphamide, alone or in combination, in patients with
lupus nephritis: arandomized, controlled trial. Ann Intern Med 1996;125:549-57.
37. Wallace DJ, Hahn BH, Klippel JH. Lupus nephritis In.:Wallace DJ, hahn BH. Editors.
Duboi’slupus erythematosus, 5th ed. Philadelphia: Williams & Wilkins. 1997:1053-
1065.
38. Boumpas DT, Fessler BJ, Austin HA III, Balow JE, Klippel JH, Lockshin MD.
Systemiclupus erythematosus: emerging concepts. Part 2. Dermatologic and joint
disease, the anti phospholipid antibody syndrome, pregnancy and hormonal therapy,
morbidity andmortality, and pathogenesis. Ann Intern Med 1995;123:42-53.
39. Hahn BH, Kantor OS, Osterland CK. Azathiprine plus prednisone versus prednisone
alone inthe treatment of systemic lupus erythematosus: a report of a prospective,
controlled trial in24 patients. Ann Intern Med 1975;85:597-605.
40. Ntali S, Tzabakakis M, Bertsias G, Boumpas DT. What’s new in clinical trials in
lupus.Int JClin Rheum. 2009;4(4):473-485.
41. Van Vollenhoven RF, Engleman EG, McGuire JL. Dehydro epiandrosterone in
systemic lupus erythematosus: results of a double blind, placebo-controlled,
randomized clinical trial. Arthritis Rheum 1995;38:1826-31.
42. Navarra SV, Guzmán RM, Gallacher AE, et al for the BLISS-52 Study Group.
Efiicacyand safety of belimumab in patients with active systemic lupus
erythematosus: arandomised, placebo-controlled, phase 3 trial. Lancet 2011; 377:
721-731
43. Karpouzas GA, Kitridou RC. The mother in systemic lupus erythematosus, In:
Wallace DJ,Hahn BH. Editors. Dubois‘ lupus erythematosus. Philadelphia. Lippincott
Williams andWilkins. 2007:992-1038.
44. Huong D Le T, Wechsler B, Vauthier-Brouzes D, Beau•ils H, Lefebvre G, Piette JC.
Pregnancy inpast or present lupus nephritis: a study of 32 pregnancies from a single
centre. Ann RheumDis 2001;60:599-604
45. Ruiz-Irastorza G. Khamashta MA. Lupus and pregnancy: ten questions and some
answers.Lupus 2008; 17; 416-420
46. Bertsias GK, Ioannidis JPA, Boletis J, Bombardieri S, Cervera R, Dostal C, et al.
EULARrecommendations for the management of systemic lupus erythematosus
(SLE). Report of aTask Force of the European Standing Committee for International
Clinical Studies IncludingTherapeutics (ESCISIT). Ann Rheum Dis 2008;67:195–205
70
47. Ostensen, M, Khamashta, M, Lockshin, M, et al. Anti-in•lammatory and immuno
suppressive drugs and reproduction. Arthritis Res Ther 2006; 8: 209–227.
48. Dhar JP. Sokol RJ. Lupus and pregnancy: Complex yet manageable. Clinical
Medicine andResearch 2006:4(4):310-321
49. Brucato, A, Frassi, M, Franceschini, F, et al. Risk of congenital complete heart block
in newbornsof mothers with anti-Ro/SSA antibodies detected by counter immuno
electrophoresis: aprospective study of 100 women. Arthritis Rheum 2001; 44: 1832–
1835.
50. Petri M, Kim M, Kalunian K et al. Combined oral contraceptives in women with
systemiclupus erythematosus. N Engl J Med 2005; 353: 2550–2558
51. Tincani A. Nuzzo M. Lojacono A, Cattalini M, Meini A. et al. Review: Contraception
inadolescents with systemic lupus erythematosus. Lupus 2007; 16:600-605
52. Graves M. Anti phospholipid antibodies and thrombosis. Lancet 1999;353:1348-43.
53. Harris N. Antiphospholipid antibodies. In Klippel JH, Dieppe PA, eds.
Rheumatology. London:Mosby 1994:6, 321-6
54. Petri MA. Anti phospholipid syndrome. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White
PH.Editors. Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta: Arthritis Foundation
Springer.2008:339-342
55. Sammaritano LR. Uptodate: Anti phospholip antibodies. J Clin Rheum1997;3:270-78.
56. Devine, Bridgen LM. The anti phospholipid syndrome: When does the presence of
anti phospholipid anti body required therapy. P ost grad Med1996;99:105-12 2
57. Petri M. Clinical and management aspects of the anti phospholipid antibody syndrome
In:Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s lupus erythematosus. 7th e d.Philadelphia.
Lippincott William & Wilkins; 2007: 1262-1297
58. Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, et al. International consensus statement on an
update ofthe classi!ication criteria for de!initeanti phospholipid syndrome (APS). J
ThrombHaemost.2006;4: 295–306.
59. HuizingaTWJ, Diamond B. Lupus and the central nervous system. Lupus 2008;17:37
6-379
60. Hanly JG. Neuro psychiatric lupus. Rheum DisClinNAm 2005;31:273-297
61. HanlyJG. Neuropsychiatriclupus. C urr Rheumatol R ep 2001;3:205-212
62. ACR ad hoc committee on neuropsychiatric lupus nomenc lature. The american
college of rheumatology nomenc lature and case de!initions for neuropsychiatric
lupus syndromes. Arthritis & Rheumatism1999;42:599-608
63. Weening JJ, D’Agati VD, Schwartz MM, Seshan SV, AlpersCE, Appel GB, et al. The
classification of glomerulo nephritis in systemic lupus erythematosus revisited. J Am
SocNephrol.2004;15:241-50.
64. Buyon J P. Systemic lupus erythematosus a clinical and laboratory features I n:
KlippelJH.Primer Primer on the rheumatic diseases. 13th ed. Atlanta: Arthritis
Foundation. 2008:303-18
65. Appel GB, Silva FG, P irani CL. Renal involvement in systemic lupus erythematosus
(SLE): a study of 56patient semphasizinghist ologicclassi!ication. Medicine1978;75:
371–410
71
66. Cervera R, Espinosa G, D’Cruz D. Systemic Lupus Erythematosus : pathogenesis,
clinicalmanifestation and diagnosis. In Eular Compendium on Rheumatic
Diseases.BMJ PublishingGroupandEuropeanLeagueAg ainstRheumatism1sted: 2009;
257-68
67. Dooley M A. Clinical and laboratory features of lupus nephritis. Wallace DJ, Hahn
BH, editors. Duboi’slupus erythematosus. 7thed. LippincottWilliam& Wilkins. 2007;
1112-30.
68. Gabor G. Illei, James E. Balow. Kidney involvement in systemic Lupus
erythematosus.cSystemic Lupus Erythematosus. A companionto Rheumat ology.
FirstE d. 2007; 336-350
69. Houssiau.F.A. C yclo phosphamidein lupus nephritis. Lupus2005;15: 43
70. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis. Kidney
International.2006;1403–1412
71. British Society of Rheumatology (BSR). Vaccination in the immuno compromised
person: guidelines for the patient taking immuno suppressants, steroids and the new
biologic therapies. BSR; 2002, http://www. rheumatology.org.uk/guidelines/ clinical
guidelines
72. Millet A, Decaux O, Perlat A, Grosbois B, Jego P. Systemic lupus erythematosus and
vaccination. European Journal of Internal medicine 2009;20:236-241
73. Rosandich PA., Kelley JT, Conna DL. Perioperative management of patients with
rheumatoid arthritis in the era of biologic response modi•iers. Curr Opin Rheumatol
16:192–198
74. Kuwajerwala NK, Reddy RC. Kanthimathinathan VS, Siddiqui RA. Perioperative
Medication Management. http://emedicine.medscape.com/article/284801- overview
access at November, 25th, 2010
75. Kelly Zarnke. Canadian Journal of General Internal Medicine. 2007;2(4):36-8
76. Coursin DB, Wood KE: Corticosteroid supplementation for adrenal insuf•iciency.
JAMA2002, 287:236–240
77. Annane D, Sebille V, Charpentier C, et al.: Effect of treatment with low doses of
hydrocortisoneand •ludrocortisone on mortality in patients with septic shock. JAMA
2002, 288:862–871
78. Kelley JT, Conn DL. Perioperative management of the rheumatic disease patient.
ArthritisFoundation. Bull Rheum Dis 2002.
79. Guzman J, Cardiel MH, Arce-Salinas A, Sanchez-Guerrero J, Alarcon-Segovia D.
Measurementof disease activity in systemic lupus erythematosus: prospective
validation of 3 clinicalindices. J Rheumatol 1992;19:1551-8.
80. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD,
editors. In: Williams obstetrics: medical and surgical complications in pregnancy. 21st
edition. New York, Chicago: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2001.
p:1389-1394.
72
73