Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tuberkulosis

2.1.1 Pengertian Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman

Mycobacterium tuberculosa. Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia, yaitu

pneumonia yang disebabkan oleh M. Tuberculosa (Darmanto, 2014). Tuberkulosis

(TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium

Tuberculosis atau kuman TB. Sebagian bakteri ini menyerang paru, tetapi dapat

juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2011). Manusia adalah satu-

satunya tempat untuk bakteri tersebut menyerang. Bakteri ini berbentuk batang dan

termasuk bakteri aerob obligat (Todar, 2009). Bakteri Mycobacterium tuberculosis

tidak menghasilkan spora dan toksin. Bakteri ini memiliki panjang dan tinggi antara

0,3 - 0,6 dan 1 - 4 µm, pertumbuhan bakteri ini lambat dan bakteri ini merupakan

bakteri pathogen makrofag intraselluler (Ducati dkk, 2006). Pada saat penderita

TB batuk dan bersin kuman menyebar melalui udara dalam bentuk percikan dahak

(droplet nuclei) dimana terdapat 3.000 percikan dahak dalah sekali batuk (Depkes

RI, 2007). M. tuberculosis ditularkan melalui percikan ludah. Infeksi primer dapat

terjadi di paru-paru, kulit dan usus (Hull, 2008).

1
2.1.2 Patofisiologi Tuberkulosis

Bila terinplantasi Mycobacterium tuberculosis melalui saluran nafas, maka

mikroorganisme akan membelah diri dan terus berlangsung walaupun cukup pelan.

Nekrosis jaringan dan klasifikasi pada daerah yang terinfeksi dan nodus limfe

regional dapat terjadi, menghasilkan radiodens area menjadi kompleks Ghon.

Makrofag yang terinaktivasi dalam jumlah besar akan mengelilingi daerah yang

terdapat Mycobacterium tuberculosis sebagai bagian dari imunitas yang dimediasi

oleh sel. Hipersensitivitas tipe tertunda, juga berkembang melalui aktivasi dan

perbanyakan limfosit T. Makrofag membentuk granuloma yang mengandung

organisme. Setelah kuman masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan,

bakteri TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui

sistem peredaran darah, sistem saluran limfa, saluran nafas, atau penyebaran

langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Sukandar dkk., 2009).

2.1.3 Tanda Gejala Tuberkulosis

Keluhan yang dirasakan pasien Tuberkulosis paru dapat bermacam-macam

atau banyak pasien ditemukan Tuberkulosis paru tanpa keluhan sama sekali. Gejala

berupa gejala umum dan gejala respiratorik. Gejala umum berupa demam dan

malaise. Demam ini mirip dengan demam yang disebabka influenza namun kadang-

kadang dapat mencapai 40-41oC. gejala demam ini bersifat hilang timbul. Malaise

yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia,

nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan (Darmanto, 2014).

2
Gejala TB pada umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-

menerus selama 2 minggu atau lebih, yang disertai dengan gejala pernafasan lain,

seperti sesak nafas, batuk darah nyeri dada, badan lemah, nafsu makan atau pernah

batuk darah, berat badan menurun, berkeringan malam walaupun tanpa kegiatan,

dan demam meriang lebih dari sebulan (WHO, 2009).

2.1.4 Klasifikasi Tuberkulosis

Klasifikasi TB ditentukan dengan tujuan agar penetapan Obat

Antituberkulosis (OAT) sesuai dan sebelum pengobatan dilakukan , penderita TB

diklasifikasikan menurut Depkes RI, (2014):

1. Lokasi anatomi dari penyakit

Tuberkulosis paru adalah TB yang terjadi pada parenkim paru. Limfadenitis TB

di rongga dada atau efusi pleura tanpa terdapat gambaran radiologis yang

mendukung TB pada paru, dinyatakan sebagai TB ekstra paru. Pasien yang

menderita TB paru dan menderita TB ekstra paru diklasifikasikan sebagai

pasien TB paru.

2. Riwayat pengobatan dari penyakit sebelumnya

1) Pasien baru TB adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan

TB sebelumnya atau sudah pernah mengonsumsi Obat Antituberkulosis

(OAT) namun kurang dari 1 bulan atau kurang dari 28 dosis.

2) Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang sebelumnya sudah pernah

mengonsumsi OAT selama 1 bulan atau lebih (≥28 dosis).

3
Kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan hasil pengobatan TB

terakhir, yaitu:

(1) Pasien kambuh adalah pasien TB yang pernah dinyatakan sembuh atau

pengobatan lengkap kemudian didiagnosis TB berdasarkan hasil

pemeriksaan bakteriologis atau klinis.

(2) Pasien yang diobati kembali setelah gagal adalah pasien TB yang pernah

diobati kemudian dinyatakan gagal pada pengobatan terakhir.

(3) Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

adalah pasien yang pernah diobati dan dinyatakan lost to follow

(klasifikasi ini sebelumnya dikenal sebagai pengobatan pasien setelah

putus berobat).

(4) Lain-lain adalah pasien TB yang pernah diobati namun hasil pengobatan

akhir pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui.

3. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat Pada klasifikasi ini

pasien dikelompokkan berdasarkan hasil uji kepekaan contoh uji dari

Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT dan dapat berupa :

1) Mono resistan (TB MR) adalah resistan terhadap salah satu jenis OAT lini

pertama.

2) Poli resistan (TB PR) adalah resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT

lini pertama selain isoniazid (H) dan rifampisin (R) secara bersamaan.

3) Multi drug resistan (TB MDR) adalah resisten terhadap isoniazid (H) dan

rifampisisn (R) secara bersamaan.

4
4) Extensive drug resistan (TB XDR) adalah TB MDR yang juga resisten

terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan resistan minimal

salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan seperti kanamisin,

kapreomisin, dan amikasin.

5) Resistan Rifampisin (TB RR) adalah resistan terhadap rifampisisn dengan

atau tanpa resistan terhadap OAT jenis lain yang terdeteksi menggunakan

uji genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).

4. Klasifikasi pasien TB berdasarkan status Human Immunodeficiency Virus

(HIV)

1) Pasien TB dengan HIV positif (pasien ko-infeksi TB/HIV) adalah pasien TB

dengan hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mengonsumsi Obat

Antiretroviral (ART) atau hasil tes hiv positif pada saat pasien tersebut

didiagnosis TB.

2) Pasien TB dengan HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada

saat pasien tersebut didiagnosois TB dengan catatan: Apabila pada

pemeriksaan yang dilakukan selanjutnya ternyata hasil tes HIV menjadi

positif, pasien tersebut harus disesuaikan kembali klasifikasinya sebagai

pasien TB dengan HIV positif.

3) Pasien TB dengan status HIV tidak diketahui adalah pasien TB tanpa ada

bukti pendukung dari hasil tes HIV yang telah dilakukan saat diagnosis TB

ditetapkan dengan catatan: Apabila pada saat pemeriksaan selanjutnya dapat

diperoleh hasil tes HIV, pasien harus disesuaikan kembali klasifikasinya

berdasarkan hasil tes HIV terakhir yang dilakukan.

5
2.1.5 Diagnosis Tuberkulosis

Berikut pemeriksaan untuk mendiagnosis TB menurut Depkes 2014:

1. Pemeriksaan dahak mikroskopis

Pemeriksaan ini berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai pengobatan

yang telah dilakukan, dan menentukan potensi penularan TB. Dilakukan

dengan mengumpulkan tiga spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari

berupa Sewaktu-Pagi Sewaktu (SPS).

1) S (Sewaktu): Dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung

pertama kali dan pada saat pulang diberi sebuah pot dahak untuk

mengumpulkan dahak pagi di hari kedua.

2) P (Pagi): Dikumpulkan di rumah pada hari kedua di pagi hari. Pada saat

bangun tidur segera dikumpulkan dan diserahkan sendiri ke petugas di

Fasyankes.

3) S (Sewaktu): Dikumpulkan di hari kedua pada saat mengumpulkan dahak

pagi.

2. Pemeriksaan penunjang

1) Test Tuberkulin Intradermal (Mantoux): Dilakukan dengan cara

penyuntikan pada intakutan. Bila positif, menunjukkan adanya infeksi TB.

Namun, uji tuberkulin dapat negatif pada anak TB berat dengan anergi

(malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian imunosupresif, dan lain-lain)

(Raharjoe dan Setyanto, 2008).

2) Reaksi cepat BCG (Bacille Calmette-Guerin): Disuntikkan ke kulit. Bila

dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa

6
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka orang tersebut telah terinfeksi oleh

Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2005).

3) Pemeriksaan Radiologi: Pada pemeriksaan ini sering menunjukkan adanya

TB, tetapi hampir tidak dapat mendiagnosis karena hampir semua

manifestasi klinis TB dapat menyerupai penyakit-penyakit lainnya (Price

dan Standridge, 2005).

4) Pemeriksaan Bakteriologik : Pada pemeriksaan ini yang paling penting

adalah pemeriksaan sputum (Price dan Standridge, 2005).

2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, memperbaiki

kualitas hidup, meningkatkan produktivitas pasien, mencegah kematian,

kekambuhan dan memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi

kuman terhadap obat antiberkulosis (OAT) (WHO, 2009).

Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombinasi berupa Kombinasi

Dosis Tetap (KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat

yang dikemas dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan

penderita TB. Sediaan seperti ini dibuat dengan tujuan agar memudahkan dalam

pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan sampai pengobatan

tersebut selesai dilakukan (Depkes, 2014).

1. Prinsip pengobatan

1) Diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat dengan jumlah yang

cukup dan dosis yang tepat. Jangan menggunakan OAT tunggal

(monoterapi).

7
2) Dilakukan pengawasan langsung (DOT = Direct Observed Treatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

3) Diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan (Depkes,

2011)

2. Tahap Pengobatan TB

1) Tahap Awal Pada tahap ini, penderita mendapatkan OAT setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung. Penderita TB tidak akan menular dalam

kurun waktu dua minggu jika pengobatan yang diberikan pada tahap intensif

ini tepat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif

dalam dua bulan (Depkes, 2014).

2) Tahap Lanjutan Pada tahap ini, penderita mendapatkan obat yang lebih

sedikit dari tahap awal namun pengobatan yang dilakukan lebih lama yaitu

selama 4-6 bulan. Tahap lanjutan diperuntukkan agar kuman persisten

(dormant) mati sehingga tidak menyebabkan kekambuhan. (Depkes, 2014).

3. Panduan OAT lini pertama

Paduan OAT menurut Depkes RI tahun 2014

1) Kategori-1 (2(HRZE)/ 4(HR)3)

Kombinasi OAT ini diberikan untuk penderita TB pasien baru, pasien TB

paru terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis dan TB

ekstra-paru. Sediaan ini dalam bentuk paket obat kombinasi dosis tetap

(KDT) yang terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R). pirazinamid (Z), dan

8
etambutol (E). Dalam satu tablet dosisnya telah disesuaikan dengan berat

badan pasien yang dikemas dalam satu paket untuk satu pasien

2) Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)

Untuk kategori ini, tahap intensif dilakukan selama 3 bulan terdiri dari 2

bulan INH, rifampisin, pirazinamid, ethambutol, dan streptomisisn

kemudian dilanjutkan dengan INH, Rifampisin, Pirazinamid, dan

Ethambutol selama 1 bulan. Setelah itu melalui berikutnya yaitu tahap

lanjutan selama 5 bulan dengan HRE diberikan tiga kali seminggu.

Penggunaan OAT diberikan pada penderita TB dengan BTA positif yang

telah diobat sebelumnya, misalnya penderita TB yang kambuh (relaps),

mengalami kegagalan terapi (failure), dan dengan pengobatan setelah putus

berobat (after default).

2.2 Konsep Efikasi Diri

2.2.1 Definisi Efikasi Diri

Efikasi diri adalah sebuah konsep yang dirumuskan oleh Albert Bandura

(1997), guru besar psikologi di Standford University, dan bersumber dari social

learning theory. Menurut Bandura (1997), “efficacy is a major basis of action.

People guide their lives by their beliefs of personal efficacy. Self-efficacy refers to

beliefs in one‟s capabilities to organize and execute the courses of action required

to produce given attainments.” Dengan demikian, efikasi ini merupakan satu

keyakinan yang mendorong individu untuk melakukan dan mencapai sesuatu.

Efikasi diri hanya merupakan satu bagian kecil dari seluruh gambaran kompleks

9
tentang kehidupan manusia, tetapi dapat memberikan pemahaman yang lebih baik

tentang kehidupan itu dari segi kemampuan manusia. Keragaman kemampuan

manusia ini diakui oleh teori efikasi diri. Teori efikasi diri merupakan upaya untuk

memahami keberfungsian kehidupan manusia dalam pengendalian diri, pengaturan

proses berpikir, motivasi, kondisi afektif dan psikologis (Bandura, 1997). Melalui

perspektif ini, efikasi diri diyakini dapat membuat individu mampu menafsirkan

dan menerjemahkan faktor-faktor internal dan eksternal ke dalam tindakan nyata.

Namun perlu ditegaskan bahwa individu-individu yang berbeda memiliki

kemampuan yang berbeda dalam membaca pikiran mereka dan memandang

lingkungan mereka.

Pada dasarnya efikasi diri tidak spesifik bagi individu-individu tertentu

karena ini merupakan satu konsep umum. Bandura (1997) berpendapat bahwa

efikasi diri adalah kemampuan umum yang terdiri atas aspek-aspek kognitif, sosial,

emosional dan perilaku, dan individu harus mampu mengolah aspek-aspek itu

untuk mencapai tujuan tertentu. Tetapi Bandura (1997) mengingatkan bahwa

efikasi diri merupakan sebuah instrumen multi guna karena konsep ini tidak hanya

berkaitan dengan kemampuan, namun juga mampu menumbuhkan keyakinan

bahwa individu dapat melakukan berbagai hal dalam berbagai kondisi. Dengan kata

lain, efikasi diri berlaku sebagai mesin pembangkit kemampuan manusia. Oleh

karena itu, tidaklah mengherankan jika seseorang memiliki efikasi diri yang kuat,

maka ia bermotivasi tinggi dan bahkan menunjukkan pandangan yang ekstrim

dalam menghadapi suatu situasi.

10
2.2.2 Sumber Informasi bagi Efikasi Diri

Efikasi diri tidak tumbuh dengan sendirinya, tetapi terbentuk dalam

hubungan segitiga antara karakteristik pribadi, pola perilaku dan faktor lingkungan

(Bandura, 1997). Dengan demikian, hubungan ini bersifat alami, personal dan

sosial, dan mungkin terjadi proses yang panjang dan kompleks untuk menciptakan

hubungan ini. Menurut Bandura (1997), ada empat sumber informasi yang

memberikan kontribusi penting terhadap pembentukan efikasi diri:

1. Mastery Experience (pengalaman keberhasilan) keberhasilan yang didapatkan

akan meningkatkan efikasi diri yang dimilki seseorang sedangkan kegagalan

akan menurunkan efikasi dirinya. Apabila keberhasilan yang didapatkan

seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan

membawa pengaruh terhadap peningkatan efikasi diri. Akan tetapi, apabila

keberhasilan itu didapat melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil

perjuangan sendiri maka hal itu akan membawa pengaruh terhadap peningkatan

efikasi diri.

2. Vicarious Experience atau modeling (meniru) pengalaman keberhasilan orang

lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas

biasanya akan meningkatkan efikasi diri seseorang dalam mengerjakan tugas

yang sama. Efikasi tersebut didapat melalui social models yangbiasanya terjadi

pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya

sehingga melakukan modeling. Namun efikasi diri yang didapat tidak akan

berpengaruh bila model yang diamati tidak memilki kemiripan atau berbeda

dengan model.

11
3. Social Persuasion: informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara

verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk

menyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampumelakukan suatu tugas.

4. Physiological & Emotion State kecemasan dan stres yang terjadi dalam diri

seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan suatu kegagalan. Pada

umumnya seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam

kondisi yang tidak di warnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya

keluhan atau gangguan somantik lainnya. Efikasi diri biasanya ditandai oleh

rendahnya tingkat stress dan kecemasan sebaliknya efikasi diri yang rendah

ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula.

2.2.3 Aspek-aspek Efikasi Diri

Keberhasilan individu dalam menyelesaikan tugas dapat meningkatkan

efikasi diri. Tingkat efikasi diri yang dimiliki individu dapat dilihat dari aspek

efikasi diri. Efikasi diri yang dimiliki seseorang berbeda-beda, dapat dilihat

berdasarkan aspek yang mempunyai implikasi penting pada perilaku. Menurut

Bandura (dalam Sulistyawati, 2012: 145) ada tiga aspek dalam efikasi diri yaitu:

1. Magnitude, Aspek ini berkaitan dengan kesulitan tugas. Apabila tugas-tugas

yang dibebankan pada individu menurut tingkat kesulitannya, maka perbedaan

efikasi diri secara individual mungkin terdapat pada tugas-tugas yang

sederhana, menengah, atau tinggi. individu akan melakukan tindakan yang

dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan akan tugas-tugas yang

diperkirakan diluar batas kemampuan yang dimilkinya.

12
2. Generality, Aspek ini berhubungan luas bidang tugas atau tingkah laku.

Beberapa pengalaman berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap

pengharapan pada bidang tugas atau tingkah laku yang khusus sedangkan

pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai tugas

3. Strength, Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan atau kemantapan

seseorang terhadap keyakinannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah

digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahnya,

sedanagkan seseorang yang memiliki efikasi diri yang kuat tekun dalam

meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang

memperlemahnya.

Individu yang memiliki bentuk efikasi diri yang tinggi memiliki sikap optimis,

suasana hati yang positif, dapat memperbaiki kemampuan untuk memproses

informasi secara lebih efisien, memiliki pemikiran bahwa kegagalan bukanlah

sesuatu yang merugikan namun justru memotivasi diri untuk melakukan yang lebih

baik. Individu yang efikasi dirinya rendah memiliki sikap pesimis, suasana hati

yang negatif meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi marah, mudah

bersalah,dan memperbesar kesalahan mereka Bandura (dalam Santrock, 2005)

2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Efikasi Diri

Efikasi diri sangat mempengruhi perilaku manusia. Jika orang yakin

mempunyai kemampun untuk menghasilkan sesuatu yang diinginkan maka

individu akan berusaha untuk mencapainya. Efikasi diri merupakan keyakinan

seseorang terhadap dirinya akan mampu melaksanakan tingkah laku yang

diperlukan dalam suatu tugas yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Efikasi diri

13
merupakan faktor penting untuk menentukan apakah indiviu akan berprestasi atau

tidak. Adapun Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri menurut

Bandura (dalam Santrock, 2007) yaitu :

1. Sifat tugas yang dihadapi. Situasi-situasi atau jenis tugas tertentu menuntut

kinerja lebih sulit dan berat dari pada tugas dan situasi yang lain.

2. Insentif eksternal.intensif berupa hadiah (reward) yang diberikan oleh orang

lainuntuk merefleksikan keberhasilan seseorang dalam menguasai dan

melaksanakan suatu tugas (competence contigen insetif) misalnya pemberian

pujian

3. Status atau peran individu dalam lingkungan. Derajat status sosial seseorang

mempengaruhi penghargaan dari orang lain dan rasa percaya dirinya.

4. Informasi tentang kemampuan dirinya. Efikasi diri seseorang akan meningkat

atau menurun jika ia mendapat informasi yang positif atau negatif tentang

dirinya.

Efikasi diri yang mempengaruhi proses berpikir, motivasi dan kondisi perasaan

yang semuanya berperan terhadap apa yang dilakukan. Individu dengan efikasi diri

yang rendah dalam mengerjakan tugas tertentu akan cenderung menghindari tugas

itu. Individu akan merasa sulit untuk memotivasi diri akan mengurangi usahanya

atau menyerah dalam berbagai macam rintangan yang di hadapinya. Efikasi diri

juga mempengaruhi besar usaha dan ketahanan individu dalam menghadapi

kesulitan. Individu dengan efikasi diri yang tinggi memandang tugas- tugas yang

sulit sebagai tantangan untuk dihadapi daripada sebagai ancaman untuk

dihindari.Jadi faktor yang dapat mempengaruhi efikasi diri yaitu suatu tugas

14
yang di rasakan sulit harus di hadapinya dengan berbagai situasi tertentu melalui

keyakinan akan kemampuanya sendiri.

2.2.5 Teori Sosial Kognitif

Social cognitive theory (SCT) adalah sebuah teori yang dikembangkan oleh

beberapa orang, namun Albert Bandura adalah tokoh yang paling menonjol. Teori

ini merupakan pengembangan dari sosial learning theory (SLT) yang menyebabkan

bahwa seseorang dapat mempelajari suatu perilaku dari orang- orang, bukan hanya

melalui pengalamannya sendiri (National Cancer Institute, 2005). Bandura (1997)

kemudian menambahkan konsep self efficacy dan merevisi teori sosial learning

theory menjadi sosial cognitive theory. Sosial cognitive theory menyatakan bahwa

pembelajaran melalui observasi (observational learning) dan pembelajaran

partisipatif (participatory learning) akan membangun pengetahuan dan

ketrampilan yang diperlukan untuk merubah perilaku dan menjadi alat yang sangat

efektif untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan diri (self confidence dan

self efficacy) (nutbearn, 1999).

Bandura (1997) mendefinisikan self efficacy sebagai, “kemampuan

seseorang untuk mengorganisir dan melakukan tindakan yang diperlukan untuk

mengatasi situasi di masa yang akan dating”. Self efficacy dianggap sebagai syarat

utama dari perubahan perilaku dan sangat menentukan seberapa jauh usaha yang

dilakukan individu untuk melakukan perubahan perilaku tersebut (Nurbean, Harris,

1999).

15
2.2.6 Efikasi Diri pada Pasien TB

Penderita TB selain faktor fisik, penting juga diperhatikan faktor behavior

yaitu tindakan perubahan dalam kualitas hidup gejala dan fungsi fisiologis penderita

pada saat pengobatan. Efikasi diri dirancang untuk memberikan keyakinan individu

untuk melakukan kegiatan yang dipilih sebagai usaha yang diinginkan (Garrod,

2008). Untuk mencapai efikasi diri yang positif penderita TB harus memahami

beberapa aspek mengenai efikasi diri yaitu yang pertama Magnitude, Aspek ini

berkaitan dengan kesulitan tugas, penderita TB harus memahami kapasitas dirinya

pada saat melakukan tugas seperti saat melakukan tugas rumah pekerjaan tersebut

terlalu berat pada saat itu untuk dilakukan, maka pilihlah pekerjaan yang sesuai

dengan kapasitasnya pilihlah pekerjaan yang ringan dan tidak membuat letih seperti

merapikan kamar sendiri.

Generality, Aspek ini berhubungan luas bidang tugas atau tingkah laku yang

mana penderita TB yakin akan kemampuannya. Penderita TB dapat merasa yakin

akan kemampuan dirinya. Apabila dalam suatu waktu penderita mendapatkan

batasan aktivitas dalam masa pengobatannya maka penderita TB haruslah

memahami kemapuannya saat itu terbatas dan mengurangi melakukan aktivitas

diluar larangan aktivitas. Strength, Aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan

atau kemantapan seseorang terhadap keyakinannya. Pengharapan yang lemah dan

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman penderita TB yang tidak

mendukung. Seperti pada saat penderita TB pernah mengalami suatu kegagalan

dalam melakukan pekerjaan atau bahkan pengobatan, penderita TB harus mampu

meyakinkan dirinya atau bahkan percaya pada saat ini dalam proses

16
pengobatannya penderita TB mampu untuk melaksanakan tugasnya dalam berobat.

Pengukuran Efikasi Diri menggunakan kuisioner Efikasi Diri yang diambil dari

penelitian Sutrisna, A. Artha (2017) tentang Efikasi Diri dengan Kepatuhan Minum

Obat TB yang telah di uji validitas dan reabilitas.

2.3 Konsep Dukungan Keluarga

2.3.1 Definisi Keluarga

Keluarga adalah dua atau lebih dari dua individu yang tergabung karena

hubungan darah, hubungan perkawinan atau pengangkatan dan mereka hidup dalam

satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dan melakukan suatu kegiatan sesuai

dengan perannya masing-masing, menciptakan serta mempertahankan kebudayaan.

(Bailon dan Malagaya, 1989). WHO (1969) keluarga adalah anggota rumah tangga

yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan.

Dukungan keluarga merupakan suatu proses yang terjadi sepanjang masa

kehidupan, sifat dan jenis dukungan berbeda-beda pada setiap tahap siklus

kehidupan (Friedman, 2013). Sudiarto (2010), menyatakan setiap anggota keluarga

mempunyai struktur peran formal dan informal, misalnya ayah mempunyaiperan

formal sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Peran informal ayah adalah

sebagai panutan dan pelindung keluarga. Struktur keluarga meliputi kemampuan

berkomunikasi, kemampuan keluarga saling berbagi,

17
kemampuan sistem pendukung di antara anggota keluarga, kemampuan perawatan

diri dan kemampuan menyelesaikan masalah.

Menurut Bugges dalam Friedman (2013) keluarga terdiri dari orang-orang

yang disatukan oleh ikatan perkawinan, darah dan ikatan adopsi. Para anggota

sebuah keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah tangga, atau jika

mereka hidup secara terpisah, mereka tetap menganggap rumah tangga tersebut

sebagai rumah mereka. Anggota keluarga berinteraksi dan berkomunikasi satu sama

lain dalam peran-peran sosial keluarga seperti suami isteri, ayah dan ibu, anak laki-

laki kesehatan, dan melakukan konsultasi, serta mencari informasi dari media cetak

maupun sumber lain yang mendukung.

Menurut Departemen Kesehatan RI (2005), keluarga adalah unit terkecil

dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang sebagai

anggota keluarga yang berkumpul dan tingkat di suatu tempat dibawah satu atap

dalam saling ketergantungan.

2.3.2 Fungsi Dukungan Keluarga

Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem

pendukung bagi anggotanya. Caplan (1976) dalam Friedman (2013) menjelaskan

bahwa keluarga memiliki fungsi dukungan yaitu dukungan informasional,

dukungan penilaian, dukungan isntrumental dan dukungan emosional.

1. Dukungan informasional adalah keluarga berfungsi sebagai sebuah keluarga

diseminator atau penyebar informasi tentang semua informasi yang ada dalam

kehidupan. Keluarga berfungsi sebagai pencari informasi yang berhubungan

dengan masalah menyusui dari tenaga

18
2. Dukungan penilaian adalah jenis dukungan dimana keluarga bertindak sebagai

pembimbing dan bimbingan umpan balik, memecahkan masalah dan sebagai

sumber validator identitas anggota dalam keluarga.

3. Dukungan instrumental adalah bentuk dukungan dimana keluarga sebagai

sebuah sumber petolongan praktis dan kongkrit untuk menyelesaikan masalah,

dan

4. Dukungan emosional adalah bentuk dukungan dimana keluarga sebagai sebuah

tempat pemulihan yang aman dan damai untuk beristirahat dan membantu

secara psikologis untuk menstabilkan emosi dan mengendalikan diri. Salah satu

bentuknya adalah melalui pemberian motivasi dan sebagai fasilitator serta

mendengarkan seluruh keluhan-keluhan anggota keluarga atau ibu terhadap

masalah yang sedang dihadapinya (Caplan dalam Friedman 1998).

2.3.3 Tipe dan bentuk keluarga

1. Keluarga inti

Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.

2. Keluarga besar

Keluarga inti ditambah sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan,

saudara, sepupu, paman, bibi dan lainnya.

3. Keluarga Berantai (Serial Family)

Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita yang kawin lebih dari satu kali dan

merupakan keluarga inti

19
4. Keluarga Duda/Janda (Single Family)

Keluarga yang terjadi perceraian atau meninggal dunia.

5. Keluarga Berkomposisi (Composite)

Keluarga yang perkawinannya berpoligami dan hidup secara bersama.

6. Kelurga Kabitas (Cahabitation)

Dua orang menjadi satu tanpa perkawinan tetapi membentuk satu keluarga

(Effendi, 2001).

2.3.4 Tugas Keluarga

Pada dasarnya ada delapan tugas pokok keluarga sebagai berikut

1. Pemeliharaan fisik keluarga dan para anggotanya

2. Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga

3. Pembagian tugas anggotanya sesuai dengan kedudukannya masing-masing

4. Sosialisasi antar anggota keluarga

5. Pengaturan jumlah anggota keluarga.

6. Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga

7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas.

8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga.

2.3.5 Tugas Keluarga dalam Bidang Kesehatan

Untuk dapat mencapai tujuan asuhan keperawatan kesehatan keluarga,

keluarga mempunyai tugas dalam pemeliharaan kesahatan para anggotanya dan

saling memelihara. Freeman membagi 5 tugas kesehatan yang harus dilakukan oleh

keluarga, yaitu :

20
1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggotanya.

2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat.

3. Memberikan keperawatan kepada anggota keluarga yang sakit dan yang tidak

dapat membantu dirinya sendiri karena cacat atau usianya yang terlalu muda.

4. Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan

perkembangan kepribadian anggota keluarganya.

5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga- lembaga

kesehatan dan pemanfaatan dengan baik fasilitas-fasilitas kesehatan yang ada.

2.3.6 Peran Keluarga

Peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal sifat,

kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peran

individu dalam keluarga didasari oleh harapan dan pola prilaku dari keluarga,

kelompok dan masyarakat. Berbagai peranan dalam keluarga adalah sebagai

berikut:

1. Peran ayah

Ayah sebagai suami dari istri dan sebagai ayah dari anak-anaknya, berperan

sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung, dan pemberi rasa aman kepada

anggota keluarganya, sebagai kepala keluarga, sebagai anggota kelompok sosial

serta sebagai anggota amsyarakat dalam lingkungannya.

2. Peran ibu

Sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya, ibu mempunyai peranan

untuk mengurus rumah tangga, sebagai pengasuh, mendidik dan

21
pelindung anak-anaknya.Sebagai anggota kelompok sosial serta sebagai

anggota masyarakat dari lingkungan, disamping itu dapat berperan sebagai

pencari nafkah tambahan dalam keluarga.

3. Peran anak

Anak-anak melaksanakan peranan sebagai seorang anak sesuai dengan tingkat

perkebangan baik fisik, mental, sosial, spiritual.

4. Peran kakek atau nenek

Kakek atau nenek mempunyai peran semata-mata hanya hadir dalam keluarga,

bertindak sebagai pengawal nasional yaitu keberadaannya untuk menjaga dan

melindungi bila dibutuhkan, menjadi hakim yaitu menjadi negosiator antara

anak dan orang tua, menjadi partisipan aktif dalam konstruksi sejarah sosial dari

keluarga yaitu menciptakan keterkaitan antara masa lalu keluarga dan masa

sekarang serta masa yang akan dating (Effendi, 2001).

2.3.7 Fungsi Keluarga

Ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga, sebagai berikut :

1. Fungsi biologis

a. Untuk menentukan keturunan

b. Memelihara dan membesarkan anak

c. Memelihara dan merawat anggota keluarga

2. Fungsi psikologis

a. Memberikan kasih sayang dan rasa aman

b. Memberikan perhatian diantara anggota keluarga

c. Membina pendewasaan kepribadian anggota keluarga

22
d. Memberikan identitas keluarga

3. Fungsi sosialisasi

a. Membina sosialisasi pada anak.

b. Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat

perkembangan anak.

c. Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga

4. Fungsi ekonomi

a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga

b. Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk memenuhi kebutuhan

keluarga

c. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang

akan datang, misalnya pendidikan anak, jasmani hari tua, dan lail-lain.

5. Fungsi pendidikan

a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan dan

membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya

b. Mempesiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan dating dalam

memenuhi perannya sebagai orang dewasa.

c. Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat perkembangan (Effendi,

2001).

2.3.8 Dukungan Keluarga pada Pasien TB

Menurut Caplan (1976) dalam Friedman (2013) menjelaskan bahwa keluarga

memiliki fungsi dukungan keluarga yang dapat diberikan keluarga pada pasien TB

berupa dukungan informasional yaitu memberikan informasi mengenai

23
penyakit TB yang diderita pasien serta dapat juga membantu memberikan informasi

dan mengingatkan jenis obat yang diminum. Dukungan Penilaian yaitu memberikan

semangat dan support kepada penderita agar tidak putus asa dan cepat menyerah

akibat jangka pengobatan yang lama. Dukungan instrumental yaitu dengan

membantu pasien TB menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti membantu

membersihkan ruangan tidur agar lebih bersih dan mendapatkan sirkulasi serta

cahaya matahari. Dukungan Emosional membantu pasien TB dengan memberikan

perhatian serta semangat lebih pada saat penderita merasa tidak bersemangat lagi

dalam pengobatan.

Pengukuran Dukungan Keluarga menggunakan Kuisioner Dukungan

Keluarga yang diambil dari penelitian Maulidia, Dessy (2014) tentang Hubungan

Antara Dukungan Keluarga dan Kepatuhan Minum Obat pada Penderita TB di

Wilayah Ciputat yang telah di uji validitas dan reabilitas.

24
2.4 Kerangka Konsep
Penularan Inhalasi / Droplet

Infeksi

Terjadi Batuk Dahak selama 2 minggu atau lebih, Batuk


berdarah, Sesak Nafas, Penurunan BB Secara Drastis

Pasien TBC

Dukungan Keluarga
Fungsi Dukungan Keluarga Efikasi Diri

1. Dukungan Informasional
2. Dukungan Penilaian
3. Dukungan Istrumental
4. Dukungan Emosional

Pengobatan TBC

Keterangan :

Di Teliti :

Tidak di Teliti :

Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Efikasi Diri pada
Pasien TBC di Puskesmas I Denpasar Barat

25
2.5 Hipotesis

Umumnya hipotesis dirumuskan untuk menggambarkan hubungan dua

variabel terikat. Namun demikian, ada hipotesis yang menggambarkan

perbandingan satu variabel dari dua sampel. Hipotesis merupakan suatu pernyataan

yang penting kedudukannya dalam penelitian (Arikunto, 2010). Hipotesis pada

penelitian ini adalah :

1. H0 : Tidak Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Efikasi Diri pada

Pasien TBC di Puskesmas I Denpasar Barat.

2. H1 : Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Efikasi Diri pada Pasien

TBC di Puskesmas I Denpasar Barat.

26

Anda mungkin juga menyukai