Anda di halaman 1dari 32

CLINICAL SCIENCE SESSION

* Kepaniteraan Klinik Senior/G1A218116/ November 2019


** Pembimbing :dr. Monalisa, Sp.PD

OSTEOPOROSIS

Oleh:
Adelya Dwi Asyifah
G1A218116

Pembimbing:
dr. Monalisa, Sp.PD**

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
OSTEOPOROSIS

Oleh:
Adelya Dwi Asyifah
G1A218116

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS JAMBI
2019

Jambi, November 2019


Pembimbing

dr. Monalisa, Sp.PD

2
BAB I
PENDAHULUAN
Osteoporosis adalah suatu kondisi di mana tulang menjadi rapuh sehingga
berisiko lebih tinggi untuk terjadinya fraktur (pecah atau retak) dibandingkan
tulang yang normal. Osteoporosis terjadi karena ketidakseimbangan antara
pembentukan tulang baru dan resorpsi tulang tua. Osteoporosis biasanya tidak
memiliki tanda-tanda atau gejala khusus sampai akhirnya terjadi fraktur. Karena
inilah osteoporosis sering disebut sebagai 'silent disease '. Faktor-faktor resiko
teijadinya osteoporosis adalah faktor yang bisa dirubah (alkohol, merokok, BMI
kurang, kurang gizi, kurang olahraga, jatuh berulang) dan faktor yang tidak bisa
diubah (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, menopause, penggunaan
kortikosteroid, rheumatoid arthritis). Karena puncak kepadatan tulang dicapai
pada sekitar usia 25 tahun, maka sangatlah penting untuk membangun tulang yang
kuat di sepanjang usia, sehingga tulang-tulang akan tetap kuat di kemudian hari.
Asupan kalsium yang memadai merupakan bagian penting untuk membangun
tulang yang kuat.1
Manusia lanjut usia (lansia) beresiko menderita osteoporosis, sehingga
setiap patah tulang pada lansia perlu diasumsikan sebagai osteoporosis, apalagi
jika disertai dengan riwayattrauma ringandankesehatan seperti mata,jantung, dan
fungsi organ lain.Padausia60-70 tahun, lebih dari 30% perempuan menderita
osteoporosis dan insidennyameningkat menjadi 70% padausia 80 tahun ke atas.
Hal ini berkaitan dengan defisiensi estrogen pada masa menopause dan penurunan
massa tulang karena proses penuaan. Pada laki-laki osteoporosis lebih
dikarenakan proses usia lanjut, sehingga insidennya tidak sebanyak perempuan.1

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Osteoporosis adalah kelainan penulangan akibat gangguan metabolisme
dimana tubuh tidak mampu menyerap dan memanfaatkan zat-zat yang diperlukan
untuk proses pematangan tulang. Dengan bahasa awam dikatakan tulang menjadi
lebih ringan dan lebih rapuh dari biasanya, meskipun mungkin zat-zat dan mineral
untuk pembentukan tulang di dalam darah masih dalam batas nilai normal. Proses
pengurangan ini terjadi di seluruh tulang dan berkelanjutan sepanjang kehidupan.1
Osteoporosis adalah istilah yang digunakan untuk penyakit dengan etiologi
bermacam-macam yang menyebabkan pengurangan massa per unit volume.
Pengurangan massa tidak disertai pengurangan yang bermakna pada rasio fase
mineral terhadap fase organik, juga tidak disertai kelainan mineral tulang dan
matriks organik tulang yang dikenal.1
Secara histologis, kelainan itu ditandai dengan berkurangnya ketebalan
korteks dan jumlah maupun ukuran trabekuler tulang kanselosa. Masing-masing
lempeng trabekuler secara abnormal mengalami perforasi dan mungkin fraktur,
dan konektivitas trabekuler berkurang. Osteoporosis adalah penyakit tulang
metabolik yang terbanyak ditemukan (kelainan yang melibatkan semua rangka)
dan merupakan penyebab morbiditas pada orang usia lanjut.1

B. EPIDEMIOLOGI
Osteoporosis menjadi ancaman bagi kehidupan manusia. Data statistik pada
tahun 2009 menyebutkan bahwa terdapat 200 juta penderita osteoporosis di
seluruh dunia. Tahun 2050, diperkirakan 6,3 juta manusia akan mengalami patah
tulang panggul setiap tahun di seluruh dunia yang lebih dari setengahnya terdapat
di Asia.2
Pada usia 60-70 tahun, lebih dari 30% perempuan menderita osteoporosis
dan insidennya meningkat menjadi 70% pada usia 80 tahun ke atas. Hal ini
berkaitan dengan defisiensi estrogen pada masa menopause dan penurunan massa

4
tulang karena proses penuaan. Pada laki-laki osteoporosis lebih dikarenakan
proses usia lanjut, sehingga insidennya tidak sebanyak perempuan.2 Di Indonesia
jumlah wanita lansia penderita osteoporosis mengalami trend yang meningkat dari
tahun ke tahun. Hal ini merupakan bencana sosial luar biasa pada masyarakat,
karena peningkatan biaya pengobatan atau perawatan serta dapat menurunkan
kualitas hidup. Saat ini saja 22-55 persen wanita lansia Indonesia menderita
osteoporosis. Jika diubah dalam angka, maka ada sekitar 8,5 juta lansia yang
mencapai total 17 juta dari 222 juta penduduk Indonesia menderita osteoporosis.
Seiring meningkatnya jumlah penduduk menjadi 261 juta pada tahun 2020 maka
jumlah penderita diperkirakan akan meningkat menjadi 5-11 juta. Dan dengan
penduduk 273 juta pada 2050 maka jumlah penderita menjadi 5,2-11,5 juta.2

C. FAKTOR RISIKO
1. Usia
Semakin bertambah usia semakin tinggi resiko terkena osteoporosis. Hal
ini disebabkan karena tulang manusia mengalami proses yang dinamakan
modelling dan remodelling yang berjalan baik pada masa pertumbuhan,
sehingga massa tulang terus bertambah. Massa tulang pada usia 30 – 35
tahun. Pada usia setelah 35 tahun, proses modelling tulang sudah berhenti
dan proses remodelling tulang berjalan tidak seimbang. Sel osteoblas akan
lebih cepat mati akibat sel osteoklas yang menjadi lebih aktif, sehingga
proses resorpsi tulang juga akan menjadi lebih aktif dibandingkan dengan
formasi tulang dan massa tulang akan berkurang 10 sekitar 0,5 – 1 %
setiap tahunnya, sehingga kepadatan tulang akan terus menerus menurun
sampai puncaknya terjadi osteoporosis dan fraktur.3
2. Jenis Kelamin
Osteoporosis lebih banyak terjadi pada wanita dibanding pria. Hal ini
disebabkan karena laki-laki memiliki tulang yang lebih padat, dan aktivitas
fisik yang lebih banyak dibandingkan dengan wanita. Ditambah adanya
pengaruh hormon estrogen pada wanita yang berpengaruh meningkatkan

5
aktivitas sel osteoblas dan menurunkan aktivitas osteoklas. Hormon
estrogen mulai mengalami penurunan kadarnya dalam tubuh wanita pada
usia 35 tahun, hingga mengalami menopause yang dapat terjadi pada usia
45 – 50 tahun. Hal ini yang menyebabkan wanita post menopause
kerapuhan tulang terjadi lebih cepat dibandingkan dengan pembentukan
tulang.3
3. Berat Badan
Seseorang dengan berat badan yang rendah lebih berisiko terkena
osteoporosis daripada orang dengan berat badan yang berlebih.Seseorang
dengan berat badan yang berlebih akan membuat tubuhnya menopang
beban yang lebih berat dan memberikan tekanan yang lebih tinggi juga
pada tulang, sehingga tulang akan menjadi lebih kuat dan meningkatkan
massa tulang.3
4. Ras/Suku
Ras atau suku merupakan salah satu faktor resiko osteoporosis. Ras yang
rentan terhadap osteoporosis adalah Asia dan Kaukasia dibandingkan
dengan ras berkulit hitam (Afrika-Amerika). Ras kulit hitam memiliki
massa otot dan tulang yang lebih besar dan padat.3
5. Aktivitas Fisik
Aktivitas fisik yang kurang dapat menjadi faktor resiko osteoporosis.
Aktivitas fisik kurang menyebabkan sekresi kalsium tinggi dan
pembentukan tulang tidak maksimal yang mengakibatkan penurunan
massa tulang. Banyak beraktivitas fisik dan berolah raga memicu
pembentukan massa tulang dan otot, sehingga tulang tidak mudah
mengalami pengeroposan di usia tua. Aktivitas fisik dan olahraga yang
paling baik pada saat masih proses pembentukan tulang adalah weight
bearing exercise yang membebani otot dan tulang, sehingga memicu
tulang menjadi semakin padat.3
6. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok membuat seseorang rentan terkena osteoporosis. Zat
nikotin di dalam rokok berperan dalam mempercepat proses penyerapan

6
tulang dan menurunkan kadar dan aktivitas hormon estrogen pada wanita,
selain itu nikotin juga menyebabkan terganggunya proses reabsorbsi
kalsium dalam ginjal.3
7. Kebiasaan Konsumsi Alkohol
Konsumsi alkohol yang berlebihan mengganggu metabolisme vitamin D
dalam tubuh dan menghambat penyerapan kalsium, sehingga berpengaruh
menurunkan kepadatan tulang.3
8. Kebiasaan Konsumsi Kafein
Kafein memiliki efek diuretik. Efek diuretik ini menyebabkan ekskresi
kalsium melalui urin menjadi semakin banyak dan berpengaruh terhadap
kepadatan tulang.3
9. Asupan Makanan
Asupan makanan yang baik untuk tulang adalah makanan yang cukup
mengandung protein, kalsium dan vitamin D. Protein yang berlebih dapat
meningkatkan resiko osteoporosis. Dari beberapa penelitian sebelumnya,
protein akan dipecah menjadi senyawa asam. Senyawa asam 13 ini akan
ditahan di dalam tulang sehingga menyebabkan pelepasan kalsium oleh
tulang. Kalsium merupakan faktor pendukung untuk proses pertumbuhan
tulang, dan menjadi salah satu terapi osteoporosis. Asupan kalsium tiap
individu dapat berbeda-beda dipengaruhi faktor resiko yang dimiliki
individu tersebut. Kadar kalsium yang dibutuhkan orang dewasa berkisar
1000-1300 mg/hari. Sumber kalsium bisa didapatkan dari makanan seperti
susu, ikan terutama ikan yang dimakan dengan tulangnya, bahan makanan
dari kedelai, dll. Penyerapan kalsium dibantu juga oleh vitamin D.
Vitamin D dapat diperoleh dari konsumsi lemak ikan dan minyak ikan.3
10. Penggunaan Obat-obatan
Penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu yang panjang perlu
diperhatikan pemakaiannya. Obat-obat yang harus perhatikan karena
berisiko menyebabkan osteoporosis adalah kortikosteroid, obat anti
konvulsi, obat hormon progresteron jangka panjang, obat-obat
imunosupresan dan obat anti koagulasi, agonis GnRH, aluminium antacid,

7
laxix. Kortikosteroid mempunyai efek ke tulang dengan inhibisi aktivitas
osteoblas yang berarti proses formasi tulang oleh osteoblas juga terhambat.
Kortikosteroid juga berperan dalam proses osteoklastogenesis. Pemberian
kortikosteroid dalam jangka panjang menyebabkan defisit massa tulang
dan terjadi penipisan trabekula tulang.3
11. Penyakit Lain
Penyakit yang berhubungan dengan terjadinya osteoporosis adalah
diabetes mellitus, penyakit ginjal kronis, saluran cerna, hati, dan endokrin.
Penderita penyakit ginjal kronik biasanya disertai dengan
ketidakseimbangan hormon paratiroid, fosfor, vitamin D dan juga
ditemukan adanya petanda resorpsi tulang yang meningkat. Hormon
insulin memiliki peran dalam merangsang sintesis matriks tulang yaitu
pada proses diferensiasi osteoblas dan pembentukan tulang rawan. Insulin
juga penting dalam mineralisasi tulang normal dan menrangsang produksi
IGF I oleh hati yang berguna meningkatkan jumlah sel yang dapat
mensintesis matriks tulang. Penyakit diabetes mellitus dapat terjadi karena
seseorang mengalami defisiensi hormon insulin oleh karena itu maka
meningkatkan resiko terjadinya osteoporosis.3

D. KLASIFIKASI
1. Osteoporosis Primer
Sekitar 65-80% wanita dan 45-60 % pria dengan osteoporosis menderita
osteoporosis primer. Pada wanita dengan fraktur kompresi karena
osteoporosis primer didapat masa tulang kortikal dan trabekular yang
kurang. Jumlah trabekula yang kurang dan pertanda biokimiawi serta
histologik merupakan bukti terjadinya resorpsi tulang yang meningkat
dibandingkan kontrol pada umur yang sama. Hormon estron dan
androstendio nberkurang secara bermakna pada wanita dengan osteoporosis,
dan hal ini merupakan sebagian sebab didapatkannya resorpsi tulang yang
bertambah banyak dan pengurangan massa tulang. Absorbsi kalsium pada
wanita dengan kondisi ini menjadi lebih rendah.2

8
Osteoporosis primer dibagi lagi menjadi:
 Osteoporosis tipe 1, disebut juga postemenoposal osteoporosis.
Osteoporosis tipe ini bisa terjadi pada dewasa muda dan usia tua,
baik laki-laki maupun perempuan. Pada perempuan usia antara 51-
75 tahun beresiko 6 kali lebih banyak daripada laki-laki dengan
kelompok umur yang sama. Tipe osteoporosis ini berkaitan dengan
perubahan hormon setelah menopause dan banyak dikaitkan dengan
patah tulang pada ujung tulang pengumpil lengan bawah. Pada
osteoporosis jenis ini terjadi penipisan bagian keras tulang yang
paling luar (kortek) dan perluasan rongga tulang.2
 Osteoporosis tipe 2, disebut juga senile osteoporosis (involutional
osteoporosis). Tipe 2 ini banyak ditemui pada usia di atas 70 tahun
dan dua kali lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki pada umur
yang sama. Kelainan pertulangan terjadi pada bagian kortek maupun
di bagian trabekula. Tipe ini sering dikaitkan dengan patah tulang
kering dekat sendi lutut, tulang lengan atas dekat sendi bahu, dan
patah tulang paha dekat sendi panggul. Osteoporosis jenis ini, terjadi
karena gangguan pemanfaatan vitamin D oleh tubuh, misalnya
karena keadaan kebal terhadap vitamin D (vit D resisten) atau
kekurangan dalam pembentukan vitamin D (vit D synthesa) dan bisa
juga disebabkan karena kurangnya sel-sel perangsang pembentukan
vitamin D (vit D reseptor).2
2. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder lebih jarang ditemukan, hanya 5% dari seluruh
osteoporosis. Osteoporosis sekunder terdapat pada 20-35% wanita dan 40-
55% pria, dengan gejalanya berupa fraktur pada vertebra dua atau lebih.
Diantara kelainan ini yang paling sering terjadi adalah pada pengobatan
dengan steroid, mieloma, metastasis ke tulang, operasi pada lambung,
terapi antikonvulsan, dan hipogonadisme pada pria. Osteoporosis sekunder
ini disebabkan oleh faktor di luar tulang diantaranya: Karena gangguan
hormon seperti hormon gondok, tiroid, dan paratiroid, insulin pada

9
penderita diabetes melitus dan glucocorticoid, karena zat kimia dan obat-
obatan seperti nikotin, rokok, obat tidur, kortikosteroid, alkohol, dan
penyebab lain seperti istirahat total dalam waktu lama, pcnyakit gagal
ginjal, penyakit hati, gangguan penyerapan usus, penyakit kanker dan
keganasan lain, sarcoidosis, penyakit sumbatan saluran paru yang
menahun.2

E. PATOGENESIS
Tulang terdiri dari komponen matriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari
serat-serat kolagen dan protein non-kolagen. Sedangkan sel tulang terdiri dari
osteoblas, osteoklas, dan osteosit.4
Osteoblas berasal dari jalur mesenkim stroma sumsum tulang. Osteoblas
adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses formasi tulang, yaitu
berfungsi dalam sintesis dan mensekresi matriks organik tulang yang disebut
osteoid, yaitu komponen protein dari jaringan tulang, dan mengatur perubahan
elektrolit cairan ekstraseluler pada proses mineralisasi. Pada proses pembentukan
tulang, osteoblas mulai bekerja. Dalam melakukan diferensiasi dan maturasi,
osteoblas membutuhan beberapa faktor pertumbuhan lokal, seperti
fibroblastgrowth factor (FGF), bone morphogenetic proteins (BMPs) dan Wnt
protein. Selain itu,juga dibutuhkan faktor trankripsi, yaitu core binding factor-1
(CBFA-1) atau Runx2 atau Osterix (Osx). Prekursor osteoblas ini akan
berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk preosteoblas dan kemudian akan
menjadi osteoblas matur. Osteoblas memiliki reseptor estrogen, sitokin, paratiroid
hormon (PTH), insulin derivated growth factor dan vitamin D3.4-7
Osteoblas selalu tampak melapisi matrik tulang (osteoid) yang
diproduksinya sebelum dikalsifikasi, proses kalsifikasi ini membutuhkan waktu
10 hari. Membran osteoblas kaya akan alkali fosfatase dan memiliki reseptor
untuk hormon paratiroid dan prostaglandin tetapi tidak memiliki reseptor untuk
kalsitonin. Selain itu osteoblas juga mengekspresikan reseptor estrogen, vitamin
D3 dan berbagai sitokin, seperti colony stimulating factor 1 (CSF1), receptor
activator nuclear factor ligand (RANKL) dan osteoprotegerin (OPG). RANKL

10
berperan pada maturasi prekursor osteoklas karena prekursor osteoklas memiliki
reseptor RANK pada permukaannya. Sedangkan efek RANKL akan dihambat
oleh OPG.4,7
Osteosit merupakan 90% dari sel tulang terletak diantara matriks tulang
yang mengalami mineralisasi. Osteosit merupakan sel berbentuk stelat yang
mempunyai juluran sitoplasma (prosesus) yang sangat panjang yang akan
berhubungan dengan prosesus osteosit yang lain dan juga dengan bone
linning cells. Didalam matriks, osteosit terletak di dalam rongga yang disebut
lakuna, sedangkan prosesusnya terletak dalam di dalam terowongan yang di
sebut kanalikuli.4-8
Setelah pertumbuhan terhenti dan puncak massa tulang sudah tercapai,
maka proses pembentukan tulang akan dilanjutkan pada permukaan
endosteal. Tulang mengalami proses resorpsi dan formasi secara terus
menerus yang disebut sebagai remodelling tulang. Proses remodeling tulang
merupakan proses mengganti tulang yang sudah tua atau rusak, diawali
dengan resorpsi tulang oleh osteoklas dan diikuti oleh formasi tulang oleh
osteoblas. Proses remodeling diawali dengan pengaktifan osteoklas oleh
sitokin tertentu. Osteoklas berasal dari jalur hemopoetik yang juga membuat
makrofag dan monosit.Osteoklas merusak matriks tulang, melekat pada
permukaan tulang, memisahkan sel dengan matriks, menurunkan pH7
menjadi pH4. Keasaman ini akan melarutkan mineral dan merusak matriks
sel sehingga protease keluar. Osteoklas memiliki reseptor yaitu RANK-ligand
(RANK-L) untuk maturasi sel dan mengalami apoptosis. Osteoklas akan
meninggalkan rongga yang disebut lakuna howship pada tulang trabekular
atau rongga kerucut (cutting cone) pada tulang kortikal.6,7
Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi tulang
pada rongga yang ditinggalkan osteoklas dengan membentuk matriks tulang
yang di sebut osteoid, yang dilanjutkan dengan mineralisasi primer dalam
waktu singkat kemudian dilanjutkan dengan mineralisasi sekunder dalam
waktu yang lebih lama dan proses yang lebih lambat sehingga tulang menjadi
keras.

11
Gambar 1. Tahapan remodelling tulang
Pada dewasa muda yang normal, sekitar 30% dari total massa kerangka
diperbaharui setiap tahun (half life = 20 bulan). Dalam setiap unit
remodeling, resorpsi tulang oleh osteoklas berlangsung sekitar 3 hari, dengan
masa pemulihan 14 hari dan pembentukan tulang 70 hari (total = 87 hari).
Tingkat pembentukan tulang linier adalah 0.5 mm/day. Selama proses ini,
sekitar 0.01 mm tulang diperbaharui dalam satu unit remodeling. Secara
teoritis, dengan deposisi matriks dan kalsifikasi seimbang, serta
keseimbangan antara aktivitas osteoklas dan osteoblas, jumlah tulang yang
dibentuk di tiap unit remodeling sama dengan jumlah tulang yang
sebelumnya diresorpsi. Dengan demikian, total massa kerangka tetap
konstan. Homeostasis kerangka ini bergantung pada aktifitas remodeling
normal. Tingkat aktivasi unit remodeling baru, hanya akan menentukan
tingkat turnover.5
Dalam proses pembentukan tulang, hal yang sangat penting adalah
koordinasi yang baik antara osteoklas, osteoblas, dan sel-sel endotel. Selama
sistem ini berada dalam keseimbangan, formasi dan resorpsi tulang akan
selalu seimbang. Pada usia reproduksi, di mana fungsi ovarium masih baik,
terdapat keseimbangan antara proses formasi tulang (osteoblas) dan laju

12
proses resorpsi tulang (osteoklas) sehingga tidak timbul pengeroposan
tulang.4,5,8
Osteoporosis terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan antara proses
resorpsi tulang dan formasi tulang, dimana secara seluler disebabkan oleh
karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas (sel resorpsi tulang) melebihi dari
jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel formasi tulang). Keadaan ini
mengakibatkan penurunan massa tulang.

Gambar 2. Perbandingan struktur mikrografi tulang pada orang normal


(kiri) dan osteoporosis (kanan)

Osteoporosis Primer Tipe I


Setelah menopause, terjadi penurunan produksi estrogen oleh ovarium,
maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama dekade awal pasca
menopause, sehingga insiden fraktur meningkat, terutama fraktur vertebra
dan fraktur radius distal. Penurunan densitas tulang, terutama tulang
trabekular dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Estrogen juga berperan
dalam menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marraw stromal cells
dan sel-sel mononuklear seperti interleukin-1 (IL-1), interleukin-6 (IL-6) dan
tumor necrosis factor-alpha (TNF-) yang berperanmeningkatkan kerja
osteoklas. IL-6 merupakan protein fase akut yang memperkuat resorpsi
tulang bersama IL-1 dan TNF- melalui rangsangan mitogenesis dari sel
osteoklas. Penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan
produksi berbagai sitokin tersebut, sehingga aktifitas osteoklas meningkat.4,7

13
Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan
absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Untuk
mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, PTH akan
meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin
berat.
Osteoporosis Primer Tipe II
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti penyebab penurunan fungsi
osteoblas pada orang tua, diduga akibat penurunan kadar estrogen dan IGF-1.
Defisiensi kalsium dan vitamin D sering didapatkan pada orang tua, hal ini
dapat disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia,
malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi
kalsium dapat menyebabkan timbulnya hiperparatiroidime sekunder yang
persisten sehingga akan meningkatkan proses resorpsi tulang dan kehilangan
massa tulang. Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yang akan
menyebabkan penurunan sintesis IGF-1. Defisiensi vitamin K juga akan
menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein
tulang, misalnya osteokalsin.4-7
Aktivitas osteoklas ditandai dengan terjadinya pengeluaran hidroksiprolin
dan piridinolin cross link melalui kencing, serta asam fosfat dalam plasma.
Hormon paratiroid dan 1,25 (OH)2 vitamin D3 mengaktifkan osteoklas
sedangkan kalsitonin dan estradiol menghambat kerja osteoklas. Resopsi
tulang menyebabkan mobilisasi kalsium dan hal ini menyebabkan
berkurangnya sekresi hormon paratiroid akibatnya pembentukkan 1,25 (OH)2
vitamin D3 serta absorpsi kalsium oleh usus berkurang.
Defisiensi estrogen juga merupakan masalah yang penting sebagai salah
satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik laki-laki maupun
perempuan. Demikian juga dengan kadar testosteron pada pria. Defisiensi
estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilagan massa tulang.
Penurunan kadar estradiol di bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan
menyebabkan osteoporosis.

14
Dengan bertambahnya usia, kadar testosteron pada laki-laki akan menurun
sedangkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) akan meningkat.
Peningkatan SHBG ini akan meningkatkan pengikatan estrogen dan
progesteron membentuk komplek yang inaktif. Penurunan hormon
pertumbuhan (GH) dan IGF-1, juga berperan terhadap peningkatan resorpsi
tulang. Tetapi penurunan kadar androgen adrenal (DHEA atau DHEA-S)
ternyata menunjukkan hasil yang konstroversial terhadap penurunan massa
tulang pada orang tua.7
Osteoporosis dapat terjadi pada penggunaan glukokortikoid dalam jangka
yang lama. Sekitar 30-50% pasien dengan terapi glukokortikoid yang
berlebihan akan terjadi keropos tulang. Meskipun dosis harian glukokortikoid
telah digunakan untuk menilai risiko kehilangan massa tulang, dosis
kumulatif (dalam gram/ tahun) lebih prediktif untuk tujuan ini. Pasien dengan
dosis kumulatif tinggi ( > 30 g prednison per tahun), memiliki insiden
osteoporosis yang sangat tinggi (78%) dan patah tulang (53%).7

15
Usia lanjut

Defisiensi Vitamin D, ↓aktifitas


↓Absorbsi
1-dihidroksilase, resistensi
Ca di usus
terhadap vitamin D

↓Reabsorbsi Ca
di ginjal

↓ sekresi GH ↓ aktifitas Sekresi Hiperparatiroidisme


dan IGF-1 fisik estrogen sekunder

Gangguan fungsi osteoblas ↑Turnover tulang

↑risiko jatuh (↓kekuatan otot,


↓aktifitas fisik, medikasi,
Osteoporosis
gangguan keseimbangan,
gangguan penglihatan, dan
Fraktur
lain-lain

Gambar 3. Patogenesis Osteoporosis tipe II dan Fraktur

Faktor lain yang ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada
orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-
obatan, imobilisasi lama). Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah
risiko terjatuh lebih tinggi pada orang tua lebih dibandingkan pada orang
yang lebih muda.Hal ini berhubungan dengan penurunan kekuatan otot,
gangguan keseimbangan dan stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai
yang licin atau tidak rata dan lain sebagainya. Pada umumnya, risiko terjadi
pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab tunggal.7

F. KELUHAN DAN GEJALA OSTEOPOROSIS


Bila tidak disertai dengan penyakit pemberat lain (komplikasi), penderita
osteoporosis bisa saja tidak merasakan gejala apapun. Keluhan yang mungkin
timbul hanya berupa rasa sakit dan tidak enak dibagian punggung atau daerah

16
tulang yang mengalami osteoporosis. Namun perlu diwaspadai, bahwa patah
tulang bisa terjadi hanya karena sedikit goncangan atau benturan yang sering pada
tulang yang manahan beban tubuh. Rasa nyeri bisa hilang sendiri setelah beberapa
hari atau beberapa minggu, dan kemudian timbul lagi bila proses osteoporosis
terjadi lagi di tempat lain. Pemadatan ruas tulang punggung yang luas (multiple
compression) bisa memperlihatkan gejala membungkuk pada tulang belakang,
yang terjadi perlahan dan menahun dengan keluhan nyeri tumpul. Gejalanya,
penderita nampak bongkok sebagai akibat kekakuanpada otot punggung.9

G. DIAGNOSIS
Setiap penegakan diagnosis pasti didahului anamnesis dan pemeriksaan
fisik, begitu juga dengan penegakan diagnosis osteoporosis. Dari anamnesis
Kadang-kadang keluhan utama dapat langsung mengarah pada diagnosis,
misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis, bowing leg pada riket, atau
rasa kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia.
Anamnesis yang dilakukan meliputi keluhan utama dan masalah kesehatan,
riwayat keluarga, aktivitas fisik dan latihan, riwayat merokok dan minum alkohol,
penggunaan obatobatan, asupan makanan, penyakit-penyakit lain yang
berhubungan dengan osteoporosis seperti penyakit ginjal, saluran cerna, hati,
endokrin dan insufisiensi 15 pankreas. Anamnesis pada wanita perlu ditambahkan
riwayat haid, umur menarke dan menopause, penggunaan obat kontrasepsi.3
Pemeriksaan fisik meliputi pengukuran tinggi badan dan berat badan, gaya
berjalan penderita, deformitas tulang vertebrae, tanda-tanda fraktur, nyeri spinal,
dan gejala-gejala pada penyakit yang ditemukan pada anamnesis. Penderita
osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus.3
Anamnesis dan pemeriksaan fisik saja sering kali belum cukup, metode
pemeriksaan yang efektif adalah pengukuran densitas mineral tulang atau BMD.
Pemeriksaan ini bersifat kuantitatif. Tujuan dari pengukuran BMD adalah untuk
mendiagnosis osteoporosis, memprediksi risiko faktur dan memonitor terapi yang
diberikan. Pengukuran BMD ini menggunakan metode dengan ruang lingkup
radiologi, menggunakan radio isotop, X-ray, CT-scan, dan juga Ultrasound. Tipe

17
pengukuran BMD ada beberapa seperti QUS (Quantitative Ultrasound), QCT
(Quantitative Computed Tomography), DPA (Dual Photon Absorptiometry), SPA
(Single Photon Absorptiometry), RA (Radiographic Absorptiometry), SXA (Single
Energy X-ray Absorptiometry), DXA (Dual Energy X-ray Absorptiometry).3
Pengukuran BMD dengan DXA merupakan gold standard dalam
mendiagnosis osteoporosis. DXA menggunakan 2 energi radiasi sinar-X sehingga
pengaruh jaringan lunak dapat dihilangkan dan dapat mengukur kepadatan tulang-
tulang sentral seperti tulang belakang (L1-L4) dan femur proksimal, tulang-tulang
perifer seperti lengan bawah dan juga dapat mengukur total body BMD.
Pengukuran BMD yang rutin dilakukan adalah di tulang belakang dan femur
proksimal. Pengukuran BMD di tulang belakang dari L1-L4 harus diukur rata-rata
BMDnya.3
Indikasi pemeriksaan densitrometri tulang menurut International Society of
Clinical Densitometry (ISCD) 2007 adalah:10
1. Wanita usia ≥ 65 tahun tanpa memperhatikan faktor risiko klinik.
2. Pria ≥ 70 tahun, tanpa memperhatikan faktor risiko klinik.
3. Wanita muda postmenopause dan pria usia 50-69 tahun berdasarkan
memiliki profil faktor risiko klinis.
4. Wanita perimenopause dengan faktor risiko patah tulang seperti berat badan
rendah, riwayat patah tulang dengan trauma ringan atau obat berisiko tinggi.
5. Orang dewasa yang memiliki patah tulang setelah usia 50 tahun.
6. Orang dewasa dengan kondisi (misalnya, rheumatoid arthritis) atau
konsumsi obat (misalnya, glukokortikoid, dosis harian prednisone ≥ 5 mg
atau setara selama ≥ 3 bulan) yang berhubungan dengan massa tulang yang
rendah atau keropos tulang.
7. Siapapun yang dipertimbangkan akan mendapat terapi farmakologis untuk
osteoporosis.
8. Menghentikan estrogen pada wanita postmenopause harus dipertimbangkan
untuk pengujian kepadatan tulang.
9. Sebagai monitor terhadap terapi osteoporosis yang diberikan.

18
Hasil yang didapatkan dari pengukuran BMD dengan DXA adalah berupa
nilai BMD areal dalam satuan gr/cm2 , Z-score, dan T-score. Z-score merupakan
perbandingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien,
dinyatakan dalam skor deviasi standard. Z-score ini tidak banyak digunakan
dalam diagnosis osteoporosis karena banyak didapatkan hasil negatif palsu. 17
Penggunaan Z-score untuk diagnosis osteoporosis adalah pada anak-anak baik
laki-laki maupun wanita -1, osteopenia dengan T-score antara -1 dan -2,5,
osteoporosis dengan T score <-2,5, osteoporosis berat dengan T-score <-2,5
disertai dengan fraktur fragilitas. Hasil dari T-score ini juga berpengaruh dalam
penentuan penatalaksanaan yang diberikan.3
Dalam pemeriksaan massa tulang dengan densitometer DEXA kita akan
mendapatkan informasi beberapa hal tentang densitas mineral tulang antara lain:10
1. Densitas mineral tulang pada area tertentu dalam satuan gram/cm2.
2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram.
3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata
densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang
sama, yang dinyatakan dalam persentase.
4. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-rata
densitas mineral tulang pada orang seusia dan dewasa muda etnis yang
sama, yang dinyatakan dalam skore standar deviasi (Z-score atau T-score).
5. T score hanya digunakan untuk wanita post atau perimenopause dan laki-
laki diatas 50 tahun, sedangkan Z score digunakan pada wanita
premenopause dan laki-laki dibawah 50 tahun.

Tabel 4. T-score dan Z-score

BMD pasien − BMD rata − rata orang dewasa muda


𝑇 − 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 =
1 SD BMD rata − rata orang dewasa muda
BMD pasien − BMD rata − rata orang seusia pasien
𝑍 − 𝑠𝑐𝑜𝑟𝑒 =
1 SD BMD rata − rata orang seusia pasien

19
Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis. Z-score yang rendah
(< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan osteoporosis sekunder,
walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap penderita harus
dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada
penyebab osteoporosis sekunder

Ada empat kategori diagnosis massa tulang (densitas tulang) berdasarkan


T-score adalah sebagai berikut :10
1. Normal: nilai densitas atau kandungan mineral tulang tidak lebih dari 1
standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau kira-kira 10% di
bawah rata-rata orang dewasa atau lebih tinggi (T-score lebih besar atau
sama dengan -1 SD).
2. Osteopenia (massa tulang rendah): nilai densitas atau kandungan mineral
tulang lebih dari 1 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, tapi
tidak lebih dari 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 10-
25% di bawah rata-rata (T-score antara -1 SD sampai -2,5 SD).
3. Osteoporosis: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari 2,5
standar deviasi di bawah nilai rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah
rata-rata atau kurang (T-score di bawah -2,5 SD).
4. Osteoporosis lanjut: nilai densitas atau kandungan mineral tulang lebih dari
2,5 standar deviasi di bawah rata-rata orang dewasa, atau 25% di bawah
rata-rata ini atau lebih, dan disertai adanya satu atau lebih patah tulang
osteoporosis (T-score di bawah -2,5 SD dengan adanya satu atau lebih patah
tulang osteoporosis).

H. TATALAKSANA
A. Non Farmakologi
1. Edukasi dan Pencegahan
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam edukasi dan pencegahan,
sebagai berikut:5
 Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur
untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem

20
neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko
terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan
30-60 menit per hari, bersepeda maupun berenang.
 Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan
sehari-hari maupun suplementasi.
 Hindari merokok dan minum alkohol.
 Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron
pada laki-laki dan menopause awal pada perempuan.
 Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis.
 Hindari mengangkat barang yang berat pada penderita yang sudah
pasti osteoporosis.
 Hindari berbagai hal yang dapat membuat penderita terjatuh,
seperti lantai licin, obat-obat sedatif atau obat anti hipertensi yang
dapat menimbulkan hipotensi orthostatik.
 Hindari defisiensi vitamin D, terutama pada orang yang kurang
terpajan sinar matahari atau penderita dengan fotosensitifitas,
misalnya SLE (Systemic LupusErythematosus). Bila di duga ada
defisiensi vitamin D, maka kadar 25(OH)Dserum harus diperiksa.
Bila kadar 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin
D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan.

Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH)2D


harus dipertimbangkan.
 Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan
membatasi asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk
meningkatkan resorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi
kalsium > 300 mg/hari, berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT
25 mg/hari).
 Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid dosis tinggi dan
jangka panjang, usahakan pemberian glokokortikoid pada dosis
serendah mungkin dan sesingkat mungkin.

21
 Pada penderita artritis reumatoid dan artritis inflamasi lainnya,
sangat penting mengatasi aktifitas penyakitnya, karena hal ini akan
mengurangi nyeri dan penurunan densitas massa tulang akibat
artritis inflamasi yang aktif.

2. Latihan dan Program Rehabilitasi


Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi penderita
osteoporosis karena dengan latihan teratur penderita akan lebih lincah,
tangkas dan kuat otot-ototnya sehingga tidak mudah jatuh. Selain itu
latihan juga akan mencegah perburukan osteoporosis karena terdapat
rangsangan biofisikoelektrokimikal yang akan meningkatkan
remodelling tulang.5
Pada penderita yang belum mengalami osteoporosis, maka sifat
latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderita
yang sudah osteoporosis, maka latihan dimulai dengan tanpa beban,
kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan
dengan pembebanan yang adekuat.5
Latihan (olahraga) merupakan bagian yang sangat penting pada
pencegahan maupun pengobatan osteoporosis.Program olahraga bagi
penderita osteoporosis sangat berbeda dengan olahraga untuk
pencegahan osteoporosis.Gerakan-gerakan tertentu yang dapat
meningkatkan risiko patah tulang harus dihindari. Jenis olahraga yang
baik adalah dengan pembebanan dan ditambah latihan kekuatan otot
yang disesuaikan dengan usia dan keadaan individu masing-masing.
Dosis olahraga harus tepat karena terlalu ringan kurang bermanfaat,
sedangkan terlalu berat pada wanita dapat menimbulkan gangguan
pola haid yang justru akan menurunkan densitas tulang. Jadi olahraga
sebagai bagian dari pola hidup sehat dapat menghambat kehilangan
mineral tulang, membantu mempertahankan postur tubuh dan
meningkatkan kebugaran secara umum untuk mengurangi risiko
jatuh.5

22
Terdapat 3 tipe latihan untuk penderita osteoporosis :
 Weight-Bearing Exercise Latihan ini meliputi latihan aerobik
yang melawan gaya gravitasi dengan tulang sebagai penopang
berat tubuh, sebagai contoh berjalan. Manfaat dari latihan ini
akan diperoleh secara efektif apabila dilakukan secara teratur,
minimal 15 hingga 20 menit sebanyak 3 hingga 4 kali setiap
minggunya. Jika Anda baru akan memulai latihan ini,
lakukanlah dengan intensitas ringan yang semakin lama
semakin ditingkatkan. Contoh : berjalan, mendaki
 Resistance Training Latihan ini meliputi latihan dengan
menggunakan beban atau strength-training machines. Jika
Anda ingin memulai latihan ini, lakukanlah dengan intensitas
ringan yang ditingkatkan secara bertahap dan perlahan-lahan.
Untuk mengurangi resiko cedera, lakukan latihan secara
perlahan-lahan (mengangkat dan menurunkan beban secara
perlahan-lahan) dan lakukan gerakan secara tepat. Jangan
menambah beban lebih dari 10 % setiap minggunya karena
peningkatan beban secara berlebihan dapat meningkatkan
resiko terjadinya cedera. Sebaiknya, lakukan latihan setiap 3
hari sekali guna memberikan kesempatan bagi tubuh untuk
beristirahat.
 Flexibility Exercise Latihan ini meliputi latihan peregangan
atau stretching. Latihan ini berfungsi untuk meningkatkan
kelenturan sendi-sendi sehingga mencegah terjadinya cedera
otot dan membantu memperbaiki postur tubuh. Latihan
peregangan sebaiknya dilakukan pada akhir sesi latihan
(setelah otot mengalami pemanasan) secara perlahan-lahan,
tenang, dan disertai dengan menarik napas dalam-dalam.
Hindari jenis latihan peregangan yang dapat memberikan
tekanan secara berlebihan pada tulang punggung, seperti
membungkuk, karena dapat meningkatkan resiko patah tulang.

23
B. Farmakologi
Komite Pedoman Klinis ACP telah mengeluarkan pedoman tatalaksana
osteoporosis terbaru tahun 2017 yang merupakan perbaruan dari pedoman
tatalaksana pada tahun 2008. Adapun dalam pedoman yang terbaru ACP
merekomendasikan:11
1. Untuk menurunkan risiko fraktur panggul dan vertebra pada wanita
yang memiliki risiko osteoporosis dapat digunakan alendronate,
risedronate, zoledronic acid atau denosumab.
2. Terapi farmakologis untuk wanita dengan osteoporosis diberikan
selama 5 tahun
3. Biphosponate digunakan untuk menurunkan risiko fraktur vertebra
pada laki-laki yang secara klinis diduga mengalami osteoporosis
4. Pemantauan densitas massa tulang dilakukan selama 5 tahun
pengobatan pada wanita dengan osteoporosis.
5. Terapi estrogen menopausal atau estrogen plus progesteron
menopausal atau raloxifene untuk wanita dengan osteoporosis
6. Seorang klinisi harus membuat keputusan untuk melakukan terapi
terhadap osteopenia pada pasien wanita usia 65 tahun atau lebih yang
memiliki risiko tinggi terjadinya fraktur berdasarkan diskusi bersama
pasien, profil risiko terjadinya fraktur, dan biaya pengobatan

Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja


osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat ini
obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang
termasuk obat anti resorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat.
Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mempunyai efek anti resorpsi
maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi
meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel
osteoblas.5
1. Bifosfonat

24
Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan
osteoporosis. Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri
dari 2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon.
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh sel osteoklas
dengan cara berikatan dengan permukaan tulang dan menghambat
kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim
lisosomal di bawah osteoklas.
Jenis bisfosfosnat yang dapat digunakan untuk terapi osteoporosis:
 Risedronat, merupakan aminobisfosfonat generasi ketiga yang
sangat poten. Untuk mengatasi penyakit paget diperlukan dosis
30 mg/hari selama 2 bulan, sedangkan untuk osteoporosis
diperlukan dosis 35 mg/minggu atau 5 mg/hari secara kontinyu
atau 75 mg 2 hari berturut-turut sebulan sekali atau 150 mg
sebulan sekali. Kontra indikasi pemberian risedronat adalah
hipokalsemia, ibu hamil, menyusui dan gangguan ginjal
(creatinine clearance< 30 ml/menit).
 Alendronat, merupakan aminobisfosfonat yang poten. Untuk
terapi osteoporosis dapat diberikan dosis 10 mg/hari setiap hari
secara kontinyu, karena tidak mengganggu mineralisasi tulang.
Saat ini dikembangkan dosis 70 mg seminggu sekali. Untuk
pencegahan osteoporosis pada wanita pasca menopause dan
osteoporosis induce glukkortikoid diberikan dosis 5 mg/dl. Untuk
penyakit paget diberikan dosis 40 mg/hari selama 6 bulan.
Alendronat tidak direkomendasikan pada penderita gangguan
ginjal (creatinine clearance< 35 ml/menit).
 Ibandronat, juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga.
Pemberian peroral untuk terapi osteoporosis dapat diberikan 2,5
mg/hari atau 150 mg sebulan sekali. Ibandronat juga dapat
diberikan intravena dengan dosis 3 mg, 3 bulan sekali. Kontra
indikasi pemberian ibandronat adalah hipokalsemia.

25
 Zoledronat, bisfosfonst terkuat yang ada saat ini. Sediaan yang
ada adalah sediaan intravena yang harus diberikan per drip
selama 15 menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan
osteoporosis cukup diberikan 5 mg setahun sekali, sedangkan
untuk pengobatan hiperkalsemia akibat keganasan dapat
diberikan 4 mg per drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung
responnya. Kontra indikasi pemberian zoledronat adalah
hipokalsemia, ibu hamil dan menyusui.

2. Raloksifen
Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai efek
seperti estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan
perangsangan terhadap endometrium dan payudara. Golongan
Raloksifen yang disebut juga selective estrogen receptor modulators
(SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen-
𝛽 sehinggatidak menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan
payudara. Mekanisme kerja Raloksifen terhadap tulang diduga
melibatkan TGF yang dihasilkan oleh osteoblas yang berfungsi
menghambat diferensiasi sel osteoklas.
Dosis yang direkomendasikan untuk pengobatan osteoporosis
adalah 60 mg/hari. Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi
dengan baik dan akan di metabolisme di hati. Raloksifen dapat
menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan pada
wanita hamil atau berencana untuk hamil. Efek sampingraloksifen
dapat meningkatkan kejadian deep venous thrombosis (DVT), rasa
panas dan kram pada kaki.5,7

3. Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas
sel osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan
diatas.Pemberian terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan

26
osteoporosis dikenal sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH).Estrogen
sangat baik diabsorbsi melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran
cerna.Efek samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia),
retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboemboli, dan pada
pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker
payudara. Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah : kanker
payudara, kanker endometrium, hiperplasi endometrium, perdarahan
uterus disfungsional, hipertensi, penyakit tromboemboli, karsinoma
ovarium, dan penyakit hati yang berat. Di beberapa negara, saat ini
TSH hanya direkomendasikan untuk gejala klimakterium dengan
dosis sekecilnya dan waktu sesingkatnya.TSH tidak direkomendasikan
lagi sebagai terapi pilihan pertama untuk osteoporosis.
Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan dosis untuk
anti resorpsi, adalah estrogen terkonyugasi 0,625 mg/hari, 17-estradiol
oral 1-2 mg/hari, 17-estradiol perkutan 1,5 mg/hari, dan 17-estradiol
subkutan 25-50 mg setiap 6 bulan. Kombinasi estrogen dengan
progesteron akan menurunkan risiko kanker endometrium dan harus
diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan TSH, kecuali yang
telah menjalani histerektomi.5,12
Pada wanita pasca menopause, dosis estrogen terkonyugasi 0,3125
– 1,25 mg/hari, dikombinasi dengan medroksiprogesteron asetat 2,5 –
10 mg/hari, setiap hari secara kontinyu. Pada wanita pra menopause,
estrogen terkonyugasi diberikan pada hari 1 s/d 25 siklus haid
sedangkan medroksiprogesteron asetat diberikan hari 15 – 25 siklus
haid, kemudian kedua obat tersebut dihentikan pada hari 26 s/d 28
siklus haid, sehingga penderita mengalami haid. Hari 29 dianggap
sebagai 1 siklus berikutnya dan pemberian obat dapat diulang
pemberiannya seperti semula.5

4. Kalsitonin

27
Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk
pengobatan penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi
tulang.Dosis yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200
IU pre hari. Kadar puncak dalam plasma akan tercapai dalam waktu
20-30 menit dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Efek
samping kalsitonin berupa kemerahan dan nyeri pada tempat injeksi
serta rhinorrhea (dengan kalsitonin nasal spray). Berdasarkan
pedoman tatalaksana osteoporosis menurut ACP tahun 2017,
kalsitonin sudah tidak digunakan lagi.5,7

5. Strontium Ranelat
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu
meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis
strontium ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan
diberikan pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan
atau 2 jam setelah makan. Efek samping strontium ranelat adalah
dispepsia dan diare. Strontium ranelate harus diberikan secara hati-
hati pada pasien dengan riwayat tromboemboli vena.5,7

6. Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di
usus.Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya
ada di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat
berupa alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan calcitriol (1,25 (OH)2
Vitamin D3), kedua dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis.
Kadar vitamin D dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25
OH vitamin D3. Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU
kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata
mampu menurunkan fraktur non spinal sampai 50%. Pada pemberian
vitamin D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang menjadi
hiperkalsiuria dan hiperkalsemia.7

28
7. Kalsitriol
Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama
pengobatan osteoporosis pasca menopause.Kalsitriol diindikasikan
bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pemberian kalsium peroral.Kalsitriol juga diindikasikan untuk
mencegah hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia
maupun gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan
osteoporosis adalah 0,25g, 1-2 kali per hari.9

8. Kalsium
Kalsium sebagai monoterapi ternyata tidak cukup untuk mencegah
fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah
kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400
mg/gram, disusul kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental
230 mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemental 211
mg/gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental 130
mg/gram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemental
90 mg/gram. Pemberian kalsium dapat meningkatkan risiko
hiperkalsiuria dan batu ginjal.7

9. Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik.Ada
banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavin
dan lignans. Isoflavon yang berefek estrogenik antara lain genistein,
daidzein dan glikosidanya yang banyak ditemukan pada golongan
kacang-kacangan (Leguminosae) seperti soy bean dan redclover.
Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun
semanggi.Dosis efektif isoflavon 20-60 mg/hari, dengan lama terapi 6
sampai 24 bulan. Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan
pemberiannya bersama kalsium dan vitamin D.5,7

29
BAB III
KESIMPULAN
Osteoporosis adalah kelainan penulangan akibat gangguan metabolisme
dimana tubuh tidak mampu menyerap dan memanfaatkan zat-zat yang diperlukan
untuk proses pematangan tulang.
Manusia lanjut usia (lansia) beresiko menderita osteoporosis, sehingga
setiap patah tulang pada lansia perlu diasumsikan sebagai osteoporosis, apalagi
jika disertai dengan riwayat trauma ringandan kesehatan seperti mata,jantung, dan
fungsi organ lain.Pada usia 60-70 tahun, lebih dari 30% perempuan menderita
osteoporosis dan insidennya meningkat menjadi 70% pada usia 80 tahun ke atas.
Hal ini berkaitan dengan defisiensi estrogen pada masa menopause dan penurunan
massa tulang karena proses penuaan. Pada laki-laki osteoporosis lebih
dikarenakan proses usia lanjut, sehingga insidennya tidak sebanyak perempuan.
Diagnosis osteoporosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Gold standard untuk penegakkan diagnosis
osteoporosis adalah DXA tetapi ketersediaan alat masih sangat terbatas dan harga
pemeriksaan yang kurang terjangkau. Dibutuhkan metode yang mudah, dan
praktis dalam penapisan osteoporosis yang mempunyai sensitivitas yang cukup
tinggi, sehingga seorang dengan resiko tinggi terkena osteoporosis dapat dicegah
agar jangan sampai terkena osteoporosis dan terjadi fraktur. Tatalaksana pada
osteoporosis adalah farmakologi seperti pemberian bifosfonat, raloksifen.
Estrogen dsb, dan nonfarmakologi dapat berupa edukasi dan menghindari faktor-
faktor yang dapat meperburuk keadaan.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Isselbacher, Braunwald, Wilson, et al. Harrison: Prinsip-Prinsip Ilmu


Penyakit Dalam: Edisi 13. Jakarta: EGC. 2015(5) hal. 2398-2404.
2. Nuhonni, SA. 2012. Osteoporosis dan Pencegahannya. FKUI: Jakarta.
3. Kurniawan, DY. Nilai Diagnostik Osteoporosis Self-Assesment Tool For
Asians Terhadap Dual Energy X-Ray Absorbtiometry Dalam Penapisan
Osteoporosis Studi Pada Wanita Post Menopause. UNDIP: Semarang.
2017(6)2. 427-433.
4. Setyohadi, Bambang. Peran Estrogen Pada Patogenesis Osteoporosis dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing. 2014;3440-7.
5. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II,
Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2006; 1259-73.
6. Rajaratenam SG, Martini RD, Lipoeto NI. Hubungan tingkat pengetahuan
dan sikap dengan tindakan pencegahan osteoporosis pada wanita usila di
kelurahan jati. Jurnal kesehatan andalas. 2014; 3(2); 225-8
7. Mukti M. Patogenesis, diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis.
Universitas Sriwijaya: Palembang. 2011..
8. Prasetya D, dkk. Pengaruh pemberian susu yang difortifikasi (kalsium dan
vitamin D) dan senam osteoporosis terhadap kepadatan tulang pada wanita
pra lansia di wilayah kerja puskesmas banyuanyar kabupaten sampang.
Volume 4 Nomor 1 Edisi September 2015. Hal 25-7
9. Guyton, AC. 2014. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.
10. HTA Indonesia. Penggunaan densitometri pada osteoporosis. 2015
11. Qaseem A, Forciea MA, McLean RM, Denberg TD, . Treatment of Low
Bone Density or Osteoporosis to Prevent Fractures in Men and Women: A
Clinical Practice Guideline Update From the American College of Physicians.
Ann Intern Med. 2017;166:818–839.

31
12. National Osteoporosis Guideline Group. Guideline for the diagnosis and
management of osteoporosis in postmenopausal women and men from the
age of 50 years in the UK. March 2014

32

Anda mungkin juga menyukai