Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

“Melaksanakan Asuhan Keperawatan Maternitas Pada Ibu dengan


Komplikasi Kelainan penyakit dalam masa nifas”
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Kegawatdaruratan Maternal Neonatal
Dosen Pembimbing :
Sonya .Y. Sahetapi,S.Pd.M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 8 :


1. Andriano Tuwaidan P07220118065
2. Christine O.A.K.P P07220118072
3. David Mirza M. P07220118074
4. Miftahurrahmah P07220117059
5. Iqramullah N. P07220118086

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN


KALIMANTAN TIMUR
PRODI DIII KEPERAWATAN KELAS BALIKPAPAN
TINGKAT II / SEMESTER IV
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas karunianya sehingga penyelesaian
tugas makalah ini dapat terselesaikan dengan sebaik-baiknya.
Makalah tentang “Melaksanakan Asuhan Keperawatan Maternitas Pada Ibu
dengan Komplikasi, Kelainan penyakit dalam masa nifas”. ini disusun dan
dikemas dari berbagai sumber sehingga memungkinkan untuk dijadikan referensi
maupun acuan. Besar harapan makalah ini dapat memberikan kontribusi besar
terhadap kemajuan di bidang keilmuan khususnya dalam “Melaksanakan Asuhan
Keperawatan Maternitas Pada Ibu dengan Komplikasi, Kelainan penyakit dalam
masa nifas.”
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu penyusun mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk lebih
menyempurnakan makalah ini. Akhir kata penyusun ucapkan semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca makalah ini.
Terima kasih.

Balikpapan, 15 Januari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 1
BAB I ...................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN .................................................................................................. 3
A. Latar Belakang ............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 4
C. Tujuan .......................................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 5
A. Komplikasi dan Penyakit dalam Masa Nifas serta Penanganannya............. 5
1. Infeksi nifas .............................................................................................. 5
2. Endometritis ............................................................................................. 7
b. Penyebab Infeksi Rahim............................................................................. 8
Endometritis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang masuk ke dalam
rahim. Hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi rahim adalah: ...................... 8
c. Gejala dan Tanda dari Infeksi Rahim.......................................................... 9
d. Diagnosis Infeksi Rahim ............................................................................ 9
e. Cara Mengobati Infeksi Rahim ................................................................. 10
f. Pencegahan Infeksi Rahim ....................................................................... 10
3. Peritonitis................................................................................................ 11
4. Bendungan ASI ...................................................................................... 15
5. Infeksi payudara ..................................................................................... 20
6. Thrombophlebitis ................................................................................... 25
7. Luka Perineum ....................................................................................... 28
B. Perdarahan Post Partum dan Penanganannya ............................................ 31
1. Pengertian Perdarahan Postpartum ......................................................... 31
2. Klasifikasi Perdarahan Postpartum ........................................................ 31
3. Pencegahan ............................................................................................. 32
4. Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena ..................................... 32

1
BAB III ................................................................................................................. 35
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN .................................. 35
TETANUS NEONATORUM ............................................................................... 35
A. Definisi Tetanus Neonatorum .................................................................... 35
B. Etiologi ....................................................................................................... 35
C. Patofisiologi ............................................................................................... 35
D. Manifestasi klinis ....................................................................................... 36
E. Komplikasi ................................................................................................. 36
F. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................. 36
G. Penatalaksanaan dan Pengobatan Tetanus Neonatorum ............................ 36
H. Pencegahan ................................................................................................. 37
I. Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Tetanus Neonatorum ................. 38
1. Pengkajian keperawatan ......................................................................... 38
2. Diagnosa Keperawatan ........................................................................... 39
3. Intervensi Keperawatan .......................................................................... 39
BAB IV ................................................................................................................. 42
PENUTUP ............................................................................................................. 42
A. Kesimpulan ................................................................................................ 42
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir
ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa
nifas berlangsung selama kira-kira 6 minggu. (Abdul Bari, 2002). Masa
nifas adalah masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai
6 minggu setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003). Masa nifas merupakan
masa selama persalinan dan segera setelah kelahiran yang meliputi
minggu-minggu berikutnya pada waktu saluran reproduksi kembali ke
keadaan tidak hamil yang normal. (F. Gary Cunningham, Mac Donald,
1995).
Masa nifas adalah masa setelah seorang ibu melahirkan bayi yang
dipergunakan untuk memulihkan kesehatannya kembali yang umumnya
memerlukan waktu 6- 12 minggu. (Ibrahim C, 1998).
Tujuan dari pemberian asuhan pada masa nifas untuk menjaga
kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis, melaksanakan
skrinning secara komprehensif, deteksi dini, mengobati atau merujuk bila
terjadi komplikasi pada ibu maupun bayi, memberikan pendidikan
kesehatan tentang perawatan kesehatan diri, nutrisi, KB, cara dan manfaat
menyusui, pemberian imunisasi serta perawatan bayi sehari-hari,
memberikan pelayanan keluarga berencana serta mendapatkan kesehatan
emosi.
Kebijakan program nasional pada masa nifas yaitu paling sedikit empat
kali melakukan kunjungan pada masa nifas, dengan tujuan untuk :
1. Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi.
2. Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan-kemungkinan adanya
gangguan kesehatan ibu nifas dan bayinya.
3. Mendeteksi adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas.
4. Menangani komplikasi atau masalah yang timbul dan mengganggu
kesehatan ibu nifas maupun bayinya.

3
Sebagian besar kejadian kesakitan dan kematian ibu yang disebabkan
oleh perdarahan pasca persalinan terjadi selama empat jam pertama setelah
kelahiran bayi. Karena alasan ini sangatlah penting untuk memantau ibu
secara ketat segera setelah persalinan. Jika tanda-tanda vital dan kontraksi
uterus masih dalam batas normal selama dua jam pertama pasca
persalinan, mungkin ibu tidak akan mengalami perdarahan persalinan.
Penting untuk berada di samping ibu dan bayinya selama dua jam pertama
pasca persalinan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja komplikasi dan penyakit dalam masa nifas serta
penanganannya?
2. Bagaimana perdarahan post partum dan penanganannya?
3. Asuhan keperawatan pada pasien dengan tetanus neonatorum?

C. Tujuan
1. Mengetahui komplikasi dan penyakit dalam masa nifas serta
penanganannya
2. Mengetahui perdarahan post partum dan penanganannya
3. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan tetanus
neonatorum

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komplikasi dan Penyakit dalam Masa Nifas serta Penanganannya
1. Infeksi nifas
a. Definisi
Infeksi nifas mencakup semua peradangan yang disebabkan
oleh masuknya kuman-kuman kedalam alat-alat genital pada waktu
persalinan dan nifas. Demam dalam nifas sering disebabkan infeksi
nifas, ditandai dengan suhu 38 ºC yang terjadi selama 2 hari
berturut-turut. Kuman penyebab infeksi dapat berasal dari eksogen
atau endogen (seperti streptococcus, bacil coli, staphylococcus).

b. Faktor predisposisi
1) Semua keadaan yang menurunkan imun, Keadaan Umum dan
kelelahan seperti : Perdarahan, Diabetes Melitus, preeklampsi,
malnutrisi, anemia, pneumonia, penyakit jantung
2) Tindakan obstetrik operatif (pervaginam dan perabdominam)
3) Proses persalinan bermasalah seperti partus lama atau macet
dengan
ketuban pecah lama, korioamnionitis, persalinan traumatik,
kurang baiknya proses pencegahan infeksi dan manipulasi yang
berlebihan
4) Episiotomi atau laserasi
5) Tertinggalnya sisa plasenta, selaput ketuban dan bekuan darah
dalam rahim

c. Mekanisme terjadinya penyakit


1) Manipulasi penolong
2) Infeksi yang didapat di RS
3) Hubungan seks menjelang persalinan
4) Sudah terdapat infeksi intrapartum

5
d. Bentuk Infeksi Nifas
1) Infeksi lokal  luka episiotomi, infeksi vagina dan serviks
Dengan gambaran klinis : Pembengkakan luka episiotomi,
terjadi pernanahan, perubahan warna lokal, pengeluaran lokia
bercampur nanah, mobilisasi terbatas karena nyeri, temperatur
badan meningkat
2) Infeksi general  parametritis, peritonitis, septikemia dan
piema
Dengan gambaran klinis : Tampak sakit dan lemah, suhu
meningkat > 39 0C, Tekanan Darah menurun, Nadi meningkat
dan Respiasi menurun hingga sesak, kesadaran gelisah hingga
koma, terjadi gangguan involusi uterus dan lokia : berbau,
bernanah serta kotor
3) Penyebaran infeksi general  berkelanjutan atau
perkotinuitatum, melalui pembuluh darah dan limfa, bekas
implantasi plasenta

e. Patologi
Patologi infeksi nifas sama dengan infeksi luka. Infeksi itu dapat:
1) Terbatas pada lukanya (infeksi luka perineum, vagina, serviks
atau endometrium)
2) Infeksi itu menjalar dari luka ke jaringan sekitarnya
(thrombophlebitis, parametritis, salpingitis, peritonitis)

f. Pencegahan infeksi nifas


1) Masa kehamilan
a) Mencegah / mengurangi faktor predisposisi
b) Pemeriksaan dilakukan bila ada indikasi
c) Koitus pada hamil tua dikurangi atau dilakukan dengan
hati-hati

6
2) Selama persalinan
a) Hindari partus lama dan KPD
b) Menyelesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin
c) Perlukaan karena tindakan dibersihkan dan dijahit sebaik
mungkin
d) Mencegah terjadinya perdarahan banyak
e) Petugas memakai APD
f) Alat harus steril
3) Selama nifas
a) Perawatan luka dengan baik
b) Penderita dengan infeksi diisolasi
c) Pengunjung dibatasi

g. Pengobatan
a) Berikan terapi sesuai indikasi
b) Perawatan luka
c) Lakukan pemeriksaan penunjang (lab  kultur)

2. Endometritis
a. Definisi
Infeksi rahim atau endometritis adalah peradangan pada
dinding rahim yang umumnya disebabkan oleh infeksi. Infeksi
rahim perlu diobati dengan segera untuk menghindari
kemungkinan terjadinya komplikasi berupa infertilitas alias
mandul.
Infeksi rahim terbagi menjadi dua, yaitu endometritis yang
terkait kehamilan dan endometritis yang terkait penyakit radang
panggul. Risiko wanita terserang infeksi rahim meningkat setelah
menjalani prosedur ginekologis, seperti kuret dan pemasangan IUD
(KB spiral), mengalami keguguran, atau melahirkan melalui
operasi caesar.

7
b. Penyebab Infeksi Rahim
Endometritis umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri yang
masuk ke dalam rahim. Hal-hal yang dapat menyebabkan infeksi
rahim adalah:
1) Infeksi menular seksual (IMS), seperti chlamydia dan gonore.
2) Tuberkulosis di luar paru.
3) Penyebaran kuman dari vagina.
4) Biopsi endometrium atau prosedur medis untuk mengambil
sampel jaringan dari lapisan rahim.
5) Adanya sisa jaringan setelah proses persalinan atau keguguran
pada rahim.
6) Infeksi ketuban.
7) Ketuban pecah dini dan persalinan lama.

Risiko mengalami infeksi rahim akan meningkat apabila:


1) Baru saja keguguran ataupun baru melahirkan, terutama jika
melahirkan melalui operasi caesar.
2) Menjalani prosedur medis yangmelibatkan memasukkan alat
dari mulut rahim menuju ke rahim. Hal itu dapat menciptakan
jalan masuk bagi bakteri.Misalnya histeroskopi, pemasangan
kontrasepsi spiral, serta dilatasi dan kuretase.
3) Menderita anemia.
4) Melahirkan di fasilitas kesehatan yang tidak steril.
5) Memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, misalnya karena
infeksi HIV atau penggunaan obat-obatan penekan sistem
kekebalan tubuh.

8
c. Gejala dan Tanda dari Infeksi Rahim
Infeksi rahim dapat menimbulkan tanda gejala yang bervariasi.
Berikut ini berbagai gejala dan tanda infeksi rahim yang mungkin
terjadi:
1) Merasa tidak enak badan.
2) Demam.
3) Nyeri pada perut bagian bawah dan panggul.
4) Perut membengkak.
5) Pendarahan tidak normal pada vagina (di luar waktu haid).
6) Keputihan yang tidak normal disertai bau.
7) Nyeri saat berhubungan seksual atau berkemih.
8) Merasa tidak nyaman saat buang air besar, termasuk
mengalami konstipasi.

d. Diagnosis Infeksi Rahim


Pemeriksaan fisik umum dan panggul akan dilakukan dokter
untuk memastikan diagnosis infeksi rahim. Beberapa tes tambahan
ini juga diperlukan untuk memastikan diagnosis endometritis,
yaitu:
1) Pemeriksaan cairan yang keluar dari vagina.
2) Tes urine dan pemeriksaan darah lengkap juga perlu dilakukan
untuk menghitung jumlah sel darah putih dan juga laju endap
darah.
3) Tes terhadap bakteri yang mungkin menyebabkan infeksi
chlamydia atau gonore.
4) Pemeriksaan radiologis seperti CT-scan dan USG panggul.
5) Pengambilan sampel jaringan dari dinding rahim atau biopsi
dinding rahim.
6) Laparoskopi.

9
e. Cara Mengobati Infeksi Rahim
Infeksi rahim umumnya diobati dengan antibiotik, dan untuk
mencegah terjadinya komplikasi. Pastikan untuk menghabiskan
antibiotik yang diresepkan oleh dokter. Apabila keadaan umum
Anda lemah dan infeksi rahim yang terjadi cukup serius, terutama
yang terjadi setelah proses melahirkan, Anda perlu dirawat di
rumah sakit. Pengobatan di rumah sakit termasuk pemberian cairan
dan obat-obatan melalui infus dan istirahat.Pasangan juga perlu
mendapatkan perawatan jika infeksi rahim disebabkan oleh
penyakit menular seksual.
Apabila infeksi rahim tidak segera ditangani, maka berisiko
muncul komplikasi, di antaranya:
1) Terjadinya infertilitas atau kemandulan.
2) Munculnya nanah atau abses di panggul atau rahim.
3) Mengalami infeksi panggul dan rongga perut (peritonitis).
4) Sepsis atau infeksi darah.
5) Syok septik yang menyebabkan tekanan darah yang sangat
rendah. Kondisi ini dapat berakibat fatal dan membutuhkan
penanganan darurat di rumah sakit.

f. Pencegahan Infeksi Rahim


Untuk menurunkan risiko mengalami infeksi rahim karena
proses persalinan ataupun karena menjalani prosedur ginekologi,
Anda bisa memastikan peralatan maupun teknik yang dilakukan
tetap steril. Anda juga akan diresepkan antibiotik sebelum
menjalani operasi caesar.
Sedangkan untuk menghindari infeksi rahim yang disebabkan
oleh infeksi menular seksual, Anda bisa mempraktikkan hubungan
seksual yang aman, misalnya dengan menggunakan kondom. Bila
Anda sedang menderita infeksi menular seksual, pastikan untuk

10
mengikuti anjuran perawatan dan mengonsumsi obat yang telah
diresepkan oleh dokter.
Segera periksakan diri ke dokter jika Anda mengalami gejala
infeksi rahim untuk menghindari komplikasi yang berbahaya,
terutama jika gejala tersebut terjadi setelah melahirkan, mengalami
keguguran, melakukan kuret, setelah pemasangan KB spiral, dan
menjalani operasi pada panggul dan rahim.

3. Peritonitis
a. Definisi
Peritonitis adalah peradangan pada lapisan tipis dinding
dalam perut (peritoneum), yang berfungsi melindungi organ di
dalam rongga perut. Peradangan ini umumnya disebabkan oleh
infeksi bakteri atau jamur. Jika tidak ditangani, peritonitis dapat
menyebabkan infeksi menyebar ke seluruh tubuh dan
membahayakan nyawa.

b. Gejala Peritonitis
Gejala yang umumnya muncul pada penderita peritonitis,
antara lain:
1) Demam.
2) Nyeri perut yang semakin terasa jika bergerak atau
disentuh. Nyeri perut ini bisa dirasakan sangat parah (kolik
abdomen).
3) Perut kembung.
4) Mual dan muntah.
5) Nafsu makan menurun.
6) Diare.
7) Konstipasi dan tidak bisa buang gas.
8) Lemas.
9) Jantung berdebar.

11
10) Terus-menerus merasa haus.
11) Tidak mengeluarkan urine atau jumlah urine lebih sedikit.
Bagi penderita gagal ginjal yang menjalani continuous
ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) atau cuci darah melalui
perut, apabila terjadi peritonitis, cairan yang dikeluarkan dari
rongga perut akan terlihat keruh dan mengandung gumpalan-
gumpalan berwarna putih. CAPD atau cuci darah melalui perut
adalah metode terapi yang menggantikan tugas ginjal untuk
membuang zat limbah dari darah dengan bantuan cairan khusus
yang dimasukkan ke rongga perut, melalui kateter atau selang
permanen yang sudah dipasang sebelumnya di perut.

c. Penyebab Peritonitis
Peradangan pada peritneum ini umumnya disebabkan oleh
infeksi bakteri atau jamur. Berdasarkan asal infeksinya, peritonitis
dibagi menjadi dua, yaitu peritonitis primer dan peritonitis
sekunder. Peritonitis primer disebabkan oleh infeksi yang memang
bermula pada peritoneum. Kondisi ini bisa dipicu oleh gagal hati
dengan asites, atau akibat tindakan CAPD pada gagal ginjal kronis.
Sedangkan peritonitis sekunder terjadi akibat penyebaran
infeksi dari saluran pencernaan. Kedua jenis peritonitis tersebut
sangat berbahaya dan mengancam nyawa. Pada penderita sirosis,
kematian akibat peritonitis bisa mencapai 40%.

d. Faktor Risiko Peritonitis


Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko peritonitis
primer adalah
1) Sirosis. Sirosis bisa menyebabkan penumpukan cairan pada
rongga perut (asites) yang dapat memicu infeksi.
2) Menjalani CAPD. Menjalani CAPD tanpa memperhatikan
kebersihan dan sterilitasnya berisiko menimbulkan infeksi.

12
Sedangkan faktor risiko pada peritonitis sekunder, antara lain
adalah:
1) Pecahnya organ dalam, seperti usus buntu yang pecah
pada penyakit usus buntu atau lambung yang pecah akibat
tukak lambung,
2) Radang panggul.
3) Penyakit saluran pencernaan, seperti penyakit Crohn dan
diverkulitis.
4) Pankreatitis.
5) Pasca pembedahan rongga perut.
6) Luka pada perut akibat tusukan pisau atau tembakan.

e. Diagnosis Peritonitis
Selain menanyakan gejala yang dirasakan, dokter juga akan
menanyakan riwayat kesehatan pasien. Kemudian, dokter akan
melakukan pemeriksaan fisik, dengan menekan lembut dinding
perut pasien. Pasien akan merasa sakit saat perut ditekan. Pada
pasien yang menjalani CAPD, dokter dapat memastikan pasien
menderita peritonitis dengan melihat cairan yang keluar dari
peritoneum.
Namun bila diperlukan, dokter akan menjalankan pemeriksaan
penunjang seperti:
1) Tes darah. Sampel darah akan diperiksa di laboratorium untuk
menghitung jumlah sel darah putih. Pemeriksaan kultur
(biakan) darah juga bisa dilakukan untuk mengetahui apakah
terdapat bakteri yang sudah menyebar ke dalam darah.
2) Uji pencitraan. Dokter akan merekomendasikan penderita
untuk menjalani foto Rontgen atau CT scan perut guna

13
memeriksa adanya lubang atau robekan lain pada saluran
pencernaan.
3) Analisis cairan peritoneum (paracentesis). Dokter akan
mengambil sampel cairan peritoneum untuk melihat apakah ada
infeksi atau peradangan. Kultur cairan juga bisa dilakukan
untuk mengetahui keberadaan bakteri.

f. Pengobatan Peritonitis
Penderita peritonitis akan disarankan untuk menjalani rawat
inap di rumah sakit. Beberapa penanganan bagi penderita
peritonitis adalah:
1) Pemberian obat-obatan. Penderita akan diberikan antibiotik
suntik atau obat antijamur bila dicurigai penyebabnya adalah
infeksi jamur, untuk mengobati serta mencegah infeksi
menyebar ke seluruh tubuh. Jangka waktu pengobatan akan
disesuaikan dengan tingkat keparahan yang dialami pasien.
2) Pembedahan. Tindakan pembedahan dilakukan untuk
membuang jaringan yang terinfeksi atau menutup robekan yang
terjadi pada organ dalam.
Jika pasien mengalami sepsis atau infeksi yang sudah
menyebar ke aliran darah, dokter bisa memberikan obat tambahan
seperti obat untuk menjaga tekanan darah tetap normal. Sedangkan
untuk pasien yang menjalani CAPD, dokter akan menyuntikkan
obat langsung ke dalam rongga peritoneum, melalui kateter yang
sudah terpasang sebelumnya. Pasien juga disarankan untuk
menghentikan aktivitas CAPD dan menggantinya dengan cuci
darah untuk sementara, sampai pasien sembuh dari peritonitis.

g. Komplikasi Peritonitis
Peritonitis bisa menyebabkan beberapa komplikasi, seperti
infeksi jadi menyebar ke aliran darah dan seluruh tubuh (sepsis).

14
Kondisi ini bisa menyebabkan tekanan darah menurun drastis
(syok sepsis) sehingga beberapa organ tubuh gagal berfungsi.
Komplikasi lain yang dapat muncul akibat peritonitis adalah
terbentuknya abses atau kumpulan nanah pada rongga perut.
Perlengketan usus juga dapat terjadi, sehingga menyebabkan usus
tersumbat.

h. Pencegahan Peritonitis
Pencegahan peritonitis tergantung pada faktor risikonya.
Misalnya pada pasien dengan kondisi sirosis dan terdapat asites,
dokter dapat memberikan antibiotik untuk mencegah peritonitis.
Sedangkan bagi seseorang yang menjalani CAPD, ada beberapa
langkah untuk menghindari peritonitis, yaitu:
1) Cuci tangan dengan bersih sebelum menyentuh kateter.
2) Bersihkan kulit di sekitar kateter dengan antiseptik setiap hari.
3) Simpan perlengkapan CAPD pada tempat yang higienis.
4) Kenakan masker melakukan CAPD.
5) Pelajarilah teknik CAPD yang benar.
6) Jangan tidur dengan binatang peliharaan.

4. Bendungan ASI
a. Definisi
Bendungan ASI adalah pembendungan air susu karena
penyempitan duktus laktiferi atau oleh kelenjar-kelenjar tidak
dikosongkan dengan sempurna atau karena kelainan pada putting
susu. Bendungan air susu adalah terjadinya pembengkakan pada
payudara karena peningkatan aliran vena dan limfe sehingga
menyebabkan bendungan ASI dan rasa nyeri disertai kenaikan
suhu badan. (Sarwono, 2005).
Keluhan ibu menurut Prawirohardjo, (2005) adalah payudara
bengkak, keras, panas dan nyeri. Penanganan sebaiknya dimulai

15
selama hamil dengan perawatan payudara untuk mencegah
terjadinya kelainan.
Bila terjadi juga, maka berikan terapi simptomatis untuk
sakitnya (analgetika), kosongkan payudara, sebelum menyusui
pengurutan dulu atau dipompa, sehingga sumbatan hilang. Kalau
perlu berikan stilbestrol atau lynoral tablet 3 kali sehari selama 2-3
hari untuk membendung sementara produksi ASI.

b. Etiologi
Bendungan air susu dapat terjadi pada hari ke dua atau ke tiga
ketika payudara telah memproduksi air susu. Bendungan
disebabkan oleh pengeluaran air susu yang tidak lancar, karena
bayi tidak cukup sering menyusu, produksi meningkat, terlambat
menyusukan, hubungan dengan bayi (bonding) kurang baik dan
dapat pula karena adanya pembatasan waktu menyusui. (Sarwono,
2009)
Pada bendungan ASI payudara yang terbendung membesar,
membengkak dan sangat nyeri. Payudara terlihat mengkilap dan
puting susu teregang menjadi rata. ASI tidak mengalir dengan
mudah dan bayi sulit menghisap ASI sampai bengkak berkurang.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan bendungan ASI,


yaitu:
a. Pengosongan mamae yang tidak sempurna (Dalam masa
laktasi, terjadi peningkatan produksi ASI pada Ibu yang
produksi ASI-nya berlebihan. apabila bayi sudah kenyang dan
selesai menyusu, & payudara tidak dikosongkan, maka masih
terdapat sisa ASI di dalam payudara. Sisa ASI tersebut jika
tidak dikeluarkan dapat menimbulkan bendungan ASI).
b. Faktor hisapan bayi yang tidak aktif (Pada masa laktasi, bila
Ibu tidak menyusukan bayinya sesering mungkin atau jika bayi

16
tidak aktif mengisap, maka akan menimbulkan bendungan
ASI).
c. Faktor posisi menyusui bayi yang tidak benar (Teknik yang
salah dalam menyusui dapat mengakibatkan puting susu
menjadi lecet dan menimbulkan rasa nyeri pada saat bayi
menyusu. Akibatnya Ibu tidak mau menyusui bayinya dan
terjadi bendungan ASI).
d. Puting susu terbenam (Puting susu yang terbenam akan
menyulitkan bayi dalam menyusu. Karena bayi tidak dapat
menghisap puting dan areola, bayi tidak mau menyusu dan
akibatnya terjadi bendungan ASI).
e. Puting susu terlalu panjang (Puting susu yang panjang
menimbulkan kesulitan pada saat bayi menyusu karena bayi
tidak dapat menghisap areola dan merangsang sinus laktiferus
untuk mengeluarkan ASI. Akibatnya ASI tertahan dan
menimbulkan bendungan ASI).

c. Tanda dan gejala bendungan ASI


1) Mamae panas serta keras pada saat perabaan dan nyeri.
2) Puting susu bisa mendatar sehingga bayi sulit menyusu.
3) Pengeluaran air susu kadang terhalang oleh duktus laktifer
menyempit.
4) Payudara bengkak,keras,panas.
5) Nyeri bila ditekan.
6) Warnanya kemerahan.
7) Suhu tubuh sampai 38oc

d. Patofisiologi
Sesudah bayi lahir dan plasenta keluar, kadar estrogen dan
progesteron turun dalam 2-3 hari. Dengan ini faktor dari
hipotalamus yang menghalangi prolaktin waktu hamil, dan sangat

17
di pengaruhi oleh estrogen tidak dikeluarkan lagi, dan terjadi
sekresi prolaktin oleh hipofisis.
Hormon ini menyebabkan alveolus-alveolus kelenjar mammae
terisi dengan air susu, tetapi untuk mengeluarkan dibutuhkan
refleks yang menyebabkan kontraksi sel-sel mioepitel yang
mengelilingi alveolus dan duktus kecil kelenjar-kelenjar tersebut.
Refleks ini timbul bila bayi menyusui. Apabila bayi tidak
menyusu dengan baik, atau jika tidak dikosongkan dengan
sempurna, maka terjadi bendungan air susu.
Gejala yang biasa terjadi pada bendungan ASI antara lain
payudara penuh terasa panas, berat dan keras, terlihat mengkilat
meski tidak kemerahan. ASI biasanya mengalir tidak lancar,
namun ada pula payudara yang terbendung membesar,
membengkak dan sangat nyeri, puting susu teregang menjadi rata.
ASI tidak mengalir dengan mudah dan bayi sulit mengenyut
untuk menghisap ASI. Ibu kadang-kadang menjadi demam, tapi
biasanya akan hilang dalam 24 jam (wiknjosastro,2005)

e. Diagnosis
1) Cara inspeksi.
Hal ini harus dilakukan pertama dengan tangan di samping
dan sesudah itu dengan tangan keatas,selagi pasien duduk kita
akan melihat dilatasi pembuluh-pembuluh balik di bawah kulit
akibat pembesaran tumor jinak atau ganas di bawah kulit.perlu
diperhatikan apakah kulit pada suatu tempat menjadi merah.

2) Cara palpasi.
Ibu harus tidur dan diperiksa secara sistematis bagian
medial lebih dahulu dengan jari-jari yang harus kebagian
lateral.palpasi ini harus meliputi seluruh payudara,dari
parasternal kearah garis aksila belakang,dan dari subklavikular

18
kearah paling distal.untuk pemeriksaan orang sakit harus
duduk.tangan aksila yang akan diperiksa dipegang oleh
pemeriksa dan dokter pemeriksa mengadakan palpasi aksila
dengan tangan yang kontralateral dari tangan si
penderita.misalnya kalau aksila kiri orang sakit yang akan
diperiksa,tangan kiri dokter mengadakan palpasi
(prawirohardjo,2005)

f. Pencegahan terjadinya bendungan ASI


1) Gunakan teknik menyusui yang benar
2) Puting susu dan areola mamae harus selalu kering setelah
selesai menyusui
3) Jangan pakai Bra yang tidak dapat menyerap keringat
4) Menyusui dini, susui bayi sesegera mungkin (setelah 30 menit)
setelah dilahirkan
5) Susui bayi tanpa jadwal atau ( on demand)
6) Keluarkan ASI dengan tangan atau pompa, bila produksi
melebihi kebutuhan bayi
7) Perawatan payudara pasca (obserti patologi 169)
8) Menyusui yang sering
9) Hindari tekanan lokal pada payudara

g. Penatalaksanaan
1) Kompres hangat payudara agar menjadi lebih lembek
2) Keluarkan sedikit ASI sehingga puting lebih mudah ditangkap
dan dihisap oleh bayi.
3) Sesudah bayi kenyang keluarkan sisa ASI
4) Untuk mengurangi rasa sakit pada payudara, berikan kompres
dingin

19
5) Untuk mengurangi statis di vena dan pembuluh getah bening
lakukan pengurutan (masase) payudara yang dimulai dari putin
kearah korpus. (Sastrawinata, 2004)
6) Sebaiknya selama hamil atau dua bulan terakhir dilakukan
masase atau perawatan puting susu dan areola mamae untuk
mencegah terjadinya puting susu kering dan mudah mencegah
terjadinya payudara bengkak.

5. Infeksi payudara
a. Definisi
Infeksi payudara atau mastitis adalah infeksi yang terjadi pada
jaringan payudara. Kondisi ini umumnya menyerang ibu menyusui,
terutama pada 12 minggu pertama setelah persalinan. Infeksi
payudara juga dapat dialami oleh wanita yang sedang tidak
menyusui, walaupun jarang terjadi.
Mastitis biasanya hanya menyerang salah satu payudara saja,
namun tidak menutup kemungkinan terjadi pada kedua payudara.
Mastitis menyebabkan penderitanya mengalami kesulitan saat
menyusui, sehingga kegiatan menyusui menjadi terhambat atau
terhenti. Akan tetapi, kegiatan menyusui sebaiknya tetap dilakukan
karena hal ini tidak berbahaya untuk bayi. Kandungan antibakteri
dalam ASI membuat bayi terlindung dari infeksi, dan malah
mempercepat penyembuhan.

b. Penyebab infeksi payudara


Pada ibu menyusui, infeksi payudara disebabkan oleh
penumpukan ASI di kelenjar payudara. Penumpukan ini
menyebabkan penyumbatan saluran air susu, sehingga
menghasilkan tekanan yang cukup kuat dan menyebabkan ASI
merembes ke jaringan di sekitar payudara. Kandungan protein
dalam ASI dianggap tubuh sebagai benda asing dan sistem

20
kekebalan tubuh akan bereaksi untuk melawannya. Kondisi ini
akan menyebabkan peradangan payudara.
Penyumbatan saluran ASI dapat dipicu oleh beberapa hal,
yaitu:
1) Gangguan atau kelainan yang menyebabkan bayi tidak mampu
menyedot ASI dengan baik.
2) Pengeluaran ASI tidak dilakukan secara teratur.
3) Hanya menggunakan satu payudara untuk menyusui.
Selain penyumbatan saluran air susu, infeksi payudara pada ibu
menyusui juga disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus dan Streptococcus agalactiae. Bakteri ini berasal dari
permukaan kulit atau mulut bayi yang masuk ke dalam saluran
susu, melalui celah pada puting payudara atau pembukaan saluran
air susu. Bakteri juga dapat berasal dari air susu yang tidak
dikeluarkan hingga habis.
Pada wanita yang tidak sedang menyusui, infeksi payudara bisa
disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
1) Cedera pada payudara.
2) Sistem kekebalan tubuh rendah, termasuk wanita yang pernah
menjalani pengobatan tumor dengan radioterapi.
3) Gangguan kesehatan, seperti diabetes.
4) Tindikan pada payudara.
Selain itu, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko
infeksi payudara atau mastitis, yaitu:
1) Terlalu lelah atau stres.
2) Kurangnya asupan nutrisi.
3) Merokok.
4) Pernah mengalami infeksi payudara sebelumnya.
5) Menggunakan bra yang terlalu ketat.

21
c. Gejala Infeksi Payudara
Gejala utama infeksi payudara adalah payudara membengkak,
berwarna kemerahan, terasa hangat, dan menimbulkan rasa nyeri
ketika disentuh. Gejala lainnya adalah:
1) Demam.
2) Menggigil.
3) Tubuh terasa lelah dan lemas.
4) Mual dan muntah.
5) Keluar cairan yang mengandung nanah.
6) Muncul benjolan pada payudara.
7) Pembesaran kelenjar getah bening di area ketiak atau leher.

d. Diagnosis Infeksi Payudara


Sebagai langkah awal diagnosis, dokter akan melakukan
menanyakan riwayat kesehatan terkait gejala yang dialami oleh
pasien. Pemeriksaan fisik juga akan dilakukan untuk mendeteksi
adanya benjolan di payudara. Untuk ibu menyusui, dokter akan
melakukan pemeriksaan terhadap sampel ASI di laboratorium guna
mendeteksi keberadaan bakteri penyebab infeksi dan menentukan
jenis antibiotik yang cocok bagi penderita.
Dokter juga akan menganjurkan pasien, baik yang sedang
menyusui maupun tidak, untuk menjalani pemeriksaan lainnya bila
ada kecurigaan ke penyakit lain. Di antaranya:
1) USG payudara, untuk mendeteksi dan memeriksa benjolan atau
tumor pada payudara.
2) Mammografi, untuk mendeteksi tanda-tanda kanker payudara
yang dapat disebabkan oleh infeksi payudara.
3) Biopsi payudara, yaitu pemeriksaan laboratorium terhadap
sampel jaringan payudara untuk mendeteksi kemungkinan
adanya sel kanker.

22
4) MRI, untuk mendapatkan gambaran kondisi payudara secara
lebih detail dan mendeteksi tumor atau tanda kanker payudara.

e. Pengobatan Infeksi Payudara


Penanganan utama untuk infeksi payudara adalah pemberian
obat antibiotik. Antibiotik digunakan selama 10-14 hari sesuai
petunjuk dokter. Biasanya keluhan akan membaik dalam waktu 2-3
hari sejak awal pengobatan. Meski demikian, antibiotik sebaiknya
tetap dikonsumsi hingga periode pengobatan berakhir agar infeksi
tidak muncul kembali.
Selain penanganan terhadap infeksi, ada beberapa tindakan
yang dapat dilakukan di rumah untuk meredakan gejala yang
dialami, yaitu:
1) Berikan kompres hangat pada area payudara yang mengalami
infeksi untuk meredakan rasa nyeri. Lakukan selama 15 menit,
4 kali sehari.
2) Konsumsi obat pereda nyeri, seperti iburofen dan paracetamol,
sebagai langkah lain meredakan nyeri.
3) Perbanyak istirahat.
4) Hindari mengenakan pakaian yang terlalu ketat, termasuk bra,
hingga gejala infeksi menurun.
5) Lakukan aktivitas menyusui secara teratur untuk meredakan
infeksi.
Konsultasi dengan dokter anak juga penting dilakukan untuk
meningkatkan pengetahuan tentang teknik dan posisi menyusui
yang baik, guna mencegah infeksi kembali terjadi.

23
f. Komplikasi Infeksi Payudara
Ada beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat infeksi
payudara, yaitu:
1) Abses payudara, yaitu munculnya nanah di payudara dan terasa
nyeri. Tindakan operasi kecil diperlukan untuk mengeluarkan
nanah dari dalam payudara.
2) Infeksi jamur. Penggunaan antibiotik untuk mengobati infeksi
payudara dapat menyebabkan pertumbuhan jamur secara
berlebih dalam tubuh. Kondisi ini dapat menyebabkan puting
berwarna merah serta payudara terasa nyeri dan panas. Bercak
putih atau kemerahan juga dapat ditemukan di mulut bayi. Jika
ditemukan gejala-gejala tersebut, dokter akan memberikan obat
antijamur sebagai langkah pengobatan.

g. Pencegahan Infeksi Payudara


Ada beberapa tindakan perawatan payudara yang dapat
dilakukan untuk mencegah infeksi payudara, yaitu:
1) Bersihkan payudara dengan handuk hangat untuk meningkatkan
aliran ASI.
2) Gunakan teknik atau posisi yang berbeda ketika menyusui.
3) Gunakan payudara secara bergantian ketika sedang menyusui.
4) Kosongkan payudara sepenuhnya ketika sedang menyusui untuk
mencegah pembengkakan dan penyumbatan saluran ASI. Jika
bayi sudah berhenti menyusu dan payudara belum sepenuhnya
kosong, gunakanlah alat pompa ASI untuk memompa ASI dan
mengosongkan payudara.
5) Hindari penggunaan sabun ketika membersihkan puting.
6) Pijat payudara secara teratur untuk memperlancar saluran ASI.
7) Perbanyak konsumsi cairan untuk mencegah dehidrasi.
8) Hindari penggunaan bra yang terlalu ketat.

24
9) Hindari menindik puting payudara karena dapat meningkatkan
risiko infeksi.
6. Thrombophlebitis
a. Definisi
Tromboflebitis adalah peradangan pada pembuluh darah balik
(vena), yang memicu terbentuknya gumpalan darah pada satu vena
atau lebih. Umumnya tromboflebitis terjadi pada vena di tungkai.
Meski demikian, tidak tertutup kemungkinan kondisi ini
menyerang vena pada lengan.
Tromboflebitis bisa terjadi pada vena di bawah permukaan
kulit, maupun di bagian yang lebih dalam. Tromboflebitis yang
terjadi di bawah permukaan kulit disebut superficial
thrombophlebitis, sedangkan tromboflebitis yang terjadi pada vena
di bagian yang lebih dalam disebut trombosis vena dalam atau deep
vein thrombosis (DVT).
DVT lebih berbahaya dibanding superficial thrombophlebitis,
karena gumpalan darah bisa masuk ke aliran darah menuju ke
pembuluh darah arteri di paru-paru dan menghambat aliran darah.
Kondisi tersebut dapat mengakibatkan kematian.
b. Gejala Tromboflebitis
Tromboflebitis ditandai dengan pembengkakan dan rasa sakit
pada bagian yang mengalami peradangan. Selain itu, terdapat
beberapa gejala lain seperti kulit di atas vena yang terserang
mengeras dan berwarna lebih gelap, serta kulit sekitar vena teraba
hangat dan semakin nyeri bila ditekan.
c. Penyebab Tromboflebitis
Tromboflebitis disebabkan oleh terbentuknya gumpalan darah
di dalam vena yang menimbulkan peradangan. Gumpalan darah ini
dapat terjadi akibat beberapa hal, seperti:
1) Gangguan pembekuan darah yang diturunkan,
misalnya defisiensi protein C.

25
2) Cedera pada vena akibat pemasangan kateter pembuluh darah
atau alat pacu jantung.
3) Seseorang yang tidak bergerak dalam waktu lama, misalnya
duduk di mobil atau pesawat dalam perjalanan panjang, serta
terlalu lama berbaring karena menderita sakit
(misalnya stroke).
d. Faktor Risiko Tromboflebitis
Risiko tromboflebitis pada seseorang bisa meningkat, bila
terdapat beberapa faktor berikut:
1) Usia. Individu di atas usia 60 tahun memiliki risiko
tromboflebitis yang lebih tinggi.
2) Perubahan hormon, misalnya karena menjalani terapi
penggantian hormon atau konsumsi pil KB.
3) Riwayat penyakit, misalnya pernah menderita tromboflebitis
sebelumnya atau memiliki anggota keluarga yang menderita
gangguan pembekuan darah.
4) Kanker. Beberapa jenis kanker dapat meningkatkan kadar
protein tubuh yang memicu penggumpalan darah.
5) Dehidrasi. Kekurangan cairan tubuh dapat menyebabkan
pembuluh darah menyempit dan membuat darah lebih
mengental, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
pembekuan darah.
6) Merokok. Merokok dapat merusak lapisan pembuluh darah,
yang kemudian memicu terbentuknya gumpalan darah.
7) Kehamilan. Ibu hamil berisiko mengalami tromboflebitis
selama hamil atau setelah melahirkan.
8) Obesitas, atau berat badan berlebih.

26
e. Diagnosis Tromboflebitis
Di samping menanyakan gejala serta riwayat kesehatan pasien
dan keluarga, dokter juga akan melakukan pemeriksaan kondisi
kulit dan menyarankan serangkaian pemeriksaan yang lebih
mendetail. Pemeriksaan yang dapat disarankan meliputi tes
darah, USG, atau CT scan.
Pemeriksaan lanjutan tersebut bertujuan untuk memastikan
diagnosis, sekaligus memeriksa apakah pasien menderita
tromboflebitis atau DVT.
f. Pengobatan Tromboflebitis
Penanganan tromboflebitis tergantung kepada jenis serta
tingkat keparahan yang dialami oleh pasien. Untuk tromboflebitis
yang terjadi di bawah permukaan kulit, penanganan bisa dilakukan
di rumah dengan langkah-langkah sederhana, seperti mengompres
area yang sakit dengan air hangat, meletakkan tungkai yang sakit
pada posisi lebih tinggi saat sedang tidur atau duduk, dan
mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS).
Bila diperlukan, dokter juga bisa merekomendasikan beberapa
metode pengobatan sebagai berikut:
1) Penggunaan stoking khusus (kompresi) untuk mengurangi
pembengkakan dan risiko komplikasi.
2) Pemberian obat pengencer darah atau antikoagulan, seperti
heparin atau warfarin, untuk mencegah gumpalan darah
semakin membesar.
3) Pemberian obat penghancur gumpalan darah atau trombolisis.
4) Pemasangan filter atau saringan pada pasien yang tidak bisa
mengonsumsi obat pengencer darah. Saringan akan dipasang
pada pembuluh darah balik utama (vena cava) di perut, untuk
mencegah gumpalan darah menyumbat pembuluh darah arteri
di paru-paru (emboli paru).

27
5) Bedah untuk membuang vena yang melebar dan tidak beraturan
(varises) yang menimbulkan nyeri dan membuat tromboflebitis
berulang.
g. Komplikasi Tromboflebitis
Meskipun jarang, sejumlah komplikasi yang dapat terjadi
akibat tromboflebitis meliputi:
1) Emboli paru atau gumpalan darah pada pembuluh darah arteri
di paru-paru.
2) Post thrombotic syndrome (PTS). Kondisi ini muncul beberapa
bulan atau tahun setelah pasien terserang tromboflebitis.
Ditandai dengan rasa sakit yang parah disertai bengkak dan
rasa berat pada tungkai yang terserang.
h. Pencegahan Tromboflebitis
Ada sejumlah cara yang dapat dilakukan untuk mencegah
tromboflebitis, seperti dengan mengindari penggunaan pakaian
ketat, aktif bergerak, serta mengonsumsi air putih yang cukup agar
terhindar dari dehidrasi.

7. Luka Perineum
a. Definisi
Ruptur perineum atau vagina robek umum terjadi ketika proses
persalinan normal. Robekan ini berbeda penanganannya pada tiap
tingkat, termasuk pada ruptur perineum tingkat 1-2.
Perineum merupakan daerah otot dan kulit yang terletak di
antara vagina serta anus. Pada proses persalinan, janin akan
terdorong dari rahim menuju ke vagina. Ruptur perineum ditandai
dengan perineum yang meregang dan robek karena kontak dengan
kepala atau anggota tubuh bayi saat melalui jalan lahir.

b. Penanganan Ruptur Perineum Tingkat 1-2

28
Ruptur perineum dapat digolongkan menjadi derajat atau
tingkat 1-4. Ruptur perineum tingkat 1 merupakan kondisi kulit
robek di sekitar permukaan mulut vagina atau kulit perineum.
Kondisi ini dapat menyebabkan sedikit rasa nyeri atau sensasi
perih atau terbakar ketika buang air kecil. Ruptur perineum tingkat
1 umumnya tidak memerlukan penanganan khusus atau hanya
perlu sedikit jahitan.
Ruptur perineum tingkat 2 merupakan kondisi robek bagian
otot-otot perineum. Otot perineum berada di antara vagina dan
anus, dan berfungsi sebagai jaringan penyokong rektum, kandung
kemih dan rahim.
Ruptur perineum tingkat 2 membutuhkan jahitan untuk
menutupnya. Yang perlu diperhatikan, seperti penyembuhan luka
jahitan pada umumnya, hasil jahitan pada ruptur perineum dapat
menyebabkan gatal dan terasa kencang di bagian sekitar vagina.
Namun, kondisi ini tergolong normal, dan akan berkurang setelah
tubuh beradaptasi.
Wanita yang mengalami ruptur perineum tingkat 1-2 biasanya
merasa tidak nyaman terutama saat duduk tegak. Aktivitas buang
air besar pun dapat menyebabkan naiknya tekanan pada tubuh
bagian bawah. Bahkan batuk atau bersin juga menjadi aktivitas
yang terasa cukup mengganggu.
Pada minggu ke-2, biasanya luka robek atau bekas jahitan akan
berangsur-angsur membaik. Namun, kekuatan saraf dan otot
membutuhkan waktu beberapa minggu lagi untuk pulih
sepenuhnya.

c. Meringankan Rasa Tidak Nyaman


Untuk membantu meringankan rasa tidak nyaman karena
perineum robek, dapat dilakukan beberapa cara.

29
Pada ruptur perineum tingkat 1, dapat dibantu dengan squeeze
bottle yang diisi air hangat. Lalu tuangkan air dari botol ke bagian
vulva ketika buang air kecil.
Pada ruptur perineum tingkat 2, ada beberapa yang dapat
dilakukan untuk mengatasi rasa tidak nyaman, antara lain:
1) Duduk di bantal atau alas bundar yang empuk.
2) Kompres luka dengan kantung es.
3) Tuang air hangat ke vulva ketika buang air kecil dan cuci
bersih. Kemudian, saat buang air besar, tekan pelan-pelan kain
lembut bersih di daerah yang terluka.
4) Jika perlu, minta saran dokter untuk obat pereda nyeri atau obat
pencahar.
d. Upaya Mencegah Robek Perineum
Ruptur perineum lebih sering dialami pada wanita yang
baru pertama kali melahirkan. Robek perineum dapat dilakukan
sebagai tindakan medis yang dengan dilakukannya episiotomi,
yang dilakukan sesuai indikasi untuk membantu proses persalinan
dan sesungguhnya bertujuan untuk mencegah robek perineum
dengan tingkatan yang tinggi.
Meski ruptur perineum adalah hal yang kerap terjadi dalam
persalinan, namun ada sejumlah upaya yang dapat dilakukan untuk
mencegah vagina robek atau ruptur perineum tingkat 1-2 saat
persalinan, sebagai berikut:
1) Konsultasi dengan bidan atau dokter sejak jauh-jauh hari,
mengenai kapan waktu tepat dan seberapa kuat usaha
mendorong janin saat proses persalinan.
2) Melakukan pija perineum bagi ibu hamil yang berguna dalam
melancarkan proses melahirkan. Pijat ini mampu merangsang
jaringan-jaringan vagina menjadi lebih fleksibel dan
mengurangi risiko terjadinya ruptur perineum atau episiotomi

30
3) Memerhatikan posisi tubuh selama proses persalinan. Beberapa
posisi dapat mengurangi tekanan pada perineum. Meski tidak
umum dilakukan, namun mungkin Anda bisa memilih posisi
lebih nyaman untuk melahirkan seperti duduk tegah, berbaring
menyamping, atau jongkok dengan tangan di atas lutut.
4) Meminta bantuan dari orang terdekat untuk melindungi
perineum saat dorongan kepala janin. Bantuan bisa dengan
mengaplikasikan kain hangat dan lembap di sekitar perineum.
Namun, seringkali ruptur perineum, baik tingkat 1-2 atau
tingkat selanjutnya, tidak dapat dicegah. Konsultasi dengan dokter
jika area sekitar jahitan terasa sakit atau berbau menyengat, karena
kemungkinan terjadi infeksi yang perlu segera ditangani.

B. Perdarahan Post Partum dan Penanganannya


1. Pengertian Perdarahan Postpartum
Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500
ml atau lebih darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau
lebih setelah seksio sesaria (Leveno, 2009; WHO, 2012).
2. Klasifikasi Perdarahan Postpartum
Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2008) :
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi dalam 24 jam pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan
postpartum primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa
plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang
terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran. Perdarahan postpartum
sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak
baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

31
3. Pencegahan
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan
memudahkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan untuk menata
strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal dan melahirkan.
Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan
mempunyai risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya
adalah PPP (Prawirohardjo, 2010).
Pencegahan PPP dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III.
Manajemen aktif kala III adalah kombinasi dari pemberian uterotonika
segera setelah bayi lahir, peregangan tali pusat terkendali, dan
melahirkan plasenta. Setiap komponen dalam manajemen aktif kala III
mempunyai peran dalam pencegahan perdarahan postpartum (Edhi,
2013).
Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala
III persalinan untuk mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin (
IM/IV 10 IU ) direkomendasikan sebagai uterotonika pilihan.
Uterotonika injeksi lainnya dan misoprostol direkomendasikan
sebagai alternatif untuk pencegahan perdarahan postpartum ketika
oksitosin tidak tersedia. Peregangan tali pusat terkendali harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam menangani
persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu kurang dari satu
menit setelah bayi lahir tidak disarankan (WHO, 2012).

4. Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena


a. Atonia Uteri
Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya
miometrium untuk berkontraksi setelah plasenta lahir. Perdarahan
postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serat-serat
miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang
mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta (Wiknjosastro,
2006).

32
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat
menyebabkan perdarahan yang cepat dan parah serta syok
hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan
oleh kelelahan karena persalinan lama atau persalinan yang terlalu
cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu, obat-obatan seperti obat
anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik,
dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium.
Penyebab lain adalah situs implantasi plasenta di segmen bawah
rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia, hipoksia
pada solusio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif
(Rueda et al., 2013).
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP, hingga
sekitar 70% kasus. Atonia dapat terjadi setelah persalinan vaginal,
persalinan operatif ataupun persalinan abdominal. Penelitian sejauh
ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada persalinan
abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi, 2013).

b. Laserasi jalan lahir


Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan
dengan trauma. Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif
dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu
dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks
belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forsep atau vakum ekstraksi,
atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu
(Rohani, Saswita dan Marisah, 2011):
1) Derajat satu
Robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.
2) Derajat dua
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum.

33
3) Derajat tiga
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, dan otot sfingter ani eksternal.
4) Derajat empat
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot
perineum, otot sfingter ani eksternal, dan mukosa rektum.

c. Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Hal ini disebabkan
karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah
lepas tetapi belum dilahirkan. Retensio plasenta merupakan
etiologi tersering kedua dari perdarahan postpartum (20% - 30%
kasus). Kejadian ini harus didiagnosis secara dini karena retensio
plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis
utama sehingga dapat membuat kesalahan diagnosis. Pada retensio
plasenta, resiko untuk mengalami PPP 6 kali lipat pada persalinan
normal (Ramadhani, 2011).
Terdapat jenis retensio plasenta antara lain (Saifuddin, 2002) :
1) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki
sebagian lapisan miometrium.
3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan serosa dinding uterus.
4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
serosa dinding uterus.
5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri.

34
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
TETANUS NEONATORUM

A. Definisi Tetanus Neonatorum


Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan
tanda klinik yang khas, setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan
menyusu secara normal, pada hari ketiga atau lebih timbul kekakuan seluruh
tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di susul dengan kejang-
kejang (WHO, 1989 )
Tetanus Neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat
disebabkan adanya infeksi melalui tali pusat yang tidak bersih.Masih
merupakan masalah di indonesia dan di negara berkembang lain, meskipun
beberapa tahun terakhir kasusnya sudah jarang di indonesia. Angka kematian
tetanus neonatorum tinggi dan merupakan 45 – 75 % dari kematian seluruh
penderita tetanus. Penyebab kematian terutama akibat komplikasi antara lain
radang paru dan sepsis, makin muda umur bayi saat timbul gejala, makin
tinggi pula angka kematian. (Maryunani, 2011)

B. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat
anaerob dimana kuman tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus
pada bayi ini dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang
kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5 – 14 hari (Hidayat,
2008)

C. Patofisiologi
Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit berubah
menjadi bentuk vegetatif dan berbiak sambil menghasilkan toksin dalam
jaringan yang anaerobit ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi
jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus, nekrosis

35
jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin
disalurkan ke sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang
aksonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan
fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sum-sum
tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron keluksinafs
dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan
pada inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan. ( Aang, 2011)

D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejalanya meliputi :
1. Kejang sampai pada otot pernafasan
2. Leher kaku
3. Dinding abdomen keras
4. Mulut mencucu seperti mulut ikan.
5. Suhu tubuh dapat meningkat. (Deslidel, 2011)

E. Komplikasi
1. Bronkopneumonia
2. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pernafasan
3. Sepsis neonatorum.

F. Pemeriksaan Penunjang
1. pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit
2. pemeriksaan cairan otak biasanya normal
3. pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan
unit motorik secara terus-menerus . (Teddi, 2010)

G. Penatalaksanaan dan Pengobatan Tetanus Neonatorum


Penatalaksanaan tetanus neonatorum adalah perawatan tali pusat dengan
alat – alat yang steril. (Deslidel, 2011)
Pengobatan tetanus ditujukan pada :

36
1. Netralisasi tosin yang masih ada di dalam darah sebelum kontak dengan
sistem saraf, dengan serum antitetanus (ATS teraupetik)
2. Membersihkan luka tempat masuknya kuman untuk menghentikan
produksi toksin
3. Pemberian antibiotika penisilin atau tetrasiklin untuk membunuh kuman
penyebab
4. Pemberian nutrisi, cairan dan kalori sesuai kebutuhan
5. Merawat penderita ditempat yang tenang dan tidak terlalu terang
6. Mengurangi serangan dengan memberikan obat pelemas otot dan sesedikit
mungkin manipulasi pada penderita. (Maryunani , 2010)

H. Pencegahan
1. Imunisasi aktif
Vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid diberikan bersama vaksin
pertusis dan difteri ( vaksin DPT ). Kadar proteksi antibodi bertahan
selama 5 – 10 tahun sesudah suntikan “ booster “. Tetanus toksoid (TT)
selanjunya diberikan 10 tahun kecuali bila mengalami luka yang beresiko
terinfeksi, diberikan toksoid bila suntikan terakhir sudah lebih dari 5 tahun
sebelumnya atau bila belum pernah vaksinasi. Pada luka yang sangat
parah, suntikan toksoid diberikan bila vaksinasi terakhir sudah lebih dari 1
tahun.
Untuk mencegah tetanus neonatorum, diberikan TT pada semua wanita
usia subur atau wanita hamil trimester III, selain memberikan penyuluhan
dan bimbingan pada dukun beranak agar memotong dan merawat tali pusat
bayi dengan cara semestinya. Dapat terjadi pembengkakan dan rasa sakit
pada tempat suntikan sesudah pemberian vaksin TT. (Maryunani, 2010)
2. Imunisasi pasif
Diberikan serum anti tetanus (ATS Profilaksis) pada penderita luka
yang beresiko terjadi infeksi tetanus, bersama – sama dengan TT.
(Maryunani, 2010)

37
I. Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Tetanus Neonatorum
1. Pengkajian keperawatan
a. Pengkajian
b. Riwayat kehamilan prenatal.
Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT
c. Riwayat natal ditanyakan.
Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu
membedakan persalinan yang bersih/higienis atau tidak. Alat
pemotong tali pusat, tempat persalinan.
d. Riwayat postnatal.
Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat
menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala
tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of
onset).
e. Riwayat imunisasi pada tetanus anak.
Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/DT atau TT dan
kapan terakhir
f. Riwayat psiko sosial.
1) Kebiasaan anak bermain di mana
2) Hygiene sanitasi
g. Pemeriksaan fisik.
Pada awal bayi baru lahir biasanya belum ditemukan gejala dari
tetanus, bayi normal dan bisa menetek dalam 3 hari pertama. Hari
berikutnya bayi sukar menetek, mulut “mecucu” seperti mulut ikan.
Risus sardonikus dan kekakuan otot ekstrimitas. Tanda-tanda infeksi
tali pusat kotor. Hipoksia dan sianosis.
Pada anak keluhan dimulai dengan kaku otot lokal disusul dengan
kesukaran untuk membuka mulut (trismus).
Pada wajah : Risus Sardonikus ekspresi muka yang khas akibat
kekakuan otot-otot mimik, dahi mengkerut, alis terangkat, mata agak
menyipit, sudut mulut keluar dan ke bawah.

38
Opisthotonus tubuh yang kaku akibat kekakuan otot leher, otot
punggung, otot pinggang, semua trunk muscle.
Pada perut : otot dinding perut seperti papan. Kejang umum, mula-
mula terjadi setelah dirangsang lambat laun anak jatuh dalam status
konvulsius.
Pada daerah ekstrimitas apakah ada luka tusuk, luka dengan nanah,
atau gigitan binatang
h. Tata laksana pasien tetanus
1) Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi. Pemberian cairan secara
i.v., sekalian untuk memberikan obat-obatan secara syringe pump
(valium pump).
2) Menjaga saluran nafas tetap bebas, pada kasus yang berat perlu
tracheostomy.
3) Memeriksa tambahan oksigen secara nasal atau sungkup.
4) Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian valium/diazepam
bolus i.v. 5 mg untuk neonatus, bolus i.v. atau perectal 10 mg
untuk anak-anak (maksimum 0.7 mg/kg BB).

2. Diagnosa Keperawatan
a. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
b. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri/ vena
c. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan napas

3. Intervensi Keperawatan
a. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan
Tujuan : nutrisi dan cairan dapat dipertahankan sesuai dengan berat
badan dan pertumbuhan normal.
Kriteria hasil :
1) Tidak terjadi dehidrasi
2) Tidak terjadi penurunan BB

39
3) Hasil lab. tidak menunjukkan penurunan albumin dan Hb Tidak
menunjukkan tanda-tanda malnutrisi
Intervensi:
1) Catat intake dan output secara akurat.
2) Berikan makan minum personde tepat waktu.
3) Berikan perawatan kebersihan mulut.
4) Gunakan aliran oksigen untuk menurunkan distress nafas.
5) Berikan formula yang mengandung kalori tinggi dan protein tinggi
dan sesuaikan dengan kebutuhan.
6) Ajarkan dan awasi penggunaan makanan sehari-hari.
7) Tegakkan diet yang ditentukan dalam bekerja sama dengan ahli
gizi.

b. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri/ vena


Tujuan : perfusi perifer menjadi efektif dan aliran arteri/ vena menjadi
normal
Kriteria hasil :
1) Tekanan systole dan diastole dalam rentang yang diharapkan
2) Tidak ada ortostatik hipertensi
3) Tidak ada tanda peningkatan intracranial
Intervensi :
1) Periksa sirkulasi perifer
2) Identifikasi faktor risiko gangguan sirkulasi
3) Anjurkan berolahraga rutin
4) Ajarkan program diet untuk memperbaiki sirkulasi
5) Informasikan tanda dan gejala darurat yang harus dilaporkan

c. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d spasme jalan napas


Tujuan : kelancaran lalu lintas udara (pernafasan) terpenuhi secara
maksimal.
Kriteria hasil :

40
1) Tidak terjadi aspirasi
2) Bunyi napas terdengar bersih
3) Rongga mulut bebas dari sumbatan
Intervensi:
1) Berikan O2 nebulizer
2) Ajarkan pasien tehnik batuk yang benar.
3) Ajarkan pasien atau orang terdekat untuk mengatur frekuensi
batuk.
4) Ajarkan pada orang terdekat untuk menjaga kebersihan mulut.
5) Berikan perawatan kebersihan mulut.
6) Lakukan penghisapan bila pasien tidak dapat batuk secara efektif
dengan melihat waktu.

41
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa nifas (puerperium) dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika
alat-alat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas
berlangsung selama kira-kira 6 minggu. (Abdul Bari, 2002). Masa nifas adalah
masa dimulai beberapa jam sesudah lahirnya plasenta sampai 6 minggu
setelah melahirkan (Pusdiknakes, 2003). Masa nifas merupakan masa selama
persalinan dan segera setelah kelahiran yang meliputi minggu-minggu
berikutnya pada waktu saluran reproduksi kembali ke keadaan tidak hamil
yang normal. (F. Gary Cunningham, Mac Donald, 1995).
Sebagian besar kejadian kesakitan dan kematian ibu yang disebabkan oleh
perdarahan pasca persalinan terjadi selama empat jam pertama setelah
kelahiran bayi. Karena alasan ini sangatlah penting untuk memantau ibu
secara ketat segera setelah persalinan. Jika tanda-tanda vital dan kontraksi
uterus masih dalam batas normal selama dua jam pertama pasca persalinan,
mungkin ibu tidak akan mengalami perdarahan persalinan. Penting untuk
berada di samping ibu dan bayinya selama dua jam pertama pasca persalinan.

42
DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/11498263/Asuhan_Pada_Wanita_Ibu_Dengan_Kelain
an_Komplikasi_Dan_Penyulit_Dalam_Masa_Nifas
https://www.alodokter.com/infeksi-rahim-harus-segera-ditangani
https://www.alodokter.com/peritonitis
https://www.academia.edu/10272278/Bendungan_ASI
https://www.alodokter.com/infeksi-payudara
https://www.alodokter.com/tromboflebitis
https://www.alodokter.com/seperti-ini-penanganan-ruptur-perineum-tingkat-1-2
http://hasgurstika.blogspot.com/2011/01/askep-tetanus-neonatorum.html

43

Anda mungkin juga menyukai