Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ANESTESI 17 OKTOBER 2017

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

ANESTESI PADA STRUMA

REFARAT
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

Oleh :
Muhammad Nur Islam, S. Ked

NIM : 111 2015 2206

Pembimbing :
dr. Julia Hasir, Sp. An, M. Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017
i
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Muhammad Nur Islam, S. Ked

NIM : 111 2015 2206

Judul Laporan : Anestesi pada struma

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia.

Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat tugas ilmiah mahasiswa
pendidikan dokter dalam disiplin ilmu bedah pada :

Hari, Tanggal : Selasa, 17 Oktober 2017

Waktu : 17.00 Wita

Tempat : Ruang Diskusi OK RS Salewangan, Maros

Menyetujui,

Pembimbing Penyusun

dr. Julia Hasir, Sp. An, M. Kes Muhammad Nur Islam, S. Ked

ii
DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL ............................................................................................................ i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. ii


DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Struma

1.1 Definisi ............................................................................... 2


1.1.1 Struma Non Toksik .................................................... 3

B. General Anestesi
1.1 Definisi ............................................................................... 6

I. Teori Anestesi Umum ...................................................... 8


II. Tujuan Anestesi Umum .................................................. 8

III. Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi Anestesi Umum 8


IV. Persiapan untuk Anestesi Umum ................................. 10
V. Metode Pemberian Anestesi Umum .............................. 12
VI. Stadium Anestesi .......................................................... 12
1.2 Fisiologi .............................................................................. 13

1.2.1 Hipertiroidisme .......................................................... 14


1.2.2 Hipotiroidisme ........................................................... 18

1.2.3 Paratiroid .................................................................. 20


1.2.4 Hiperparatiroidisme ................................................... 21

1.2.5 Hipoparatiroidisme .................................................... 23


BAB III KESIMPULAN ............................................................................... 25

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iv

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor / kanker tiroid merupakan neoplasma sistem endokrin yang terbanyak di

jumpai. Berdasarkan dari “Pathologycal Based Registration” di Indonesia, kanker tiroid

merupakan kanker dengan insidensi tertinggi urutan ke sembilan.

Menurut statistik dari National Cancer Institute (NCI), insidensi kanker tiroid

pada pria sekitar 2,5 per 100.000 populasi dan wanita sekitar 6,7 per 100.000 populasi.

Kanker tiroid dapat mengenai seluruh kelompok usia dan frekuensinya meningkat

setelah usia diatas 50 tahun. Hanya sekitar 5% dapat mengenai usia 15-20 tahun. NCI

juga menyebutkan bahwa kanker tiroid ini dapat mengenai 16.000 orang per tahunnya.

Penegakkan diagnosa penting dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup

penderita. Diagnosa klinis merupakan dasar dalam menentukan penatalaksanaan

selanjutnya, sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam menentukan

diagnosa.

Penanganan pertama untuk suatu kanker adalah kesempatan terbaik untuk

pasien mencapai tingkat kesembuhan optimal, demikian pula halnya untuk kanker

tiroid.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. STRUMA

1.1 Definisi

Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya dianggap


membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal. Pembesaran kelenjar tiroid
sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai besar sekali dan mengadakan penekanan
pada trakea, membuat dilatasi sistem vena serta pembentukan vena kolateral.

Morfologi dari pembesaran kelenjar tiroid ada berbagai macam. Struma difus
adalah pembesaran yang merata dengan konsistensi lunak pada seluruh kelenjar
tiroid. Struma nodusa adalah jika pembesaran tiroid terjadi akibat nodul, apabila
nodulnya satu maka disebut uninodusa, apabila lebih dari satu, baik terletak pada satu
atau kedua sisi lobus, maka disebut multinodusa.

Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon
tiroksin, maka bisa kita bagi :

1. Hipertiroid, sering juga disebut sebagai toksika bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
2. Eutiroid, bila produksi hormon tiroksin dalam batas normal.
3. Hipotiroid, bila produksi hormon tiroksin kurang dari normal.
Pada struma yang tanpa ada tanda-tanda hipertiroid, disebut struma non toksika. Dari
aspek histopatologi kelenjar tiroid, maka timbulnya struma bisa kita jumpai akibat
proses hiperplasia, keradangan atau inflamasi, neoplasma jinak dan neoplasma
ganas.

Pembesaran kelenjar tiroid dapat disebabkan oleh :

1. Hiperplasi dan hipertrofi dari kelenjar tiroid


Setiap organ apabila dipacu untuk bekerja lebih berat maka akan
berkompensasi dengan jalan hipertrofi dan hiperplasi. Demikian pula dengan
kelenjat tiroid pada saat masa pertumbuhan atau paa kondisi memerlukan
hormon tiroksin lebih banyak, misal saat pubertas, gravid dan sembuh dari sakit
parah.
2
a. Non toxic goiter : difus, noduler
b. Toxic goiter: noduler (Parry’s disease), difus (Grave’s disease)/Morbus
Basedow
2. Inflamasi atau infeksi kelenjar tiroid
a. Tiroiditis akut
b. Tiroiditis sub-akut (de Quervain)
c. Tiroiditis kronis (Hashimoto’s disease dan struma Riedel)
3. Neoplasma
a. Neoplasma jinak (adenoma)
b. Neoplasma ganas (adenocarcinoma) : papiliferum,folikularis, anaplastik
Adapun klasifikasi klinisnya adalah ebagai berikut :

a. Grade 0 : tidak teraba struma, atau bila teraba besarnya normal


b. Grade IA : teraba struma, tapi tak terlihat
c. Grade IB : teraba struma, tapi baru dapat dilihat apabila posisi kepala
menengadah
d. Grade II : struma dapat dilihat dalam posisi biasa
e. Grade III : struma dapat dilihat dalam posisi biasa dalam jarak 6 meter
f. Grade IV : struma yang amat besar

1.1.1 Struma Non Toksik

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala
hipertiroid. Penyebab paling banyak dari struma non toxic adalah kekurangan iodium.
Akan tetapi pasien dengan pembentukan struma yang sporadis, penyebabnya belum
diketahui. Struma non toxic disebabkan oleh beberapa hal, yaitu :
1. Kekurangan iodium: Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium
yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari
25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism.
2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit
tiroid autoimun.
3. Goitrogen :
 Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide,
expectorants yang mengandung yodium.
 Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol
berasal dari tambang batu dan batubara.
3
 Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica ( misalnya, kubis, lobak cina, brussels
kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.
4. Dishormonogenesis : Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid.
5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak
mengakibatkan nodul benigna dan maligna.
1) Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

Anamnesis yang telaten, pemeriksaan fisik yang seksama sering sudah cukup
mendukung dalam menegakkan diagnosis kerja yang tajam untuk penderita struma.
Selain hal-hal yang mendukung terjadinya struma akibat keradangan atau
hiperplasi dan hipertrofi, maka perlu juga ditanyakan hal-hal yang diduga ada
kaitannya dengan keganasan pada kelenjar tiroid, terutama pada struma uninodusa
nontoksika antara lain :

1. Umur < 20 tahun atau > 50 tahun


2. Riwayat terpapar radiasi leher waktu kanak-kanak
3. Pembesaran kelenjar tiroid yang cepat
4. Disertai suara parau
5. Disertai disfagia
6. Disertai nyeri
7. Riwayat keluarga yang menderita kanker
8. Penderita struma hiperplasi, diterapi dengan hormone tiroksin tetap
membesar
9. Disertai sesak nafas
Pada anamnesis dan pemerikasaan fisik untuk mengetahui adanya gangguan
fungsi pada penderita struma, maka harus ditanyakan dan diperikasa hal-hal yang
mendukung adanya hipertiroid, antara lain:

1. Berat badan turun, makannya banyak akan tetapi badan tetap kurus
(Paradoxa Muller).
2. Kulit basah (hiperhidrosis), telapak tangan terasa hangat/panas/lembab
dan kulit telapak tangan terasa halus akibat hipermetabolisme dan
hiperhidrosis pada kelenjar keringat. Penderita tidak tahan terhadap hawa
panas lebih tahan terhadap hawa dingin.
3. Takikardia, bila tidur nadinya tetap cepat, waspada ancaman atrial fibrilasi.
4. Tremor, gejala ini hamper selalu ada. Suruh penderita meluruskan
lengannya ke depan dan merentangkan jari-jarinya, sambil memejamkan
4
mata, diletakkan sehelai kertas diatas jari-jarinya, maka akan terlihat ada
atau tidak tremor.
5. Eksoptalmus, hampir 50% penderita, bisa bilateral atau unilateral.
Patofisiologi belum jelas. Diduga akibat penambahan lemak dan infiltrasi
limfosit retrobulbar.
a. Eksoptalmus ringan: melebarnya fisura palpebra superior (Steilwag’s
sign) akibat retraksi otot palpebra superior. Apabila penderita kita
suruh mengikuti gerakan tangan ke atas dan ke bawah dengan agak
cepat tampak palpebra superior ketinggalan gerak.
b. Eksoptalmus sedang: bila penderita menundukkan kepala kemudian
kita suruh melirik ke atas, maka kerutan di dahi akan tampak sedikit
sekali, bahkan tidak ada (Joffroy’s sign).
c. Eksoptalmus berat: lemak retrobulber sudah menumpuk, ditambah
edema retrobulber, sehingga dijumpai gejala kongestif itraorbital.
Optamoplegia, kelemahan otot mata akibat protusi bola mata,
sehingga bisa strabismus atau diplopia. Pada fase lanjut geraka
konvergensi bola mata terganggu (Mobius’s sign).
6. Gelisah, hipermetabolisme system saraf membuat niali ambang saraf
menurun, sehingga penderita menjadi iritabel, timbul tremor halus, depresi.
7. Diare, hipereristaltik pada sitem pencernaan, mengakibatkan absorbsi tidak
sempurna, dengan gejala akibatnya antara lain kekurangan vitamin dan
mineral.
8. Thyroid thrill, hipervaskular pada tiroid.
9. Gangguan keseimbangan hormonal lain, gangguan pola menstruasi.
10. Kelainan kulit, karena hipermetabolisme kulit, maka kulit hangat dan halus
(fine texture) dan karena vasodilatasi, bila digores akan membekas
(dermografi).
11. Basal Metabolisme Rate (BMR). Pengukuran menggunakan Spirometri
(Oxygen consumption rate) atau secara klinis kita bisa mengukur dengan
rumus empiris: % BMR = 0,75 {0,74(s-d)+n}-72.
s = sistole, d = diatole, n = nadi

tensi dan nadi diukur pada keadaan basal

harga normal (-)10% sampai (+)10%

5
Biasanya penderita struma nodosa tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipo atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal tetapi kebanyakan berkembang
menjadi multinoduler yang tidak berfungsi. Degenerasi jaringan menyebabkan kista
atau adenoma. Karena pertumbuhannya sering berangsur-angsur, struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher.

2) Pemeriksaan penunjang

Pemerikasaan penunjang yang digunakan dalam diagnosis penyakit tiroid


terbagi atas :
1. Pemeriksaan laboratorium untuk mengukur fungsi tiroid: Pemerikasaan hormon
tiroid dan TSH paling sering menggunakan radioimmuno-assay (RIA) dan cara
enzyme-linked immuno-assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit tiroid, kadar
normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120 ng/dL; T3 sangat
membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal pada orang dewasa antara 1,0-2,6
nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL; TSH sangat membantu untuk mengetahui
hipotiroidisme primer di mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang
meningkat sampai 3 kali normal.
2. Pemeriksaan laboratorium untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid: Antibodi
terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan pada serum penderita dengan
penyakit tiroid autoimun.
- antibodi tiroglobulin
- antibodi mikrosomal
- antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
- antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
- thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
3. Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi
trakea, atau pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis
pun sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan Lateral diperlukan untuk
evaluasi kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya. Bahkan
tidak jarang untuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memerlukan CT-scan
leher.
4. USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk :
 menentukan jumlah nodul
 membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,

6
 mengukur volume dari nodul tiroid
 mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
 Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan dilakukan
biopsi terarah
 Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
5. Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan
prinsip daerah dengan fungsi yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang
lebih tinggi. Metabolisme hormon tiroid sangat erat hubungannya dengan yodium,
sehingga dengan yodium yang dimuati bahan radioaktif kita bisa mengamati
aktivitas kelenjar tiroid maupun bentuk lesinya.
6. Pemeriksaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine needle aspiration
biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat agar jangan sampai
menentukan terapi definitif hanya berdasarkan hasil FNAB saja.
7. Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi tiroidektomi diperlukan
untuk meyakinkan bahwa nodul yang dioperasi tersebut suatu keganasan atau
bukan. Lesi tiroid atau sisa tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan
patologi anatomis untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui
jenis kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.
3) Diagnosis

Dalam membuat diagnosis kerja pada penderita struma, maka hendaknya bisa
menyampaikan kondisi struma tersebut dari aspek morfologi, aspek fungsi, dan kalau
memang memungkinkan aspek histopatologinya. Dalam melakukan diagnosis untuk
penderita struma, usahakan untuk bisa mencantumkan diagnosis mencakup ketiga
aspek tersebut.

Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang. Biasanya
tiroid sudah mulai membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinoduler
pada saat dewasa. Struma multinodosa biasanya terjadi pada wanita berusia lanjut
dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk
involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin. Sekitar 5 %
dari struma nodosa mengalami keganasan. Tanda keganasan ialah setiap perubahan
bentuk, perdarahan lokal dan tanda penyusupan di kulit, n. rekurens, trakea atau
esofagus.

7
4) Pengobatan

Pilihan terapi nodul tiroid :


a. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
b. Pembedahan
c. Iodium radioaktif

B. GENERAL ANESTESI

1.1 Definisi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan
aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi Umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidaksadaran, analgesia, relaksasi otot tanpa menimbulkan resiko
yang tidak diinginkan dari pasien.

I. Teori Anestesi Umum


Ada beberapa teori yang membicarakan tentang kerja anestesi umum,
diantaranya :
a. Meyer dan Overton (1989) mengemukakan teori kelarutan lipid (Lipid
Solubity Theory). Obat anestetika larut dalam lemak. Efeknya berhubungan
langsung dengan kelarutan dalam lemak. Makin mudah larut di dalam lemak,
makin kuat daya anestesinya. Ini hanya berlaku pada obat inhalasi (volatile
anaesthetics), tidak pada obat anestetika parenteral.
b. Ferguson (1939) mengemukakan teori efek gas inert (The Inert Gas Effect).
Potensi analgesia gas – gas yang lembab dan menguap terbalik terhadap
tekanan gas – gas dengan syarat tidak ada reaksi secara kimia. Jadi
tergantung dari konsentrasi molekul – molekul bebas aktif.
c. Pauling (1961) mengemukakan teori kristal mikrohidrat (The Hidrat Micro-
crystal Theory). Obat anestetika berpengaruh terutama terhadap interaksi
molekul – molekul obatnya dengan molekul – molekul di otak.
8
d. Trudel (1963) mengemukakan molekul obat anestetika mengadakan
interaksi dengan membrana lipid meningkatkan keenceran (mengganggu
membran).
Obat anestesi yang diberikan akan masuk ke dalam sirkulasi darah yang selanjutnya
menyebar ke jaringan, yang pertama kali terpengaruh adalah jaringan yang banyak
vaskularisasinya seperti otak, yang mengakibatkan kesadaran dan rasa sakit hilang.
Kecepatan dan kekuatan anestesi dipengaruhi oleh faktor respirasi, sirkulasi, dan sifat
fisik obat itu sendiri.

II. Tujuan Anestesi Umum


Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan stabilisasi otonom.

III. Syarat, Kontraindikasi dan Komplikasi anastesi umum.


Adapun syarat ideal dilakukan anestesi umum adalah :
a. Memberi induksi yang halus dan cepat.
b. Timbul situasi pasien tak sadar atau tak berespons
c. Timbulkan keadaan amnesia
d. Timbulkan relaksasi otot skeletal, tapi bukan otot pernapasan.
e. Hambatan persepsi rangsang sensorik sehingga timbul analgesia yang
cukup untuk tindakan operasi.
f. Memberikan keadaan pemulihan yang halus cepat dan tidak menimbulkan
ESO yang berlangsung lama.
Kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umum yaitu dekompresi kordis derajat
III – IV, AV blok derajat II – total (tidak ada gelombang P). Kontraindikasi Relatif berupa
hipertensi berat/tak terkontrol (diastolik >110), DM tak terkontrol, infeksi akut, sepsis,
GNA. Tergantung pada efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan. Pada
pasien dengan gangguan hepar, harus dihindarkan pemakaian obat yang bersifat
hepatotoksik. Pada pasien dengan gangguan jantung, obat – obatan yang mendepresi
miokard atau menurunkan aliran koroner harus dihindari atau dosisnya diturunkan.
Pasien dengan gangguan ginjal, obat – obatan yang diekskresikan melalui ginjal harus
diperhatikan. Pada paru, hindarkan obat yang memicu sekresi paru, sedangkan pada
bagian endokrin hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah, obat yang
merangsang susunan saraf simpatis pada penyakit diabetes basedow karena dapat
menyebabkan peningkatan kadar gula darah.

9
Sedangkan komplikasi kadang – kadang tidak terduga walaupun tindakan
anestesi telah dilakukan dengan sebaik – baiknya. Komplikasi dapat dicetuskan oleh
tindakan anestesi ataupun kondisi pasien sendiri. Komplikasi dapat timbul pada waktu
pembedahan ataupun setelah pembedahan. Komplikasi kardiovaskular berupa
hipotensi dimana tekanan sistolik kurang dari 70 mmHg atau turun 25 % dari
sebelumnya, hipertensi dimana terjadi peningkatan tekanan darah pada periode
induksi dan pemulihan anestesi. Komplikasi ini dapat membahayakan khususnya pada
penyakit jantung karena jantung bekerja keras dengan kebutuhan – kebutuhan
miokard yang meningkat yang dapat menyebabkan iskemik atau infark apabila tidak
tercukupi kebutuhannya. Komplikasi lain berupa gelisah setelah anestesi, tidak sadar,
hipersensitifitas ataupun adanya peningkatan suhu tubuh.

IV. Persiapan untuk Anestesi Umum


Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum
pasien menjalani suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara
(anamnesis) sepertinya menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya,
adakah penyakit – penyakit sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada
pemeriksaan fisik, dilakukan pemeriksaan gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran
lidah, leher kaku dan pendek.
Perhatikan pula hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan
penyakit yang sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa
pendarahan, masa pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan
status anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit
bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi
sedang terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan
karena berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan
septisemia, atau pasien ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.

10
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena
ruptur hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan
tanda darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE 5
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi
lambung karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan
lambung dilakukan dengan puasa : anak dan dewasa 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam. Pada
pembedahan darurat pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa
nasogastrik atau dengan cara lain yaitu menetralkan asam lambung dengan
memberikan antasida (magnesium trisilikat) atau antagonis reseptor H2 (ranitidin).
Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong sehingga boleh perlu dipasang
kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa ulang apakah pasien
atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed concent).
Premedikasi sendiri ialah pemberian obat ½ - 1 jam sebelum induksi anestesia
dengan tujuan melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
menghilangkan rasa khawatir,membuat amnesia, memberikan analgesia dan
mencegah muntah, menekan refleks yang tidak diharapkan, mengurasi sekresi saliva
dan saluran napas. Obat – obat premedikasi yang bisa diberikan antara lain :
- Gol. Antikolinergik
Atropin. Diberikan untuk mencegah hipersekresi kelenjar ludah, antimual
dan muntah, melemaskan tonus otot polos organ – organ dan menurunkan
spasme gastrointestinal. Dosis 0,4 – 0,6 mg IM bekerja setelah 10 – 15 menit.
- Gol. Hipnotik – sedatif
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital). Diberikan untuk sedasi dan
mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral
atau IM. Dosis dewasa 100 – 200 mg, pada bayi dan anak 3 – 5 mg/kgBB.
Keuntungannya adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah.
- Gol. Analgetik narkotik
Morfin. Diberikan untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan
menjelang operasi. Dosis premedikasi dewasa 10 – 20 mg. Kerugian
penggunaan morfin ialah pulih pasca bedah lebih lama, penyempitan bronkus
pada pasien asma, mual dan muntah pasca bedah ada.
11
Pethidin. Dosis premedikasi dewasa 25 – 100 mg IV. Diberikan untuk menekan
tekanan darah dan pernapasan serta merangsang otot polos. Pethidin juga
berguna mencegah dan mengobati menggigil pasca bedah.
- Gol. Transquilizer 6
Diazepam (Valium). Merupakan golongan benzodiazepine. Pemberian
dosis rendah bersifat sedatif sedangkan dosis besar hipnotik. Dosis
premedikasi dewasa 0,2 mg/kgBB IM.

V. Metode Pemberian Anestesi Umum


Obat obat anestesi umum bisa diberikan melalui Perenteral (Intravena,
Intramuscular), perektal (melalui anus) biasanya digunakan pada bayi atau anak-anak
dalam bentuk suppositoria, tablet, semprotan yang dimasukan ke anus. Perinhalasi
melalui isapan, pasien disuruh tarik nafas dalam kemudian berikan anestesi
perinhalasi secara perlahan.

VI. Stadium Anestesi


Tahapan dalam anestesi terdiri dari 4 stadium yaitu stadium pertama berupa
analgesia sampai kehilangan kesadaran, stadium 2 sampai respirasi teratur, stadium
3 dan stdium 4 sampai henti napas dan henti jantung.
- Stadium I
Stadium I (St. Analgesia/ St. Cisorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan
pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat
dilakukan pada stadium ini. Stadium ini berakhir dengan ditandai oleh hilangnya
reflekss bulu mata (untuk mengecek refleks tersebut bisa kita raba bulu mata).
- Stadium II
Stadium II (St. Eksitasi; St. Delirium) Mulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
- Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan hingga
hilangnya pernapasan spontan. Stadia ini ditandai oleh hilangnya pernapasan

12
spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat digerakkannya kepala ke
kiri dan kekanan dengan mudah.
- Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera
diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien
sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman
anestesi yang berlebihan.
Tanda Refleks pada Mata
- Refleks pupil
Pada keadaan teranestesi maka refleks pupil akan miosis apabila anestesinya
dangkal, midriasis ringan menandakan anestesi reaksinya cukup dan baik/
stadium yang paling baik untuk dilakukan pembedahan, midriasis maksimal
menandakan pasien mati.
- Refleks bulu mata
Refleks bulu mata sudah disinggung tadi di bagian stadium anestesi. Apabila
saat dicek refleks bulu mata (-) maka pasien tersebut sudah pada stadium 1.
- Refleks kelopak mata
Pengecekan refleks kelopak mata jarang dilakukan tetapi bisa digunakan untuk
memastikan efek anestesi sudah bekerja atau belum, caranya adalah kita tarik
palpebra atas ada respon tidak, kalau tidak berarti menandakan pasien sudah
masuk stadium 1 ataupun 2.
- Refleks cahaya
Untuk refleks cahaya yang kita lihat adalah pupilnya, ada / tidak respon saat
kita beri rangsangan cahaya.

1.2 Fisiologi

Iodium diet diserap oleh saluran pencernaan, diubah menjadi ion yodium, dan

secara aktif diangkut ke kelenjar tiroid. Begitu masuk, iodida dioksidasi kembali ke

yodium, yang terikat pada tirosin asam amino. Hasil akhirnya adalah dua hormon -

triiodothyronine (T3) dan tiroksin (T4) - yang terikat pada protein dan disimpan di dalam

tiroid. Meskipun kelenjar melepaskan lebih banyak T4 daripada T3, yang terakhir ini

lebih manjur dan kurang protein terikat. Sebagian besar T3 terbentuk secara perifer

13
dari deiodination parsial T4. Mekanisme umpan balik yang rumit mengendalikan

sintesis hormon tiroid dan melibatkan hipotalamus (tirotropin-stimulating hormone),

dan autoregulasi (konsentrasi yodium tiroid).

hormon tiroid meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lemak dan

merupakan faktor penting dalam menentukan pertumbuhan dan tingkat metabolisme.

peningkatan tingkat metabolisme disertai dengan peningkatan konsumsi oksigen dan

produksi CO2, secara tidak langsung meningkatkan ventilasi. denyut jantung dan

kontraktilitas juga meningkat, mungkin dari perubahan fisiologi reseptor adrenergik

dan perubahan protein internal lainnya, yang bertentangan dengan peningkatan kadar

katekolamin.

1.2.1 Hipertiroidisme

Manifestasi Klinis

Kelebihan kadar hormon tiroid dapat disebabkan oleh penyakit Graves, gondok

multinodular toxic, tiroiditis, tumor pituituri tiroid-stimulating-hormon-secreting, punksi

adenoma tiroid, atau overdosis dari hormon pengganti tiroid. Manifestasi klinis hormon

tiroid asesoris meliputi penurunan berat badan, intoleransi panas, kelemahan otot,

diare, refleks hiperaktif, dan kegugupan. Getaran halus, exophtalmos, atau gondok

dapat di dapat, terutama bila penyebabnya adalah penyakit Graves. Tanda jantung
14
berkisar dari sinus takikardia hingga atrial fibrilation dan gagal jantung kongestif.

Diagnosis hipertiroidisme dikonfirmasi dengan tes fungsi tiroid abnormal, yang

mungkin mencakup peningkatan total serum T4, serum T3, dan T4 bebas (tidak

mengikat).

Pengobatan hipertiroidisme bergantung pada obat-obatan yang menghambat

sintesis hormon (misalnya propylthiouracil, methimazole), mencegah pelepasan

hormon (misalnya potasium, natrium iodida), atau menutupi tanda-tanda overaktif

adrenergik (misalnya propanolol). Meskipun antagonis B-adrenergik tidak

mempengaruhi fungsi kelenjar tiroid. mereka mengurangi konversi perifer T4 ke T3.

Yodium radioaktif menghancurkan fungsi sel tiroid namun tidak disarankan untuk

pasien hamil dan dapat menyebabkan hipotiroidisme. tiroidektomi subtotal sekarang

kurang umum digunakan sebagai alternatif terapi medis. Biasanya, ini disediakan

untuk pasien dengan goiter multinodular beracun yang besar atau adenoma toksin

soliter. Penyakit Graves saat ini biasanya diobati dengan obat tiroid atau radioiodin.

Pertimbangan anestesi

Praoperasi

Semua prosedur bedah elektif, termasuk tiroidektomi subtotal, harus ditunda

sampai pasien diberikan secara klinis dan kimia eutiroid dengan perawatan medis.

Waktu induksi "thyroid steal" dengan obat-obatan yang diberikan sebelumnya.

Penilaian pra operasi harus mencakup tes fungsi tiroid normal, dan detak jantung

istirahat kurang dari 85 kali / menit telah direkomendasikan. benzodiazepin adalah

pilihan yang baik untuk obat penenang pra operasi. obat antitiroid dan antagonis b-

adrenergik terus berlanjut sampai pagi hari operasi. Pemberian propylthiouracil dan

methimazole sangat penting karena efektifitas kerja yang cepat. Jika operasi darurat

15
harus dilanjutkan, sirkulasi hiperdinamik dapat dikendalikan dengan titrasi infus

esmolol.

Intra operatif

Fungsi kardiovaskular dan suhu tubuh harus dipantau secara ketat pada pasien

dengan riwayat hipertiroid. Mata pasien harus terlindungi dengan baik, karena

exophthalmos penyakit Graves meningkatkan risiko abrasi atau ulserasi kornea.

kepala meja operasi dapat diangkat 15-20 oC untuk membantu drainase vena dan

mengurangi kehilangan darah, walaupun hal itu meningkatkan risiko emboli udara

vena. ketamin, pancuronium, agonis adrenergik tidak langsung, dan obat lain yang

merangsang sistem saraf simpatik sebaiknya dihindari karena kemungkinan terjadi

peningkatan dengan tekanan darah dan detak jantung. thiopental mungkin merupakan

agen induksi pilihan karena memiliki aktivitas antitiroid dalam dosis tinggi. Pasien

hipertiroid dapat mengalami hipovolemik kronis dan vasodilatasi dan rentan terhadap

respon hipotensi secara berlebihan selama induksi anestesi. Kedalaman anestesi

yang adekuat harus diatasi, jadi perlu dilakukan stimulasi bedah atau bedah untuk

menghindari takikardia, hipertensi, dan arrhytmhias ventrikel.

Agen pemblokiran neuromuskular (NMBAs) harus diberikan secara hati-hati,

karena tirotoksikosis dikaitkan dengan peningkatan kejadian myopathies dan

myasthenia gravis. Hipertiroidisme tidak meningkatkan kebutuhan anestesi Tidak ada

perubahan konsentrasi alveolar minimum.

Pasca operasi

Ancaman yang paling serius terhadap pasien hipertiroid pada periode

pascaoperasi adalah badai tiroid, yang ditandai dengan hiperpireksia, takikardia,

kesadaran yang berubah (misalnya agitasi, delirium, koma), dan hipotensi. onset

biasanya 6-24 jam setelah operasi tetapi dapat terjadi secara intraoperatif, menirukan
16
hipertermia berat. Tidak seperti hipertermia berat, badai tiroid tidak terkait dengan

kekakuan otot, peningkatan kreatin kinase, atau tingkat metabolik (laktat) dan asidosis

pernapasan yang ditandai. Pengobatan meliputi hidrasi dan pendinginan, infus

esmolol atau propranolol intravena (penambahan 0,5 mg sampai detak jantung < 100

x / menit), propiltiourasil (250-500 mg setiap 6 jam secara oral atau dengan tabung

nasogastrik) diikuti oleh natrium iodida (1 g intravena lebih dari 12 jam), dan koreksi

penyebab presipitasi (misalnya infeksi). Kortisol (100-200 mg setiap 8 jam) dianjurkan

untuk mencegah komplikasi akibat penekanan kelenjar adrenal yang hidup

berdampingan. Badai tiroid adalah keadaan darurat medis yang memerlukan

penanganan dan pemantauan agresif.

tiroidektomi subtotal dikaitkan dengan beberapa komplikasi bedah potensial.

Kelumpuhan laringeal rekuren akan mengakibatkan suara serak (unlateral) atau

aphonia dan stridor (bilateral). Fungsi pita suara dapat dievaluasi dengan laringoskopi

segera setelah ekstubasi dalam, namun ini jarang diperlukan. Kegagalan satu atau

kedua tali untuk bergerak mungkin memerlukan intubasi dan eksplorasi luka.

Pembentukan hematoma dapat menyebabkan kompromi jalan nafas dari kolapsnya

trakea pada pasien trakeomalacia. Pembedahan ke dalam jaringan lunak kompresibel

pada leher bisa membuat intubasi menjadi sulit. Pengobatan segera termasuk

membuka luka leher dan mengevakuasi gumpalan darah, kemudian menilai kembali

kebutuhan untuk reintubasi.

Hipoparatiroidisme dari pengangkatan kelenjar paratiroid yang tidak disengaja

akan menyebabkan hypocalsemia akut dalam 12-72 jam (lihat bagian manifestasi

klinis di bawah hipoparatiroidisme di bawah). Pneumotoraks tidak disengaja adalah

kemungkinan komplikasi eksplorasi leher.

17
1.2.2 Hipotiroidisme

Manifestasi Klinis

Hipotiroidisme dapat disebabkan oleh penyakit autoimun (misalnya tiroiditis

hashimoto), tiroidektomi, yodium radioaktif, obat antitiroid, defisiensi yodium, atau

kegagalan sumbu hipotalamus-hipofisis (hipotiroidisme sekunder). Hipotiroidisme

selama perkembangan neonatal menghasilkan kreatinisme, suatu kondisi yang

ditandai dengan keterbelakangan fisik dan mental. manifestasi klinis Pada orang

dewasa biasanya halus dan termasuk penambahan berat badan, intoleransi dingin,

kelelahan otot, kelesuan, konstipasi, refleks hipoaktif, ekspresi wajah kusam, dan

depresi. Hipoksiroidisme subklinis biasanya terjadi pada pasien lanjut usia dengan

penyakit parah. Detak jantung, kontraktilitas miokard, volume stroke, dan penurunan

kardiak, dan ekstremitasnya dingin dan berbelit-belit karena vasokonstriksi perifer.

Efusi pleura, abdomen, dan perikardial sering terjadi. Diagnosis hipotiroidisme dapat

dikonfirmasi dengan tingkat T4 bebas rendah. Hipotiroidisme primer dibedakan dari

penyakit sekunder dengan elevasi TSH. Pengobatan hipotiroidisme terdiri dari terapi

penggantian oral dengan pemberian hormon tiroid, yang membutuhkan beberapa hari

untuk menghasilkan efek fisiologis dan beberapa minggu untuk membangkitkan

perbaikan klinis yang jelas.

Myxedema koma berasal dari hipotiroidisme ekstrim dan ditandai dengan

gangguan mentasi, hipoventilasi, hipotermia, hiponatremia (dari sekresi hormon

antidiuretik yang tidak tepat), dan gagal jantung kongestif. Hal ini biasa dilakukan pada

pasien lanjut usia dan dapat diendapkan oleh infeksi, pembedahan, atau trauma.

Myxedema coma adalah penyakit yang mengancam jiwa yang telah berhasil diobati

dengan hormon tiroid intravena. Dosis pemuatan T3 atau T4 (misalnya, 300-500 mg

natrium levothyroxine pada pasien tanpa penyakit jantung) diikuti dengan infus

18
pemeliharaan (misalnya 50 mg levothyroxine per hari). EKG harus dipantau selama

terapi untuk mendeteksi iskemia miokard atau aritmia. Penggantian steroid (misalnya,

hidrokortison, 100 mg intravena setiap 8 jam) diberikan secara rutin jika terjadi

penekanan kelenjar adrenal yang hidup berdampingan. Beberapa pasien mungkin

memerlukan dukungan ventilasi dan pemanasan eksternal.

Pertimbangan anestetik

Praoperasi

Pasien dengan hipotiroidisme berat yang tidak dikoreksi (T4 <1 mg / dL) atau

koma myxedema tidak boleh menjalani operasi elektif dan harus diobati dengan

hormon tiroid sebelum operasi darurat. Meskipun keadaan eutiroid ideal,

hipotiroidisme ringan sampai sedang tampaknya tidak menjadi kontraindikasi mutlak

untuk operasi. Faktanya, pasien hipotiroid dengan penyakit arteri koroner simtomatik

dapat mendapat manfaat dari penundaan terapi tiroid sampai operasi bypass arteri

koroner.

Pasien hipotiroidisme biasanya tidak memerlukan banyak obat penenang pra

operasi dan sangat rentan terhadap depresi pernapasan akibat obat. Dalam

kecanduan, mereka gagal merespons hipoksia dengan peningkatan ventilasi menit.

Pertimbangan harus diberikan untuk memprioritaskan pasien ini dengan antagonis H2

histamin dan metoklopramid karena waktu pengosongan lambung mereka yang

menurun. Pasien yang telah diberikan eutiroid mungkin menerima dosis tiroid

pengobatan mereka yang biasa pada pagi hari operasi, harus diingat. Namun,

persiapan yang paling umum digunakan memiliki umur panjang (I02 dari T4 adalah

sekitar 8 hari).

19
Intra operatif

Pasien hipotiroid lebih rentan terhadap efek hipotensi dari agen anestesi karena

curah jantungnya yang berkurang, refleks baroreceptor yang tumpul, dan penurunan

volume intravaskular. Untuk alasan ini, ketamin sering direkomendasikan untuk induksi

anestesi. Kemungkinan insufisiensi adrenal primer bersamaan atau gagal jantung

kongestif harus dipertimbangkan pada kasus hipotensi refrakter. Penurunan curah

jantung dapat mempercepat laju induksi dengan anestesi inhalasi, namun

hipotiroidisme tidak menurunkan secara signifikan konsentrasi alveolar minimum.

Masalah potensial lainnya meliputi hipoglikemia, anemia, hiponatremia, kesulitan

intubasi karena lidah yang besar, dan hipotermia dari tingkat metabolisme basal yang

rendah.

Pasca operasi

Pemulihan dari anestesi umum dapat ditunda pada pasien hipotiroid dengan

hipotermia, depresi pernafasan, atau biotransformasi obat yang melambat. Pasien ini

sering membutuhkan ventilasi mekanik yang berkepanjangan. Pasien harus tetap

diintubasi sampai terjaga dan normotermik. Karena hipotiroidisme meningkatkan

kerentanan terhadap depresi pernafasan, nonopioid seperti ketorolac akan menjadi

pilihan yang baik untuk menghilangkan rasa sakit pasca operasi.

1.2.3 Paratiroid

Hormon paratiroid adalah pengatur utama homeostasis kalsium. Ini

meningkatkan serum kalsium bt yang mempromosikan resorpsi tulang tulang.

Membatasi ekskresi ginjal, dan secara tidak langsung meningkatkan penyerapan

gastrointestinal dengan efeknya pada metabolisme vitamin D. Hormon paratiroid

menurunkan serum fosfat dengan meningkatkan eksresi ginjal. Efek hormon paratiroid

pada tingkat serum kalsium diimbangi pada hewan yang lebih rendah dengan
20
kalsitonin, hormon yang dikaruniai sel-sel C parafolikular di tiroid, namun efek

penurunan kalsium fisiologis untuk kalsitonin belum pernah ditunjukkan pada manusia.

Dari total kalsium tubuh, 99% berada di dalam kerangka. Dari kalsium dalam darah,

40% terikat pada protein dan 60% terionisasi atau dikomplekskan dengan ion organik.

Fisiologis ionisasi tak terikat secara fisiologis lebih penting dari keduanya.

1.2.4 Hiperparatiroidisme

Manifestasi Klinis

Penyebab hiperparatiroidisme primer meliputi adenoma, karsinoma, dan

hiperplasia kelenjar paratiroid. Paratiroidisme sekunder adalah respons adaptif

terhadap hipokalsemia yang disebabkan oleh penyakit seperti gagal ginjal atau

sindrom malabsorpsi usus. Hiperparatiroidisme ektopik disebabkan oleh produksi

hormon paratiroid oleh tumor langka di luar kelenjar paratiroid. Peptida yang

dilepaskan hormon paratiroid dapat menyebabkan hiperkalsemia yang signifikan saat

disekresikan oleh karsinoma (misalnya hepatoma, karsinoma bronkogenik) dan

merupakan penyebab paling umum hiperkalsemia keganasan.

Sebagian besar manifestasi klinis hiperparatiroidisme disebabkan oleh

hiperkalsemia, penyebab hiperkalsemia (selain hiperparatiroidisme) meliputi

metastase tulang, intoksikasi vitamin D, sindroma susu-alkali, sarkoidosis, dan

21
imobilisasi berkepanjangan. Pengobatan hiperparatiroidisme tergantung pada

penyebabnya, namun operasi pengangkatan keempat kelenjar biasanya diperlukan

dalam pengaturan hiperplasia paratiroid. Namun, pengangkatan satu adenoma

menyembuhkan banyak pasien dengan hiperparatiroidisme primer sporadis.

22
Pertimbangan anestetik

Evaluasi pra operasi harus mencakup penilaian status volume untuk

menghindari hipotensi selama induksi. Hidrasi dengan garam normal dan diuresis

dengan furosemid biasanya menurunkan kadar kalsium serum ke tingkat yang dapat

diterima (<14 mg / dL, 7 mEq / L, atau 3,5 mmol / L). Jarang, terapi yang lebih agresif

dengan bifosfonat pamidronat intravena (arron) atau etidronat (didronel) mungkin

diperlukan, atau mungkin diperlukan dialisis, plicamycin (Mithramycin), glukokortikoid,

kalsitonin, atau dialisis mungkin diperlukan saat hipoventilasi intravena harus dihindari,

karena Asidosis meningkatkan kalsium terionisasi. Kadar kalsium yang meningkat

dapat menyebabkan arrhytmias jantung. Respone ke NMBAs dapat diubah pada

pasien dengan kelemahan otot yang sudah ada sebelumnya yang disebabkan oleh

efek kalsium pada persimpangan neuromuskular. Osteoporosis yang memburuk oleh

hiperparatiroidisme menyebabkan pasien mengalami kompresi vertebra selama

laringoskopi dan patah tulang selama transportasi. Komplikasi pasca operasi

paratiroidektomi serupa dengan yang dijelaskan di atas untuk tiroidektomi subtotal.

1.2.5 Hipoparatiroid

Manifestasi Klinis

Hipoparatiroidisme biasanya disebabkan oleh kekurangan hormon paratiroid

setelah paratiroidektomi. Manifestasi klinis hipoparatiroidisme adalah hasil dari

hypocalcemia, yang juga disebabkan oleh gagal ginjal, hypomagnesemia, defisiensi

vitamin D, dan pankreatitis akut. Hipoalbuminemia menurunkan jumlah kalsium serum

(penurunan albumin serum 1 g / dL menyebabkan penurunan kalsium serum 0,8 mg /

dL), namun kalsium terionisasi, entitas aktif, tidak berubah. Saraf mudah tersendat

neuromuskular dapat dikonfirmasi secara klinis dengan adanya tanda Chvostek

(kedutan otot-otot wajah yang menyakitkan setelah mengetuk saraf wajah) atau tanda
23
Trousseau (spasme carpopedal mengikuti inflasi touniquet di atas tekanan darah

sistolik selama 3 menit). Tanda-tanda ini juga kadang-kadang ada pada orang yang

tidak hipoksemik, pengobatan hipokalsemia simtomatik terdiri dari pemberian kalsium

klorida secara intravena.

Pertimbangan anestetik

Kalsium serum harus dinormalisasi pada pasien dengan manifestasi kardiak


hipokalsemia. Anestesi yang menekan myocardium harus dihindari pada pasien ini.
Alkalosis dari terapi hiperventilasi atau sodium bicarbonate selanjutnya akan
mengurangi kalsium terionisasi. Meskipun produk darah yang mengandung sitrat
biasanya tidak menurunkan serum kalsium secara signifikan, namun sebaiknya tidak
diadministrasikan dengan cepat pada pasien dengan hypocalcemia yang sudah ada
sebelumnya. Pertimbangan lain (yang mungkin mengikat dan menurunkan kalsium
terionisasi) dan mengeksplorasi kemungkinan koagulopati atau kepekaan terhadap
NMBA nondepololarisasi.

24
BAB III
KESIMPULAN

Kanker tiroid adalah neoplasma sistem endokrin yang terbanyak di jumpai,


pada statistik NCI menyebutkan insidensi kaknker tiroid pada pria sekitar 2,5 per
100.000 populasi dan wanita sekitar 6,7 per 100.000 populasi. Penanganan pertama
untuk suatu kanker adalah kesempatan terbaik untuk pasien mencapai tingkat
kesembuhan optimal.
Struma adalah tumor pada kelenjar tiroid. Ditinjau dari aspek fungsi kelenjar
tiroid di bagi menjadi hipertiroid, Eutiroid dan Hipotiroid. Struma Non Toksik adalah
pembesaran kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Pada
anemnesis dengan kondisi hipertiroid didapatkan berat badan turun, kulit basah,
takikardia, tremor, eksoptalmus, gelisah, diare, thyroid thrill, gangguan keseimbangan
hormonal lain, kelainan kulit, dan basal metabolisme rate.
General anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika
melakukan pembedahan dan sebagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Tujuan anestesi umum adalah hipnotik, analgesik, relaksasi dan
stabilisasi otonom. Sedangkan kontraindikasi mutlak dilakukan anestesi umumm yaitu
dekompresi kordis derajat III-IV, AV blok derajat II-total (tidak ada gelombang P).

25
DAFTAR PUSTAKA

Dachlan, R.,dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan


Terapi FK UI. Jakarta.

Djokomoeljanto, R. 2006. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. Buku


Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam FKUI.
Gde Mangku, Tjokorda G. A. S. BUKU AJAR ILMU ANESTESIA DAN REANIMASI.
Penerbit : Indeks. 2010.
Jamson, L. 2005. Diseases of Tyroid Gland. Harrisons Principles of Internal
Medicine, 16 th edition, Mcgraw-Hill Medical Publishing Division.
Johan, S. M. 2006. Nodul tiroid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Penyakit Dalam FKUI.
Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed 7. Jakarta: EGC; 2007.

Latief SA, Suryadi KA. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia 2009.
Omuigui . The Anaesthesia Drugs Handbook, 2nd ed, Mosby year Book Inc, 1995.
Sjamsuhidajat., Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah: Sistem endokrin. Jakarta:
EGC.
Solymosi.2007. Therapy for Nontoxic Nodular Goiter..
http://www.thyroidmanager.org/Chapter17/ch01s10.html.
Wijayahadi, Y., Marwowinoto, M., Reksaprawira., Murtedjo, U. 2000. Kelenjar Tiroid:
Kelainan, Diagnosis dan Penatalaksanaan. Seksi Bedah Kepala & Leher,
Bagian Ilmu Bedah, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya:
Jawi Aji Surabaya.
Morgan Jr, G, E. Mikhail M, S. Murray M, J. Clinical Anesthesiology. International
Edition. LANGE. Fourth edition. 2006.

iv

Anda mungkin juga menyukai