Anda di halaman 1dari 75

TUGAS PRE KOMPRE

Pembimbing : dr. Adon

Disusun Oleh :
Alfan Zaki Mubarok H2A011005

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019

1
1. Nama Penyakit : Abses Otak
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai
serebritis yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang
dikelilingi oleh kapsul otak disebabkan oleh berbagai macam variasi
bakteri, fungus dan protozoa.
a. Level SKDI :2
b. Sistem : Saraf
c. Prevalensi :
Abses otak dapat terjadi pada berbagai kelompok usia, namun paling
sering terjadi pada anak berusia 4 sampai 8 tahun. Di Indonesia belum ada
data pasti, namun Amerika Serikat dilaporkan sekitar 1500-2500 kasus
abses serebri per tahun. Prevalensi diperkirakan 0,3-1,3 per 100.000
orang/tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita, yaitu
dengan perbandinagan 2-3:1 yang umumnya masih usia produktif yaitu
sekitar 20-50 tahun.
d. Etiologi
Sebagian besar abses otak berasal langsung dari penyebaran infeksi telinga
tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis dan maxillaries).
Bakteri penyebabnya antara lain, Streptococcus aureus, streptococci
(viridians, pneumococci, microaerophilic), bakteri anaerob (bakteri kokus
gram positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp,Prevotella spp,
Actinomyces spp, dan Clostridium spp), basil aerob gram-negatif (enteric
rods, Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter diversus, dan
Haemophilus spp). Selain itu juga ada Penyakit janting sianotik, post VP
shunt
e. Faktor resiko
 Usia : dewasa 20 – 50 tahun, Anak usia sampai 8 tahun
 laki-laki > Perempuam
 Sistem imun rendah
 Hieginitas rendah
 Riwayat penyakit jantung
f. Manifestasi Klinik

2
Pada stadium awal gambaran klinik AO tidak khas, terdapat gejala-gejala
infeksi seperti demam, malaise, anoreksi dan gejalagejala peninggian
tekanan intrakranial berupa muntah, sakit kepala dan kejang. Dengan
semakin besarnya abses otak gejala menjadi khas berupa trias abses otak
yang terdiri dari gejala infeksi (demam, leukositosis), peninggian tekanan
intracranial (sakit kepala, muntah proyektil, papil edema) dan gejala
neurologik fokal (kejang, paresis, ataksia, afaksia)
Abses pada lobus frontalis biasanya tenang dan bila ada gejala-gejala
neurologik seperti hemikonvulsi, hemiparesis, hemianopsia homonim
disertai kesadaran yang menurun menunjukkan prognosis yang kurang
baik karena biasanya terjadi herniasi dan perforasi ke dalam kavum
ventrikel.
Abses lobus temporalis selain menyebabkan gangguan pendengaran dan
mengecap didapatkan disfasi, defek penglihatan kwadran alas kontralateral
dan hemianopsi komplit. Gangguan motorik terutama wajah dan anggota
gerak atas dapat terjadi bila perluasan abses ke dalam lobus frontalis relatif
asimptomatik, berlokasi terutama di daerah anterior sehingga gejala fokal
adalah gejala sensorimotorik. Abses serebelum biasanya berlokasi pada
satu hemisfer dan menyebabkan gangguan koordinasi seperti ataksia,
tremor, dismetri dan nistagmus. Abses batang otak jarang sekali terjadi,
biasanya berasal hematogen dan berakibat fatal.

g. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan darah : leukosit dan LED ↑,
2) CT Scan : CT scan selain mengetahui lokasi abses juga dapat
membedakan suatu serebritis dengan abses

3
CT scan Normal CT Scan Abses Serebri
3) MRI : Saat ini banyak dugunakan, selain memberikan diagnosis yang
lebih cepat dan akurat
4) Neuro Imaging

Abscess Tumor

Wall Smooth, thin, regular Thick, irregular

Thinner on inner aspect Thinner on outer

aspect

Nodularity If present, in inner Outer border

border

T1 Hyperintense rim

T2 Hypointense rim

Meningeal Favours Not seen

enhancement

Diffusion Imaging High signal Low signal

Perfusion imaging Normal signal due to Low signal due high

dynamic collagen and fibrosis in capillary density in

wall tumour
Perbedaan Abses dan Tumor berdasarkan Neuroimaging

4
Daftar referensi :
1. Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf
“PERDOSSI”. Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair.
2011.
2. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan
SPO Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.
3. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan
SPO Neurologi “ PERDOSSI’’. hal 27-29. Jakarta: 2006.

5
2. Nama Penyakit : Mild Cognitive Impairment (MCI)
Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan stadium gangguan kognitif
yang melebihi perubahan normal yang terkait dengan penambahan usia,
akan tetapi aktivitas fungsional masih normal dan belum memenuhi
kriteria demensia. MCI secara luas dapat diartikan sebagai
stadium/tahapan intermediet penurunan kognitif, terutama yang mengenai
gangguan fungsi memori, yang diduga merupakan prediktif demensia,
terutama demensia Alzheimer
a. Sistem : Saraf
b. Level SKDI :2
c. Prevalensi :
Prevalensi MCI meningkat seiring dengan peningkatan usia, yaitu
10% pada usia 70-79 tahun dan 25% pada usia 80-89 tahun.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa resiko penyakit Alzheimer
secara signifikan lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki,
dan karena itu diduga kemungkinan MCI berkembang lebih besar
pada wanita dibanding pada pria
d. Faktor Resiko
 Ras
 Jenis kelami
 Umur
 Diet
 Inflamasi
 Radikal bebas
 Riwayat Penyakit vaskuler (Stroke)
 Stress
e. Etiologi
Etiologi dari MCI sangat bergantung dari faktor resiko yang ada,
selain itu ada hal lain yang berpengaruh seperti defisiensi
Dehidroepiandosteron dan hormon tiroid
f. Gejala dan tanda Klinis

6
Kebanyakan pasien MCI dapat menjalani hidup normal. Secara
umum mereka tidak mengalami kesulitan berpikir dan dapat bercakap
normal, berpartisipasi dan hidup bermasyarakat secara normal.
Mereka cenderung untuk mudah lupa dan bila mengerjakan sesuatu
selalu berbelit-belit.
Bila MCI berlanjut, permasalahan memori menjadi lebih jelas.
Kemungkinan keluarga dan teman-teman akan menjumpai tanda-
tanda sebagai berikut:
 Mengajukan pertanyaan yang sama berulang-ulang
 Menceritakan, cerita yang sama atau memberikan informasi
berulang kali
 Kurang inisiatif pada awal atau menyelesaikan aktivitas
 Pada waktu melakukan percakapan dan aktivitas kurang
bermanfaat
 Tidak mampu untuk mengikuti tugas yang rumit
Diagnosis MCI dapat dibuat dengan kriteria menurut the Quality
Standards Subcommittee of the American Academy of Neurology
sebagai berikut:
 Keluhan memori, terutama disampaikan oleh orang lain
 Gangguan memori obyektif
 Fungsi kognitif umum normal
 Aktivitas kehidupan sehari-hari intak
 Tidak ada demensia
g. Pemeriksaan penunjang
1) Neuro imaging = Computed Tomography (CT) scanning atau
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
2) Pemeriksaan neuropsikologi sangat diperlukan dalam kasus
penurunan kognitif ringan untuk menunjukkan bahwa skor pasien
berada di bawah tes memori standar (dan juga tes kognitif lain).
Pemeriksaan serial dibutuhkan untuk menunjukkan apakah pasien
membaik, tetap stabil, atau menuju ke demensia.

7
Daftar Pustaka
1. Anderson, Heather. 2010. Mild Cognitive Impairment. Department of
Neurology, University of Kansas Medical Center.
2. Poerwadi, Troeboes. Mudah Lupa: Kapan Kita Harus Waspada. Surabaya :
Department of Neurology, Medical Faculty of Airlangga University/ dr.
Soetomo Hospital.

8
3. Nama Penyakit :
Gangguan Depresif yang tidak terklasifikasikan
Depresi merupakan salah satu gangguan mood (mood disorder). Depresi
sendiri adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu pada satu
kutub (arah) atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi
emosional, perubahan dalam motivasi, perubahan dalam fungsi dan
perilaku motorik, dan perubahan kognitif. Terdapat gangguan penyesuaian
diri (gangguan dalam perkembangan emosi jangka pendek atau masalah-
masalah perilaku, dimana dalam kasus ini, perasaan sedih yang mendalam
dan perasaan kehilangan harapan atau merasa sia-sia, sebagai reaksi
terhadap stressor) dengan kondisi mood yang menurun.
a. Sistem : psikiatri
b. Level SKDI :2
c. Prevalensi : -
d. Etiologi
 Hormon
 Genetik
 Psikososial
e. Gejala dan Tanda
Kriteria Umum
1. Episode depresi harus bertahan setidaknya 2 minggu
2. Tidak ada hypomanic atau manik gejala cukup untuk memenuhi
kriteria untuk episode hypomanic atau manik pada setiap saat
dalam kehidupan individu
3. Tidak disebabkan penggunaan zat psikoaktif atau gangguan mental
organik
Gejala Utama
1. Perasaan depresi untuk tingkat yang pasti tidak normal bagi
individu, hadir untuk hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari,
sebagian besar tidak responsif terhadap keadaan, dan bertahan
selama minimal 2 minggu

9
2. Kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas yang biasanya
menyenangkan
3. Penurunan energi atau kelelahan meningkat
Gejala Lainnya
1. Kehilangan percaya diri atau harga diri
2. Tidak masuk akal perasaan diri atau rasa bersalah yang berlebihan
dan tidak tepat
3. Berpikiran tentang kematian atau bunuh diri, atau perilaku bunuh
diri
4. Keluhan atau bukti kemampuan berkurang untuk berpikir atau
berkonsentrasi, seperti keraguan atau kebimbangan
5. Pandangan masa depan yang suram dan pesimis
6. Gangguan tidur
7. Perubahan nafsu makan (penurunan atau kenaikan) dengan
perubahan berat badan yang sesuai
Diagnosis :
F32.9 episode depresif YTT
Karakter kelima: F32.00 = tanpa gejala somatik
F 32.01 = dengan gejala somatik

Tinjauan Pustaka
1. W. Lam R, Mok H. Depression Oxford Psychiatry Library. Lunbeck
Institutes. 2000.

10
4. Nama Penyakit : Functional Enkopresis
Enkopresis adalah suatu kejadian pengeluaran feses melalui anus, baik
secara disengaja maupun tidak disengaja pada waktu yang tidak tepat pada
anak yang telah terbiasa dalam berkemih maupun buang air besar sendiri
a. Sistem : Psikiatri
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi :
Enkopresis lebih sering terjadi pada anak laki-laki dari pada anak
perempuan, sekitar 17% pada usia 3 tahunan dan 1% pada usia 4
tahunan. Enkopresis jarang terjadi pada remaja usia pertengahan
kecuali mereka yang mengalami retardasi mental yang parah atau
intens
d. Etiologi
 Selalu menahan BAB
 Trauma
 Stress
 Kurang Aktfitas fisik
 Asupan makanan dan minuman
 Konsumsi obat yang mengandung kodein
 Kegagalan toilet training
e. Gejala dan Tanda
 Sakit perut kronis, intermiten didaerah pre-umbilikal
 Tidak nafsu makan dan lemas
 Encopresis lebih dominan terjadi pada siang hari dan sore hari
namun tidak menutup kemungkinan kadang-kadang terjadi
pada malam hari
 Anak menghindari buang air besar
 Tidak ada gangguan medis organik yang mendasari terjadinya
encopresis
 Anak mengalami tinja yang keras

11
 Anak buang air besar tidak pada tempatnya dan pada situasi
yang tidak tepat, paling sering terjadi diruang kelas
 Sebagian anak saat bermain, mereka tidak merasakan adanya
dorongan untuk buang air besar sebelum akhirnya mereka
buang air besar di celana
 Tidak adanya sensasi buang air besar
Retentive encopresis:
 Bukti sembelit dan mengotori fecal
 Mengeluarkan tinja tidak disengaja; anak merasa ada dorongan
evakuasi karena usus distal telah kehilangan nada dan perasaan
 Mengeluarkan tinja tidak pada tempanya (umumnya dalam
celana)
 Kecil, lembut, tinja kurang terbentuk; kebocoran (mengotori)
berkisar dari jarang ke kontinyu, terjadi sebagian besar pada
siang hari dan jarang saat tidur
 Periode gerakan yang sangat besar usus diselingi dengan
periode konstipasi (kriteria diagnostik Roma II menyatakan
bahwa buang air besar tidak boleh terjadi lebih dari dua kali
seminggu)
 Nyeri di perut bagian bawah atau rektum
 Garis-garis darah di tinja atau kertas toilet
 perilaku Secretive dengan buang air besar
 Enuresis terjadi pada 40% kasus karena tekanan dari
megacolon pada kandung kemih
 Harga diri yang rendah dan perasaan malu, malu, dan rasa
bersalah
Nonretentive encopresis:
 Mengeluarkan tinja tanpa sembelit
 Kotoran yang normal dalam bentuk dan konsistensi; kekotoran
adalah intermiten

12
 Tinja dapat disimpan di lokasi yang menonjol (biasanya
berhubungan dengan ODD, gangguan perilaku, atau
masturbasi anal)

Tinjauan Pustaka :
1. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson tektbook of pediatrics.Ed. 17.
India: Elsevier; 2005.
2. O'Connell TX,Jonathan M. Wong, Haggerty K, Horita TJ. Instant Work-ups: A
Clinical Guide to Pediatrics; Chapter 15 ENCOPRESIS. Elsevier. 2010

13
5. Nama Penyakit : Ptosis
Ptosis (Blepharoptosis) merupakan keadaan jatuhnya kelopak mata
(Drooping eye lid), dimana dimana kelopak mata atas (palpebra superior)
turun di bawah posisi normal saat membuka mata yang dapat terjadi
unilateral atau bilateral.Posisi normal palpebra superior adalah ditengah-
tengah antara limbus superior dan tepian atas pupil. Ini dapat bervariasi 2
mm jika kedua palpebra simetris
a. Sistem : Indra
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi :
Ptosis dapat terjadi pada semua umur, tetapi lebih sering ditemukan
pada usia dewasa tua. Kejadian antara laki laki dan perempuan sama.
d. Etiologi
 Gangguan perkembangan
 Penurunan antibodi
 Akibat kelemahan, perlepasan, atau disinsersi aponeurosis
levator
 kegagalan insersi aponeurosis pada posisi normal di permukaan
anterior tarsus.
 Trauma
 Keganasan
Klasifikasi Ptosis Menurut Beard
Kelainan perkembangan levator
 Simplek
 Kelemahan rektus superior
Ptosis miogenik lain
 Sindrom blepharophimosis
 Ophtalmoplegia eksternal progresif menahun
 Sindrom okulofaringeal
 Distrofi muskular progresif
 Miastenia Gravis

14
 Fibrosis kongenital dari muskulus ekstraokuler
Ptosis aponeurotik
 Ptosis senilis
 Ptosis herediter berkembang lambat
 Stress atau trauma aponeurosis levator
 Pasca operasi katarak
 Lokal trauma lainnya
 Blepharochalasis
 Berhubungan dengan kehamilan
 Berhubungan dengan penyakit Grave
Ptosis neurogenik
 Lesi nervus okulomotor
 Sindrom Horner
 Migrain Ofthalmoplegi
 Multipel Sklerosis
 Sindrom Marcuss Gunn
 Ptosis misdireksi nervus III
 Pasca trauma oftalmoplegi
Ptosis mekanik
Terlihat seperti ptosis
 Akibat hipotropia
 Akibat dermatochalasis
 Akibat berkurangnya jaringan penyokong posterior kelopak
mata
e. Gejala
 Jatuhnya / menutupnya kelopak mata atas yang tidak normal.
 Kesulitan membuka mata secara normal.
 Peningkatan produksi air mata.
 Adanya gangguan penglihatan.
 Iritasi pada mata karena kornea terus tertekan kelopak mata.

15
 Pada anak akan terlihat guliran kepala ke arah belakang untuk
mengangkat kelopak mata agar dapat melihat jelas.

f. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien ptosis umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Namun untuk mengetahui adanya kelainan sistemik yang
dapat mengakibatkan keadaan tersebut kiranya dapat dilakukan
pemeriksaan darah. Pemeriksaan MRI dan CT-scan kepala dan mata
dibutuhkan misalnya bila untuk melihat adanya massa tumor yang
menyebabkan terjadinya ptosis, dan pada pasien yang ditemukan
adanya kelainan neurologik lainnya misalnya pada pupil yang
abnormal.

DAFTAR PUSTAKA :
1. Ilyas, Sidharta. Ptosis. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta:
FKUI. 2007.
2. Suh, Donny Wun. Ptosis, Congenital. Editor(s) : Michael J Bartiss, Donald
S Fong, Mark T Duffy, Lance L Brown, Hampton Roy. Department of
Ophthalmology, University of Nebraska Medical Center. Avaiable at.
2003.

16
6. Nama Penyakit : Ambliopia
Ambliopia adalah suatu keadaan mata dimana tajam penglihatan tidak
mencapai optimal sesuai dengan usia dan intelegnsinya walaupun sudah
dikoreksi kelainan refraksinya
a. Sistem : Indra
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi :
Usia terjadinya ambliopia yaitu pada periode kritis dari perkembangan
mata. Resiko meningkat pada anak yang perkembangannya terlambat,
prematur dan atau dijumpai adanya riwayat keluarga ambliopia
d. Etiologi
 Strabismus
 Gangguan refraksi (anisometropia tinggi)
 Kelainan fiksasi : nistagmus usia dini
 Katarak kongenital
 Obat obat dan alkohol
e. Gejala Klinis
 Timbul gejala lemas badan dari derajat ringan sampai sedang.
 Berkurang penglihatan satu mata
 Tajam pengligatan menurun
 Hilangnya sensitivitas kontras
 Mata mudah mengalami fiksasi eksentrik
 Adanya anisokor
 Tidak mempengaruhi penglihatan warna
 Daya akomodasi menurun
f. Pemeriksaan Penunjang
 Uji Crowding phenomena
 Uji densiti filter netral
 Uji worth’s four dot
 visuskopi

17
DAFTAR PUSTAKA :
1. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2006
2. American Academy of Ophtalmology. Pediatric Opthalmology; Chapter 5:
Amblyopia; Section 6, Basic and Clinical Science Course. 2005

18
7. NAMA PENYAKIT : Hipertrofi Adenoid
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding
posterior nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam
cincin waldeyer. Secara fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil
mengalami hipertrofi. Adenoid ini membesar pada anak usia 3 tahun dan
kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14 tahun.
Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat
terjadi hipertrofi adenoid
a. Sistem : Respirasi
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi
Di Indonesia, data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun, data yang didapatkan dari
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan
kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi. Fenomena ini
juga terlihat pada jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan puncak
kenaikan pada tahun kedua (275 kasus) dan terus menurun sampai
tahun 2003 (152 kasus). Sedangkan data dari rumah sakit Fatmawati
dalam 3 tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan
kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi
tonsiloadenoidektomi.
d. Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat di ringkas menjadi dua yaitu secara
fisiologis dan faktor infeksi. Secara fisiologis adenoid akan mengalami
hipertrofi pada masa puncaknya yaitu 3-7 tahun. Biasanya
asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menyebabkan gejala.
Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi
kronik atau rekuren pada saluran pernapasan atas atau ISPA
e. Gejala Klinis
 Obstruksi nasi oleh karena adenoid menyumbat parsial atau
total respirasi hidung sehingga terjadi ngorok, percakapan

19
hiponasal, dan membuat anak-anak akan terus bernafas melalui
mulut
 Tampak muka yang karakteristik yang disebut facies adenoid
yang berupa mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan
bibir atas yang pendek (namun sering juga muncul pada anak-
anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam
jangka panjang), hidung yang kecil, maksila tidak
berkembang/hipoplastik, sudut alveolar atas lebih sempit, arkus
palatum lebih tinggi.
 Penurunan pendengaran
 Sleep apnea pada anak yang berupa adanhya episode apnea
pada saat tidur dan hipersomnolen pada siang hari. Sering juga
disertai dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea
dapat terjadi akibat adanya obstruksi sentral atau campuran
Pemeriksaan Fisik
 Directa
- Dengan melihat transoral langsung ke dalam
nasofaring setelah palatum molle di retraksi.
- Dengan rhinoskopi anterior melihat gerakan keatas
palatum molle waktu mengucapkan "i" yang
terhambat oleh pembesaran adenoid, hal ini disebut
fenomena palatum molle yang negatif
 Indirecta
- Dengan cermin dan lampu kepala melihat
nasofaring dari arah orofaring dinamakan
rhinoskopi posterior.
- Dengan nasofaringioskop, suatu alat seperti
scytoskop yang mempunyai sistem lensa dan prisma
dan lampu diujungnya, dimasukkan lewat cavum
nasi, seluruh nasofaring dapat dilihat.
 Palpasi : Jari telunjuk yang dimasukkan ke nasofaring
dapat meraba adenoid yang membesar

20
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Radiologi
Pengambilan foto polos leher lateral juga bisa membantu dalam
mendiagnosis hipertrofi adenoid jika endoskopi tidak dilakukan
karena ruang postnasal kadang sulit dilihat pada anak-anak, dan
dengan pengambilan foto lateral bisa menunjukkan ukuran
adenoid dan derajat obstruksi.

gambaran radiologis adenoid pada foto polos kepala lateral


2) Endoskopi
Endoskopi yang flexible membantu dalam mendiagnosis
adenoid hipertrofi, infeksi pada adenoid, dan insufisiensi
velopharyngeal (VPi), juga dalam menyingkirkan penyebab
lain dari obstruksi nasal.

21
DAFTAR PUSTAKA :
1. Rusmarjono. Penyakit serta kelainan pada faring dan tonsil. Dalam: Efiaty
AS; Iskandar, Nurbaiti, editors. Buku ajar ilmu kesehatan telinga-hidung-
tenggorok kepala leher. 5th ed: Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2004.
2. Adams G. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam: Effendi H,
Santoso RA, editors. Boies buku ajar penyakit THT. 6th ed: Jakarta :
penerbit buku kedokteran EGC; 1997

22
8. NAMA PENYAKIT : Trakeitis
Trakeitis adalah suatu infeksi/peradangan disebabkan oleh bakteri yang
menyebabkan obstruksi jalan napas, sepsis, dan kematian.
a. Sistem : Respirasi
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi
Trakeitis paling sering terjadi pada anak usia 3 tahun, tetapi dapat
terjadi pula pada anak berusia 8 tahun. Timbulnya penyakit yang tak
diketahui secara pasti.Tidak ada perbedaan jenis kelamin yang jelas.
d. Etiologi
 Gangguan perkembangan
 Infeksi
 Trauma
 Post inflamasi
 Idiopatik (tersering)
 neoplasma
e. Gejala Klinis
Khasnya pada anak timbul batuk keras dan kasar, tampak sebagai
bagiandari laringotrakeobronkitis. Demam tinggi dan “toksisitas”
dengan kegawatan pernapasan dapat terjadi segera atau sesudah
beberapa hari dari perbaikan yang tampak. Pada trakeitis dapat
jugaterjadi odinofagi. Intubasi atau trakeostomi biasanya diperlukan.
Patologi utama yang tampak adalah pembengkakan mukosa pada
setinggi kartilago krikoid, yang dikomplikasi oleh sekresi purulen,
kental banyak sekali. Pengisapan sekresi ini,walaupun kadang-kadang
memberikan pelegaan sementara, biasanya tidak cukup menghindarkan
perlunya jalan napas buatan
f. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah rutin menunjukkan adanya leukositosis.
Roentgenogram dada sering menunjukkan bercak infiltrate dan
dapatmenampakkan kepadatan lokal. Penyempitan subglotis dan

23
kolom udara trakea yang terobek-robek kasar seringkali dapat
diperlihatkan secara rontgenografi.

DFATAR PUSTAKA :
1. Donnelly B, McMillan J, Weiner L. Bacterial tracheitis: Report of eight
new cases and review. Rev Infect Dis. 1990
2. Seigler RS. Bacterial tracheitis. An unusual radiographic presentation.
Clin Pediatr. 1994.

24
9. NAMA PENYAKIT : Kardiomiopati
kardiomiopati diartikan sebagai “penyakit otot jantung karena sebab yang
tidak diketahui”, menunjukkan tidak adanya informasi yang cukup
mengenai penyebab dan mekanisme dasar dari penyakit ini
a. Sistem : Kardiovaskuler
b. Level SKDI :
c. Prevalensi
Prevalensi OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2- 4%
pada pria dan 1-2% pada wanita. Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali
lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA lebih jarang
ditemukan pada wanita.
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi
pada usia 2-5 tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah
hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi dapat juga akibat kelainan struktur
kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan Down. Secara
umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan
penambahan usia.
d. Etiologi
Kardiomiopati Primer
(terutama yang melibatkan jantung)

Genetik Campuran Acquired

 HCM - DCM -Inflammatory

 ARVC/D - Restrictive (non-hypertro- -Stress

 LVNC phied and non-dilated) - Peripartum

 Glycogen Storage -Tachycardia-

 Conduction defects -infant insulin-

 Mithocondrial Myopathies

 Ion Channel Disorders

25
e. Gejala
Gejala yang dapat muncul seperti angina, sinkop, palpitasi, dan tanda-
tanda infark miokard serta gagal jantung kiri
Pemeriksaan fisik akan ditemukan pembesaran jantung ringan. Pada
apeks teraba getaran jantung sistolik dan kuat angkat. Pada auskultasi
ditemukan S1 dapat normal atau mengeras, S2 fisiologis atau adanya
split`paradoksal bila ada hipertrofi ventrikel kiri yang berat, Left
Bundle- Branch Block, atau obstruksi aliran ventrikel kiri. S4 biasanya
ada. Murmur pada kardiomiopati hipertrofik ini bersifat crescendo-
decrescendo yang terdengar di sepanjang LSB(lower Sternal Border)4
dan di apeks. Bunyi bising berkurang dengan manuver yang
meningkatkan volume ventrikel kiri seperti merangkak, mengangkat
kaki, jongkok. Bising ini menjalar ke basal, apeks atau aksila namun
jarang menjalar ke leher.

f. Pemeriksaan Penunjang
 Pada foto rontgen dada tampak gambaran normal pada pasien
yang asimtomatik(9,10). Dapat pula ditemukan pembesaran jantung
ringan sampai sedang, terutama pembesaran atrium kiri. Pada
pemeriksaan EKG ditemukan hipertrofi ventrikel kiri (80%),
LBBB, Left Axis Deviation (LAD), kelainan segmen ST dan
gelombang T, gelombang Q yang abnormal dan aritmia atrial dan
ventrikular. Pada pemeriksaan echocardiography Ten Cate
menemukan tiga jenis hipertrofi ventrikel kiri yaitu . Hipertrofi
septal saja (41%), Hipertropi septal disertai hipertrofi dinding

26
lateral (53%), Hipertrofi apikal distal (6%) ( septum dan dinding
lateral, kedua-duanya.
DAFTAR PUSTAKA :
1. Carrol JD, Crawford MH, 2009, “Restrictive Cardiomyopathies”, dalam
Crawford MH (ed.), Current Diagnosis and Treatment in Cardiology, 172-
178, London: Prentice Hall International
2. Maron BJ dkk, 2006, “Contemporary Definitions and Classification of The
Cardiomyopathies”, Circulation, 113, 1807-1816..
3. Nasution SA, 2007, Kardiomiopati, dalam Sudoyo AW dkk (ed.), Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III, 1600-1603, Jakarta: Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia..

27
10. NAMA PENYAKIT : Emboli vena
Emboli ialah benda asing yang terangkut mengikuti aliran darah dari
tempat asalnya dan dapat tersangkut pada suatu tempat menyebabkan
sumbatan aliran darah. Embolisme adalah keadaan dimana emboli yang
berupa benda padat (thrombus), cair (amnion), ataupun gas (udara) yang di
bawa oleh darah menyumbat aliran darah.
a. Sistem : Kardiovaskuler
b. Level SKDI : 2
c. Faktor resiko :
 Laki laki
 Usia lanjut
 Trauma
 Kehamilan
 CHF
 keganasan
d. Etiologi
Sebagian besar berasal dari vena profunda tungkai dan di angkut oleh
sirkulasi vena ke paru, lainnya dari vena pelvis. Emboli paru sebelum
masuk organ ini melewati vena kava, jantung kanan dan baru
kemudian ke sirkulasi paru. Di sini emboli dapat menyumbat arteri dan
cabang cabang utama arteri pulmonalis dan membentuk embolus
pelana dan menimbulkan kematian mendadak. Emboli kecil akan
mengikuti aliran pembuluh yang lebih kecil dan perifer. Emboli yang
menyeberang dari rongga kanan jantung melalui foramen ovale atau
defek septum interventrikulare sisi kiri dan memasuki jantung bagian
kiri disebut emboli paradoks. Efek embolus paru bisa tidak nyata,
hemoragi, atau infark, bergantung pada kondisi paru dan
kardiovaskular
e. Gejala dan tanda

28
Penyakit yang berkaitan dengan emboli vena
1. Thrombosis vena
Tanda-tanda klinis penyakit pembuluh darah vena dipercaya
sehingga sangat penting melakukan metode-metode evaluasi
invasive dan noninfasive. Tujuan pengujian ini adalah untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi obstruksi atau refluksi vena
melalui katu-katup yang tidak berfungsi baik. Atup vena yang
tidak berfungsi baik dapat dievaluasi secara klinis dengan
menguji waktu pengisian vena.
Tes Brodi-trendelenburg
dilakukan dengan mengosongkan vena safena melalui anggota
gerak dan mengurangi aliran arteri melalui oklusi. Pada katup
yang tidak berfungsi baik, terlihat pengisian vena yang cepat
pada saat oklusi dilepas dan kemungkinan juga pada saat posisi
berdiri. Teknik lain adalah tes kompresi manual, yaitu dengan
melakukan kompresi di sebelah proksimal vena dan palpasi di
sebelah distal untuk mengevaluasi vena retrograde karena
refluks katup.
2. Penyakit vena tromboembolik
Istilah tromboembolik mencerminkan hubungan antara
thrombosis, yaitu proses pembentukan bekuan darah, dan
resiko emboli yang selalu ada. Seringkali tanda pertama
thrombosis vena adalah emboli paru. Angka mortalitas dan
morbiditas akibat emboli paru menyebabkan pengobatan
thrombosis vena profunda ditekankan pada pencegahan emboli.
Sebagai akibatnya, kedua proses tersebut saling berkaitan
3. Thrombosis vena profunda akut
Kebanyakan thrombosis vena profunda berasal dari ekstrmitas
bawah, banyak yang sembuh sepontan, dan lainnya menjadi
lebih luas atau membentuk emboli. Penyakit ini dapat
menyerang satu vena atau lebih, vena-vena di betis adalah
vena-vena yang paling sering terserang. Thrombosis pada vena

29
popliteal, femoralis superfisialis juga sering terjadi. Amat
banyak kasus emboli paru-paru yang terjadi akibat DVT pada
vena-vena panggul dan ekstremitas bawah
4. Thrombofletis superficialis
Manifestasi khas dari tromboflebitis superfisialis adalah nyeri
akut disertai rasa terbakar dan nyeri tekan permukaan.
Tromboflebitis superfisialis biasanya lebih nyeri dari pada
thrombosis vena profunda karena ujung-ujung saraf kulit
berdekatan dengan letak proses peradangannya. Kulit di
sepanjang vena tersebut mungkin menjadi eritematosa dan
hangat. Mungkin kulit juga terlihat sedikit lebih bengkak. Vena
tersebut bisa teraba. Kekuatan vena ini kadang-kadang disebut
tali subkutan. Dapat timbul manifestasi sistemik dari
peradangan ini, berupa demam dan malese
f. Pemeriksaan Penunjang
 Foto Thorax
 Analisis gas darah
 D Dimer
 EKG
DAFTAR PUSTAKA :
1. Isselbacher, dkk.2013. HARRISON Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit
Dalam(Harrison’s Principles of Internal Medicine) vol.3 edisi 13 .Jakarta:EGC
2. Price, Sylvia A & Lorraine M.Wilson. 2012. PATOFISIOLOGI Konsep
Klinis Proses- Proses Penyakit Vol.1 edisi 6 .Jakarta:EGC

30
11. NAMA PENYAKIT : Sumbing Bibir dan Palatum
Cleft Lip and Palate (bibir sumbing dan langit-langit) adalah kelainan
kongenital facio-oral dimana terjadi malformasi atau pada area wajah
janin tidak membentuk dengan sempurna. Bibir sumbing (cleft lip)
adalah kelainan berupa celah yang berada pada bagian bibir atas yang
didapatkan seseorang sejak lahir karena malformasi yang disebabkan oleh
gagalnya prosesus nasal mediana dan maksilaris untuk menyatu selama
perkembangan embrionik. Bila celah berada pada bagian langit-langit
rongga mulut (palatum) ,maka kelainan ini disebut cleft palate. Pada cleft
palate, celah akan menghubungkan langit-langit rongga mulut dengan
rongga hidung atau membentuk suatu fissura garis tengah pada palatum
yang terjadi karena kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan
embrionik
a. Sistem : Gastrointestinal, hepatobilier dan pankreas
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi
Malformasi wajah yang umum di masyarakat ini terjadi hampir pada 1
dari 1000 kelahiran di dunia. Anak dengan labioskizis,
labiopalatoskizis, atau palatoskizis dapat memiliki beberapa gangguan
fisik yang disebabkan oleh kelainan lain yang biasanya menyertai, atau
akibat komplikasi kelainan wajah. Insidens berdasarkan jenis kelamin
pria dan wanita adalah 2:1 untuk bibir sumbing dengan atau tanpa
celah palatum dan 1:2 untuk celah palatum saja
d. Etiologi
kegagalan fusi antara processus maksilaris dengan processus nasalis
medialis dimana pertama terjadi pendekatan masing – masing
processus, setelah processus bertemu, terjadi regresi lapisan epitel dan
pada akhirnya mesoderm saling bertemu dan mengadakan fusi
e. Faktor Resiko
1) Herediter
2) Faktor Lingkungan : Ibu perokok, konsumsi alkohol

31
3) Usia ibu saat melahirkan,stress, konsumsi obat anto konsulvan,
stres emosional
4) nutrisi
5) Radiasi
f. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik saat bayi lahir
USG dan MRI pada saat masa kehamilan. Biasanya terdeteksi saat
kunjungan rutin antenatal

USG Antenatal diagnosis pada labioschizis


Ultrasonografi, sebagai metode pencitraan utama, pemeriksaan
yang menunjukkan kondisi janin saat itu, selain itu mudah untuk
dilakukan dan tidak mahal. Namun, pemeriksaan menggunakan
sonografi pada masa prenatal dengan bibir sumbing dan palatum dapat
menjadi sulit karena membayangi dari struktur tulang di sekitarnya.
Pada pencitraan di wajah memiliki keuntungan untuk dapat melihat
tingkat midline-anomaly yang kompleks, yang mungkin terbatas
jika dilakukan pada pencitraan gambar dua dimensi biasa. Studi
lain mengatakan bahwa MRI mampu untuk menentukan tingkat
keterlibatan posterior palatum dan penyebaran ke arah lateral sumbing
pada CL/P (Cleft lip with or without palate) atau CP (Cleft palate)
mempunyai akurasi diagnostik lebih tinggi dari pemeriksaan
ultrasound.

32
DAFTAR PUSTAKA :
1. Sadler, T.W. 2006. Embriologi Kedokteran Langman Ed 10. Jakarta:
EGC.corwin, Elizabeth J. 2001. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
2. Cummings CW, Flint PW, Haughey BH, Robbins KT, Thomas JR,
Harker LA, et al. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery, 4th
ed. Philadelphia: Mosby Inc; 2005Kalim H. 2001. Penyakit
Kardiovaskuler dari Pediatrik sampai Geriatrik. Jakarta: Balai Penerbit
RS Jantung Harapan kita
3. Young, D.L. Schneider, R.A. Hu, D. Helms, J.A. 2000. Genetic and
Teratogenic Approaches to Craniofacial Development. Critical Reviews
in Oral Biology & Medicine 11:304-317Price, Sylvia Anderson. 2005.
Textbook of Pathophysiology. 6th ed. Jakarta : EGC.
4. Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, et al. Sumbing Bibir dan Langitan.
Dalam : Kapita Selekta. Jilid 2. Jakarta: Media Aeusculapius. FKUI. 2005

33
12. NAMA PENYAKIT : Ileus
Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya
obstruksi usus yang segera memerlukan pertolongan dokter. Ileus paralitik
atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus yang
disebabkan oleh obstruksi disebut juga ileus mekanik, dan memiliki angka
kejadian tersering.
a. Sistem : gastrointestinal, hepatobilier dan pankreas
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi
Setiap tahunnya 1 dari 1000 penduduk dari segala usia didiagnosa
ileus. Di Amerika diperkirakan sekitar 300.000-400.000 menderitaileus
setiap tahunnya Di Indonesia tercatat ada 7.059 kasus ileusparalitik dan
obstruktif tanpa hernia yang dirawat inap dan 7.024 pasien rawat jalan
pada tahun 2004
d. Etiologi
1) Ileus Paralitik
 Trauma abdomen
 Pembedahan abdomen
 Abnormalitas serum elektrolit
 Infekso, inflamasi (empedu, darah)
 Iskemia usus
 Cedera tulang
 Pengobatan : narkotika, fenotiazin, clozapine,
anticholinergik
2) Ileus Obstruktif
 Penyempitan lumen : benda asing,tumor
 Adhesi
 Invaginasi
 Volvulus
 Malformasi usus

34
Bermacam penyebab ileus obstruktif

e. Diagnosa
1) Ileus Paralitik
 Anamnesa
Pada anamnesa ileus paralitik sering ditemukan keluhan
distensi dari usus, rasa mual dan dapat disertai muntah.
Pasien kadang juga mengeluhkan tidak bisa BAB ataupun
flatus, rasa tidak nyaman diperut tanpa disertai nyeri.
 Pemeriksaan fisik
I : adanya distensi, parut abdomen, hernia dan massa
abdomen. Pada pasien yang kurus tidak terlihat gerakan
peristaltik
P : mencari adanya tanda iritasi peritoneum apapun atau
nyeri tekan, yang mencakup ‘defence muscular’ involunter
atau rebound dan pembengkakan atau massa yang
abnormal untuk mengetahui penyebab ileus.
P : Hipertimpani
A : Bising usus lemah atau tidak ada sama sekali (silent
abdomen) dan borborigmi
2) Ileus Obstruktif
Anamnesis :
 Nyeri (Kolik)

35
Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan disekitar
umbilikus
Obstruksi kolon : nyeri dirasakan disekitar suprapubik.
 Muntah
Stenosis Pilorus : Encer dan asam
Obstruksi usus halus : Berwarna kehijauan
Obstruksi kolon : onset muntah lama.
 Perut Kembung (distensi)
 Konstipasi
Tidak ada defekasi
Tidak ada flatus
Adanya benjolan di perut, inguinal, dan femoral yang tidak dapat
kembali menandakan adanya hernia inkarserata. Selain itu,
invaginasi dapat didahului oleh riwayat buang air besar berupa
lendir dan darah. Riwayat operasi sebelumnya dapat menjurus pada
adanya adhesi usus serta onset keluhan yang berlangsung cepat
dapat dicurigai sebagai ileus letak tinggi dan onset yang lambat
dapat menjurus kepada ileus letak rendah.
Pemeriksaan fisik :
 Adanya strangulasi ditandai dengan adanya lokal peritonitis
seperti : Takikardia, pireksia (demam), Rebound tenderness,
nyeri lokal, hilangnya suara usus local. Untuk mengetahui
secara pasti hanya dengan laparotomi.
 Adanya obstruksi ditandai dengan : perut distensi,
hiperperistaltik, hipertimpani, kadang teraba massa seperti
pada tumor, invaginasi dan hernia
 Rechtal Toucher :

- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease


- Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi,
neoplasma
- Feses yang mengeras : skibala

36
- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

f. Pemeriksaan Penunjang
1) Ileus paralitik
Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan adalah leukosit darah,
kadar elektrolit, ureum, glukosa darah dan amylase.
Foto polos abdomen sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung,
usus halus dan usus besar. Air fluid level ditemukan berupa suatu
gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level
pada ileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder
(seperti anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos
abdomen masih meragukan, dapat dilakukan foto abdomen dengan
mempergunakan kontras
2) Ileus obstruktif
Tes laboratorium mempunyai keterbatasan nilai dalam
menegakkan diagnosis, tetapi sangat membantu memberikan
penilaian berat ringannya dan membantu dalam resusitasi. Pada
tahap awal, ditemukan hasil laboratorium yang normal.
Selanjutnya ditemukan adanya hemokonsentrasi, leukositosis dan
nilai elektrolit yang abnormal.
Pada foto polos abdomen dapat ditemukan gambaran ”step ladder
dan air fluid level” terutama pada obstruksi bagian distal. Pada
kolon bisa saja tidak tampak gas. Penggunaan kontras
dikontraindikasikan jika adanya perforasi-peritonitis. Barium
enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan
pada kecurigaan volvulus

37
Ileus obstruktif
DAFTAR PUSTAKA :
1. American Gastroenterological Association. 2003. Reviews : Postoperatives
Ileus : Etiologies and Interventions. University of California San Fransisco :
California.
2. Badash, Michelle. Paralytic Ileus (Adynamic Ileus, Non-mechanical Bowel
Obstruction). EBSCO Publishing, 2005.
3. Hamami, AH., Pieter, J., Riwanto, I., Tjambolang, T., dan Ahmadsyah, I.
Usus Halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim. Jakarta: EGC, 2003.
4. Sjamsuhidajat, R.; Dahlan, Murnizat; Jusi, Djang. Gawat Abdomen. Dalam
Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Editor: Sjamsuhidajat, R. dan De Jong, Wim.
Jakarta: EGC, 2003

38
13. NAMA PENYAKIT : Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi
yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal.
Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik atas Dasar Derajat Penyakit
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥ 90
atau
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60 – 89
ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30 – 59
sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG berat 15 – 29
5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

a. Sistem : Ginjal dan Saluran kemih


b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden
penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk
pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di
Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus
baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara – negara berkembang lainnya,
insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk
pertahun.
d. Etiologi
Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes
melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%)
Penyebab lain :
- Penyakit peradangan seperti glomerulonefritis
- Penyakit keturunan seperti penyakit ginjal polikistik

39
- Malformasi yang didapatkan oleh bayi pada saat berada di
dalam rahim si ibu
- Lupus dan penyakit lain yang memiliki efek pada sistem imun
- Penyakit ginjal obstruktif seperti batu saluran kemih, tumor,
pembesaran glandula prostat pada pria danrefluks ureter
- Infeksi traktus urinarius berulang kali seperti pielonefritis kronik
e. Faktor resiko
 Usia > 50 tahun
 DM
 Hipertensi
 genetik
f. Gejala
 Kelainan saluran cerna : nafsu makan menurun, mual, muntah dan
fetor uremik
 Kelainan kulit : urea frost dan gatal di kulit
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
 Kelainan neuromuskular : tungkai lemah, parastesi, kram otot, daya
konsentrasi menurun, insomnia, gelisah
g. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
 Penurunan fungsi ginjal berupa peningakatan kadar ureum dan
kreatinin serum, dan penurunan LFG
 Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar
hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau
hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia,
hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik
 Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,
cast, isostenuria
2) Pemeriksaan Radiologis

40
 Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria,
cast, isostenuria
 Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras sering
tidak bisa melewati filter glomerulus, disamping kekhawatiran
terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang
sudah mengalami kerusakan
 Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang
mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau
batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi
3) Biopsi dan Pemeriksaan histopatologi

DAFTAR PUSTAKA :
1. Sherwood, Lauralee. Sistem Kemih. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.
Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran ECG ; 2001
2. Sudoyo, A. W dkk. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan IPD FK UI ; 2009
3. Kamaludin Ameliana. 2010. Gagal Ginjal Kronik. Jakarta : Bagian Ilmu
Penyakit Dalam UPH.

41
14. NAMA PENYAKIT : Hidrokel
Hidrokel adalah penumpukan cairan yang berlebihan di antara lapisan
parietalis dan viseralis tunika vaginalis pada testis. Dalam keadaan normal,
cairan yang berada di dalam rongga itu memang ada dan berada dalam
keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi oleh sistem limfatik di
sekitarnya.
a. Sistem : Ginjal dan saluran kemih
b. Level SKDI : 2
c. Etiologi
Hidrokel primer terlihat pada anak akibat yang terjadi pada bayi baru
lahir dapat disebabkan karena :
1) Belum sempurnanya penutupan prosesus vaginalis, suatu
divertikulum peritoneum embrionik yang melintasi kanalis
inguinalis dan membentuk tunika vaginalis, sehingga terjadi aliran
cairan peritoneum ke prosesus vaginalis
2) Belum sempurnanya sistem limfatik di daerah skrotum dalam
melakukan reabsorbsi cairan hidrokel. Pada bayi laki-laki hidrokel
dapat terjadi mulai dari dalam rahim. Pada usia kehamilan 28
minggu, testis turun dari rongga perut bayi ke dalam skrotum,
dimana setiap testis ada kantong yang mengikutinya sehingga
terisi cairan yang mengelilingi testis tersebut
Pada orang dewasa, hidrokel sekunder dapat terjadi secara idiopatik
(primer) dan sekunder. Penyebab hidrokel sekunder terjadi karena
didapatkan kelainan pada testis atau epididimis yang menyebabkan
terganggunya sistem sekresi atau reabsorbsi cairan dikantong hidrokel.
Kelainan pada testis itu mungkin suatu tumor, infeksi, atau trauma
pada testis/epididimis

42
Macam mavam Hidrokel
Derajat pembesaran hidrokel:
Derajat I : Hanya terjadi pembengkakan funikulus
spermatikus
Derajat II : Terjadi penimbunan cairan sepanjang funikulus
spermatikus, terjadi limfokeldiatas testis. Terdapat hidrokel kecil,
kurang dari atau lebih dari 6 cm tanpa terba cairan.Derajat I dan II
merupakan hidrokel yang belum ada manifestasi.
Derajat III : Besar hidrokel 6-8 cm
Derajat IV : Besar hidrokel 8-11 cm
Derajat V : Besar hidrokel 11- 15 cm dan mulai ada gangguan
dalam kehidupan sehari-hari
Derajat VI : Lebih besar dari 15 cm
d. Manifestasi klinis
Pasien mengeluh adanya benjolan di kantong skrotum yang tidak nyeri.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya benjolan di kantong
skrotum dengan konsistensi kistik dan pada pemeriksaan
penerawangan menunjukkan adanya transiluminasi. Pada hidrokel
yang terinfeksi atau kulit skrotum yang sangat tebal kadang-kadang
sulit melakukan pemeriksaan ini.
ANAMNESIS :
Pada anamnesis keluhan utama pasien adalah adanya benjolan di
kantong skrotum yang tidak nyeri. Biasanya pasien mengeluh benjolan
yang berat dan besar di daerah skrotum. Benjolan atau massa kistik

43
yang lunak dan kecil pada pagi hari dan membesar serta tegang pada
malam hari. Tergantung pada jenis hidrokel biasanya benjolan tersebut
berubah ukuran atau volume sesuai waktu tertentu.
Pada hidrokel testis besarnya kantong hidrokel tidak berubah
sepanjang hari. Pada hidrokel komunikan, kantong hidrokel besarnya
dapat beruba-ubah yang bertambah besar pada saat anak menangis.
Pada riwayat penyakit dahulu, hidrokel testis biasa disebabkan oleh
penyakit seperti infeksi atau riwayat trauma pada testis.
Pemeriksaan fisik :
Pada inspeksi skrotum akan tampak lebih besar dari yang lain. Palpasi
pada skrotum yang hidrokel terasa ada fluktuasi, dan relatif kenyal atau
lunak tergantung pada tegangan di dalam hidrokel, permukaan
biasanya halus.
Palpasi hidrokel seperti balon yang berisi air. Bila jumlah cairan
minimun, testis relatif mudah diraba. Sedangkan bila cairan yang
tekumpul banyak, testis akan sulit diraba. Pembengkakan kistik karena
hernia atau hidrokel atau padat karena tumor. Normalnya korda
spermatikus tidak terdapat penonjolan, yang membedakannya dengan
hernia skrotalis yang kadang-kadang transiluminasinya juga positif.
Pada auskultasi dilakukan untuk mengetahui adanya bising usus untuk
menyingkirkan adanya hernia.
Langkah diagnostik yang paling penting adalah transiluminasi massa
hidrokel dengan cahaya di dalam ruang gelap. Hidrokel berisi cairan
jernih, straw-coloured dan mentransiluminasi (meneruskan) berkas
cahaya. Kegagalan transiluminasi dapat terjadi akibat penebalan tunika
vaginalis karena infeksi kronik atau massa di skrotum tersebut bukan
hidrokel.

44
Transluminasi

e. Pemeriksaan penunjang
1) USG : melihat adanya hernia, kumpulan cairan (hidrokel atau
spermatokel), vena abnormal (varikokel), dan kemungkinan
adanya tumor.

USG Hidrokel

DAFTAR PUSTAKA :
1. Basuki B Purnomo, Dasar-dasar Urologi. Edisi ke-2. Jakarta : CV.
Sagung Seto. 2003. Hal 140-142, 147
2. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.

45
46
15. NAMA PENYAKIT : Malpresentasi
Malpresentasi adalah bagian terendah janin yang berada di segmen bawah
rahim, bukan belakang kepala. Malposisi adalah penunjuk (presenting part)
tidak berada di anterior.

a. Sistem : Reproduksi
b. Level SKDI : 2
c. Prevalensi
Secara epidemiologis pada kehamilan tunggal didapatkan presentasi
kepala sebesar 96.8% bokong 2.7%, letak lintang 0.3%, majemuk
0.1%, muka 0.05% dan dahi 0.01%
d. Etiologi
 Idiopatik
 Prematuritas
 Abnormalitas uterus atau struktur pelvis
 Uterine fibroid
 Fetal anomaly
 Polyhidramnion
 Multiple gestation
e. Dagnosis
1) Presentasi dahi
Diagnosis presentasi dahi dapat ditegakkan bila pada
pemeriksaan VT teraba pangkal hidung / glabellar, tepi atas
orbita, sutura frontalis dan UUB, tetapi tidak dapat meraba
dagu atau mulut janin. Apabila mulut dan dagujanin dapat

47
teraba maka diagnosisnya presentasi muka. Pada palpasi
abdomen dapat teraba oksiput dan dagu janin di atas simfisis
dengan mudah.
2) Presentasi Muka
pemeriksaan vaginal dapat diraba mulut, hidung, tepi orbita,
dan dagu. Penunjuk presentasi muka adalah dagu. Pada palpasi
abdomen kadang-kadang dapat diraba tonjolan kepala janin
didekat punggung janin. Pada waktu persalinan seringkali muka
menjadi edema sehingga, didiagnosis dapat keliru sebagai
presentasi bokong. Pada keadaan terserbut pada mulut mirip
dengan perabaan pada anus. Sebanyak 49% kasus presentasi
muka tidak terdiagnosa sebelum kala II
3) Presentasi Majemuk
Kemungkinan adanya presentasi majemuk dapat dipikirkan
apabila terjadi kelambatan kemajuan persalinan pada persalinan
fase aktif, bagian terendah janin (kepala atau bokong) tidak
dapat masuk panggul terutama setelah terjadi pecah ketuban.
Diagnosis presentasi majemuk dibuat melalui periksa VT.
Apabila pada presentasi kepala teraba tangan/lengan dan atau
kaki, atau apabila pada presentasi bokong teraba tangan /
lengan maka diagnosis presentasi majemuk dapat ditegakkan.
Kesulitan mendiagnosis oleh karena seringkali terjadi koreksi
spontan terutama pada derajat ringan prolaps ekstrimitas.
4) Presentasi Bokong
Presentasi bokong dapat diketahui melalui pemeriksaan palpasi
abdomen. Manuver Leopold perlu dilakukan pada setiap
kunjungan perawatan antenatal bila umur kehamilan >34
minggu. Untuk memastikan apabila masih terdapat keraguan
pada pemeriksaan palpasi dapat dilakukan pemeriksaan VT.
Keberhasilan untuk menemukan adanya presentasi bokong
pada masa kehamilan sangat penting oleh karena adanya

48
prosedur versi luar yang direkomendasikan guna menurunkan
insidensi persalinan kepala dan persalinan bedah sesar
f. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan USG

DAFTAR PUSTAKA :
1. Cunningham FG, Hauth JC, Leveno KJ, Larry Gilstrap III, Bloom SL,
Wenstrom KD, editors. Williams Obstetrics, 22nd ed. New York :
McGraw-Hill;2005
2. Department of Reproductive Health and research. Managing complication
in pregnancu and childbirth : a guide for midwives and doctors : WHO
2000
3. Novak-Antolic Z. Trasverse lie, brow, and face presentations, In : Kurjak
A, Chervenak FA, Editors Textbook of perinatal medicine, 2nd editor.
London : informa UK Ltd; 2006

49
16. NAMA PENYAKIT : Karsinoma Payudara
Carsinoma mammae adalah pertumbuhan dan pembelahan sel khususnya
sel pada jaringan mammae yang tidak normal/abnormal yang terbatas serta
tumbuh perlahan karena suplai limpatik yang jarang ketempat sekitar
jaringan mammae yang banyak mengandung banyak pembuluh limfe dan
meluas dengan cepat dan segera bermetastase.
a. Sistem : Reproduksi
b. Level Skdi : 2
c. Prevalensi
Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang mempunyai
prevalensi cukup tinggi. Kanker payudara dapat terjadi pada pria
maupun wanita, hanya saja prevalensi pada wanita jauh lebih tinggi.
Diperkirakan pada tahun 2006 di Amerika, terdapat 212.920 kasus
baru kanker payudara pada wanita dan 1.720 kasus baru pada pria,
dengan 40.970 kasus kematian pada wanita dan 460 kasus kematian
pada pria.
d. Etiologi
Etiologi kanker payudara belum diketahu secara pasti, namun beberapa
faktor resiko diduga berhubungan dengan kanker payudara.
e. Faktor resiko
1) Usia > 30 tahun
2) Menarche dini
3) Nulipara dan usia maternal lanjut saat kelahiran anak pertama
4) Menopause pada usia lanjut
5) Riwayat tumor jinak payudara
6) Obesita
7) Kontrasepsi oral
8) Terapi pengganti hormone
9) alkohol
f. Manifestasi klinis
 Terdapat massa utuh kenyal, biasa di kwadran atas bagian
dalam, dibawah ketiak bentuknya tak beraturan dan terfiksasi.

50
 Nyeri di daerah massa
 Perubahan bentuk dan besar payudara, adanya lekukan ke
dalam, tarikan dan refraksi pada areola mammae
 Edema dengan “peau d’ orange (keriput seperti kulit jeruk)
 Pengelupasan papilla mammae
 Keluar cairan abnormal dari putting susu berupa nanah, darah,
cairan encer padahal ibu tidak sedang hamil / menyusui.
Stadium T N M
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
IIA T0 N1 M0

T1 N1 M0

T2 N0 M0
IIB T2 N1 M0

T3 N0 M0
IIIA T0 N2 M0

T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N1,N2 M0
IIIB T4 Setiap N M0

Setiap T N3 M0
IV Setiap T Setiap N M1
Stadium Klinis kanker payudara

Organ lain yang diperiksa untuk melihat adanya metastasis yaitu hepar,
lien, tulang belakang, dan paru. Metastasis jauh dapat bergejala sebagai
berikut :
 Otak : nyeri kepala, mual, muntah, epilepsi, ataksia, paresis,
paralisis.
 Paru : efusi pleura, coint lesion foto paru, atelektasis,

51
 Hati : hepatomegali, fungsi hati terganggu SGOT/SGPT, ikterus,
asites.
 Tulang : nyeri tekan, osteolytic lesion, destruksi tulang, lesi
osteoblastik.
Pemeriksaan Sadari

g. Pemeriksaan Penunjang
1) Mammografi
2) USG
3) Pemeriksaan Histopatologis

DAFTAR PUSTAKA :
1. Mansjoer, Arif. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi III jilid 2. Media
Aesculapius fakultas kedokteran UI. Jakarta. 2000
2. Pierce A. Grace n Neil R. Borley, At a Glance, ilmu bedah. Edisi III.
Penerbit Erlangga, Jakarta. 2006.

52
17.NAMA PENYAKIT : Tiroiditis
Tiroiditis adalah istilah umum yang mengacu pada peradangan kelenjar
tiroid. Tiroiditis meliputi sekelompok gangguan individu yang seluruhnya
menyebabkan peradangan tiroiditis.
a. Sistem : Endokrin, metabolik dan nutrisi
b. Level Skdi : 2
c. Prevalensi : -
d. Etiologi
1) Tiroiditis Akut
 Tiroditis Infeksiosa
- Bakteri : staphylococcus, streptococcus dan
enterobacter
- Fungal : aspergillus, candida, histoplasma,
pneumocystis
 Tiroiditis karena radiasi
 Tiroiditis karena pengaruh obat : Amiodarone

Tiroiditis infeksiosa akut


2) Tiroiditis Sub Akut
 Tiroiditis infeksi
- Virus
 Infeksi mikobakterial
 Tiroiditis post partum

53
3) Tiroiditis Kronis
 Autoimun
 Tiroiditis riedel’s
e. Diagnosis
1) Anamnesis
Biasanya pasien datang dengan keluhan benjolan pada leher
sebagai tanda pembesaran kelenjar tiroid yang tidak menimbulkan
nyeri atau rasa penuh di leher. Jika pasien sudah mengalami
keadaan hipotiroid, maka pasien menunjukkan beberapa keluhan
seperti fatique, kulit kering, konstipasi, retensi urin, berat badan
bertambah, tidak tahan dengan suhu dingin, menorrhagia, depresi,
kelemahan oto, kehilangan memori dan rambut rontok.
2) Pemeriksaan Fisik
 Inspeksi : terlihat pembesaran kelenjar tiroid,simetris,
pembesarannya difus dan warna kulit sama dengan
sekitarnya.
 Palpasi : Pada palpasi, didapatkan kelenjar tiroid yang
teraba membesar, padat keras dan berbatas tegas
Cara pemeriksaan kelenjar tiroid

f. Pemeriksaan Penunjang
 Thiroid function test : T4 total, T3 total, T3 uptake dan TSH
 Pemeriksaan sitology diperoleh dengan biopsy aspirasi jarum
halus ( fine needle aspiration biopsy/FNA). Pada hasil

54
pemeriksaan ini ditemukan adanya infiltrasi sel-sel limfosit
pada kelenjar tiroid.
 Thyro-Scan
 USG

Sonografi pada tiroiditis infeksiosa akut


DAFTAR PUSTAKA :
1. Djokomoeljanto R, Sudoyo AW, Setiyohadi B. Kelenjar tiroid,
hipotiroidisme dan hipertiroidisme. Dalam:Buku ajar ilmu penyakit dalam:
Pusat penerbitan departemen IPD,FKUI Jilid 3 Edisi keempat;2006
2. Guyton, Arthur C,Johan E Hall. Hormon metabolic tiroid. In: Buku ajar
fisiologi kedokteran. Edisi 11. Jakarta:ECG.2007

55
18. NAMA PENYAKIT : Pubertas Prekoks
Pubertas prekoks yaitu keadaan dimana perkembangan pubertas (telars,
adrenars, menars) muncul sebelum usia < 8 tahun pada wanita dan pada
laki-laki pada usia < 9 tahun.
a. Sistem : Ginjal dan Saluran Kemih
b. Level Skdi : 1
c. Prevalensi
Kejadian pubertas prekoks adalah 4 sampai 10 kali lebih sering pada
wanita dibandingkan pada pria dan lebih umum di antara Afrika-
Amerika dari kalangan anak-anak Kaukasia. Usia Rata-rata adrenarke
di Afrika-Amerika adalah sekitar 8,8 gadis tahun dibandingkan
dengan sekitar 10,5 tahun pada anak perempuan Kaukasia
d. Faktor resiko
 Jenis Kelamin Perempuan
 Ras Amerika dan afrika
 Obesitas
 Terpapar hormon seksual
 Penyakit Genetik
 Gangguan metabolik.
e. Etiologi
Hingga saat ini penyebab dari Pubertas Prekoks masih belum
diketahui secara pasti. Beberapa hal internal yang dapat menyebabkan
terjadinya Pubertas Prekoks adalah gangguan organ endokrin,
genetika keluarga (autosomal dominan), abnormalitas genetalia
(gangguan organ kelamin), penyakit pada otak, dan tumor yang
menghasilkan hormon reproduksi. Namun disamping itu, terdapat
faktor psikologis (emosi) dan stressor lingkungan ekternal yang cukup
memegang peranan.
f. Gejala klinis

56
Pada anak perempuan, maka tanda-tanda klinis yang memberikan
petunjuk pasti apabila dialami pada usia kurang dari 9 tahun, antara
lain :
 Payudara membesar.
 Tumbuhnya rambut pubis dan rambut tipis pada lengan bawah.
 Bertambah tinggi dengan cepat.
 Mulainya menstruasi.
 Tumbuh jerawat.
 Munculnya bau badan.
Sedangkan pada anak laki-laki, tanda-tanda terjadinya Pubertas
Prekoks akan muncul saat umur kurang dari 10 tahun meliputi :
 Pembesaran testis dan penis.
 Tumbuhnya rambut pubis, lengan bawah dan wajah.
 Peningkatan tinggi dengan cepat.
 Suara memberat
 Tumbuh jerawat
 Munculnya bau badan
g. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan kadar hormon LH dan FSH basal
 Uji GnRH terstimulasi
 Esterogen dan progesteron serum, β HCG, 17 OH progesteron
dan estradiol
 Pencitraan umur tulang
 CT Scan / MRI kepala
 USG pelvis/Adrenal
Sebagian besar pasien kanker testis dengan benjolan atau kelainan
pada testis akan menjalani USG skrotum yang dapat menentukan
apakah massa berada di dalam testis dan memberikan beberapa rincian
tentang konsistensi. Ini diikuti oleh radiografi dan tes darah untuk
mencari penanda tumor (enzim dan zat yang dilepaskan ke dalam
darah oleh sel tumor). Pencitraan radiografi mungkin termasuk

57
rontgen dada, CT scan perut, dan CT scan dada untuk menentukan
bukti penyakit metastasis.

DAFTAR PUSTAKA :
1. Anwar, R., 2005. Sintesis, Fungsi dan Interpretasi Pemeriksaan Hormon
Reproduksi. Subbagian Fertilitas Dan Endokrinologi Reproduksi Bagian
Obstetri Dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran UNPAD. Bandung
2. Nelson, 2006. Ilmu Kesehatan Anak ; vol 3. Penerbit Buku Kedokteran,
EGC, Jakarta.

58
19.NAMA PENYAKIT : Polisitemia Vera
Polisitemia vera didefinisikan sebagai suatu keganasan derajat rendah sel-
sel induk hematopoitik dengan karekteristik peningkatan jumlah eritosit
absolut dan volume darah total, biasanya disertai lekositosis, trombositosis
dan splenomegali.
a. Sistem : Hematologi dan Imunologi
b. Level skdi : 2
c. Prevalensi
Polisitemia vera adalah suatu kelainan darah yang jarang terjadi di
Indonesia. Statistik yang dilakukan di Amerika menunjukkan 0.6-1.6
orang per juta penduduk menderita Polisitemia Vera. Kelompok Studi
Polisitemia Vera (PVSG) menemukan bahwa laki-laki cenderung
lebih banyak daripada perempuan. Insidensi polisitemia vera (PV)
adalah orang yang berusia 50-70 tahun.
d. Etiologi
idiopatik
e. Manifetsasi Klinis
Pada Polisitemia vera tanda dan gejala yang predominan terbagi
dalam 3 fase yaitu :
1) Gejala awal :
 sakit kepala
 Telinga berdenging
 Mudah lelah
 Gangguan daya ingat
 susah bernafas
 Ganguan penglihatan
 Rasa panas pada tangan atau kaki pruritus
Juga bisa terjadi perdarahan dari hidung, lambung
(stomach ulcers) atau sakit tulang
2) Gejala Akhir

59
Sebagai penyakit progresif, pasien dengan Polisitemia vera
mengalami perdarahan atau thrombosis
3) Fase Splenomegali
Pembesaran liver dan limpa, tanda tanda anemia berat
f. Pemeriksaa
g. Penunjang
 Darah rutin
 X foto : adanya splenomegali

Sejak ditemukan mutasi JAK2V617F tahun 2005, maka diusulkan


pemeriksaan JAK2 sebagai kriteria diagnosis Polisitemia Vera.

DAFTAR PUSTAKA :
1. Supandiman I, Sumahtri R.Polisitemia Vera.Pedoman diagnosis dan terapi
Hematologi Onkologi Medik.2003
2. Prenggono, M.D. Polisitemia Vera. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
ed 4 Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
3. Tefferi A. Polycythemia Vera : A Comprehensive Review and Clinical
Recommendations. Mayo Clin Proc.2003

60
20. NAMA PENYAKIT : Inkompatibilas golongan darah
Inkompatibilitas grup darah (ABO) merupakan suatu mekanisme yang
melibatkan ikatan antara antibodi plasma darah dengan antigen pada
permukaan (membran) sel darah merah (eritrosit). Reaksi antara antigen-
antibodi ini menimbulkan reaksi penggumpalan darah (aglutinasi). Keadaan
inkompatibilitas ABO dapat dialami oleh seorang yang mendapatkan
tranfusi darah dan antara ibu dan janinnya selama periode kehamilan.
Inkompatibilitas ABO merupakan suatu kondisi sebagai akibat dari
ketidaksesuaian golongan darah antara ibu dan janin yang dikandungnya
a. Sistem : Hematologi dan imunologi
b. Level skdi : 2
c. Prevalensi
Inkompatibilitas ABO menurut stastitik kira-kira 2-% seluruh
kehamilan terlihat dalam ketidakselarasan golongan darah ABO dari
75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O dan janin
golongan darah A atau B. Mayoritas inkompatibilitas ABO 40%
diderita oleh anak pertama, dan anak-anak berikutnya makin lama
makin baik keadaannya. Lebih sering terjadi pada bayi golongan B
daripada A dan lebih sering pada bayi kulit hitam daripada bayi kulit
putih dengan golongan A atau B.
d. Etiologi
 Tranfusi darah
 Kehamilan
e. Gejala
Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam
menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi,
hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan
(hemoglobinuria).
Manifestasi yang muncul pada bayi setelah persalinan :
 Asfiksia
 Pucat
 Distres pernafasan

61
 Jaundice
 Hipoglikemi
 Hipertensi pulmonal
 Edema
 Kern ikterus
f. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan crossmatch ulang antara darah pendonor dan
penerima
 Direct Antiglobulin Test (DAT)
 Pemeriksaan serologis rhesus
 Urinalisis didapatkan adanya hemoglobinuria
 Renal function test
 LDH, bilirubin dan haptoglobin
 Status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin
time, dan fibrinogen).

DAFTAR PUSTAKA :
1. Mennuti, M.(2011. Management of Pregnancy with ABO
Incompatibility.The Foundation for Exxcellence in Women's Health Care
2. Haque KM, and Rahman M. 2000. An Unusual Case of ABO-Haemolytic
Disease of the Newborn. Bangladesh Medical Research Council
3. Wang, et.al., (2005). Hemolytic Disease of the Newborn Caused by a High
Titer Anti-Group B IgG From a Group A Mother. Pediatric Blood &
Cancer

62
21. NAMA PENYAKIT : Tumor Tulang Primer
Tumor merupakan pertumbuhan sel yang abnormal pada tulang. Tumor
dapat bersifat jinak atau ganas. Tumor tulang yang bersifat ganas dapat
merusak jaringan tulang. Pada kenyataannya tumor tulang jinak lebih
sering dibanding dengan yang ganas, tumor tulang jinak tidak
bermetastasis, tidak menghancurkan jaringan tulang dan jarang mengancam
nyawa.
Tumor tulang yang perkembangan jaringan abnormalnya berasal dari
tulang disebut tumor tulang primer, sedangkan tumor yang bermetastase ke
tulang yang berasal dari bagian tubuh atau jaringan lain disebut tumor
tulang sekunder atau metastatic cancer.
Tumor tulang primer dapat jinak atau ganas. Tumor tulang yang yang jinak
lebih sering terjadi daripada tumor primer yang ganas, dan tumor-tumor
ganas seringkali berakibat fatal. Tumor ganas cenderung tumbuh cepat,
menyebar dan menginvasi secara tidak beraturan. Tumor-tumor semacam
ini paling sering terlihat pada anak-anak remaja dan dewasa muda.
Tumor tulang sekunder merupakan tumor pada tulang akibat dari
metaplasia yang beasal dari jaringan lain, dapat menyebar melalui aliran
darah. Tumor yang sering bermetaplasia ke tulang antara lain prostat,
payudara, paru, tiroid, ginjal, dan kandung kemih. Dan tulang yang paling
sering adalah vertebrae, femurproksimal, pelvis, sternum, humerus
proksimal, dan iga.
a. Sistem : Muskulo skeletal
b. Level skdi : 2
c. Prevalensi
Insiden terjadinya dari seluruh tumor tulang primer : 65,8% bersifat
jinak dan 34,2% bersifat ganas, ini berarti dari setiap tiga tumor tulang
terdapat satu yang bersifat ganas. Tumor ganas tulang menempati
urutan kesebelas dari seluruh tumor ganas yang ada dan hanya 1,5%
dari seluruh tumor ganas organ. Perbandingan insiden tumor tulang
pada pria dan wanita adalah sama

63
.

d. Etiologi
Terjadinya penykit ini diketahui secara pasti
e. Faktor Resiko
 Usia
 Trauma
 Riwayat kanker sebelumnya
 Riwayat pengobatan kanker
 Penyakit tulang lainnyya ( paget’s disease)
 Genetik
f. Manifestasi klinis
 Nyeri pada lokasi tumor
 Patah Tulang (cukup jarang terjadi)
 Berat badan menurun
 Kelelahan
 Kesulitan bernafas
 Demam atau berkeringat di malam hari

g. Pemeriksaan penunjang
1) Rontgent tulang
 Bone Matrix.

64
Osteoblastik pada osteosarcoma

Chondroit pada condrosarcoma


 Periosteal

65
 Bone Destruction

Perbedaan gambaran radiologi tumor tulang jinak dan ganas


Tumor Jinak Tumor Ganas

 Well-defined  Poorly defined borders


 Sclerotic : narrow transitional zone  Wide transitional zone
 Pattern : geographic  Pattern : moth-eaten or permeative
 Periosteal reaction : un-interrapted &  Interrupted periosteal raction
solid  Soft tissue mass
 No soft tissue mass

DAFTAR PUSTAKA :
1. Price Silvia A,Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta: EGC
2. Huvos AG, 1996, Bone Tumors, Diagnosis, Treatment and Prognosis,
WB. Saunders Company, Philadelphia
3. R. Sjamsuhidayat, Wim De Jong, 1997, Tumor Ewing, dalam : Buku Ajar
Ilmu Bedah, Cetakan Pertama, EGC, Jakarta
4. Unni K, Inwards C, Bridge J, Kindblom L, Wold L. Radiographic
Appearance of Bone Tumors. In : Tumors of the Bones and
Joints.Maryland: ARP Press; 2005

66
22. NAMA PENYAKIT : Kista Ganglion
Kista Ganglion atau biasa disebut Ganglion merupakan kista yang
terbentuk dari kapsul suatu sendi atau sarung suatu tendo. Kista ini berisi
cairan kental jernih yang mirip dengan jelly yang kaya protein. Kista
merupakan tumor jaringan lunak yang paling sering didapatkan pada
tangan. Ganglion biasanya melekat pada sarung tendon pada tangan atau
pergelangan tangan atau melekat pada suatu sendi.

a. Sistem : Muskulo skeletal


b. Level skdi : 2
c. Prevalensi
Kista ganglion merupakan tumor jaringan lunak yang paling sering
ditemukan pada tangan dan pergelangan tangan. Kista ini dapat terjadi
pada berbagai usia termasuk anak-anak; kurang lebih 15% terjadi pada
usia di bawah 21 tahun. Tujuhpuluh persen terjadi pada dekade kedua
dan keempat kehidupan. Perempuan tiga kali lebih banyak menderita
dibandingkan laki-laki.
d. Etiologi
penyebab ganglion tidak sepenuhnya diketahui, namun ganglion dapat
terjadi akibat robekan kecil pada ligamentum yang melewati selubung
tendon atau kapsul sendi baik akibat cedera, proses degeneratif atau
abnormalitas kecil yang tidak diketahui sebelumnya.
e. Manifestasi klinik
Meskipun kista ganglion umumnya asimtomatik, gejala yang muncul
dapat berupa keterbatasan gerak, parestesia dan kelemahan. Kista
ganglion umumnya soliter, dan jarang berdiameter di atas 2 cm. Dapat

67
melibatkan hampir semua sendi pada tangan dan pergelangan tangan.
Dorsal wrist, volar wrist, volar retinakular dan distal interfalangeal
merupakan kista ganglion yang paling sering ditemukan pada tangan
dan pergelangan tangan. Ganglion terbesar terletak di belakang lutut
dan biasa disebut Kista Baker..
f. Pemeriksaan Penunjang
1) X-Foto
2) Pemeriksaan Mikroskopis

DAFTAR PUSTAKA :
1. Dandy David J. & Dennis J. Edwards, Disorders of the Wrist and Hand in
Essential Orthopaedics and Trauma 4th edition, Churchill Livingstone,
London, 2003.
2. Andersson, Bruce Carl, Dorsal Ganglion in Office Orthopedics for
Primary Care: Treatment 3rd edition, Saunders Elsevier, Philadelphia,
2006.
3. Hochwald Neal L & Green Steven M in Tumors, Spivak Jeffrey M ed. et
al in Orthopaedics A Study Guide, McGraw-Hill, New York, 2002.
4. Carter A. Michael, Anatomi Tulang dan Sendi dalam Patofisiologi Konsep
Klinis Proses-proses Penyakit, editor Sylvia A. Price & Lorraine M.
Wilson, EGC, Jakarta, 1995.

68
23.NAMA PENYAKIT : Hemangioma
Hemangioma adalah suatu tumor jinak yang terbentuk akibat kelainan
proliferasi dari jaringan angioblastik pada masa fetal. Kelainan ini sering
ditemukan pada kulit dan jaringan subkutan, tapi tidak tertutup
kemungkinan bahwa bentuk neoplasma ini didapati di seluruh bagian tubuh
yang memiliki pembuluh darah.
a. Sistem : Integumen
b. Level skdi : 2
c. Prevalensi
Hemangioma merupakan neoplasma jinak yang sering ditemukan pada
bayi yang baru lahir. Dikatakan bahwa 10% dari bayi yang baru lahir
dapat mempunyai hemangioma dimana angka kejadian tertinggi terjadi
pada ras kulit putih dan terendah pada ras asia. Hemangioma lebih
sering terjadi pada perempuan bila dibandingkan dengan laki-laki
dengan perbandingan 5:1.
d. Etiologi
Zhang, et al mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara VEGF
dan Endothelial progenitor cell (EPC) yang berperan dalam
pembentukan lesi hemangioma.9 VEGF memiliki sifat angiogenik dan
spesific mitogenic activator untuk sel endotel, keberadaan VEGF akan
memicu pengeluaran dan pengumpulan EPC pada situs tertentu seperti
pada situs pertumbuhan tumor atau iskemia.
Peningkatan faktor-faktor pembentukan angiogenesis seperti
penurunan kadar angiogenesis inhibitor misalnya gamma-interferon,
tumor necrosis factor–beta, dan transforming growth factor–beta
berperan dalam proses terjadinya hemangioma.
e. Klasifikasi
 Hemangioma intra dermal
Tumor jinak ini berwarna merah kebiruan dan biasanya tidak
mengadakan regresi, dindingnya terdiri dari endotelium dewasa
dan resisten terhadap radiasi. Penerita biasanya datang dengan
alasan estetika.

69
 Hemangioma kapiler
Kelainan ini menonjol di permukaan kulit, tidak rata dan
kemerahan. Sensitif terhadap penyinaran

 Hemangioma Kavernosus
Kelainan ini berbentuk benjolan yang dapat hilang dengan
penekanan. Biasanya hanya sedikit yang mengadakan regresi
spontan. Terdiri atas endotelium dewasa yang berinvasi ke fasia
dan atau ke otot.

70
f. manifestasi klinis
Gambaran klinis merupakan faktor terpenting dalam menegakan diagnosis
hemangioma. Hemangioma yang sudah terbentuk sempurna saat lahir
jarang ditemui, pada umumnya hemangioma tidak langsung tampak pada
saat lahir tetapi beberapa minggu pertama setelah lahir. Beberapa jenis
hemangioma dapat tampak pada saat lahir sebagai lesi samar-samar di
kulit, yang bervariasi dari makula merah sampai nevus pucat yang
menyerupai memar
 Pada fase proliferasi, Hemangioma tumbuh cepat selama 6 – 8
minggu pertama setelah lahir. Hemangioma yang terletak di
permukaan kulit, maka kulit akan menonjol dan berwarna
merah muda menyala atau berwarna kebiruan dan sedikit
menonjol apabila letaknya pada lapisan kulit yang lebih dalam.
 Dalam fase involusi, hemangioma mencapai puncak proliferasi
pada akhir tahun pertama. Setelah itu hemangioma tumbuh
proporsional terhadap pertumbuhan bayi. Warna yang menyala
berangsur-angsur berubah menjadi samar. Kulit mulai
memucat, dan konsistensi tumor menjadi lunak. Fase ini pada
umumnya berlangsung sampai anak usia 5-10 tahun.
g. Pemeriksaan penunjang
 USG
 MRI
 CT Scan
 Foto Polos
 Biopsi Kulit

71
Histologis fase hemangioma, (dari kiri-kanan) fase proliferasi-fase involusi-fase
involusi selesai

DAFTAR PUSTAKA :
1. Fishman S, Mulliken J.B. Pediatric Surgery for The Primary Care
Pediatrician. In: Fishman S, editor. Pediatric Clinics of North America.
Philadelphia : WB Saunders Co; 1998

72
24. NAMA PENYAKIT : Tellogen Effluvium
Telogen effluvium (TE) adalah kerontokan rambut berlebih yang
disebabkan karena peningkatan proporsi folikel rambut fase telogen.
a. Sistem : Integumen
b. Level skdi : 2
c. Prevalensi :
Penderita telogen effluvium cukup banyak namun prevalensinya tidak
didapatkan dengan pasti. Telogen effluvium dialami orang dewasa
paling tidak satu kali pada masa hidupnya. Angka mortalitas tidak
pernah dilaporkan sedangkan angka morbiditas terbatas pada aspek
kosmetik. Telogen effluvium dapat mengenai pria maupun wanita.
Perubahan hormon saat periode pasca persalinan juga merupakan
penyebab telogen effluvium sehingga wanita mungkin mempunyai
kecenderungan paling banyak mengalami kejadian ini.
d. Etiologi :
 Stres Fisiologis : seperti trauma bedah, demam tinggi, penyakit
sistemik kronis, dan perdarahan
 Stres Emosional
 Hipertiroidisme dan hipotioridisme
 Defisiensi zinc
 Obat obatan : Obat-obatan yang dikenal menyebabkan telogen
effluvium antara lain kontrasepsi oral, androgen, retinoid, β-
blocker, penghambat enzim pengubah angiotensin (ACE-
inhibitor), antikonvulsan, antidepresan, dan antikoagulan
(heparin dan warfarin)
e. Manifestasi klinik
Periode kerontokan rambut dramatis terjadi sekitar dua sampai tiga
bulan setelah terpapar faktor pencetus. Telogen effluvium bisa terjadi
pada semua rambut yang terdapat di tubuh, namun umumnya hanya
kerontokan rambut kulit kepala yang simtomatik Kerontokan rambut
meluas pada kulit kepala dan terus berlangsung dari beberapa minggu
hingga beberapa bulan serta menyebabkan penipisan kulit kepala.

73
Pasien sering tidak menyadari kerontokan mungkin berhubungan
dengan penyakit yang saat ini sedang mereka derita, dan terus
terkonsentrasi pada rasa takut akan mengalami kebotakan.

Pada kebanyakan kasus, pasien melaporkan banyaknya rambut yang


jatuh di bantal ketika mereka tidur, ketika menyisir rambut, atau ketika
mandi. Untuk menentukan faktor pencetus utama terjadinya
kerontokan rambut, hubungan antara kerontokan rambut dan faktor
pemicunya harus jelas, dengan melihat apakah terdapat perbaikan bila
faktor pencetus atau pemicunya dihilangkan, dan memburuk bila
terkena paparan faktor pemicu ulangan. Kondisi lain yang mungkin
ditemui pada pasien dengan telogen effluvium adalah adanya garis
Beau (beau’s line) di kuku

Beau’s line
Tes tarik rambut (hair-pull test) harus dilakukan pada semua pasien
dengan kerontokan rambut. Tes traksi ini dilakukan dengan cara

74
menarik 25-50 rambut dalam satu genggaman. Normalnya hanya satu
atau dua rambut yang lepas dari folikelnya. Pada telogen effluvium,
sekitar 10-15 rambut tercabut dari folikelnya
f. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah lengkap dan serum feritin untuk
mengidentifikasi adanya anemia dan defisiensi besi
 TSH dan T3 bebas
 Level zinc serum
 Bilirubin, albumn dan elektrofresis protein
 Pemeriksaan Biopsi

Rambut Telogen

DAFTAR PUSTAKA :
1. Harrison, S., Bergfeld, W. 2009. Diffuse Hair Loss : Its Tiggers and
Management. Cleveland Clinic Journal of Medicine
2. Kantor, J., Keasler, L.J., Brooks, D.G., Cotsarelis, G. 2003. Decreased
Serum Ferritin is Associated with Alopecia in Women. The Society for
Investigative Dermatology University of California San Fransisco
3. Mulinari-Brenner, F., Bergfeld, W. 2003. Hair Loss : Diagnosis and
Management. Cleveland Clinic Journal of Medicine, vol. 70 number 8

75

Anda mungkin juga menyukai