Anda di halaman 1dari 24

CRS-CSS

TUBERKULOSIS PARU

Oleh:

Mutiara Dewi Restuningrum


130112180629

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG

2019
IDENTITAS PASIEN

Nama : An. BD
Jenis kelamin : Laki-Laki
Usia : 17 tahun
Tanggal lahir : 1 September 2002
Alamat : Harumansari, Ujung Berung, Bandung
Tanggal masuk RS: 24 Oktober 2019 pukul 21.30 WIB
Tanggal pemeriksaan: 29 Oktober 2019 pukul 06.00 WIB

ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan ayah pasien
Keluhan utama: Panas badan

Sejak 11 hari SMRS penderita mengalami panas badan terus menerus yang
dirasakan lebih parah saat malam hari dan panas semakin tinggi setiap harinya.
Keluhan disertai nyeri perut, batuk tidak berdahak dan tidak berdarah yang
dirasakan terus-menerus, bertambah parah saat tidur berbaring. Keluhan tidak
disertai sesak, pilek, nyeri kepala, nyeri sendi, mual muntah, mimisan, gusi
berdarah, maupun bintik kemerahan pada kulit. Sehari-hari pasien sering jajan di
pinggir jalan dekat sekolah dibanding makan dirumah. BAB menjadi lebih sering
(2 kali setiap hari) dan BAK tidak ada keluhan. Ayah pasien mengeluhkan berat
badan pasien sulit naik selama 2 bulan terakhir disertai penurunan nafsu makan
(hanya 1 kali makan setiap harinya, sebanyak setengah porsi makan orang
dewasa).
Delapan hari SMRS karena panas badan tidak kunjung turun, pasien
dibawa oleh ayahnya ke klinik dan mendapatkan obat parasetamol, dan vitamin.
Dokter memberi pesan apabila dalam 3 hari tidak ada perbaikan maka harus
berobat kembali. Selama tiga hari tersebut keluhan belum membaik, sehingga
pasien dibawa kembali ke klinik tersebut 4 hari SMRS. Pasien dilakukan tes widal
di klinik tersebut dan hasil laboratorium pasien positif typhoid. Pasien diberikan
obat antibiotik, penurun panas, dan diberikan surat rujukan untuk dilakukan rawat
inap di fasilitas kesehatan tingkat lanjut. Namun, pasien tidak langsung berobat ke
tempat rujukan melainkan ayah pasien mencoba mengobati demam dengan air
cacing dengan harapan demamnya akan reda. Karena pasien tidak kunjung
membaik, akhirnya pasien dibawa berobat ke RSUD Kota Bandung.

1
Pasien tinggal satu rumah dengan kakek, nenek, paman, dan ayah. Paman
pasien pernah mendapatkan pengobatan TB dan sudah dinyatakan sembuh 3 tahun
lalu, sedangkan kakek pasien juga pernah mendapatkan pengobatan TB dan sudah
sembuh 2 tahun lalu. Pasien sendiri pernah mendapatkan pengobatan TB saat usia
5 tahun dan hanya minum selama 4 bulan, sehingga pengobatan TB diulang dari
awal saat pasien berusia 6 tahun selama 6 bulan dan pasien sudah dinyatakan
sembuh.

Timeline keluhan pasien.

±2 bulan SMRS 11 hari SMRS 8 hari SMRS 4 hari SMRS Saat masuk RS

-Panas badan, -Berobat ke -Berobat ke -Panas badan.


-BB sulit naik. terus menerus, klinik. klinik -Batuk.
-Penurunan memberat -Obat kembali.
nafsu makan. malam hari. parasetamol, -Tes widal à
-Nyeri perut. vitamin. positif
-Muntah 1x. -Bila tidak ada typhoid.
-Batuk. perbaikan à (antigen H:
-Sering jajan datang 1/320;
sembarangan. kembali. antigen O:
-BAB 2x/hari 1/160.
-Obat
antibiotik,
parasetamol,
dan surat
rujukan.

*air cacing*

RIWAYAT IMUNISASI
Riwayat imunisasi dasar dikatakan tidak lengkap oleh ayahnya (tidak
imunisasi 1 bulan, namun tidak ingat jenis imunisasi yang terlewat)

RIWAYAT NUTRISI
Pasien sejak lahir tidak mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan
hanya minum susu formula.

2
STATUS ANTOPOMETRI
Berat Badan : 50 kg
Panjang Badan : 160 cm
BMI/U : normal
TB/U : normal

PEMERIKSAAN FISIS
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital
Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 80 kali/menit
Laju napas : 20 kali/menit
Suhu : 36.6oC
capillary refill time : <2 detik
Sp.O2 : 99%, udara ruangan
Kepala : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
Lidah tidak teradapat typhoid tongue.
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : Bentuk dan gerak simetris, retraksi interkostal (+)
Cor : S1 S2 normal reguler, murmur tidak ada
Pulmo: VBS kanan menurun (mulai dari ICS IV), VBS kiri normal, ronkhi
(-), slem(-), wheezing (-), crackles (-), dull pada thoraks kanan
mulai ICS IV.
Abdomen : Datar, lembut, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba,
Nyeri tekan tidak ada, turgor cepat.
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2detik, ptekie (-)

Saat diperiksa sudah hari perawatan ke-5, pasien menunjukkan klinis yang
stabil, hanya mengeluhkan batuk terus menerus apabila pasien tidur dalam posisi
terlentang (sehingga pasien tidur dengan posisi kasur 80°

DIAGNOSIS BANDING : 1. Typhoid Fever


2. Tuberkulosis Paru

3
PEMERIKSAAN PENUNJANG :
1. CBC
2. Pemeriksaan BTA à dari dahak (induksi sputum)
3. Tes PPD
4. Foto Thoraks
5. Kultur darah

HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG

Foto Toraks (24/10) : Kesan Efusi Pleura Kanan

Laboratorium klinik (28/10) :


¨ Hb : 12,6 gr%
¨ Hematokrit : 38 %
¨ Eritrosit : 4,63 juta/mm3
¨ Leukosit : 5900 / mm3
¨ Trombosit : 98.000 mm3
¨ Diff.count : 0/1/0/67/25/7

Tes PPD (28/10) :


Hasil PPD: 16 mm

4
DIAGNOSIS KERJA : Efusi Pleura Dekstra ec. TB Paru + Demam Tifoid

TATA LAKSANA (Typhoid)


Non farmakologi:
1. Edukasi PHBS.
2. Tirah baring.
3. Diet makanan lunak, rendah serat.
Farmakologi:
1. PCT 3x500 mg jika suhu >38 C
2. Ceftriaxone 1x2 gram IV
3. Metronidazole 1 gram IV selanjutnya 3x500 mg IV

TATA LAKSANA (Setelah terkonfirmasi TB)


Non farmakologi:
1. Edukasi kepada pasien dan keluarga bahwa pengobatan pada TB butuh
kepatuhan yang baik dalam meminum obat dan kontrol agar
pengobatannya berhasil.
2. Edukasi bahwa seluruh anggota keluarga harus di screening TB.
Farmakologi:
1. Levofloxacin 1x500 mg IV
2. Omeprazole 2x40 gr IV
3. Prednison 6-4-2
4. Fixed Drug Combination dewasa awal, 1x4 tablet
5. PCT 3x1 tab

PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

5
TUBERKULOSIS PARU

DEFINISI
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
bakteri TB (Mycobacterium Tuberculosis), suatu basil tahan asam, yang biasanya
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.

EPIDEMIOLOGI
Di negara-negara berkembang jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40-
50% dari jumlah seluruh populasi umum dan terdapat sekitar 500.000 anak di dunia
menderita TB setiap tahun. Proporsi kasus TB Anak di antara semua kasus TB di
Indonesia pada tahun 2010 adalah 9,4%, dan 9% pada tahun 2015. Proporsi tersebut
bervariasi antar provinsi, dari 1,2% sampai 17,3%.

FAKTOR RISIKO PENULARAN


▸ Konsentrasi/jumlah bakteri yang dapat masuk
▸ Lamanya waktu pajanan
▸ Usia seseorang terinfeksi (kelompok usia >65 tahun atau < 5 tahun)
▸ Tingkat daya tahan tubuh seseorang (kondisi cancer, malaria, kehamilan, DM)

CARA PENULARAN
Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB
paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibanding organ lainnya. Penularan
penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei,
khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang
mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa
melalui inokulasi langsung.
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis bakteri berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Yang tergolong dalam
bakteri Mycobacterium tuberculosae complex adalah: 1). M tuberculosae, 2). Varian
Asian, 3). Varian African I, 4. Varian African 11, 5. M. bovis. Pembagian tersebut adalah
berdasarkan perbedaan secara epidemiologi. Kelompok bakteri Mycobacteria Other Than
TB (MOTT) atypical adalah: 1. M. kansasi, 2. M. avium, 3. M. intra cellulare, 4. M.
scrofulaceum, 5. M. malmacerse, 6. M. xenopi.
Sebagian besar-dinding bakteri terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat bakteri lebih tahan
terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga
lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis. Bakteri dapat tahan hidup pada udara
kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun tahun dalarn lemari es). Hal
ini terjadi karena bakteri berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini bakteri dapat
bangkit kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi.
Di dalam jaringan, bakteri hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenanginya karena
banyak mengandung lipid. Sifat lain bakteri ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan
bahwa bakteri lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam ha1

6
ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain, sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
yang sangat kecil, bakteri TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat
mencapai alveolus. Masuknya bakteri TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme
imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit bakteri TB dan biasanya
sanggup menghancurkan sebagian besar bakteri TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil
kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan bakteri TB dan bakteri akan bereplikasi
dalam makrofag. Bakteri TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan
membentuk lesi di tempat tersebut yang disebut fokus primer Ghon.
Dari fokus primer, bakteri TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, kelenjar limfe
regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis)
disebut kompleks primer
Waktu yang diperlukan sejak masuknya bakteri TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan
pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak
masuknya bakteri hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya
berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam
masa inkubasi tersebut, bakteri tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.

7
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB prmer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas seluler tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat
diketahui dengan uji tuberkulin positif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun
yang berfungsi baik, pada saat sistem imun seluler berkembang, proliferasi bakteri TB
terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil bakteri TB dapat tetap hidup dalam granuloma.
Bila imunitas seluler telah terbentuk, bakteri TB baru yang masuk ke dalam alveoli
akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan
paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna
fokus primer di jaringan paru. Bakteri TB dapat tetap hidup dan menetap selama
bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis
perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus
sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi total pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan
ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan
menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau
membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, bakteri menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, bakteri TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh.
Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, bakteri TB
menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala
klinis. Bakteri TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang
biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang,
ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi
tersebut, bakteri TB akan bereplikasi dan membentuk koloni bakteri sebelum terbentuk
imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik
generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah
besar bakteri TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat
menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB
diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi.
Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi bakteri TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak
adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic
spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran

8
vascular di dekatnya, sehingga sejumlah bakteri TB akan masuk dan beredar di dalam
darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.

KLASIFIKASI
Definisi
Terduga TB anak adalah seseorang yang mempunyai keluhan atau gejala klinis
mendukung TB
• Pasien TB anak terkonfirmasi bakteriologis: Adalah seorang pasien TB yang
hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan mikroskopis,
biakan atau diagnostik cepat yang diakui oleh WHO (misal : GeneXpert ).
• Pasien TB berdasarkan diagnosis klinis : Adalah anak yang tidak memenuhi
kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi didiagnosis sebagai pasien TB
oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan TB.

§ Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis meliputi empat hal, yaitu:
1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Riwayat pengobatan sebelumnya
3. Hasil pemeriksaan uji kepekaan obat
4. Status HIV

A. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:

9
1. Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang
jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada
hilus
2. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan


▸ Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya atau
riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
▸ Pasien yang pernah diobati TB adalah pasien yang pernah mendapatkan OAT 1
bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut berdasarkan hasil
pengobatan terakhir sebagai berikut:
▸ Pasien kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan
saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang
benar-benar kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
▸ Pasien diobati kembali setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
▸ Pasien yang diobati kembali setelah putus obat adalah pasien yang pernah
menelan OAT 1 bulan atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari
2 bulan berturut turut atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan.
▸ Lain-lainnya adalah pasien sebelumnya pernah mendapatkan OAT dan hasil
akhir pengobatannya tidak diketahui atau tidak didokumentasikan.
▸ Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien
yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.

C. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat


▸ Mono resisten (TB MR): resisten terhadap salah satu jenis OAT lini pertama
saja.
▸ Poli resisten (TB PR): resisten terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama
selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
▸ Multi drug resistant (TB MDR) resisten terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin
(R) secara bersamaan
▸ Extensive drug resistant (TB XDR): TB MDR yang sekaligus juga resisten
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari
OAT lini kedua jenis suntikan
▸ Resistan Rifampisin

10
D. Klasifikasi berdasarkan status HIV
• Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti dokumentasi bahwa pasien telah
terdaftar di register HIV atau obat antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
• Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis atau
klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada saat
ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di kemudian hari
harus disesuaikan klasifikasinya.
• Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak memiliki
bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila pasien ini diketahui
HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.

DIAGNOSIS
1) Gejala pada anak
Gejala klinis TB pada anak dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai organ
terkait. Gejala umum TB pada anak yang sering dijumpai adalah batuk persisten, berat
badan turun atau gagal tumbuh, demam lama serta lesu dan tidak aktif. Gejala-gejala
tersebut sering dianggap tidak khas karena juga dijumpai dengan penyakit lain. Namun
demikian, sebenarnya gejala TB bersifat khas, yaitu menetap (lebih dari 2 minggu)
walaupun sudah deiberikan terapi yang adekuat.

Gejala sistemik/umum
a) Berat badan turun atau tidak naik dalam 2 bulan sebelumnya atau terjadi gagal
tumbuh ( failure to thrive) meskipun telah diberikan upaya perbaikan gizi yang
baik dalam 1-2 bulan.
b) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, ISK, malaria, dll). Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam
saja bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan
gejala– gejala sistemik/umum lainnya
c) Batuk lama ≥2 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat

11
disingkirkan. Batuk tidak membaik setelah pemberian antibiotika atau obat asma
(sesuai indikasi
d) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.

Gejala spesifik organ terkait


Pada TB ekstra paru dapat dijumpai gejala dan tanda klinis yang khas pada organ yang
terkena.
a) Tuberkulosis kelenjar
§ Biasanya di daerah leher (region colli)
§ Pembesaran KGB tidak nyeri, konsistensi kenyal, multipel dan kadang saling
melekat (konfluens)
§ Ukuran besar (lebih dari 2x2 cm), biasanya pembesaran KGB terlhat lebih
jelas
§ Tidak berespon terhadap antibiotik
§ Bisa berbentuk rongga dan discharge
b) Tuberkulosis sistem saraf pusat
§ Meningitis TB: Gejala – gejala meningitis dengan sering kali disertai gejala
akibat keterlibatan saraf saraf otak yang terkena
§ Tuberkuloma otak: Gejala – gejala adanya lesi desak ruang .
c) Tuberkulosis sistem skeletal
§ Tulang belakang (spondolitis): Penonjolan tulang belakang (gibbus).
§ Tulang panggul (koksitis): Pincang, gangguan berjalan, atau
tanda peradangan di daerah panggul
§ Tulang lutut (gonitis): pincang dan/atau bengkak pada tulut tanpa sebab yang
jelas.
§ Tulang kaki dan tangan (spina ventosa/daktilitis).
d) Tuberkulosis mata
§ Konjungtivitis fliktenularis (conjunctivitis phlyctenularis)
§ Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi).
e) Tuberkulosis kulit (skrofuloderma) Ditandai adanya ulkus disertai dengan
jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge).
f) Tuberkulosis organ – organ lainnya, misalnya peritonitis TB, TB ginjal; dicurigai
bila ditemukan gejala gangguan pada organ organ tersebut tanpa sebab yang jelas
dan disertai kecurigaan adannya infeksi TB.

2) Pemeriksaan untuk diagnosis


Pemeriksaan bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis adalah pemeriksaan yang penting untuk menentukan
diagnosis TB, baik pada anak maupun dewasa. Pemeriksaan sputum pada anak terutama
dilakukan pada anak berusia lebih dari 5 tahun, HIV positif, dan gambaran kelainan paru
luas. Namun demikian, karena kesulitan pengambilan sputum pada anak dan sifat pausiba
siler pada TB anak, pemeriksaan bakteriologi selama ini tidak dilakukan secara rutin pada
anak yang dicurigai sakit TB. Dengan semakin meningkatnya kasus TB resisten obat dan
TB HIV, saat ni pemeriksaan bakteriologis pada anak merupakan pemeriksaan yang
seharusnya dilakukan, terutama di fasilitas pelayanna kesehatan yang mempunyai fasilitas
pengambilan sputum dan pemeriksaan bakteriologi. Cara mendapatkan sputum pada
anak:

12
§ Berdahak
Pada anak >5 tahun biasanya sudah dapat mengeluarkan sputum/dahak secara
langsung dengan berdahak.
§ Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (nasogastric tube) dapat dilakukan pada anak yang
tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan specimen dikumpulkan minimal 2 hari
berturut - turut pada pagi hari.
§ Induksi sputum
Induksi sputum relative aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua
umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama apabila
menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara rawat jalan,
tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk melakukan metode ini

Beberapa pemeriksaan bakteriologi untuk TB:


a. Pemeriksaan mikroskopis BTA sputum atau spesimen lain
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan minimal 2 kali yaitu sewaktu dan pagi.
b. Tes cepat molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan TCM dapat digunakan untuk mendeteksi bakteri M. tuberculosis
secara molekuler sekaligus menentukan resisten terhadap Rifampicin. Hasil
negatif TCM tidak menyingkirkan diagnosis TB,
c. Pemeriksaan biakan
Baku emas diagnosis TB adalah dengan menemukan bakteri penyebab.

3) Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan lain yang dapat dilakukan utuk membantu menegkkan diagnosis
TB pada anak:
- Uji tuberkulin
Uji tuberkulin bermanfaat untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak, khususnya jika riwayat kontak dengan pasien TB tidak jelas. Uji tuberculin
tidak bisa membedakan antara infeksi dan sakit TB. Hasil
uji positif tuberculin menunjukkan adanya infeksi dan tidak menunjukkan ada tidakn
ya sakit TB. Sebaliknya, hasil negatif uji tuberculin belum tentu menyingkirkan
diagnosis TB.
- Foto thoraks
Foto thoraks merupakan pemeriksaan penunjang untuk
menegakkan diagnosis TB pada anak. Namun gambaran foto thoraks pada TB
tidak khas kecuali gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis
yang menunjang TB adalah sebagai berikut:
- Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/atau tanpa
infiltrate (visualisasinya selain dengan foto thoraks AP, harus disertai
foto thorak lateral).
- Konsolidasi segmental/lobar
- Efusi pleura
- Milier
- Atelectasis
- Kavitas
- Klasifikasi dengan infiltrate

13
- Tuberkuloma.

- Pemeriksaan histopatologi (PA/Patologi Anatomi)


Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkejuan di tengahnya dan dapat pula diemukan gambaran sel datia langhans dana
tau bakteri TB.

4) Alur diagnosis TB pada anak

14
Sistem skoring (scoring system) Diagnosis TB membantu tenaga kesehatan agar tidak
terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana
sehingga diharapkan dapat mengurangi terjadinya under-diagnosis maupun over-
diagnosis.

Jika tersedia fasilitas untuk uji tuberkulin dan foto toraks, hitung skor menggunakan
sistem skoring:

1) Jika skor total >=6 → diagnosis TB dan obati dengan OAT


2) Jika skor total <6, dengan uji tuberkulin positif atau ada kontak erat → diagnosis
TB dan obati dengan OAT
3) Jika skor total <6, dengan uji tuberkulin negatif atau tidak ada kontak erat →
Observasi gejala selama 2-4 minggu, bila menetap evaluasi ulang kemungkinan
diagnosis TB atau rujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.

Jika ditemukan salah satu keadaan di bawah ini, pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan:
1. Foto toraks menunjukan gambaran efusi pleura atau milier kavitas
2. Gibbus, koksitis
3. Tanda bahaya:
a. Kejang, kaku kuduk
b. Penurunan kesadaran

15
c. Kegawatan lain, misalnya sesak napas

TATALAKSANA
1. Obat yang digunakan pada TB anak

Anak umumnya memiliki jumlah bakteri lebih sedikit (pausibasiler)


sehingga rekomendasi pemberian 4 macam obat OAT pada fase intensif hanya
diberikan pada anaak BTA positif, TB berat dan TB tipe dewasa. Terapi TB pada an
ak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH, Rifampisin, dan
Pirazinamid pada fase inisial (2 bulan pertama) diikuti Rifampisin dan INH
pada 4 bulan fase lanjutan.

2. Kombinasi Dosis Tetap (KDT) atau Fixed Dose Combination (FDC)

16
Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT atau FDC. Satu paket dibuat untuk satu
pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk
anak berisi obat fase intensif, yaitu Rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg, dan Pirazinam
id (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu pake.
Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut:

Keterangan:
a. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk KDT
dan sebaiknya dirujuk ke RS
b. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan
disesuaikan dengan berat badan saat itu
c. Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan berat badan ideal.
d. OAT KDT harus diberikan secara utuh, dapat diberikan dengan cara ditelan
untuh, dikunyah/dikulum, atau dimasukkan air dalam sendok
e. Obat diberikan saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
f. Bila INH dikombinasikan dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh melebihi
10mg/kgBB/hari
g. Apabila OAT lepas dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak boleh digerus
bersama dan dicampur dalam satu puyer

3. Pemberian kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada kondisi:
• TB meningitis,
• sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB)
• perikarditis TB.
• TB milier dengan gangguan napas yang berat,
• efusi pleura
• TB abdomen dengan ascites
Obat yang sering digunakan adalah prednison dosis 2 mg/kg/ hari, hingga 4 mg/kg/hari.
Pada kasus sakit berat, dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu. Tappering off
setelah 2 minggu pemberian, kecuali pada TB meningitis: tappering off setelah 4 minggu.

4. Piridoksin

17
Karena isoniazid dapat menyebabkan difisiensi piridoksin simtomatik, terutama pada
anak malnutrisi dan HIV. Dosis: 5-10mg/kg/hari

5. Nutrisi
Status gizi pada anak dengan TB akan mempengaruhi keberhasilan pengobatan TB.
malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan TB. Penilaian status
gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam masa pengobatan. Penilaian
dilakukan dengan mengukur BB, TB, lingkar lengan atas atau pengamatn gejala dan
tanda malnutrisi seperti edema atau muscle wasting.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB dapat
diatasi. ASI tetap diberikan jika anak masih menyusui.

PEMANTAUAN DAN HASIL PENGOBATAN TB


A. Pemantauan kemajuan pengobatan TB

Pasien TB anak harus dipastikan minum obat setiap hasri secara teratur oleh
Pengawas Menelan Obat (PMO). Orang tua merupakan PMO terbaik untuk anak. Pasien
TB anak sebaiknya dipantai setiap 2 minggu selama fase intensif, dan sekali sebulan pada
fase lanjutan. Pada setiap kunjungan dievaluasi respon pengobatan, kepatuhan, toleransi,
dan kemungkinan adanya efek samping obat.
Respon pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis membaik (demam
menghilang dan batuk berkurang), nafsu makan meningkat dan BB meningkat. Jika
respon pengobatan tidak membaik maka pengobatan TB dapat dilanjutkan dan pasien
dirujuk ke sarana yang lebih lengkap untuk menilai kemungkinan resistensi obat,
komplikasi, komorbiditas, atau adanya penyakit paru lain. pada pasien TB anak dengan
hasil BTA positif pada awal pengobatan, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang pada akhir buan ke 2, 5, dan 6.
Perbaikan radiologis akan terlihat dalam jangka waktu yang lama sehingga tidak
perlu dilakukan foto thoraks untuk pemantauan pengobatan, kecuali pada TB milier
setelah pengobatan satu bulan dan efusi pleura setelah pengobatan 2 4 minggu. Demikian
pun pemeriksaan uji tuberkulin karena uji tuberkulin yang positif akan tetap positif.
Dosis OAT disesuaikan dengan penambahan BB. Pemberian OAT dihentikan
setelah pengobatan lengkap, dengan melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang lain seperti foto thoraks (pada TB milier, TB dengan kavitas, efusi pleura).
Meskipun gambaran radiologis tidak munjukan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan
pasien dinyatakan selesai. Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan
kartu pemantauan pengobatan.

18
B. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif

C. Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab kegagalan terapi
dan meningkatkan risiko terjadinya TB resisten obat.
1. Jika anak tidak minum obat > 2 minggu di fase intensif atau lebih dari 2 bulan di fase
lanjuta dan menunjukan gejala TB, ulangi pengobatan dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di fase lanjutan
dan menunjukan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai selesai.

D. Pengobatan ulang TB pada anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali dengan gejala
TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan
dengan cara pemeriksaan dahak atau sistem scoring. Evaluasi dengan sistem scoring
harus lebih cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak
menunjukan hasil posif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus kambuh. Pada pasien

19
TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak dianjurkan untuk dilakukan uji
teberkulin ulang.

E. Tata laksana efek samping obat


Efek samping obat TB lebih jarang terjadi pada anak dibandingkan dewasa.
Pemberian etmabutol untuk anak yang mengalami TB berat tidak banyak menimbulkan
gejala efek samping selama pemberiannya sesuai dengan rentang dosis yang
direkomendasikan.
Efek samping yang paling sering adalah hepatotoksisitas, yang dapat disebabkan
oleh isoniazid, rifampisin atau pirazinamid. Pemeriksaan kadar enzim hati tidak perlu
dilakukan secara rutin pada anak yang akan memulai pengobatan TB.
Pada keadaan peningkatan enzim hati ringan tanpa gejala klinis, bukan merupakan
indikasi penghentian terapi obat anti TB. Jika timbul gejala hepatomegali atau ikterus
harus segera dilakukan pengukuran kadar enzim hati dan jika perlu penghentian obat TB.
Penapisan ke arah penyebba hepatitis lain harus dilakukan. Obat TB diberikan kembali
jika fungsi hati kembali normal, diberikan dengan dosis yang lebih kecil yang masih
masuk dalam rentang terapi, dengan tetap memonitor kadar enzim hati. Konsultasi ke ahli
hepatologi diperlukan untuk tatalaksana lebih lanjut.

PENCEGAHAN
1. Vaksinasi BCG pada anak

Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin) adalah vaksin hidup yang dilemahkan yang
berasal dari Mycobacterium bovis. Pemberian vaksinasi BCG berdasarkan Program
Pengembangan Imunisasi diberikan pada bayi 0-2 bulan. Pemberian vaksin BCG pada
bayi >2 bulan harus didahului dengan uji tuberkulin. Secara umum perlindungan vaksin
BCG efektif untuk mencegah terjadinya TB berat seperti TB milier dan TB meningitis
yang sering didapatkan pada usia muda.

2. Pengobatan Pencegahan dengan Isoniazid

Pengobatan pencegahan dengan Isoniazid (PP INH) adalah pengobatan yang diberikan
kepada kontak yang terbukti tidak sakit TB. Tujuannya adalah untuk menurunkan beban
TB pada anak. Sekitar 50-60% anak yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB dan kira- kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak balita dengan infeksi HIV berisiko tinggi
menjadi TB berat.

20
Indikasi pemberian PP INH

Obat dan dosis


• Dosis PP INH 10 mg/kg BB (maks 300 mg/hari).
• Obat dikonsumsi satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama dan saat perut
kosong.
• Lama pemberian 6 bulan (1 bulan = 28 hari pengobatan), dengan catatan bila
keadaan klinis anak baik. Bila dalam follow up timbul gejala TB, lakukan
pemeriksaan untuk penegakan diagnosis TB. Jika anak terbukti sakit TB, PP INH
dihentikan dan berikan OAT.
• Dosis obat disesuaikan dengan kenaikan BB setiap bulan
• Pada pasien dengan gizi buruk dan infeksi HIV, diberikan Vitamin B6 10 mg
untuk dosis INH ≤200 mg/hari

21
STRATEGI DOTS

Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia bekerjasama dengan badan Kesehatan


Dunia (WHO), melaksanakan suatu evaluasi bersama ("WHO-Indonesia Joint
Evaluation") yang menghasilkan rekomendasi Perlunya segera dilakukan perubahan
mendasar pada strategi penanggulangan TB di Indonesia, yang kemudian disebut sebagai
"STRATEGI DOTS" Sejak itu dimulailah era baru pemberantasan TB di Indonesia.
Istilah DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) dapat diartikan sebagai
pengawasan langsung menelan obat jangka pendek. setiap hari oleh Pengawas Menelan
Obat (PMO). Tujuannya mencapai angka kesembuhan yang tinggi, mencegah putus
berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi.
Sebelum pengobatan pertama kali dimulai DOTS harus dijelaskan kepada pasien
tentang cara dan manfaatnya. Seorang PMO harus ditentukan dan dihadirkan di poliklinik
untuk diberi penerangan tentang DOTS dan tugas-tugasnya. PMO haruslah seseorang
yang mampu mernbantu pasien sampai sembuh selama 6 bulan dan sebaiknya merupakan
anggota keluarga pasien yang diseganinya. Ada 5 kunci utama dalam strategi DOTS
yaitu:
1. Komitmen
2. Diagnosa yang benar dan baik
3. Ketersediaan dan lancarnya distribusi obat
4. Pengawasan penderita menelan obat
5. Pencatatan dan pelaporan penderita dengan sistem kohort
Hasil evaluasi pada tahun 1998 menggambarkan bahwa cakupan penemuan
penderita baru mencapai 9,8% dengan angka keberhasilan mencapai 89%, sehingga
WHO menggolongkan kita sebagai negara dengan penyelenggara program yang baik
tetapi ekspansi sangat lambat. Kajian data ini mendapatkan dari Puskesmas pelaksana
program DOTS yang baru mencapai lebih kurang 40% dari 7000 Puskesmas dan Rumah
Sakit yang ada.

22
REFERENSI

1. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan PenyehatanLingkungan.


Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2016
2. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan: Gerakan Terpadu
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Disampaikan pada Seminar Sehari TB
Paru Dalam rangka Peringatan Hari TB Sedunia ke 117, Jakarta, Mei 1999.
3. UKK Respirologi PP IDAI. Pedoman NasionalTuberkulosis pada Anak.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2003.Rahajoe NN, Setyanto DB. Patogenesis dan
perjalanan alamiah. Dalam: Rahajoe NN, Supriyanto B, Setyanto DB,
penyunting. Buku ajar respirologi anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;
2008. h. 169 – 177

23

Anda mungkin juga menyukai