Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Purpura sering dijumpai pada kasus dermatologi dan hematologi, dan

sering pula berhubungan atau menyertai penyakit lain. Purpura adalah lesi

berbentuk makula atau plakat pada kulit dan membrane mukosa, yang tidak

memudar dengan penekanan. Purpura disebabkan oleh perdarahan dibawah kulit

atau membran mukosa, seringkali sekunder akibat vaskulitis atau defisiensi

vitamin C (scurvy). Purpura berukuran 0,5-1 cm, disebut petekie jika < 5 mm dan

disebut ekimosis jika > 1cm.

Purpura dapat menunjukkan keadaan yang jinak hingga penyakit dasar

yang berbahaya. Purpura dapat disebabkan oleh gangguan pada pembuluh darah

(kerusakan vascular atau vaskulitis), gangguan pada trombosit (trombositopenia)

atau gangguan pada pembekuan darah (defisiensi faktor pembekuan).

Terdapat banyak klasifikasi purpura tergantung pada penampakan dan

penyebabnya. Klasifikasi tersebut sering kali tumpang tindih sehingga sulit

dibedakan saat diagnosis. Berbagai penulis membuat klasifikasi yang berbeda,

selain atas dasar penyebab juga dibedakan apakah kejadiannya disertai atau tanpa

inflamasi; ada pula yang membedakan atas bentuk klinis apakah purpura tersebut

dapat diraba atau tidak.

Karena purpura sebenarnya merupakan suatu simtom, maka

penanggulangannya harus secara teliti, pemeriksaan ditujukan untuk mengetahui

etiologi yang tepat. Diagnosis secara pasti memerlukan pemeriksaan laboratorium

dan biopsi kulit.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Purpura adalah ekstravasasi sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput

lendir (mukosa) dengan manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang

pada penekanan. Purpura secara perlahan-lahan mengalami perubahan warna,

mula-mula merah kemudian menjadi kebiruan, disusul warna coklat kekuningan

dan akhirnya memudar dan menghilang.

Menurut ukuran besarnya purpura dibedakan atas:

a. Petekie, purpura superficial berukuran miliar atau dengan diameter ± 3 mm,

mula-mula berwarna merah kemudian menjadi kecoklatan seperti karat besi.


b. Ekimosis, ukurannya lebih besar, dan letaknya lebih dalam daripada petekie,

berwarna biru kehitaman.


c. Sugulasio, bila ukuran purpura nummular.
d. Hematoma, bila darah berkumpul di jaringan membentuk tumor dengan

konsistensi yang padat.


Gambar 2.1 (a) petekie, (b) purpura, (c) ekimosis

2
2.2 Klasifikasi

Klasifikasi purpura menurut LEVER :

1. Purpura tanpa inflamasi


a. Didasarkan karena defisiensi pembentukan kolagen di sekitar pembuluh

kapiler, misalnya: purpura senilis dan purpura pada skorbut.


b. Didasarkan pada fenomena hipersensitivitas tanpa oklusi vascular,

misalnya: purpura trombositopenia yang idiopatik, dan sensitisasi

autoeritrosit.
c. Fenomena hipersensitivitas dengan oklusi vascular, misalnya: coumarin

necrosis, purpura trombositopenia karena trombosis, dan purpura

fulminans.
2. Purpura dengan inflamasi (vaskulitis)
a. Vaskulitis leukositoklastik (purpura anafilaksis).
b. Krioglobulinemia campuran (vaskulitis neutrofilik).
c. Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta (Mucha Haberman).
d. Purpura pigmentosa kronik (vaskulitis limfositik).
e. Purpura infeksiosa (meningokok, gonokok, M. leprae, riketsia).
f. Purpura akibat alergi obat.

Gambaran histopatologik secara umumnya, pada kedua golongan tersebut

didapatkan:

 Pada purpura tanpa inflamasi didapatkan ekstravasasi eritrosit.


 Pada purpura dengan inflamasi selain ekstravasasi eritrosit, biasanya

disertai adanya vaskulitis.

2.3 Purpura Tanpa Inflamasi


a. Purpura Senilis
Terdapat ekimosis terutama pada dorsum lengan dan tangan pada orang

usia lanjut, pemakaian steroid jangka panjang merupakan faktor predisposisi

timbulnya purpura. Secara histopatologik didapatkan ekstravasasi eritrosit,

perubahan di dermis kemudian menunjukkan adanya elatosis solaris dan di

dermis bagian bawah tampak atrofi, serta serat kolagen terpisah-pisah.

3
Gambar 2.2 Purpura Senilis

b. Purpura pada Skorbut


Terjadi akibat kurangnya vitamin C (asam askorbat). Secara klinis

tampak purpura berbentuk petekie folikular terutama pada ekstremitas bagian

bawah. Secara histopatologik ditemukan ekstravasasi eritrosit terutama

sekitar pembuluh rambut tanpa perubahan vaskular. Pada ekstravasasi yang

luas terdapat deposit hemosiderin. Pada skorbut terjadi pula pembentukan

kolagen abnormal.

Gambar 2.3 Purpura pada Skorbut

c. Purpura Trombositopenia Idiopatik


Dikenal pula sebagai purpura hemoragik atau purpura trombositopenia

imunologik atau penyakit WERLHOF. Ditandai adanya ekimosis dan petekie

akut, di kulit dan mukosa terutama mukosa mulut. Terdapat epistaksis,

perdarahan konjungtiva dan gingiva, terdapat pula melena dan gangguan

menstruasi.
Terdapat pula pembesaran limpa. Pada anak-anak keadaan akut ini

sering terjadi setelah infeksi virus (50%) dengan jarak antaranya lebih kurang

4
2 minggu. Sedangkan keadaan kronik lebih sering terjadi pada orang dewasa,

menetap dan dapat berlangsung sampai beberapa tahun. Penderita wanita

lebih banyak daripada pria dengan perbandingan 4:1. Kematian disebabkan

oleh perdarahan otak.


Perdarahan terjadi pada keadaan trombosit < 25.000. Waktu perdarahan

memanjang, waktu koagulasi normal, retraksi bekuan tidak normal, fragilitas

kapiler meningkat, dan jumlah megakariosit di sumsum tulang meningkat.

Kebanyakan penderita mengandung antibodi (IgG) antifaktor trombosit.

Secara histopatologik didapatkan ekstravasasi eritrosit tanpa inflamasi.


Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, misalnya prednison

60mg/hari cukup efektif, dan diturunkan perlahan-lahan sesuai dengan

kondisinya. Transfusi darah (trombosit) dianjurkan. Bila perlu dilakukan

splenektomi. Penggunaan azatioprin dianjurkan pada kasus yang refrakter

dengan pemberian prednisone dan splenektomi.

Gambar 2.4 Petekie mukosa mulut akibat Purpura Trombositopenia Idiopatik

d. Sindrom Sensitisasi Autoeritrosit

Pertama kali dikemukakan oleh Gardner dan Diamond tahun 1955,

berupa ekimosis yang nyeri disertai nodus, timbul pada wanita dengan

keadaan kejiwaan histeris. Secara histologik terdapat ekstravasasi eritrosit di

dermis dan subkutan disertai infiltrat mononuklear perivaskular, dan pada

keadaan lanjut terdapat hemosiderin, makrofag, dan fibroblas.

5
e. Coumarin Necrosis

Terjadi ekimosis akibat efek toksik kumarin terhadap endotel kapiler.

Pada bagian tengah ekimosis terdapat bula atau bagian yang nekrosis. Secara

histologik terdapat oklusi kapiler dermal, maupun subkutan tanpa

peradangan.

Gambar 2.5 Coumarin Necrosis

f. Purpura Trombositopenia karena Trombosis (thrombotic thrombocytopenic

purpura)

Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom Moschowite dengan trias:

trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan susunan saraf pusat.

Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa ekimosis, ikterus,

pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis, fenomena Raynaud,

nyeri perut, dan pembesaran hati.

Pemeriksaan laboratorik menunjukkan penurunan hematokrit dan

trombosit. Histopatologik tampak penimbunan hialin di subendotel kapiler

dan arteriol, juga terdapat di dalam lumen dan sedikit peradangan di stroma.

6
Untuk mengobati keadaan ini dianjurkan pemberian steroid, dekstran, atau

splenektomi.

g. Purpura Fulminan

Sinonim yang dikenal yaitu purpura nekrotikans dan purpura

gangrenosa. Penyakit ini mula-mula dijumpai oleh Henoch pada tahun 1887,

dan dijumpai pada anak-anak, biasanya menyertai infeksi virus atau bakteri.

Terdapat ekimosis yang tiba-tiba terutama di ekstremitas bagian bawah

disertai panas yang tinggi, malaise dan menggigil. Renjatan dan koma dapat

terjadi dalam waktu 2 hari.

Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan adanya trombositopenia dan

fibrinogenopenia. Bila dijumpai adanya perdarahan dan nekrosis kelenjar

adrenal pada biopsi/autopsi disebut sebagai Sindrom Waterhouse

Friderichsen.

Pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian antikoagulan dan

kortikosteroid dengan atau tanpa tranfusi darah, karena diperkirakan

perubahan dasar pada penyakit ini adalah trombosis intravaskular.

Gambar 2.6 Purpura Fulminan

7
2.4 Purpura Dengan Inflamasi (Vaskulitis)
a. Vaskulitis Leukositoklastik (purpura anafilaksis)/ Henoch Schonlein Purpura

Disebut juga sebagai purpura alergik. Kelainan ini diakibatkan karena

reaksi antigen antibodi di dekat endotel pembuluh darah yang mengakibatkan

perubahan permeabilitas pada dindingnya dan dilatasi pembuluh darah.

Sindrom ini merupakan vaskulitis termediasi IgA pada pembuluh darah kecil

yang ditandai oleh adanya purpura nontrombositopenik, nyeri abdomen,

arthritis dan nefritis.

Klinis didapatkan adanya purpura yang dapat diraba, eritema, edema,

urtikaria, dan bula. Tempat predileksi adalah tempat yang berhubungan

dengan tekanan hidrostatik. Apabila kelainan terbatas disebut sebagai purpura

simplex. Bilamana disertai nyeri sendi dinamai Sindrom Schonlein, dan bila

disertai gejala saluran cerna serta saluran kemih disebut Sindrom Henoch.

Histopatologik terlihat adanya infiltrate selular yang mengelilingi

pembuluh kapiler. Apabila reaksinya berat, maka terlihat kerusakan pada

sebagian atau seluruh pembuluh darah yang mengakibatkan nekrosis dan

ulserasi.

Sindrom Henoch Schonlein ini sering dijumpai pada anak berumur 3-

10 tahun. Infeksi virus merupakan faktor pencetus, begitu pula infeksi bakteri

dan alergi terhadap makanan, aspirin, zat warna azo, dan benzoat yang

dibubuhkan pada makanan. Pada pemeriksaan imunologi ditemukan

peningkatan kompleks IgA dan IgG.

8
Pengobatan dengan kortikosteroid cukup berhasil, analgesik dan

antispasmodik secara simtomatik cukup menolong. Penggunaan Fenformin

dan etilestrenol juga dianjurkan.

Gambar 2.7 Henoch Schonlein Purpura

b. Krioglobulinemia Campuran (vaskulitis neutrofilik)

Krioglobulin adalah imunoglobulin yang mengendap pada suhu dingin

dan mencair lagi pada suhu panas. Ada dua jenis, yaitu krioglobulinemia

monoklonal dan campuran (multikomponen). Krioglobulinemia campuran

merupakan imunokompleks IgG dan IgM, dapat ditemukan pada lupus

eritematosus sistemik dan artritis reumatoid, infeksi hepatitis B, dan

vaskulitis leukositoklastik. Secara klinis dijumpai adanya purpura yang dapat

diraba, artralgia dan glomerulonefritis.

9
Gambar 2.8 Vaskulitis Neutrofilik

c. Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta (PLEVA)

Keadaan akut ini sering dikenal sebagai penyakit Mucha Haberman,

klinis terdapat erupsi kulit yang luas terutama di badan ditandai degan papul-

papul yang berkembang menjadi papulonekrotik disertai perdarahan dan

meninggalkan bekas sikatriks ringan.

Gambaran histopatologik terdapat infiltrat perivaskular terutama

dengan serbukan sel mononuclear, meluas sampai ke papila dan epidermis,

terdapat pula parakeratosis dan akantosis, serta sel-sel Malphigi mengalami

degenerasi.

10
Gambar 2.9 Pitiriasis likenoides et varioliformis akuta (PLEVA)

d. Purpura pigmentosa kronik (vaskulitis limfositik)


Menurut Lever, ada 4 penyakit yang termasuk didalamnya, yaitu:
1) Purpura Anularis Telangiektoides (MAJOCHI)
Kelainan ini mengenai usia dewasa muda, tetapi juga dapat pada

semua golongan umur, tidak terdapat perbedaan jenis kelamin. Lesi ini

dimulai dengan makula eritematosa karena dilatasi kapiler pada seluruh

tubuh. Mackee (1955) menyatakan ada tiga fase penyakit yaitu fase

telangietaksis, perdarahan serta pigmentasi dan atrofi. Fase telangietaksis

diikuti timbulnya titik merah hitam di tepi lesi. Lesi secara perlahan-lahan

meluas berukuran 1-2 cm. Penyembuhan dimulai dari bagian tengah

sehingga membentuk lesi anular. Lesi anularis akan menetap beberapa

bulan sampai beberapa tahun dan akan meninggalkan atrofi.

11
Gambar 2.10 Purpura Anularis Telangiektoides (MAJOCHI)

2) Dermatosis Pigmentosa Progresif (Schamberg)


Kelainan ini berupa dermatosis yang kronik dimulai dengan lesi

merah kecoklatan disebabkan adanya endapan hemosiderin, di kulit

tampak bercak-bercak merah disebut cayene pepper, terutama pada

anggota badan bagian bawah. Pada umumnya lesi timbul tanpa disertai

rasa gatal. Kelainan ini menetap selama bertahun-tahun meninggalkan

bercak hiperpigmentasi. Hasil pemeriksaan laboratorium tidak

menunjukkan adanya kelainan.

Gambar 2.11 Dermatosis Pigmentosa Progresif (Schamberg)

3) Dermatosis Purpura Pigmentosa (Gougerot dan Blum)


Lebih dikenal dengan sindrom Gougerot-Blum. Biasanya timbul

pada usia sekitar 40-60 tahun. Lokalisasi dimana saja tetapi tersering di

tungkai berbentuk papul likenoid yang bersatu membentuk plakat, lesi

12
dapat simetris dan menetap, dan mempunyai warna yang bermacam-

macam. Seringkali penyakit ini dihubungkan dengan liken aureus.


Gambaran histopatologik menunjukkan bagian atas dermis

berserbukan sel radang menahun limfosit dan hemosiderin, dan terdapat

pula proliferasi endotel pembuluh darah. Secara klinis berbeda dengan

Schamberg terutama karena adanya papul likenoides.

4) Purpura Ekzematoid (Doucas dan Kapentanis)


Keadaan ini terdapat pada ekstremitas bagian bawah, biasanya

gatal, ditandai adanya papul, skuama dan likenifikasi. Purpura ekzematoid,

pigmentosa purpura di ekstremitas bawah, dan itching purpura sulit

dibedakan dengan Schamberg. Oleh karena itu keempatnya secara klinis

lebih baik disebut sebagai purpura pigmentosa kronik.


Gambaran histopatologik menunjukkan inflamasi, dilatasi kapiler,

ekstravasasi eritrosit dan endapan hemosiderin. Purpura ekzematoid

berbeda dengan purpura pigmentosa kronik yaitu purpura stasis atau

disebut pula sebagai akroangiodermatitis, yakni kelainan yang disebabkan

oleh insufisiensi vaskular. Lesi terutama pada ekstremitas bawah menjalar

ke dorsum pedis dan jari-jari kaki. Pada tungkai banyak terdapat variasi.

Lesi berupa makula eritematosa, kuning sampai kecoklatan karena adanya

hemosiderin. Sering dijumpai adanya edema, sklerosis, ulserasi dan tanda-

tanda insufisiensi vaskular lainnya.


Gambaran histologik pada purpura stasis terutama tampak proses

yang lebih dalam sampai ke dermis, pada dermis tampak fibrosis, dilatasi

kapiler dan endapan hemosiderin.

e. Purpura Infeksiosa
Lebih sering terjadi kerusakan vaskular baik langsung atau melalui

reaksi alergi. Terdapat kelainan laboratorium, yaitu trombositopenia. Infeksi

13
tersering adalah oleh meningiokok, yang mengakibatkan terjadinya sepsis,

endokarditis bakterial, infeksi virus, misalnya morbili dan lain-lain. Purpura

dapat timbul sebagai gejala prodormal.

f. Purpura Akibat Alergi Obat


Berbagai obat dapat menimbulkan purpura, contohnya:
1) Obat yang menekan sumsum tulang, misalnya benzol dan nitrogen

mustard.
2) Obat yang merusak sumsum tulang, misalnya kloramfenikol.
3) Obat yang merusak/menimbulkan trombositopenia, misalnya kina dan

sedermid.
4) Obat-obat lain yang juga dapat menyebabkan purpura antara lain

fenobarbital, yodida, streptomisin, salisilat, tolbutamid, klorpropamid, dan

antimetabolik.

2.5 Diagnosis

Purpura harus dibedakan dengan eritema. Purpura terjadi akibat

ekstravasasi eritrosit dari pembuluh darah ke dermis sehingga penekanan tidak

menyebabkan pudarnya warna lesi, sedangkan eritema terjadi akibat proses

inflamasi, kemerahan timbul akibat vasodilatasi lokal yang hilang pada penekanan

dengan jari atau diaskopi. Kombinasi perdarahan dan inflamasi dapat

menyebabkan purpura yang memudar sebagian.

Penyebab purpura dapat berupa kelainan hematologi, dermatologi, infeksi,

reumatologik, traumatik atau kelainan vaskular. Untuk diagnosis purpura ada tiga

informasi mendasar yang perlu digali: 1) Apakah itu purpura? 2) Apakah lesi

primer? 3) Apakah purpura tersebut dapat diraba?

14
Manifestasi purpura dapat berupa petekie, purpura, makula, ekimosis,

kontusio, dll. Lesi purpura biasanya merah, biru atau keunguan, dapat pula kuning

dan kehijauan akibat proses degradasi hemoglobin sehingga warna menentukan

patofisiologi purpura. Purpura yang merah disebabkan oleh saturasi hemoglobin

dengan aliran darah dan perfusi yang cukup pada kulit. Warna merah terang

menunjukkan perdarahan superfisial. Warna biru menunjukkan hambatan aliran

darah dan sering terlihat pada lesi perdarahan dan sianosis. Livedo reticlaris

berwarna biru keunguan dengan pola seperti jaring akibat hambatan aliran darah

ke kulit.

15
Gambar 2.12 Alur Diagnosis Purpura

Lesi yang dapat diraba menunjukkan jumlah perdarahan bawah kulit.

Semakin besar perdarahan semakin mungkin lesi teraba. Pada purpura yang dapat

diraba terjadi edema dan inflamasi. Edema sering disebabkan oleh inflamasi atau

mengawali iskemia mikrovaskular. Purpura retiformis adalah purpura bercabang

seperti jaring yang menunjukkan terjadinya oklusi mikrovaskular akibat proses

vasooklusi pada cyroglobulinemia atau antibody antifosfolipid, vaskulitis atau

DIC (Disseminated Intravascular Coagulation).

16
2.6 Pemeriksaan Laboratorium Untuk Diagnostik

Pemeriksaan ini sangat penting untuk mencari penyebab kelainan, apakah

kelainan terletak pada vaskular, gangguan pembekuan dan trombosit. Pemeriksaan

tersebut adalah:

a. Waktu perdarahan
b. Fragilitas kapiler
c. Waktu pembekuan
d. Waktu retraksi bekuan
e. Jumlah trombosit
f. Prothrombin time (PT)
Adalah waktu yang dibutuhkan plasma untuk membeku setelah

penambahan faktor jaringan (tromboplastin) dan kalsium. Pemanjangan PT

menunjukkan adanya defisiensi faktor II, V, VII, X atau fibrinogen.


g. Activated partial thromboplastin time (aPTT)
Adalah waktu yang dibutuhkan plasma yang dipreinkubasi dengan kaolin

untuk membeku setelah penambahan kalsium dan trombosit. Pemanjangan

aPTT ditemukan pada defisiensi faktor koagulasi II, V, VIII, IX, X, XI,

XII, atau fibrinogen.


h. Waktu rekalsifikasi
i. Waktu fibrinogen dalam plasma
j. Waktu serum protrombin
k. Tromboplastin generation test
l. Tes fibrinolisin
m. Tes antikoagulan

Disamping itu, perlu bekerjasama dengan Bagian Hematologi, apakah

ditemukan kelainan pada apusan darah tepi, pemeriksaan sumsum tulang, dan

kelainan sistemik lainnya. Biopsi kulit mempunyai peranan yang penting untuk

menunjang diagnosis.

2.7 Pengobatan

17
Purpura merupakan salah satu gejala klinis yang penyebabnya sangat

kompleks sehingga setiap kasus perlu mendapat pemeriksaan yang teliti.

Pemberian obat harus secara hati-hati karena obat-obat pun dapat menimbulkan

purpura. Kelainan vaskular sekunder dapat pula terjadi akibat trauma mekanis,

infeksi, penyakit sistemik dan metabolik, toksik dan karsinoma. Dengan demikian

hal-hal tersebut perlu mendapatkan perhatian.

Beberapa obat telah disebutkan pada kelainan diatas, penggunaan vitamin

C, vitamin K, transamin, atau anaroksil masih dianjurkan. Pada keadaan tertentu

diperlukan tranfusi dan splenektomi.

18
BAB III

KESIMPULAN

Purpura merupakan suatu gejala yang timbul akibat adanya ekstravasasi

sel darah merah (eritrosit) ke kulit dan selaput lendir (mukosa), dengan

manifestasi berupa makula kemerahan yang tidak hilang pada penekanan. Pada

dasarnya purpura dapat terjadi akibat gangguan vaskular, gangguan trombosit,

atau karena gangguan pembekuan.

Menurut ukuran besarnya purpura dibedakan menjadi petekie, ekimosis,

sugulasio, dan hematoma. Sedangkan menurut Lever, purpura dibedakan menjadi

dua macam yaitu purpura tanpa inflamasi dan purpura dengan inflamasi.

Gambaran histopatologik secara umum pada kedua golongan tersebut yaitu: 1)

Purpura tanpa inflamasi didapatkan ekstravasasi eritrosit, 2) Pada purpura dengan

inflamasi selain ekstravasasi eritrosit biasanya disertai adanya vaskulitis.

Purpura merupakan suatu gejala, sehingga penanganannya harus secara

teliti dan pemeriksaan yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui etiologi yang

tepat. Diperlukan investigasi lebih lanjut untuk mencari dasar penyebab keluhan

purpura. Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan fisik yang cermat, didukung oleh pemeriksaan laboratorium dan

biopsi kulit. Pemeriksaan laboratorium yang sering digunakan adalah hitung darah

lengkap, pemeriksaan darah tepi, PT, aPTT dan TT.

19
DAFTAR PUSTAKA

Aisah, Siti. 2009. “Purpura” dalam Adhi Djuanda, dkk. Ilmu Penyakit Kulit dan

Kelamin Edisi Kelima halaman 284-288. Jakarta: FKUI

James, W.D., Berger T.G. and Elston D.M. 2011. Andrew’s Diseases of the Skin.

Clinical Dermatology; 11th ed., pp. 809-810. China: Saunders Elsevier

Griffiths, C., Barker, J., Bleiker, T. 2016. Rook’s Textbook of Dermatology, 9th ed.

Oxford: Blackwell Scientific Publications

Goldsmith L. A., et al. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 8th

ed. New York: Mc Graw Hill

20

Anda mungkin juga menyukai