Dosen Pengampu :
Endang Purwaningsih, S.Kep,Ns,.M.Kep
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan kesempatan sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Keperawatan Anak yang membahas tentang ”TBC pada Anak”. Kami selaku
kelompok yang menyusun makalah ini berharap agar makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua untuk dijadikan penunjang dalam mata kuliah
KEPERAWATAN ANAK.
Dalam menyusun makalah ini kami banyak memperoleh bantuan serta
bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada:
1. Dosen mata kuliah Keperawatan Anak yakni “Endang Purwaningsih,
S.Kep,Ns,.M.Kep” yang telah banyak meluangkan waktu guna
memberikan bimbingan kepada kami dalam penyusunan makalah ini.
2. Kedua orang tua kami yang senantiasa memberi dukungan baik secara
moril maupun materil selama proses pembuatan makalah ini.
3. Teman-teman mahasiswa tingkat III Program Studi DIII Keperawatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang Kampus VI Ponorogo angkatan
2017/2018 yang selalu memberikan dukungan dan saran serta berbagai
ilmu pengetahuan demi tersusunnya makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami selaku penusun menyadari sepenuhnya
bahwa masih banyak kekurangan baik dari segi susunan kalimat, tata bahasanya,
maupun isi dari makalah ini. Oleh karena itu kami mohon maaf dan dengan
tangan terbuka kami menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik dan lebih lengkap lagi.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis paru (TB paru) merupakan masalah utama bidang
kesehatan di seluruh dunia. Sampai tahun 2011 tercatat 9 juta kasus
baru TB, dan lebih dari 2 juta orang meninggal akibat TB. Semua
negara di dunia menyumbang kasus TB, namun persentase terbanyak
terjadi di Afrika (30%) dan Asia (55%) dengan China dan India tercatat
menyumbang 35% dari total kasus di Asia (WHO, 2011).
TB paru memberikan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan umur, pada orang
dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TB lebih tinggi diantara
penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan
pedesaan. Sejak tahun 1995 program pemberantasan TB paru
dilaksanakan secara koordinasi dalam suatu program yang disebut strategi
Directly Observed Treatment Shortcourse (DOTS) sesuai rekomendasi
World Health Organization (WHO), yang terdiri dari 5 komponen,
yaitu: (1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan
pendanaan. (2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
yang terjamin mutunya. (3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi
dan dukungan bagi pasien. (4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan
Obat Anti Tuberkulosos (OAT) yang efektif. (5) Sistem monitoring
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap
hasil pengobatan pasien dan kinerja program (Kemenkes, 2011).
Di Indonesia TB paru merupakan penyebab kematian nomor tiga
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan
yang menyerang semua kelompok usia. Prevalensi penduduk Indonesia
yang didiagnosis TB paru oleh tenaga kesehatan sebesar 0,4%. Lima
provinsi dengan TB paru tertinggi yaitu Jawa Barat (0,7%),
Papua (0,6%), Gorontalo (0,5%), Banten (0,4%), dan Papua Barat
1
(0,4%).
1
Tuberkulosis anak merupakan faktor penting di negara
berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah
40-50% dari jumlah seluruh populasi. Sekurangnya 500.000 anak
menderita TB setiap tahunnya, dan 20 anak meninggal setiap hari karena
TB. Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat dan benar sesuai program DOTS sehingga
morbiditas dan mortalitas pada anak semakin meningkat. Disamping itu
beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya alat
diagnosis yang “child-friendly” dan tidak adekuatnya system
pencatatan dan pelaporan kasus TB anak (Kemenkes, 2013).
TB paru pada anak mencerminkan transmisi TB yang terus
berlangsung di populasi. Masalah ini masih memerlukan perhatian yang
lebih baik dalam program pengendalian TB, secara umum, tantangan
dalam program pengendalian TB anak adanya kecenderungan diagnosis
yang lebih (overdiagnosis). Disamping juga masih adanya
underdiagnosis (Kemenkes, 2011).
Menurut Nurhidayah dkk (2007), usia anak sangat rawan tertular
tuberkulosis. Apabila tertular oleh M. tuberculosis cenderung menderita
tuberkulosis berat seperti tuberkulosis meningitis, atau penyakit paru
berat (TB paru).
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB anak
pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun
2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat dari data per Provinsi
menunjukkan variasi proporsi antara 1,8% sampai 15,9%. Hal ini
menunjukkan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi
pada level Provinsi. Kasus TB anak dikelompokkan dalam kelompok
umur 0-4 tahun dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok
5-14 tahun lebih banyak dibandingkan 5-14 tahun (Kemenkes, 2013).
Lingkungan merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap derajat kesehatan dan saling berkaitan dengan kejadian suatu
penyakit di masyarakat, disamping perilaku dan pelayanan kesehatan.
Program Lingkungan Sehat bertujuan untuk mewujudkan mutu
2
lingkungan hidup yang lebih sehat melalui pengembangan system
kesehatan kewilayahan untuk menggerakkan pembangunan lintas sektor
berwawasan kesehatan (Dinkes Jateng, 2013).
Patogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarakan
kedalam suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut
menggambarkan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang
memiliki potensi bahaya penyakit pada manusia. Hubungan interaksi
tersebut pada hakikatnya merupakan paradigma kesehatan lingkungan
(Achmadi, 2012).
Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan
keluarga. Rumah haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya dapat
berkarya untuk meningkatkan produktivitas. Ditinjau dari variabel
kesehatan lingkungan meliputi air bersih, jamban, sampah, kepadatan
hunian, lantai rumah. Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko penularan
berbagaijenis penyakit khususnya penyakit berbasis lingkungan seperti
Demam Berdarah Dengue, Malaria, Flu Burung, TBC, ISPA dan lain-lain
(Dinkes Jateng, 2013).
B. Rumusan Masalah
Bagaimana cara mengetahui anak yang terinfeksi TB dan
bagaimana Asuhan Keperawatannya?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum makalah ini adalah untuk melaksanakan asuhan
keperawatan pada anak dengan TB paru
2. Tujuan khusus
a. Memahami kasus pada anak dengan TB paru
b. Menetapkan diagnosis pada anak dengan TB paru
c. Menyusun intervensi keperawatan pada anak dengan TB paru
3
BAB II
PEMBAHASAN
B. Skenario
Kasus
Seorang anak perempuan usia 3 tahun tinggal bersama keluarga
dengan ayah, ibu dan adik usia 1 tahun. Lingkungan rumah kumuh
tidak ada jendela pada setiap kamar, lantai tanah, ventilasi rumah
kurang. Anak mengalami batuk produktif selama 3 minggu, keluar
keringat dingin pada malam hari, terjadi penurunan berat badan 2 kg
dalam 3 minggu. Pasien mengeluh mual, muntah dan tidak ada nafsu
makan. Hasil BTA positif. Diagnosa TBC paru.
4
5 POA (Pyrazionic Acid) Kandungan dari pirazinamid.
6 RNA (Asam Ribonukleat) Molekul polimer yang terlibat dalam
berbagai peran biologis dalam
mengkode, decode, regulasi dan
ekspresi gen.
7 Sputum Mukus yang keluar saat batuk dari
saluran pernafasan atas.
5
dengan cara yang sama dengan flu, penyakit ini tidak menular dengan
mudah. Seseorang harus kontak dalam waktu beberapa jam dengan
orang yang terinfeksi. Misalnya, infeksi TBC biasanya menyebar antar
anggota keluarga yang tinggal di rumah yang sama. Akan sangat tidak
mungkin bagi seseorang untuk terinfeksi dengan duduk disamping
orang yang terinfeksi di bus atau kereta api. Selain itu, tidak semua
orang dengan TB dapat menularkan TB. Anak dengan TB atau orang
dengan infeksi TB yang terjadi di luar paru-paru (TB ekstrapulmoner)
tidak menyebarkan infeksi (Puspasari, 2019).
Merokok pasif
Merokok pasif bisa berdampak pada sistem kekebalan anak, sehingga
meningkatkan risiko tertular. Pajanan pada asap rokok mengubah
fungsi sel, misalnya dengan menurunkan tingkat kejernihan zat yang
dihirup dan kerusakan kemampuan penyerapan sel dan pembuluh
darah.
6
jika ada sputum pun, kuman TBC jarang sebab hanya terdapat dalam
konsentrasi yang rendah pada sektret endobrokial anak.
Resiko Penyakit TBC
Anak ≤ 5 tahun mempunyai resiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TBC, mungkin karena imunitas
selulernya belum berkembang sempurna (imatur). Namun, resiko sakit
TBC ini akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia.
Pada bayi < 1 tahun yang terinfeksi TBC, 43% nya akan
menjadi sakit TBC, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun, yang menjadi
sakit hanya 24%, pada usia remaja 15% dan pada dewasa 5-10%. Anak
< 5 tahun memiliki resiko lebih tinggi mengalami TBC diseminata
dengan angka kesakitan dan kematian yang tinggi.
Konversi tes tuberkulin dalam 1- 2 tahun terakhir, malnutrisi,
keadaan imunokompromis, diabetes melitus, gagal ginjal kronik dan
silikosis. Status sosial ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang,
kepadatan hunian, pengangguran, dan pendidikan yang rendah.
7
Infeksi progresif (TBC progresif)
Infeksi primer yang berkembang menjadi penyakit dan
menyebar ke seluruh paru-paru, atau ke organ tubuh lainnya. Hal ini
ditandai dengan demam, kehilangan berat badan, kelelahan, kehilangan
selera makan, kesulitan bernafas, dan batuk.
(Maryunani anik. 2010. ilmu kesehatan anak dalam
kebidanan. Jakarta : CV. trans info media).
Infeksi reaktivasi ( TBC reaktivasi)
Dalam hal ini infeksi primer sudah teratasi, namun bakteri TBC
masih dalam keadaan tidur atau hibernasi. Ketika kondisi
memungkinkan (misalnya kekebalan tubuh menurun), bakteri menjadi
aktif. TBC pada anak yang lebih tua dan orang dewasa mungkin saja
termasuk tipe ini. Gejala yang paling jelas adalah demam terus-
menerus, diiringi dengan keringat pada malam hari. Kelelahan dan
kehilangan berat badan juga mungkin terjadi. Jika penyakit bertambah
parah dan terbentuk lubang-lubang pada paru-paru, penderita TBC
akan mengalami batuk dan mungkin terdapat darah pada produksi air
liur, dahak, atau phlegm.
(Maryunani anik. 2010. ilmu kesehatan anak dalam
kebidanan. Jakarta : CV. trans info media).
8
Ini tergantung kekebalan anak. Kalau anak kebal (daya tahan
tubuhnya bagus), TBC-nya tidak muncul. Tapi bukan berarti sembuh.
Setelah bertahun-tahun, bisa saja muncul, bukan di paru-paru lagi,
melainkan di tulang, ginjal, otak, dan sebagainya. Ini yang berbahaya
dan butuh waktu lama untuk penyembuhannya.
Riwayat penyakit TBC anak sulit dideteksi penyebabnya.
Penyebab TBC adalah kuman TBC (mycobacterium tuberculosis).
Sebetulnya, untuk mendeteksi bakteri TBC (dewasa) tidak begitu sulit.
Pada orang dewasa bisa dideteksi dengan pemeriksaan dahak langsung
dengan mikroskop atau dibiakkan dulu di media. Mendeteksi TBC
anak sangat sulit, karena tidak mengeluarkan kuman pada dahaknya
dan gejalanya sedikit. Diperiksa dahaknya pun tidak akan keluar,
sehingga harus dibuat diagnosis baku untuk mendiagnosis anak TBC
sedini mungkin. Yang harus dicermati pada saat diagnosis TBC anak
adalah riwayat penyakitnya. Apakah ada riwayat kontak anak dengan
pasien TBC dewasa. Kalau ini ada, bisa dipastikan anak positif TBC
9
5. Pembesaran kelenjar di kulit, terutama di bagian leher, juga bisa
ditengarai sebagai kemungkinan gejala TBC. Yang sekarang sudah
jarang adalah adanya pembesaran kelenjar di seluruh tubuh,
misalnya di selangkangan, ketiak, dan sebagainya.
6. Mata merah bukan karena sakit mata, tapi di sudut mata ada
kemerahan yang khas.
7. Pemeriksaan lain juga dibutuhkan diantaranya pemeriksaan
tuberkulin (Mantoux Test, MT) dan foto. Pada anak normal,
Mantoux Test positif jika hasilnya lebih dari 10 mm. Tetapi, pada
anak yang gizinya kurang, meskipun ada TBC, hasilnya biasanya
negatif, karena tidak memberikan reaksi terhadap MT.
8. Skrining tuberkulosis pada anak antara lain :
Sesungguhnya mendiagnosa tuberculosis pada anak,
terlebih pada anak-anak yang masih sangat kecil, sangat sulit.
Diagnosa tepat TBC tak lain dan tak bukan adalah dengan
menemukan adanya Mycobacterium tuberculosis yang hidup dan
aktif dalam tubuh suspect TB atau orang yang diduga TBC.
Caranya yang paling mudah adalah dengan melakukan tes dahak.
Pada orang dewasa, hal ini tak sulit dilakukan. Tapi lain ceritanya,
pada anak-anak karena mereka, apalagi yang masih usia balita,
belum mampu mengeluarkan dahak. Karenanya, diperlukan
alternatif lain untuk mendiagnosa TB pada anak.
Kesulitan lainnya, tanda-tanda dan gejala TB pada anak
seringkali tidak spesifik (khas). Cukup banyak anak
yang overdiagnosed sebagai pengidap TB, padahal sebenarnya
tidak. Atau underdiagnosed, maksudnya terinfeksi atau malah sakit
TB tetapi tidak terdeteksi sehingga tidak memperoleh penanganan
yang tepat.
Diagnosa TBC pada anak tidak dapat ditegakkan hanya
dengan 1 atau 2 tes saja, melainkan harus komprehensif. Karena
tanda-tanda dan gejala TB pada anak sangat sulit dideteksi, satu-
satunya cara untuk memastikan anak terinfeksi oleh kuman TB,
10
adalah melalui uji Tuberkulin (tes Mantoux). Tes Mantoux ini
hanya menunjukkan apakah seseorang terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis atau tidak, dan sama sekali bukan untuk menegakkan
diagnosa atas penyakit TB. Sebab, tidak semua orang yang
terinfeksi kuman TB lalu menjadi sakit TBC.
Sistem imun tubuh mulai menyerang bakteri TBC, kira-kira
2-8 minggu setelah terinfeksi. Pada kurun waktu inilah tes
Mantoux mulai bereaksi. Ketika pada saat terinfeksi daya tahan
tubuh orang tersebut sangat baik, bakteri akan mati dan tidak ada
lagi infeksi dalam tubuh. Namun pada orang lain, yang terjadi
adalah bakteri tidak aktif tetapi bertahan lama di dalam tubuh dan
sama sekali tidak menimbulkan gejala. Atau pada orang lainnya
lagi, bakteri tetap aktif dan orang tersebut menjadi sakit TBC.
Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan sejumlah kecil
(0,1 ml) kuman TBC, yang telah dimatikan dan dimurnikan, ke
dalam lapisan atas (lapisan dermis) kulit pada lengan bawah. Lalu,
48 sampai 72 jam kemudian, tenaga medis harus melihat hasilnya
untuk diukur. Yang diukur adalah indurasi (tonjolan keras tapi
tidak sakit) yang terbentuk, bukan warna kemerahannya
(erythema). Ukuran dinyatakan dalam milimeter, bukan centimeter.
Bahkan bila ternyata tidak ada indurasi, hasil tetap harus ditulis
sebagai 0 mm.
Secara umum, hasil tes Mantoux ini dinyatakan positif bila
diameter indurasi berukuran sama dengan atau lebih dari 10 mm.
Namun, untuk bayi dan anak sampai usia 2 tahun yang tanpa faktor
resiko TBC, dikatakan positif bila indurasinya berdiameter 15 mm
atau lebih. Hal ini dikarenakan pengaruh vaksin BCG yang
diperolehnya ketika baru lahir, masih kuat. Pengecualian lainnya
adalah, untuk anak dengan gizi buruk atau anak dengan HIV, sudah
dianggap positif bila diameter indurasinya 5 mm atau lebih.
Namun tes Mantoux ini dapat memberikan hasil yang
negatif palsu (anergi), artinya hasil negatif padahal sesungguhnya
11
terinfeksi kuman TBC. Anergi dapat terjadi apabila anak
mengalami malnutrisi berat atau gizi buruk (gizi kurang tidak
menyebabkan anergi), sistem imun tubuhnya sedang sangat
menurun akibat mengkonsumsi obat-obat tertentu, baru saja
divaksinasi dengan virus hidup, sedang terkena infeksi virus, baru
saja terinfeksi bakteri TB, tata laksana tes Mantoux yang kurang
benar. Apabila dicurigai terjadi anergi, maka tes harus diulang.
12
b. Farmakodinamik
a) Rifampicin
Mekanisme kerja rifampicin adalah menginhibisi enzim
RNA polimerase DNA-dependent, dengan cara mengikatkan
diri kepada subunit beta, yang kemudian akan menghalangi
transkripsi RNA, dan mencegah sintesis protein bakteri
sehingga mengakibatkan kematian sel bakteri. Hal inilah yang
menjadikan obat rifampicin memiliki sifat bakterisidal, dan
sebagai inducer enzim yang poten.
b) INH (isoniazid),
Isoniazid (INH) bekerja dengan cara menghambat
sintesis asam mikolik, yaitu suatu komponen esensial dinding
sel bakteri. Mekanisme inilah yang nantinya akan
menimbulkan efek terapi obat yang bersifat bakterisid terhadap
organisme Mycobacterium tuberculosis yang aktif bertumbuh
secara intraseluler dan ekstraseluler.
Kerja INH juga diasosiasikan dengan terjadinya
peningkatan ekskresi piridoksin (vitamin B6). Piridoksin fosfat
yang merupakan derivat piridoksin dibutuhkan untuk sintesis
asam d-aminolevulenat, sebuah enzim yang berfungsi untuk
pembentukan heme. Heme adalah suatu bagian dari sel darah
merah dan akan memberikan pigmen berwarna merah pada
darah. Defisiensi piridoksin yang disebabkan oleh INH dapat
menyebabkan anemia sideroblastik.
c) Pirazinamid
Farmakodinamik pasti dari pyrazinamide belum
diketahui. Diduga pyrazinamide akan berdifusi ke dalam M.
tuberculosis, dan dikonversikan menjadi bentuk aktifnya yaitu
pyrazinoic acid (POA) oleh enzim pyrazinamidase. Pyrazinoic
acid akan mengganggu transpor membran, menurunkan pH
intraseluler, sehingga menyebabkan inaktivasi enzim yang
13
diperlukan untuk sintesis asam lemak, yaitu fatty acid synthase
I (FAS I). Hal ini menyebabkan kematian sel bakteri.
POA juga diketahui berikatan dengan protein ribosomal
S1 (RpsA) dan menghambat trans-translasi. Hal ini diduga
menyebabkan pyrazinamide mampu membunuh bakteri
tuberkulosis yang dorman atau tidak bereplikasi
d) Etambutol
Etambutol merupakan suatu turunan sintetik dari 1,2-
ethanediamine yang umumnya memiliki sifat bakteriostatik
jika diberikan sesuai dengan dosis dianjurkan. Etambutol
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat anti
tuberkulosis lain untuk mencegah atau menghambat timbulnya
strain yang resisten. Mekanisme kerja etambutol yaitu
menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel
terhambat dan sel mati, dapat timbul resistensi bila digunakan
tunggal, bersifat tuberkulostatik (hanya aktif terhadap sel yang
sedang tumbuh) dan menekan pertumbuhan kuman TBC yang
resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kontraindikasi
etambutol yaitu diketahui adanya hipersesitivitas, kreatinin
klereance kurang dari 50 ml/menit dan pada anak di bawah 6
tahun, neuritis optic, gangguan visual. Efek samping etambutol
adalah neuritis optik, buta warna merah/hijau, neuritis primer.
e) Kortikosteroid
Kortikosteroid ini bekerja dengan cara masuk ke
dinding sistem sel imun untuk mematikan zat yang bisa
melepaskan senyawa-senyawa yang menjadi pemicu
peradangan.
(Irianti, Kuswandi, Yasin, & Kusumaningtyas, 2016)
14
F. Masalah keperawatan
Analisa Data
Nama klien : An. E
Umur : 3 tahun
Ruang : Anak
15
Data Objektif : ↓
A : BB menurun 2 kg dalam 3 minggu (+) Anoreksi
B : BTA positif ↓
C : Keringat dingin pada malam hari Asupan diet kurang
D:-
E:-
F : Mual, muntah, sesak
16
Diagnosa Keperawatan
Nama Klien : An. E
Umur : 3 Tahun
Ruang : Anak
17
G. Intervensi keperawatan
Intervensi Keperawatan
No Dx. Kep Tujuan Intervensi
1. Ketidakefektifan Setelah diberikan tindakan keperawatan 1x24 jam NIC :
bersihan jalan nafas maasalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas Airway Management
berhubungan dengan teratasi dengan kriteria hasil: 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
sekresi yang tertahan NOC : ventilasi
Respiratory status : Ventilation 2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Respiratory status : Airway patency 3. Keluarkan secret dengan batuk atau
Aspiration Control suction
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan 4. Identifikasi pasien perlunya pemasangan
suara nafas yang bersih, tidak ada sianosis alat jalan nafas buatan
dan dyspneu (mampu mengeluarkan 5. Motivasi pasien untuk bernafas pelan
sputum, mampu bernafas dengan mudah, dalam
tidak ada pursed lips) 6. Auskultasi suara nafas, catat adanya
2. Menunjukkan jalan nafas yang paten suara tambahan
(klien tidak merasa tercekik, irama nafas 7. Kelola udara atau oksigen yang
reguler, frekuensi pernafasan dalam dilembabkan sebagaimana mestinya
rentang normal 22x/menit, tidak ada suara 8. Monitor respirasi dan status O2
nafas abnormal)
18
3. Mampu mengidentifikasikan dan
mencegah faktor yang dapat menghambat
jalan nafas
2. Ketidakseimbangan Setelah diberikan tindakan keperawatan NIC :
nutrisi : kurang dari diharapkan kebutuhan nutrisi adekuat, dengan Nutrition management
kebutuhan tubuh kriteria hasil: 1. Anjurkan klien untuk meningkatkan
berhubungan dengan NOC : intake Fe
asupan diet kurang Nutritional Status : food and Fluid Intake 2. Anjurkan klien untuk meningkatkan
1. Adanya peningkatan berat badan sesuai protein dan vitamin C
dengan tujuan 3. Berikan substansi gula
2. Berat badan ideal sesuai dengan tinggi 4. Berikan informasi tentang kebutuhan
badan nutrisi
3. Mampu mengidentifikasi kebutuhan 5. Yakinkan diet yang tinggi serat untuk
nutrisi mencegah konstipasi
4. Tidak ada tanda tanda malnutrisi 6. Kaji kemampuan pasien untuk
5. Tidak terjadi penurunan berat badan yang mendapatkan nutrisi yang dibutuhkan
berarti 7. Kaji adanya alergi makanan
8. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan nutrisi
yang dibutuhkan klien
19
9. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan
kalori
Nutrition monitoring
1. Monitor adanya penurunan BB
2. Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang
biasa dilakukan
3. Monitor interaksi anak atau orang tua
selama makan
4. Monitor kulit kering dan perubahan
pigmenntasi
5. Monitor turgor kulit
6. Monitor kekeringan, rambut kusam dan
mudah patah
7. Monitor mual dan muntah
20
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit infeksi kronis
menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di
dunia termasuk Indonesia. TBC pada anak masih merupakan penyakit
mayor yang menyebabkan kesakitan. Besarnya kasus TBC pada anak di
Indonesia masih relatif sulit diperkirakan.
Lingkungan rumah juga merupakan salah satu kebutuhan dasar
manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana
pembinaan keluarga. Rumah haruslah sehat dan nyaman agar penghuninya
dapat berkarya untuk meningkatkan produktivitas. Ditinjau dari variabel
kesehatan lingkungan meliputi air bersih, jamban, sampah, kepadatan
hunian, lantai rumah. Konstruksi rumah dan lingkungan yang tidak
memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko penularan
berbagaijenis penyakit khususnya penyakit berbasis lingkungan seperti
TBC.
Diagnosis TBC tidak dapat ditegakkan hanya dari anamnesis,
pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang tunggal. Selain alur
diagnostik, terdapat pedoman diagnosis dengan menggunakan sistem
skoring. Gambaran klinis TBC pada anak: badan turun, nafsu makan
turun, demam tidak tinggi dapat disertai keringat malam, pembesaran
kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, batuk lama lebih dari 30 hari.
Obat TBC yang digunakan yaitu Obat TBC Kortikosteroid, Etambutol,
Pirazinamid, INH (isoniazid), Rifampicin.
21
DAFTAR PUSTAKA
Bulechek, G. M., & dkk. (2016). Nursing Intervertions Classification (6 ed.). (I.
Nurjannah, & R. D. Tumanggor, Trans.) Indonesia.
Sue, M., & dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (5 ed.). (I. Nurjannah,
& R. D. Tumanggor, Trans.) indonesia.
22