Anda di halaman 1dari 10

JOURNAL READING

PENATALAKSANAAN TERAPEUTIK EPISTAKSIS


DI CHU YALGADO OUEDRAOGO

Oleh:
Nabila Wahyu Putri (201620401011095)
Hasbi Assidikih (201620401011077)

Pembimbing:
dr. Kholid Yusuf, Sp.THT-KL

SMF ILMU PENYAKIT THT


RUMAH SAKIT SITI KHODIJAH SEPANJANG
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2017
PENATALAKSANAAN TERAPEUTIK EPISTAKSIS
DI CHU YALGADO OUEDRAOGO
Gyébré YMC1, Gouéta A1, Zaghré N, Sérémé M1, Ouédraogo BP,
Ouattara M dan Ouoba K

Abstrak
Tujuan: Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melaporkan hasil pengobatan epistaksis
dalam praktik kami.
Bahan dan Metode: Ini adalah studi prospektif selama periode satu (01) tahun dari
Januari sampai Desember 2015, dengan 264 orang sebagai pasien yang diterima dan
didukung untuk kasus epistaksis di THT dan Bedah Kepala Leher di CHU Yalgado
Ouedraogo, Ouagadougou.
Hasil: Epistaksis mewakili 15% keadaan darurat selama pelayanan. Usia rata-rata pasien
adalah 30,8 tahun dengan jarak usia mulai dari 2 bulan sampai 80 tahun. Kami mencatat
213 orang dewasa (80,7%) dan 51 anak-anak (19,3%). Subjek pria mewakili 194 kasus
(73,5%) dan perempuan 70 kasus (26,5%). Epistaksis yang berada di anterior 90,1%
kasus, unilateral pada 56,8% kasus dan epistaksis berat pada 40,2% kasus. Penyebab
paling umum dari epistaksis adalah locoregional (45,8%), didominasi oleh trauma pada
struktur wajah (33%). Tumor jinak mewakili 2,2%, dan tumor ganas 1,6%. Hipertensi
arterial (14%) adalah penyebab umum yang paling sering. Tindakan non-bedah
merupakan metode intervensi utama dalam 98,5% kasus. Penatalaksanaan pada dasarnya
terdiri dari pemasangan tampon hidung anterior (80,3%) dan pemberian etamsylate
(75%). Kami mengamati 5,8% komplikasi. Tingkat kematian adalah 5%.
Kesimpulan: Epistaksis merupakan kedaruratan pada THT yang umum terjadi dalam
praktik kami. Penyebabnya beragam, didominasi oleh penyebab locoregional. Epistaksis
adalah gejala yang serius dan tidak dapat diprediksi, sehingga membutuhkan penanganan
awal yang tepat.
Kata kunci: Epistaksis; Etiologi; Pengobatan

Pengantar
Epistaksis merupakan salah satu kedaruratan yang paling umum ditemui
[1]
dalam praktik THT sehari-hari . Epistaksis dapat mengenai hingga 60%
[2]
populasi, dan 6% diantaranya memerlukan perawatan medis . Pada umumnya
ringan, sedangkan pada pasien dengan epistaksis yang berat menunjukkan jumlah
[3,4]
perdarahan yang banyak dan rekuren yang tinggi . Penatalaksanaannya harus
sesuai dengan gejala dan etiologi. Hal ini juga sudah diaplikasikan di negara-
[1,3,4]
negara Barat . Literatur di Afrika yang membahas masalah ini masih relatif
kurang. Melalui serangkaian penelitian ini, kami melaporkan pengalaman kami
dalam memberikan penatalaksanaan epistaksis secara terapeutik di bagian THT
dan CCF di CHU Yalgado Ouedraogo.

Bahan dan Metode


Penelitian ini merupakan studi prospektif selama periode 1 tahun, dari
Januari sampai Desember 2015 di bagian THT dan Bedah Kepala Leher di CHU
Yalgado Ouedraogo, Ouagadougou. Terdapat 264 kasus epistaksis yang sudah
diperiksa. Dalam penelitian ini, setiap pasien yang diterima dalam kondisi darurat
tidak dibeda-bedakan berdasarkan usia maupun jenis kelamin dalam hal
konsultasi ataupun rawat inap. Data pasien didapatkan dari lembar kuesioner dan
saat dilakukan wawancara langsung dengan pasien. Selain itu, catatan klinis
mengenai penyakit pasien dan laporan saat beroperasi juga digunakan sebagai
sumber data. Variabel dalam penelitian ini adalah karakteristik sosio-demografi
(umur, jenis kelamin, dan riwayat pasien), manifestasi klinis (jumlah, lokasi
anatomis dari sumber perdarahan, dan kekambuhan), penyebab epistaksis, dan
aspek terapeutik. Semua data mengenai pasien disimpan dan dirahasiakan dengan
sangat baik. Protokol penelitian juga telah disetujui oleh komite etik. Pasien-
pasien yang memiliki hipertensi, tidak pernah kontrol secara rutin atau tidak
mengetahui diagnosisnya di bidang kardiologi. Tekanan darah diambil pada dua
kesempatan dalam posisi telentang dan duduk pada interval 15 menit, didahului
dengan waktu istirahat 10 menit dengan menggunakan monitor tekanan darah
manual. Awalnya epistaksis diklasifikasikan dalam jumlah perdarahan yang
sedikit, sedang dan banyak. Tapi saat ini epistaksis diklasifikasikan menjadi
epistaksis ringan tanpa komplikasi, dan epistaksis berat dengan komplikasi. Kami
memilih untuk klasifikasi kedua. Hanya pasien dengan hemoglobin yang lebih
rendah atau sama dengan 6 g/dl yang mendapat transfusi darah.
Hasil
Epistaksis mewakili 15% keadaan darurat pada periode ini. Orang dewasa
mewakili 213 kasus (80,7%) dan anak-anak 51 kasus (19,3%). Subjek pria
mewakili 194 kasus (73,5%) dan subjek wanita 70 kasus (26,5%) dengan sex ratio
sebesar 1,8. Rata-rata usia didapatkan 30,8 tahun dengan jarak usia antara 2 bulan
sampai 80 tahun. Etiologi didominasi oleh penyebab lokal dengan 45,8% di dalam
kepala dan trauma pada struktur wajah sebanyak 33% kasus. Hipertensi arterial
mendominasi penyebab umum. Epistaksis idiopatik sebanyak 36% (Tabel 1).

Menurut lokasi perdarahan, epistaksis yang berada di anterior sebanyak


238 kasus (90,1%), di posterior sebanyak 10 kasus (3,8%), anterior dan posterior
sebanyak 16 kasus (6,1%). Epistaksis unilateral sebanyak 150 kasus (56,8%) dan
bilateral dalam 114 kasus (43,2%). Menurut tingkat keparahan, didapatkan
epistaksis ringan sebanyak 158 kasus (59,8%) dan berat pada 106 kasus (40,2%)
dimana 6,8% (18 kasus) sangat parah dengan tanda syok. Secara terapeutik,
tindakan non-bedah telah menjadi metode intervensi utama dalam 98,5% kasus.
Semua pasien menerima perawatan hemostatik lokal dan/ atau secara umum.
Hemostasis lokal dilakukan dengan pemasangan tampon hidung anterior pada
80,3% kasus. Hemostasis umum pada dasarnya dilakukan dengan pemberian
etamsylate secara parenteral (72 jam) lalu diberikan secara oral pada 75% kasus.
Tindakan bedah dilakukan pada 1,5% kasus yang pada dasarnya dilakukan dengan
reseksi tumor sinonasal. Modalitas pengobatan dirangkum dalam (Tabel 2).

Dalam penelitian ini tidak dilakukan pemasangan tampon hidung posterior


atau kauterisasi, atau embolisasi atau ligasi pembuluh darah, karena adanya
kendala teknis. Transfusi darah WBC dibutuhkan pada sepuluh (10) pasien yaitu
sebanyak 3,8% kasus. Empat (4) pasien atau sebanyak 1,5% kasus dirawat dengan
perawatan intensif. Mereka adalah pasien yang memiliki hemoglobin lebih rendah
atau sama dengan 6 g/dl, dan harus dilakukan transfusi darah. Antibiotik
profilaksis diresepkan pada 36% pasien kami. Perbaikan klinis ditandai oleh 4
jenis komplikasi pada 15 pasien atau 5,7% komplikasi (Gambar 1). Di antara
komplikasi ini, epistaksis rekuren merupakan yang paling umum terjadi dengan
40% kasus. Durasi rata-rata tinggal di rumah sakit adalah 7,6 hari dengan range
antara 1 sampai 30 hari. Perbaikan klinis setelah pengobatan didapatkan pada 95%
kasus. Tiga belas (13) pasien meninggal dengan tingkat 5% kematian. Tiga (03)
pasien meninggal dalam kondisi toxic shock syndrome, empat (04) pasien dalam
kondisi syok hipovolemik pada trauma wajah yang berkaitan dengan trauma
kepala dan enam (6) pasien dalam kondisi anemia akibat epistaksis berulang
karena berbagai penyebab (karsinoma nasofaring, hemopati, demam tifoid).
Diskusi
Epistaksis adalah kedaruratan yang paling sering ditemui dibidang THT
[3,4]
yakni 15% dari total keseluruhan kedaruratan THT . Hasil penelitian kami
memperkuat literatur-literatur sebelumnya. Dalam praktik kami, epistaksis
didapatkan pada orang dewasa muda. Rata-rata usia pasien kami adalah 30,8
[2,5,6]
tahun. Pasien usia muda juga pernah dicatat oleh penulis Afrika . Hasil kami
[4,7-9]
berbeda dari penulis Barat yang menunjukkan bahwa epistaksis adalah
masalah geriatri yang mempengaruhi subjek usia rata-rata sekitar 60 tahun. Dalam
penelitian kami, orang-orang muda yang terkena trauma wajah oleh kecelakaan
lalu lintas adalah para pengguna kendaraan roda 2 untuk perjalanan sehari-hari
mereka. Kami mencatat bahwa pasien epistaksis didominasi oleh laki-laki (73,7%)
dengan sex ratio sebesar 1,8. Dominasi laki-laki ini membuat penulis yakin bahwa
[2,5,6,10,11]
alasannya adalah laki-laki lebih sering melakukan pekerjaan yang
memiliki risiko trauma yang tinggi.
Etiologi utama dari epistaksis yakni bermacam-macam. Dalam penelitian
kami, etiologi yang paling sering dalam terjadinya epistaksis adalah penyebab
locoregional sebanyak 45,8% kasus dengan trauma pada wajah sebanyak 33%
kasus. Selain itu juga didapatkan etiologi idiopatik sebanyak 36% kasus.
[2,5,6]
Pengamatan yang sama ini dibuat dalam serial Afrika dan dalam beberapa
[7,10,12]
studi Barat . Banyaknya epistaksis idiopatik dapat menggambarkan
terbatasnya studi mengenai etiologi epistaksis. Setiap epistaksis tanpa penyebab
yang jelas telah dipertahankan sebagai epistaksis idiopatik dalam seri kami. Faktor
lain yang tergolong epistaksis idiopatik diantaranya: seringnya menggaruk hidung,
paparan sinar matahari, dan aktifitas fisik. Tekanan darah tinggi (hipertensi)
adalah penyebab ketiga dalam penelitian kami. Hal ini menunjukkan kurangnya
kesadaran dalam mengontrol tekanan darah. Hal ini sesuai dengan laporan Nigeria
pada pasien hipertensi yang tidak terkontrol (penghentian pengobatan
antihipertensi) menunjukkan gejala epistaksis [13]. Penatalaksanaan epistaksis yang
baik sesuai dalam pepatah terdahulu: resusitasi pasien, tentukan sumber
[14]
perdarahan, hentikan perdarahan dan obati penyebab epistaksis . Tujuan
pengobatan adalah untuk menghentikan pendarahan, untuk memastikan
hemodinamik yang baik dan mencegah komplikasi [9,14]. Ada kontroversi mengenai
pengobatan terbaik yang disesuaikan untuk mencapai tujuan tersebut.
Modalitas pengobatan dapat dipisahkan menjadi dua kelompok: intervensi
non-bedah atau konservatif dan pendekatan intervensi atau pembedahan.
Pendekatan non-bedah telah dilaporkan untuk menghentikan pendarahan di lebih
[15]
dari 80-90% dari kasus . Pemasangan tampon hidung anterior adalah modalitas
[16,17]
pengobatan yang paling sering dilakukan dalam penelitian ini . Bentuk
[18]
perawatan ini akan efektif di beberapa pusat di Nigeria . Selain itu, efektivitas
tampon posterior dan probe dengan double-balon telah disebutkan oleh beberapa
[4,19]
literature yakni sebanyak 74-90% kasus . Dalam penelitian kami, tidak ada
kasus yang memerlukan pemasangan tampon hidung posterior karena dengan
pemasangan tampon hidung anterior saja sudah cukup untuk menghentikan
perdarahan. Tapi terkadang tampon hidung anterior dapat meningkatkan risiko
[2,14,15]
penularan penyakit secara hematogen kepada para staf. Para penulis
kemudian merekomendasikan universal precaution (masker wajah, penutup
rambut, dobel handscoon, dan kacamata) untuk semua petugas medis yang terlibat
dalam penatalaksanaan pasien tersebut. Etamsylate adalah penatalaksanaan
hemostasis yang paling sering digunakan karena stoknya yang banyak di daerah
tersebut, dan harganya yang ekonomis. Namun, perlu atau tidaknya kontrol
hemostasis masih harus dibuktikan oleh penelitian hematologi.
Tingkat penggunaan transfusi darah dalam penelitian kami (3,8%) lebih
rendah dari yang dilaporkan dalam literatur sebelumnya yang menunjukkan antara
[2]
6,92-15,1% kasus . Hal ini juga menggambarkan tingkat keparahan epistaksis.
Namun idealnya transfusi dilakukan menggunakan Packed Red Blood Cells
(PRBC).
Penggunaan antibiotik profilaksis selain dilakukan pemasangan tampon
[14,20]
anterior masih kontroversial. Sebagian penulis merekomendasikan
penggunaan antibiotik profilaksis karena adanya risiko komplikasi infeksi seperti
sinusitis dan toxic shock syndrome. Dalam penelitian kami, antibiotik profilaksis
digunakan pada 36% kasus. Dalam penelitian kami, aseptik dari pemasangan
tampon hidung ini tetap tidak meningkatkan kekebalan terhadap infeksi. Tingkat
kematian dalam penelitian kami adalah 5%. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan
[2,11,13]
oleh beberapa penulis pada etiologi epistaksis. Memang, kanker nasofaring
yang mematikan dalam praktek karena adanya kendala teknis dan kurangnya
support yang memadai dalam penatalaksanaannya. Selain itu juga tindakan yang
kurang tepat menunjukkan sebab kematian pada pasien dengan trauma wajah dan
kepala. Kami setuju dengan DUVAL [4] yang mengatakan bahwa epistaksis adalah
gejala yang paling umum dan paling mengkhawatirkan dari perdarahan darurat
ORL, yang bertanggung jawab untuk 10 sampai 25% dari kematian.

Kesimpulan
Epistaksis berpotensi menjadi gejala yang serius. Hal ini dapat
mengancam jiwa pasien dengan banyaknya jumlah perdarahan dan kekambuhan,
maka dari itu dibutuhkan koordinasi tindakan dalam penatalaksanaan pasien
dengan epistaksis: yakni atasi kedaruratan sambil mencari etiologi (penyebab)
untuk manajemen yang efisien.
Daftar Pustaka
1. Herman P (2000) Epistaxis. Orientation diagnostique et prise en charge. Rev
Prat 50(17): 1959-1964.
2. Japhet M Gilyoma, Phillipo L Chalya (2011) Etiological profile and treatment
outcome of epistaxis at a tertiary care hospital in Northwestern Tanzania: a
prospective review of 104 cases. BMC ear, nose and throat disorders 11: 8.
3. Dufour X, Lebreton JP, Gohler C, Ferrié JC, Klossek JM (2010) Epistaxis,
EMC (Elsevier Masson SAA, Paris) Otorhinolaryngologie 20-310-A-10.
4. Duval G, Herman P (2003) Urgences ORL, épistaxis et
autresurgenceshémorragiques ORL, 03_confMed_SFMU8LC, P12.
5. Boko E, Goune L, Kpemissi E (2006) Epidémiologie et étiologies des
épistaxis dans notre pratique: A propos de 250 cas colligés de 1986 à 1997 au
CHU de Lomé. Journal de la recherche scientifique de l’université de Lomé
8(1).
6. Badou KE, Melleu LV, M’pessa EM (2013) Aspects épidémiologiques des
épistaxis au CHU de Yopougon Rev Int Sc Méd 15(1): 9-11.
7. Pallin DJ, Chang Y, Mc Kay MP, Emond JA, Pelletier AJ, et al. (2005)
Epidemiology of epistaxis in USA emergency departments, 1992 to 2001.
Ann Emerg Med 46(1): 77-81.
8. Walker TWM, Caefarlane TV, Mc Garry GW (2007) The epidemiology and
chronobiology of epistaxis: an investigation of Scottish hospital admission
1995-2004. Clin Otolaryngol 32(5): 361-365.
9. Varshney S, Saxena RK (2005) Epistaxis: a retrospective clinical study.
Indian Journal of Otolaryngology, Head Neck Surgery 57(2): 125-129.
10. Payen JF, Bettega G (1999) Les traumatismes maxillofaciaux. Conférences
d’actualisation, SFAR Elsevier Paris 705-719.
11. Eziyi JAE, Akinpelu OV, Amusa YB, Eziyi AK (2009) Epistaxis in Nigerians:
A 3-year Experience. East Cent Afr J Surg 14(2): 93-98.
12. Messner AH (2011) Epidemiology and etiology of epistaxis in children.
Essentials of emergency medicine 82: 472.
13. Iseh KR, Muhammad Z (2008) Pattern of epistaxis in Sokoto, Nigeria: A
review of 72 cases. Ann Afr Med 7(3): 107-111.
14. Daudia A, Jaiswal V, Jones NS (2008) Guidelines for the management of
idiopathic epistaxis in adults: how we do it. Clinical Otolaryngology 33: 607-
628.
15. Rodney JS (2009) Epistaxis: A clinical experience. New England Journal of
Medicine 360: 784-789.
16. Harkani A, Ziad T, Rochdi Y, Nouri H, Aderdour L, et al. (2012) L’épistaxis
aux urgences: à propos de 140 cas. 129: A103.
17. Bouchareb N, Barhmi S, El hani L, Abada R, Rouadi S, et al. L’épistaxis aux
urgences : à propos de646 cas P034.
18. Mgbor NC (2004) Epistaxis in Enugu: A 9 year Review. Nig J of
Otorhinolaryngology 1(2): 11-14.
19. Schaitkin B, Strauss M, Houck JR (1987) Epistaxis: medical versus surgical
therapy; a comparison of efficacy, complications, and economic
considerations. Laryngoscope 97(12): 1392-1395.
20. Biswas D, Wilson H, Mal R (2006) Use of systemic prophylactic antibiotics
with anterior nasal packing in England, UK. Clin Otolaryngol 31(6): 566-567.

Anda mungkin juga menyukai