Anda di halaman 1dari 4

Maha Karya Kerajaan Gowa

Liburan kemarin saya mengunjungi Benteng Somba Opu bersama keluarga yang terletak di Kec.
Barombong Kab. Gowa Sulawesi Selatan. Kompleks Benteng Somba Opu (BSO) ini sebenarnya
tidak ada istimewanya. Tidak ada tiket masuk. Serasa kita memasuki areal perkampungan di
desa. Tapi enaknya kita bisa keliling dengan mobil, jadi tidak perlu jalan jauh dan kepanasan.

Pada saat keliling-keliling, kesan pertama yang saya dapat, tempat ini tidak terawat, sepi, dan
tidak menarik. Tapi setelah saya perhatikan banyak papan-papan informasi yang ada.
Informasinya pun lengkap. Sayang kalau tidak dieksplor. Awalnya, saya ke benteng di sisi
sebelah barat. Disini benteng terlihat jelas.

Saya mencoba mengelilingi benteng kearah kiri, sambil melihat batu bata yang tersusun di
benteng. Batu bata berlumut tapi tersusun rapi. Siapa yang menyangka benteng ini dibuat pada
awal abad ke-16, artinya sudah lebih dari 400 tahun. Yang istimewa lagi, benteng ini bukan
buatan Belanda tapi maha karya kerajaan Gowa.

Dilihat dari sebelah luar.

Jika kesini, kita tak perlu bingung mencari informasi tentang benteng. Ada papan yang memuat
informasi lengkap dan edukatif tentang benteng.

Informasi tentang Benteng Somba Opu.

Informasi yang terdapat di papan tersebut adalah sebagai berikut :

Latar Historis

Pada masanya tempat ini pernah menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan dimana rempah-
rempah yang diperjual belikan untuk beberapa pedagang baik dari Asia, sekitar Indonesia dan
wilayah Eropa. Sayangnya tempat yang sering dikunjungi oleh beberapa masyarakat lokal dan
internasional ini telah dikuasai oleh VOC pada tahun 1669, kemudian dihancurkan hingga
terendam oleh ombak pasang. Pada tahun 1980-an pun benteng ini ditemukan kembali oleh
beberapa ilmuwan yang datang ke tempat itu. Pada tahun 1990 benteng ini telah direkonstruksi
sehingga terlihat lebih baik lagi. Pada saat ini pun Benteng Somba Opu telah menjadi sebuah
objek wisata bersejarah karena di dalamnya terdapat beberapa bangunan rumah adat Sulawesi
Selatan. Tidak hanya itu saja, tempat ini juga memiliki sebuah meriam dengan panjang 9 meter
dan berat sekitar 9.500 kilogram, serta ada sebuah museum yang berisi benda- benda bersejarah
peninggalan Kesultanan Gowa

Benteng Somba Opu (BSO) didirikan pada awal abad ke-16 atas usaha Raja Gowa ke-9 Karaeng
Tumapakrisi Kallona yang kemudian dilanjutkan oleh Karaeng Tunipallangga Ulaweng. Pada
tahun 1545, Karaeng Tunipallangga (Raja Gowa ke-10) memperkuat struktur dinding benteng
dengan batu padas. Pada masa pemerintahan Tunijallo (Raja Gowa ke-12), benteng mulai
dipersenjatai dengan meriam-meriam berkaliber berat pada setiap sudut bastion.

Secara arkeologis, bentuk benteng memang belum diketahui, karena sebagian dindingnya belum
teridentifikasi. Terutama dinding sebelah utara. Berbagai ekskavasi telah dilakukan guna
mengungkap keberadaan dinding tersebut. Meskipun bentuknya belum diketahui secara pasti,
namun ada informasi penting yang dapat dilacak berdasarkan hasil studi Francois Valentijn dan
disempurnakan oleh Bleu dalam sebuah peta berangka tahun 1638. Dari peta tersebut diketahui
bahwa BSO berbentuk segi empat panjang.

Didalamnya terdapat istana raja, rumah para bangsawan, pembesar, dan pegawai-pegawai
kerajaan yang dikelilingi oleh tembok, dibelah dua oleh sumbu jalan utama yang membujur
utara-selatan. Di sebelah utara menempel pada dinding luar, terdapat pasar. Jalan utama tersebut
berpotongan tegak lurus di bagian tengah kompleks dengan sebuah jalan lainnya yang melintang
dalam arah timur-barat.

Mesjid terletak di ujung selatan jalan utama, melintang barat-timur berorientasi ke arah barat.
Tempat bermukim raja terdapat di bagian barat-selatan berdekatan dan sejajar dengan dinding
benteng sebelah barat. Tiap bangunan mempunyai halaman masing-masing yang dikelilingi oleh
pagar kecil. Di luar benteng tinggal para prajurit dan keluarganya, tukang-tukang, saudagar, dan
para pendatang dari berbagai suku bangsa.

Di bagian utata benteng terdapat bangunan perwakilan dagang bangsa Portugis, kemudian
Belanda yang membuka kantor dagang tahun 1607, Inggris tahun 1603, Spanyol tahun 1615,
sementara Cina dan Denmark tahun 1618. Sebelah timur benteng terdapat kampung
Mangalekanna yang dihuni oleh orang-orang Melayu, sedangkan pedagang Bugis-Makassar
menempati daerah-daerah di sekitar benteng, dan para petani yang mengerjakan sawah milik
kerajaan menempati kampung Bontoala.

Di ujung benteng terdapat rumah besar yang rusak. Di dalamnya terdapat bangunan lagi. Tak ada
yang tahu apa yang ada didalamnya. Dugaan saya, tempat itu untuk sembahyang atau ziarah.
Pada saat itu, ada pasangan muda-mudi yang sudah lama duduk disitu. Namun ketika saya tanya
mereka juga tidak tahu apa-apa.

Berkunjung ke BSO, kita diajak mengenal sejarah dan budaya bangsa Indonesia. BSO menjadi
saksi bahwa sejak dahulu bangsa kita termasyur dalam perdagangan dan pelayaran. Selain itu
juga bangsa kita mampu hidup berdampingan dan harmonis. Dari sejarah, kita tahu bahwa
berbagai suku bangsa dan bahasa bisa hidup bersama dalam perbedaan. Ada orang Gowa,
Melayu, Cina, Bugis, Makassar, dan bangsa Eropa. Fakta sejarah ini perlu kita gali, supaya di
masa sekarang, kita pun bisa hidup berdampingan dan harmonis dalam perbedaan. Jangan
sampai bangsa kita terpecah-belah dan mengalami kemunduran.
Di museum terdapat contoh material penyusun BSO, yaitu batu bata. Batu bata ini terbuat dari
tanah liat, berbentuk segi empat panjang dengan berbagai ukuran: kecil, sedang, dan panjang.

Ternyata batu bata penyusun BSO tidak hanya polos tapi ada yang bermotif ragam hias. Ragam
hias tersebut antara lain :

1. Daun

Ragam hias ini dibuat dengan teknik gores, ditemukan pada ekskavasi tahun 1989.

2. Lubang bersusun

Lubang bersusun ini merupakan Kutika (penanggalan). Bagi masyarakat Bugis-Makassar


berfungsi sebagai petunjuk atau aturan untuk menentukan hari baik dan buruk untuk memulai
suatu pekerjaan. Ditemukan pada ekskavasi tahun 1989.

Ragam hias lubang bersusun (Dokumen Pribadi)

3. Ikan

Dibuat dengan teknik gores (inside). Salah satu mata pencaharian orang Makassar dari dulu
sampai sekarang adalah nelayan yang mencari ikan untuk memenuhi kehidupannya. Ditemukan
pada ekskavasi tahun 1992.

4. Berbentuk jari-jari dan lubang yang menyerupai permainan dakon.

Ragam hias ini dibuat dengan teknik tekan (terra). Ragam hias ini menunjukkan bahwa
masyarakat Makassar di masa lalu sudah mengenal permainan ini. Ditemukan pada ekskavasi
tahun 1989.

Rumah Adat

Selesai menggali info di museum, saya lanjutkan dengan berkeliling komplek. Terdapat rumah-
rumah adat yang ada di Sulawesi. Ada rumah adat Toraja, Gowa, rumah labirina Ujung Pandang,
rumah panggung terbuka, rumah adat Kabupaten Bulukumba, Baruga Somba Opu dan lain-lain.
Boleh dikatakan sebagai "taman mini"nya provinsi Sulawesi Selatan.

Sayangnya, rumah-rumah ini telantar tanpa ada perawatan dari pemda. Beberapa ada yang
dihuni. Beberapa rumah tampak rusak dan hancur atapnya. Beberapa rumah hanya bisa dilihat
dari luar karena ditutup dengan pagar bambu. Benar-benar telantar dan terbengkelai!
Kompleks BSO ini sangat sepi. Pengunjung bisa dihitung dengan jari. Tempat wisata ini seperti
mati dan tak ada gairah. Rumah-rumah adat rusak, taman tidak terurus, juga sampah berserakan.
Padahal potensi wisatanya sangat besar sebagai wisata sejarah dan budaya. Menurut saya ada
juga spot kekinian, yaitu tulisan orens BENTENG SOMBA OPU di samping museum. Di
benteng, rumah adat, ataupun museum juga tak kalah instagramable untuk berfoto.

Waktu itu saya lihat juga ada pasangan yang melakukan foto prewedding dengan pakaian adat
Bugis. Menjadi PR bagi pengelola dan pemda untuk membuat tempat ini menarik anak muda dan
keluarga? Dengan pengelolaan dan perawatan yang baik, saya yakin akan membuat tempat
wisata sejarah dan budaya ini menjadi nyaman untuk dikunjungi.

Anda mungkin juga menyukai