Anda di halaman 1dari 30

Kewarganegaraan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis finansial Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia


melemah dan semakin besarnya ketidak puasan masyarakat Indonesia
terhadap pemerintahan pimpinan Soeharto saat itu menyebabkan terjadinya
demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di
berbagai wilayah Indonesia. Hal ini menjadi tolak awal lahirnya sistem
reformasi di Indonesia yang diawali oleh pemerintahan BJ.Habibie.
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa sejak bulan Februari sampai Mei 1998
dan gelombang kerusuhan di Jakarta, khususnya pada 14-15 Mei yang
memaksa mundurnya Soeharto dari kursi kepresidenan, telah merintis sebuah
proses dari yang semula hanya setengah keterbukaan menuju revolusi
demokratik sepenuh-penuhnya.

Pemerintahan Soeharto semakin disorot setelah Tragedi Trisakti


pada 12 Mei 1998 yang kemudian memicu Kerusuhan Mei 1998 sehari
setelahnya. Gerakan mahasiswa pun meluas hampir diseluruh Indonesia. Di
bawah tekanan yang besar dari dalam maupun luar negeri, Soeharto akhirnya
memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Pada tanggal 21 Mei
setelah Soeharto mengundurkan diri, akhirnya BJ.Habibie diangkat menjadi
presiden menggantikan Soeharto saat itu. Terjadi perdebatan tentang proses
transisi ini. Namun menurut Yusril Ihza Mahendra bahwa proses pengalihan
kekuasaan tersebut adalah sah dan konstitusional. Sehingga pada saat itu juga
pemerintahan Indonesia dikatakan dalam era reformasi.

Pada tanggal 22 Mei 1999, BJ.Habibie mengumumkan susunan


”Kabinet Reformasi”. Masa pemerintahan Habibie tersebut ditandai dengan
dimulainya kerjasama dengan Dana Moneter Internasional untuk membantu

1
Kewarganegaraan

dalam proses pemulihan ekonomi. Selain itu, Habibie juga melonggarkan


pengawasan terhadap media massa dan kebebasan berekspresi. Kejadian
penting dalam masa pemerintahan Habibie adalah keputusannya untuk
mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir
dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999.
Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga hingga
kini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa
kelam dalam sejarah Indonesia.

Dalam hari-hari sejak kemunduran Soeharto, kemapanan politik


Orde Baru-nya Soeharto terpaksa bekerja keras untuk memastikan agar apa
yang namanya ”reformasi” tetap berada di bawah kendali mereka.
Pemerintahan Habibie dan kepemimpinan parlementer Golkar yang didukung
ABRI selalu berupaya dalam berbagai kesempatan untuk menjauhkan inisiatif
reformasi tersebut dari tangan oposisi demokratik, terutama oposisi
mahasiswa. Sementara kepemimpinan Orde Baru berupaya untuk membatasi
dan memperoleh kembali kontrol atas proses reformasi, maka kekuatan-
kekuatan elit oposisi pun ternyata berusaha keras agar masyarakat mau
menerima ”reformasi” di bawah pemerintahan Habibie. Oleh karena itu dalam
hal ini perlu dikaji lebih lanjut mengenai pelaksanaan unsur-unsur demokrasi
pada era BJ.Habibie ini.

1.2 Perumusan Masalah


Masalah-masalah yang akan dikaji dalam hal ini menyangkut
semua aspek pelaksanaan unsur-unsur demokrasi pada masa pemerintahan
BJ.Habibie. Dalam hal ini soko guru/tiang utama yang dianggap penting
dalam demokrasi lebih dititik beratkan pada:
a.) Pemilihan Umum tahun 1999,
b.) Partai politik yang berdiri pada era pemerintahan BJ.Habibie,

2
Kewarganegaraan

c.) Pembagian 3 cabang kekuasaan yang merupakan wujud dari


kedaulatan rakyat,
d.) Adanya politik oposisi yang menanggapi rejim Habibie, serta
e.) Pengambilan keputusan melalui voting

3
Kewarganegaraan

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Demokrasi

Demokrasi ialah suatu bentuk kerajaan dimana kuasa menggubah


undang-undang dan struktur pemerintahan adalah ditentukan oleh rakyat. Dalam
sistem demokrasi, undang-undang diubah bersama oleh rakyat atau wakil yang
dipilih oleh rakyat. Sebuah negara atau kerajaan yang mengamalkan sistem
demokrasi adalah dipanggil negara atau kerajaaan yang demokratik.

Perkataan ini berasal dari Yunani democratos dari demos bermaksud


"rakyat", ditambah pula dengan cratos bermaksud "memerintah", dengan kata
hubung yang memberi maksud "Diperintah oleh Rakyat". Pengertian ini
kadangkala digunakan untuk mengukur sejauh mana pengaruh rakyat diatas
kerajaannya. Demokrasi secara ekstrim boleh dilihat dalam sistem kerajaan seperti
anarkisme dan komunisme (menurut teori Karl Marx ia merupakan peringkat
terakhir pembangunan sosial dimana demokrasi adalah diamalkan secara langsung
, dan tiada kerajaan yang bebas dari kehendak rakyat).

Demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan modern adalah hasil


dari evolusi selama ribuan tahun dan mengalami berbagai macam penyesuaian.
Demokrasi representatif seperti yang digunakan di Indonesia merupakan sebuah
cara untuk mendelegasikan proses pengambilan keputusan dari rakyat ke tangan
pemerintah. Pemaknaan demokrasi sebatas analisis terminologi telah membawa
konsep demokrasi ke tingkat pemahaman yang paling rendah dan kesimpulan
bahwa demokrasi itu mustahil dilakukan adalah akibat simplifikasi yang
berlebihan terhadap konsep demokrasi itu sendiri.

Demokrasi modern mempunyai sifat-sifat dengan institusi-institusi


berikut:

4
Kewarganegaraan

a.) Perlembagaan yang mengadakan kuasa dan jalannya operasi


formal pemerintahan, baik secara tulisan, secara norma atau
gabungan kedua-duanya. Lazimnya Perlembagaan akan memasuki
doktrin pembahagian kuasa untuk memastikan seseorang itu tidak
diberi lebih dari satu kuasa,
b.) Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat, yang
dikelolakan secara bebas dan adil,
c.) Rakyat diberi hak memilih,
d.) Kebebasan bersuara (mengeluarkan pendapat, berpolitik dan
sebagainya),
e.) Kebebasan yang besar dan akses kepada media lain
f.) Kebebasan persatuan
g.) Semua orang dalam masyarakat menikmati hak yang sama dari
segi undang-undang. Salah satu pra-syarat demokrasi ialah
wujudnya Aturan Undang-Undang Rule of Law
h.) Rakyat yang berpendidikan dan berpengetahuan tentang hak asasi
manusia dan tanggungjawab fisik

Yang penting adalah bahwa sistem demokrasi harus menjamin tidak


terjadinya konsensus tunggal di dalam pengaturan kekuasaan. Inilah kondisi yang
disebut sebagai overlapping consensus, yang akan menjamin bahwa pluralitas
politik hanya akan berlangsung berdasarkan nilai-nilai politik konstitusional, dan
bukan berdasarkan suatu pandangan transendental tentang tujuan hidup manusia
(Rawls 1999: 421-448).

Dari perspektif teori elite politik, Mannheim (1936) mengatakan


bahwa pembentukan kebijakan sebetulnya ada di tangan para elite, tetapi hal ini
bukan berarti bahwa masyarakat tersebut tidak demokratis. Dikatakan demikian
karena dalam demokrasi representatif, elite pemerintah merupakan representasi
dari pilihan rakyat yang telah terlegitimasi melalui konstitusi. Yang harus
dicermati di sini adalah apakah rakyat telah menyadari aspirasi politiknya
merupakan yang terbaik bagi dirinya. Kita tidak akan mampu mencapai sebuah

5
Kewarganegaraan

otonomi demokrasi, yang oleh Rustow (1970) disebut sebagai kemandirian sistem
politik jika konstituen (rakyat) masih immature dalam berpolitik.

Sebelum membicarakan lebih jauh tentang demokrasi, perlu kiranya


kita menjernihkan pemahaman dan menetapkan suatu kerangka yang benar dalam
memaknai suatu istilah. Ini penting agar kita tidak terjebak oleh anakronisme,
yaitu pembacaan atas sebuah pemikiran dengan mengambil tafsiran-tafsiran yang
berasal dari luar konteks historisnya (Ahmad Baso, 1999). Karena dari kesalahan
pada hal ini bisa melahirkan pemahaman tentang demokrasi yang destruktif, yang
tentu berpengaruh buat kita dalam memberikan apresiasi yang obyektif. Apalagi
memang demokrasi sebagai sebuah idiom memang memiliki nilai sosial historis
dan makna terminologi tertentu.

Dalam negara demokrasi, rakyatlah yang berdaulat, artinya merekalah


yang memiliki suatu kemauan (Rousseau; peletak teori kedaulatan rakyat).
Aktualisasi kehendak tersebut dapat dilihat dari kebebasannya dalam membuat
hukum dan aturan yang diterapkan ditengah masyarakat. Rakyat dapat mengubah
sistem ekonomi, politik, budaya, sosial, dan apapun yang sesuai dengan
kehendaknya. Rakyat pula yang berhak untuk membuat undang-undang dan UUD
sebagai wujud keinginannya. Pemikiran mendasar yang lain yaitu bentuk trias
politica yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu
(1689-1755), konsep ini membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu kekuasaan
legislatif yang membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif yang
melaksanakan, dan kekuasaan yudikatif yang berhak mengadili atas pelanggaran
undang-undang. Untuk lebih menjernihkan lagi, maka perlu ditambahkan
beberapa substansi mendasar dari demokrasi, diantaranya: Konsep pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem demokrasi, kebenaran
adalah yang didukung oleh suara terbanyak, baik secara mufakat atau voting.

Rasionalitas adalah tema yang amat penting bagi demokrasi. Bahwa


demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat sosio-ekonomi, sudah umum
diketahui. Misalnya, demokrasi membutuhkan kelas menengah (agar rakyat tidak

6
Kewarganegaraan

tergantung secara ekonomi pada negara), demokrasi membutuhkan kebudayaan


terbuka (agar perbedaan dihormati dan perkembangan dihargai).

Demokrasi memang hanya dapat bekerja pada suhu civilitas tertentu.


Dengan menghitung variabel-variabel itu bahkan dapat disusun semacam “peta
kemungkinan” dan “peluang sejarah” bagi suatu negara untuk dapat menjadi
demokratis. Tetapi satu hal yang jarang ditajamkan adalah bahwa demokrasi
sesungguhnya juga sangat mengandalkan bekerjanya rasionalitas.

2.2 Voting

Kadang kala kita sering dihadapkan dengan berbagai masalah yang


harus segera diselesaikan dengan cepat, tepat dan efisien tanpa harus menghadapi
rasa tidak puas dari pihak lain yang bertentangan. Metode yang digunakan dapat
bermacam-macam dari teknik yang mudah hingga yang sulit dan
membingungkan, diantaranya adalah voting.

Voting secara terminologi diartikan sebagai pemilihan pemenang dari


kandidat-kandidat yang ada oleh orang-orang yang memiliki hak ikut serta dalam
voting. Yang memiliki hak suara voting memilih kandidat yang dijagokan, dan
hasilnya dihitung. Kandidat yang mendapat suara voting tertinggi dialah yang
layak manjadi pemenangnya. Contoh : pemilu, pilkada, memilih ketua kelas, dll.

Sedangkan secara etimologi voting merupakan salah satu cara


pengambilan keputusan apabila kata mufakat tidak diperoleh dalam suatu
musyawarah.

2.3 Politik Oposisi

Dari sudut pandang etika demokrasi, politik oposisi adalah


kegiatan parlementarian yang paling terhormat. Norma politik oposisi
menempati kedudukan tertinggi dalam tangga etika demokrasi karena melalui
norma itulah demokrasi dilindungi dari ancaman mayoritarianisme. Tendensi

7
Kewarganegaraan

monopoli kebenaran berdasarkan prinsip bahwa pemenang pemilu


menentukan seluruh kebijakan politik negara ( the winner takes all ) dalam
politik mayoritarianisme, dapat dikendalikan melalui prinsip falibilisme
(fallibilism) di dalam etika demokrasi. Prinsip itu akan meyakinkan kita
bahwa perwakilan politik tidak identik dengan penyerahan kedaulatan rakyat.
Perwakilan politik itu temporer sifatnya, sedangkan kedaulatan rakyat itu
permanen adanya. Oleh karena itu pemberian suara melalui Pemilu tidak
identik dengan penyerahan kedaulatan.

Bahkan lebih dari itu, prinsip falibilisme hendak memastikan


bahwa demokrasi justru bertumpu pada pandangan bahwa kesalahan dan
penyimpangan merupakan kemungkinan tertinggi dalam praktek kekuasaan,
dan oleh karena itu kritik dan oposisi harus menjadi permanen di dalam
kehidupan demokrasi. Falibilisme adalah filsafat yang mau mencegah
pemutlakan kebenaran dan kekuasaan, dengan cara memastikan bahwa
manusia dan kekuasaan adalah suatu potensi kesalahan. Oleh karena itu, klaim
kebenaran dan kekuasaan harus setiap saat terbuka untuk diuji dan dinyatakan
salah. Demokrasi sangat bertumpu pada prinsip itu.

Politik oposisi adalah nilai yang melekat di dalam konsep


demokrasi itu sendiri. Bila demokrasi dipahami sebagai wilayah transaksi
politik yang sekuler, maka dengan sendirinya setiap hasil transaksi terbuka
untuk dipersoalkan ulang. Politik oposisi dimaksudkan untuk menjamin
demokrasi bekerja di wilayah sekuler, dan memastikan bahwa monopoli
kebenaran, atas alasan apapun, tidak boleh terjadi. Itulah sebabnya tugas
terpenting dari politik oposisi adalah menjaga netralitas ruang publik, dengan
cara menyediakan alternatif-alternatif pandangan untuk diuji secara rasional
berdasarkan kekuatan argumentasi. Sebaliknya, sistem politik yang
dikendalikan oleh ideologi-ideologi yang doktriner, tidak mengijinkan
persaingan argumentasi, dan dengan begitu politik oposisi tidak
dimungkinkan. Perlu segera dijernihkan bahwa istilah sekuler mengacu pada
kegiatan politik yang “netral agama” dan bukan “anti agama”, sebagaimana

8
Kewarganegaraan

sering disalahtafsirkan. Di dalam sistem demokrasi tentu saja terbuka peluang


yang sama bagi agama dan identitas primordial lainnya untuk terlibat dalam
politik dan bertransaksi secara terbuka di dalam upaya memperoleh dukungan
melalui Pemilu.

Berbicara tentang partai oposisi (the party in opposition) tidak


bisa lepas dari kultur-sistem politik, terutama sistem-kultur kepartaian (party-
system) yang dianut (berlaku) di suatu negara. Yang hakiki dalam adanya
partai oposisi, adalah adanya pengakuan bahwa tidak ada manusia yang
sempurna. Terutama tentang power (kekuasaan) yang melibatkan nasib bangsa
(masyarakat), itu perlu kultur-sistem checks & balances. "Power tends to
corrupt -- absolute power corrupts absolutely",( Lord Acton). "History is past
politics -- present politics future history" ,(Sir John Seely). Ada dua
kemungkinan kepemimpinan politik dalam sistem politik yang tidak mengakui
(mengenal) adanya partai oposisi; "Ratu Adil", atau diktator-tiran. Checks &
balances, itulah salah satu substansi demokrasi modern

2.4 Pemilihan Umum


Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
ayat 1 UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum merupakan sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Sejak reformasi tahun 1998,
Indonesia telah melakukan pemilu pada tahun 1999, yang telah berjalan sesuai
dengan tahapan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang No.3 tahun 1999
dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pemilu tidak hanya ditujukan
untuk memilih kepala pemerintahan dan anggota lembaga perwakilan rakyat,
tetapi juga untuk menentukan dan mengisi kedudukan-kedudukan dalam
beberapa lembaga negara dan pemerintah.
Sebagai peristiwa penting yang penyelenggaraannya diserahkan
kepada lembaga khusus yang bertanggung jawab untuk itu yaitu KPU, Pemilu

9
Kewarganegaraan

juga merupakan tanggung jawab seluruh komponen bangsa, sehingga hasil


pemilu itu ditujukan untuk kehidupan kenegaraan yang lebih baik. Sebagai
lembaga penyelenggara pemilu, KPU tidak dapat melaksanakan tugasnya
tanpa dukungan kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan ini harus
dibangun pada awalnya secara internal dengan menempatkan orang-orang
yang mempunyai integritas dan kedewasaan politik yang matang. Selain itu,
kepercayaan ditumbuhkan dengan melibatkan peran serta masyarakat baik
dalam proses pemilu, maupun melalui pengawasan masyarakat terhadap
pelaksanaan tugas KPU. Peran serta tersebut tidak hanya ketika masyarakat
memberikan suara, tetapi juga terhadap proses itu sendiri yang diperlukan
untuk memastikan pelaksanaan pemilu yang demokratis, karena KPU
memiliki kewenangan yang luas baik yang diberikan oleh UU Pemilu maupun
oleh undang-undang lain. Oleh sebab itu pengetahuan kesadaran dan
pengetahuan masyarakat perlu mendapat perhatian lebih, dan pendidikan
politik masyarakat sangat perlu dilakukan mengingat keterbatasan pemahaman
maupun informasi yang dimiliki masyarakat.
Pasal 24 Ayat 1 UU No.3 Tahun 1999 menetapkan dalam bahwa
“Dalam rangka mengawasi penyelenggaraan Pemilihan Umum dibentuk
Panitia Pengawas”. Tugas dan kewajiban Panitia Pengawas diatur dalam Pasal
26, yaitu:
(a). mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilihan Umum
(b). menyelesaikan sengketa atas perselisihan yang timbul dalam
penyelenggaraan Pemilihan Umum, dan
(c). menindaklanjuti temuan, sengketa, dan perselisihan yang tidak
dapat diselesaikan untuk dilaporkan kepada instansi penegak
hukum. Akan tetapi, dalam ketentuan mengenai Pengawasan
dan Pemantauan Pemilihan Umum tidak disebutkan peran serta
masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengawasan dan
pemantauan.
UU No.12 Tahun 2003 masih menetapkan hal yang sama dalam hal
lembaga yang melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap Pemilu, yaitu

10
Kewarganegaraan

Panitia Pengawas. Tugas dan kewenangan Panitia Pengawas diatur dalam


Pasal 122, yaitu:
(a) mengawasi semua tahapan penyelenggaraan Pemilu
(b) menerima laporan pelanggaran peraturan perundang-undangan
Pemilu,
(c) menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan
Pemilu, dan
(d) meneruskan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan
Pemilu.
Dalam hal menerima laporan terjadinya pelanggaran Pemilu,
sebagaimana dalam Pasal 127 Ayat 2, Panwas dapat menerima laporan dari:
(a) warga yang mempunyai hak pilih, (b) pemantau Pemilu, dan (c) peserta
Pemilu. Undang-undang Pemilu baru ini telah menyebutkan, bahwa
masyarakat dapat berperan serta dalam Pemilu dengan menyampaikan laporan
atau pengaduan kepada Panwas dalam hal terjadinya pelanggaran Pemilu.
Akan tetapi masyarakat yang dapat menyampaikan laporannya pun dibatasi
hanya pada masyarakat yang mempunyai hak pilih.

2.5 Era Reformasi

Reformasi adalah perubahan bertahap melalui perundang-


undangan, artinya melalui proses legislatif yang konstitusional-demokratis.
Reformasi (Latin: reformare) berarti: (1) Perbaikan melalui perubahan bentuk
atau dengan menghilangkan yang salah-salah, (2) Mengakhiri ketidakbaikan
dengan menggunakan paradigma, cara, metoda baru yang baik, (3) Pembaruan
instrumental-prosedural (nonprinsipal). Dalam proses kehidupan bangsa
(masyarakat) yang bergerak maju dan meningkat; kalau reformasi yang
bertahap, tertib, damai, demokratis, konstitusional sangat diperlukan.

11
Kewarganegaraan

BAB III
PEMAPARAN & PEMBAHASAN

3.1 Pemilihan Umum 1999


Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada
tanggal 21 Mei 1998 jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas desakan publik, Pemilu yang baru atau
dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-hasil Pemilu 1997 segera
diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999, atau
13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian alasan
diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan
dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-
lembaga lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak
dipercaya. Hal ini kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang
Umum MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden yang baru.
Ini berarti bahwa dengan pemilu dipercepat, yang terjadi bukan
hanya bakal digantinya keanggotaan DPR dan MPR sebelum selesai masa
kerjanya, tetapi Presiden Habibie sendiri memangkas masa jabatannya yang
seharusnya berlangsung sampai tahun 2003, suatu kebijakan dari seorang
presiden yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu,
pemerintah mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan
RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draft
UU ini disiapkan oleh sebuah tim Depdagri, yang disebut Tim 7, yang diketuai
oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid (Rektor IIP Depdagri, Jakarta).
Setelah RUU disetujui DPR dan disahkan menjadi UU, presiden
membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang anggota-anggotanya
adalah wakil dari partai politik dan wakil dari pemerintah. Satu hal yang
secara sangat menonjol membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu
sebelumnya sejak 1971 adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali
peserta. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai

12
Kewarganegaraan

politik. Peserta Pemilu kali ini adalah 48 partai. Ini sudah jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah partai yang ada dan terdaftar di Departemen
Kehakiman dan HAM, yakni 141 partai.
Dalam sejarah Indonesia tercatat, bahwa setelah pemerintahan
Perdana Menteri Burhanuddin Harahap, pemerintahan Reformasi inilah yang
mampu menyelenggarakan pemilu lebih cepat setelah proses alih kekuasaan.
Burhanuddin Harahap berhasil menyelenggarakan pemilu hanya sebulan
setelah menjadi Perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo, meski
persiapan-persiapannya sudah dijalankan juga oleh pemerintahan sebelum-
nya. Habibie menyelenggarakan pemilu setelah 13 bulan sejak ia naik ke
kekuasaan, meski persoalan yang dihadapi Indonesia bukan hanya krisis
politik, tetapi yang lebih parah adalah krisis ekonomi, sosial dan penegakan
hukum serta tekanan internasional.
Pemilihan Umum Indonesia 1999 diselenggarakan oleh
pemerintahan BJ.Habibie setelah lengsernya presiden Soeharto, setahun
sebelumnya. Pemilu 1999, merupakan Pemilu pertama setelah runtuhnya orde
baru, dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan
Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik.
Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Kebangkitan
Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.Walaupun Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar 35
persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu, yaitu
Megawati Soekarnoputri, melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu
Abdurrahman Wahid (Pada saat itu, Megawati hanya menjadi calon presiden).
Hal ini dimungkinkan untuk terjadi karena Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk
memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan
wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.

Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan


pemungutan suara pada Pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni

13
Kewarganegaraan

tanggal 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan


banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 bisa terlaksana dengan
damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya di beberapa Daerah Tingkat
II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur
suara satu pekan. Itu pun karena adanya keterlambatan atas datangnya
perlengkapan pemungutan suara.

Tetapi tidak seperti pada pemungutan suara yang berjalan lancar,


tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada Pemilu kali ini sempat
menghadapi hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik
menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih Pemilu
belum jurdil (jujur dan adil). Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam
sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut:

Partai yang tidak menandatangani hasil pemilu 1999:

Nomor Nama Partai


1. Partai Keadilan
2. PNU
3. PBI
4. PDI
5. Masyumi
6. PNI Supeni
7. Krisna
8. Partai KAMI
9. PKD
10. PAY
11. Partai MKGR
12. PIB
13. Partai SUNI
14. PNBI
15. PUDI
16. PBN
17. PKM
18. PND
19 PADI
20. PRD
21. PPI

14
Kewarganegaraan

22. PID
23. Murba
24. SPSI
25. PUMI
26 PSP
27. PARI

Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan


pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat dari KPU tersebut
kemudian diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Panwaslu
diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan wakil-wakil
partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan
rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai tidak
menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden
kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru
diketahui masyararakat tanggal 26 Juli 1999.

Setelah disahkan oleh presiden, PPI (Panitia Pemilihan Indonesia)


langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah.
Rapat pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang
ditetapkan Kelompok Kerja PPI, khususnya pembagian kursi sisa, ditolak oleh
kelompok partai Islam yang melakukan stembus accoord. Hasil Kelompok
Kerja PPI menunjukkan, partai Islam yang melakukan stembus accoord hanya
mendapatkan 40 kursi. Sementara Kelompok stembus accoord 8 partai Islam
menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada


KPU. Di KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting
dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan
memperhatikan suara stembus accoord, sedangkan opsi kedua pembagian
tanpa stembus accoord. Hanya 12 suara yang mendukung opsi pertama,
sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out.

15
Kewarganegaraan

Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan tanpa memperhitungkan lagi


stembus accoord.

Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan


pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1 September 1999. Hasil
pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi
DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.

Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara


atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh
23.741.758 suara atau 22,44 persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau
kehilangan 205 kursi dibanding Pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara
atau 12,61 persen, mendapatkan 51 kursi. PPP dengan 11.329.905 suara atau
10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding
Pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12 persen, mendapatkan 34
kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot
tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau kehilangan 9
kursi dibanding Pemilu 1997.
Berdasarkan laporan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Tahun
1999, telah diidentifikasi beberapa penyimpangan yang timbul, yaitu: yang
bersifat administratif, yang menyangkut tata cara penyelenggaraan Pemilu,
yang berupa tindak pidana Pemilu, penyimpangan yang menyangkut money
politics, dan yang bersangkutan dengan kenetralan birokrasi dan pejabat
pemerintah. Berbagai penyelewengan yang timbul dalam Pemilu 1999 cukup
memberikan suatu pelajaran, bahwa peran serta masyarakat sangat diperlukan
sebagai bentuk pengawasan dan kontrol terhadap Pemilu.
Pada era sesudah kejatuhan rezim Orde Baru, pemilu bisa berjalan
dengan lebih terbuka, adil, dan bebas. Pemilu 1999 menunjukkan ciri-ciri
yang mirip dengan Pemilu 1955, yaitu diikuti oleh banyak kontestan, namun
hanya segelintir saja yang mampu meraih suara dan kursi dalam jumlah
signifikan di DPR. Hasil pemilu ini dinilai cukup mampu untuk
mengkonsolidasikan institusi-institusi demokrasi di Indonesia. Sejak 1999

16
Kewarganegaraan

telah dilakukan empat kali amandemen UUD 1945 yang berupaya


menampilkan check and balances antar lembaga-lembaga kenegaraan sebagai
ciri utama dari sistem politik kita. Selain itu, setidaknya secara legal-formal,
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, hak-hak sipil dan politik telah
termaktub dalam konstitusi kita.
Namun dalam sebuah sistem terbuka sangat lazim bila terdapat
pengharapan yang kunjung meningkat terus menerus, dan bukan merupakan
keanehan bila sistem pemerintahan transisi, bahkan dalam berbagai kasus di
dunia, tidak mampu berlari lebih cepat untuk memenuhi pengharapan tersebut.
Sehingga pemerintahan era Reformasi banyak dipandang gagal dalam
memenuhi tujuan-tujuan awalnya. Pandangan ini bukan hanya ditujukan pada
rendahnya pencapaian pemerintah dalam memenuhi hajat hidup orang banyak
setelah didera oleh krisis ekonomi pada 1997/1998, namun juga berlaku bagi
kegagalan negara untuk menghargai pluralisme bagi seluruh warganya. Yang
sangat kelihatan adalah kelemahan pemerintah pada era ini dalam menerapkan
prinsip ”hukum sebagai panglima” pada berbagai aspek. Tidak kunjung
berkurangnya kasus-kasus korupsi dan penyalahgunaan wewenang menjadi
salah satu indikator nyata dari kelemahan ini.
Pemberdayaan masyarakat untuk turut berperan serta dalam proses
demokratisasi merupakan hal penting yang dapat dilakukan dengan
memberikan pendidikan politik. Peran organisasi non pemerintah (Ornop)
mempunyai arti strategis dalam hal itu untuk mendorong perilaku masyarakat
yang konstruktif dan efektif untuk mewujudkan peran mereka dalam Pemilu
yang demokratis.
Dengan adanya pendidikan politik masyarakat maka perwujudan
Pemilu sebagai pesta demokrasi rakyat akan menjadi kenyataan. Tak dapat
dipungkiri bahwa selama ini Pemilu lebih cenderung menjadi pesta dari
politisi dan partai politik dalam mewujudkan cita-cita mereka untuk berkuasa
dalam pemerintahan mendatang. Pola seperti ini tentu membutuhkan waktu
untuk mengubah paradigma yang selama ini berkembang. Pemerintah sampai
sejauh ini tidak menununjukan langkah-langkah yang secara signifikan dapat

17
Kewarganegaraan

memberdayakan masyarakat pemilih melalui pendidikan politik sebagai


pemilik dari pesta demokrasi yang sesungguhnya.
Menurut kesimpulan hasil Laporan Akhir dalam Indonesia Election
Media Monitoring 1999, informasi-informasi yang berkembang selama
Pemilu 1999 masih memiliki keberpihakan dan tidak netral. Ketersediaan
informasi yang akurat, jujur dan tidak memihak mengenai Pemilu, akan
membantu masyarakat melakukan pengawasan dan pemantauan.
Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap memakai
sistem proporsional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah
partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah
pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder.
Tetapi cara penetapan calon terpilih berbeda dengan Pemilu
sebelumnya, yakni dengan menentukan ranking perolehan suara suatu partai di
daerah pemilihan. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut pertama dalam
daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapatkan kursi,
maka kini calon terpillih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terba-nyak
dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Dengan demikian seseorang calon,
sebut saja si A, meski berada di urutan terbawah dari daftar calon, kalau dari
daerahnya partai mendapatkan suara terbesar, maka dialah yang terpilih.
Untuk cara penetapan calon terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah
Tingkat II ini sama dengan cara yang dipergunakan pada Pemilu 1971.

3.2 Sistem Partai Politik


Di masa reformasi, keran politik terbuka lebar, sehingga segala
pembatas terhadap prinsip kebebasan berserikat ditiadakan. Sesuai dengan
jaminan konstitusional mengenai prinsip kebebasan, semua orang diakui
berhak mendirikan partai politik, sehingga berkembang menjadi sistem politik
yang biasa dikenal dengan ‘multi-party system’. Untuk mengatur dan
mengarahkan agar kecenderungan dan nafsu orang untuk mendirikan partai
politik menjadi rasional, perlu diadakan pembatasan jumlah partai politik.
Apabila jumlah partai politik tidak dibatasi, maka jumlah yang terlalu banyak

18
Kewarganegaraan

akan menurunkan citra partai itu sendiri secara keseluruhan di mata rakyat.
Jika legitimasi lembaga kepartaian buruk di mata rakyat dan tidak percaya,
niscaya citra demokrasi di mata rakyat juga menjadi rusak. Akibatnya,
kepercayaan dan apresiasi publik terhadap ide demokrasi dapat mengalami
kemerosotan yang pada gilirannya dapat menjadi lahan subur bagi munculnya
otoriterisme ataupun totallitarianisme baru di masa depan.
Karena itu, demi demokrasi itu sendiri, jumlah partai mestilah
dibatasi. Akan tetapi pembatasannya haruslah bersifat obyektif dan alamiah.
Beberapa kemungkinan yang dapat diterapkan ialah (a) penerapan sistem
pemilihan umum yang menjamin rakyat dapat menentukan pilihannya secara
langsung dengan memilih ‘orang’ (bukan memilih tanda gambar partai)
seperti yang terdapat dalam sistem yang dikenal dengan ‘sistem distrik’.
Sistem ini dengan sendirinya akan mendorong terjadinya kerjasama, ’koalisi’
atau bahkan ‘merger’ antar partai politik, sehingga dalam jangka panjang
dapat mendorong penyederhanaan jumlah partai secara alamiah; (b) penetuan
adanya ‘electoral tresshold’ berdasarkan hasil perolehan dukungan suara dari
pemilihan umum sebelumnya. Dengan adanya pembatasan 2 persen, 3 persen,
ataupun 5 persen, maka dengan sendirinya, pada masa pemilihan umum
berikutnya, akan banyak partai politik yang membubarkan diri dengan
sendirnya; (c) kebijakan memberi bantuan kepada partai politik yang dapat
memancing dan mendorong minat orang mendirikan partai dengan harapan
dapat memperoleh dana bantuan dari pemerintah, bertentangan dengan
kebutuhan untuk mengendalikan jumlah partai politik, dan karena itu
sebaiknya dihentikan.
Pada pemerintahan presiden BJ.Habibie ini terdapat 48 partai politik
yang terdaftar sebagai peserta pemilu, yaitu:
1. Partai Indonesia Baru
2.Partai Kristen Nasional Indonesia
3. Partai Nasional Indonesia - Supeni
4. Partai Aliansi Demokrat Indonesia
5. Partai Kebangkitan Muslim Indonesia

19
Kewarganegaraan

6. Partai Ummat Islam


7. Partai Kebangkitan Ummat
8. Partai Masyumi Baru
9. Partai Persatuan Pembangunan
10. Partai Syarikat Islam Indonesia
11. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
12. Partai Abul Yatama
13. Partai Kebangsaan Merdeka
14. Partai Demokrasi Kasih Bangsa
15. Partai Amanat Nasional
16. Partai Rakyat Demokratik
17. Partai Syarikat Islam Indonesia 1905
18. Partai Katolik Demokrat
19. Partai Pilihan Rakyat
20. Partai Rakyat Indonesia
21. Partai Politik Islam Indonesia Masyumi
22. Partai Bulan Bintang
23. Partai Solidaritas Pekerja
24. Partai Keadilan
25. Partai Nahdlatul Ummat
26. Partai Nasional Indonesia - Front Marhaenis
27. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
28. Partai Republik
29. Partai Islam Demokrat
30. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen
31. Partai Musyawarah Rakyat Banyak
32. Partai Demokrasi Indonesia
33. Partai Golongan Karya
34. Partai Persatuan
35. Partai Kebangkitan Bangsa
36. Partai Uni Demokrasi Indonesia

20
Kewarganegaraan

37. Partai Buruh Nasional


38. Partai Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong
39. Partai Daulat Rakyat
40. Partai Cinta Damai
41. Partai Keadilan dan Persatuan
42. Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia
43. Partai Nasional Bangsa Indonesia
44. Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia
45. Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
46. Partai Nasional Demokrat
47. Partai Ummat Muslimin Indonesia
48. Partai Pekerja Indonesia

3.3 Pembagian Kekuasaan


Kedaulatan rakyat (democratice) Indonesia itu diselenggarakan secara
langsung dan melalui sistem perwakilan. Secara langsung, kedaulatan rakyat
itu diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang tercermin dalam Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Daerah; presiden dan wakil presiden ; dan kekuasaan
Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Dalam menentukan kebijakan pokok pemerintahan dan mengatur ketentuan -
ketentuan hukum berupa Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang (fungsi
Legislatif), serta dalam menjalankan fungsi pengawasan (fungsi kontrol)
terhadap jalannya pemerintahan, pelembagaan kedaulatan rakyat itu
disalurkan melalui sistem perwakilan. Yaitu melalui Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Di daerah-
daerah propinsi dan kabupaten/kota, pelembagaan kedaulatan rakyat itu juga
disalurkan melalui sistem perwakilan, yaitu melalui Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Prinsip kedaulatan yang berasal dari rakyat tersebut di atas selama ini
hanya diwujudkan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang merupakan

21
Kewarganegaraan

penjelmaan seluruh rakyat, pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, dan yang


diakui sebagai lembaga tertinggi negara dengan kekuasaan yang tidak terbatas.
Dari Majelis inilah, kekuasaan rakyat itu dibagi-bagikan secara vertikal ke
dalam lembaga-lembaga tinggi negara yang berada dibawahnya.
Oleh karena itu, prinsip yang dianut disebut sebagai prinsip pembagian
kekuasaan (distribution of power). Akan tetapi, dalam Undang-Undang dasar
hasil perubahan, prinsip kedaulatan rakyat tersebut ditentukan dibagikan
secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi
kekuasaan-kekuasaan yang ditetapkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara
yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip
‘checks and balaces’. Cabang kekuasaan legislatif tetap berada di Majelis
Permusyawaratan Rakyat, tetapi majelis ini terdiri dari dua lembaga
perwakilan yang sederajat dengan lembaga negara lainnya. Untuk melengkapi
pelaksanaan tugas-tugas pengawasan, disamping lembaga legislatif dibentuk
pula Badan Pemeriksa Keuangan. Cabang kekuasaan eksekutif berada
ditangan Presiden dan Wakil Presiden. Untuk memberikan nasehat dan saran
kepada Presiden dan Wakil Presiden, dibentuk pula Dewan Pertimbangan
Agung. Sedangkan cabang kekuasaan kehakiman dipegang oleh Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Majelis Permusyawaratan Rakyat tetap merupakan rumah penjelmaan
seluruh rakyat yang strukturnya dikembangkan dalam dua kamar, yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu,
prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah harus
dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan Perwakilan
Rakyat. Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar dapat
dijelmakan ke dalam Majelis Perusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua
pintu. Kedudukan Majelis Pemusyawaratan Rakyat yang terdiri dari dua
lembaga perwakilan itu itu adalah sederajad dengan Presiden dan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif itu sama-
sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip

22
Kewarganegaraan

‘Check and balances’. Dengan adanya prinsip ‘Check and balances’ ini, maka
kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi dan bahkan dikontrol dengan sesebaik-
baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara
negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan
dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan
ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.

3.4 Politik Oposisi yang Muncul pada Masa Pemerintahan Habibie


a.) Oposisi Loyal
Tokoh oposisi yang dimaksud disini adalah Amien Rais yang saat
itu menjabat sebagai Ketua Umum PP. Muhammadiyah. Dalam rangka
menindaklanjuti pertemuan pertama, pada saat Habibie sepakat untuk
menyebutkan pelaksanaan pemilu “sesegera mungkin”, Amien Rais
menyerukan kepada para mahasiswa dan masyarakat untuk menghentikan
demonstrasi-demonstrasi yang menolak Habibie. Namun demikian, setiap kali
terjadi kemunduran pada pelaksanaan reformasi oleh Habibie, Amien Rais
terpaksa menjadi kritis lagi dan selalu dengan seruan yang moderat dan
otoritas yang semakin merosot.
Tokoh oposisi loyal lainnya seperti mantan gubernur Jakarta, Ali
Sadikin, juga selalu plin-plan mengenai persoalan tahanan politik (tapol). Ali
Sadikin mengatakan bahwa hanya para tapol yang dituntut dan dipenjarakan
karena menghina Soeharto-lah yang harus dibebaskan.
Secara umum, oposisi loyal hanya memainkan peran yang sangat
terbatas dalam upaya menuntut dibebaskannya para tapol, atau pun untuk
mencabut status terlarang bagi parpol tertentu, misalnya PRD.
b.) Oposisi Militan
Selain upaya-upaya me-moderasi rakyat tersebut, bagaimanapun
juga tekanan sosial untuk tetap melakukan konfrontasi dengan keseluruhan
struktur politik Orde Baru terus berkembang.

23
Kewarganegaraan

Proses reformasi sekarang ini terjadi dalam konteks krisis ekonomi


dan sosial yang sangat mendalam. Harga barang-barang kebutuhan pokok
melonjak, obat-obatan semakin sulit didapat, dan PHK terus berlanjut.
Kerusuhan-kerusuhan kembali terjadi di Sumatra pada tanggal 27
Mei, dan di Sulawesi pada tanggal 28 Mei. Di Surabaya, sekitar 3000
mahasiswa menduduki salah satu gedung pemerintah selama tiga hari sejak
tanggal 26 Mei. Mereka menuntut segera diselenggarakan Sidang Istimewa
MPR. Baik rejim maupun oposisi loyal telah menyepakati syarat-syarat untuk
dicairkannya pinjaman dana dari IMF. Jika dana pinjaman tersebut dicairkan,
kejatuhan beberapa perusahaan besar di Indonesia mungkin bisa ditahan
sementara, namun penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai ke
tingkat negatif (minus) nampaknya mustahil untuk dicegah.
Dalam konteks ini, kebencian rakyat terhadap fakta adanya
kekayaan para pejabat Orde Baru yang bertumpuk-tumpuk adalah hal sentral
yang tak kenal kompromi. Telah terjadi demonstrasi-demonstrasi yang
menuntut agar Soeharto diadili, dan kekayaannnya diteliti. Dan tuntutan PRD
agar perusahaan-perusahaan milik kroni Soeharto dinasionalisasi kini juga
diangkat oleh kelompok-kelompok lain.
Karena khawatir tuntutan ini juga akan ditujukan kepada dirinya,
maka Habibie menyuruh saudara dan putranya untuk mengundurkan diri dari
posisi mereka baik di pemerintahan maupun di perusahaan-perusahaan yang
sebelumnya selalu mendatangkan keuntungan (profit) besar.
Sejak tanggal 20 Mei, demonstrasi-demonstrasi oleh sayap radikal
dari gerakan mahasiswa terus berlanjut. Di Solo pada tanggal 29 Mei, para
mahasiswa menduduki gedung DPRD dan demonstrasi-demonstrasi terus
terjadi di Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Lampung, Padang, dan Banda
Aceh. Terjadi tekanan yang semakin meningkat dari gerakan mahasiswa di
kota-kota tersebut kepada gerakan di Jakarta untuk kembali melakukan
mobilisasi massa menentang Habibie.

24
Kewarganegaraan

Pada tanggal 29 Mei, sekitar 400 mahasiswa kembali mendatangi


gedung DPR/MPR di Jakarta dan dihadang oleh tentara dan tank-tank. Para
mahasiswa itu berseru: ”Turunkan Habibie sekarang!”. Di hari yang sama,
para mahasiswa di Universitas Indonesia menggaungkan protes-protes baru,
dan di kampus-kampus lain di Jakarta, spanduk-spanduk dipasang dengan
bunyi tulisan: “Habibie adalah anak asuh Soeharto, reformasi belum selesai!”
Semua demonstrasi di kota-kota propinsi menuntut segera
diselenggarakannya Sidang Istimewa untuk menurunkan Habibie dan
membentuk suatu pemerintahan sementara (provisional) dengan tugas tunggal
untuk melaksanakan pemilu yang bebas dan adil.
Tuntutan untuk diadakannya reformasi total yang dipelopori oleh
kekuatan-kekuatan non-Orde Baru muncul sebagai tuntutan kunci sayap
radikal gerakan oposisi. Dengan adanya kenyataan para tokoh oposisi loyal
yang selalu plin-plan, sehingga mendukung rejim untuk bergerak lambat
dalam hal reformasi, maka penguatan sayap oposisi radikal akan menjadi
kunci untuk mengkonsolidasi hasil-hasil perjuangan gerakan massa yang telah
diraih, dan mencegah berbaliknya situasi (atau bahkan yang terburuk adalah
munculnya kembali Soeharto sebagai pemimpin rejim).

3.5 Pengambilan Keputusan dengan Voting


Pada hari Rabu 20 Oktober 1999, menjadi hari bersejarah yang
sangat dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia. Karena pada hari
tersebut Para Wakil Rakyat yang sedang bersidang di Gedung MPR-RI telah
mengelar Sidang Paripurna yang ke-13, berupa Pemilihan Presiden ke-4 RI
yang ditentukan melalui Pemilihan Suara dengan Sistem 'One man one vote'
(Voting Individual) Tertutup.

Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat


adalah ciri khas Indonesia. Tentunya cara ini bukanlah satu-satunya cara
mengambil keputusan secara kolektif. Sehingga terdapat cara voting, baik
independen (kita tidak bisa melihat pilihan orang lain) atau dependen (setiap

25
Kewarganegaraan

orang bisa melihat pilihan orang lain, sehingga pilihan seseorang bisa
terpengaruh pilihan orang lain).

Berdasarkan perkembangan dari hari-ke-hari, bahkan detik-per-


detik, dalam H-1 setidaknya terdapat ada 4 (empat) nama Calon Presiden yang
diunggulkan dalam Bursa Capres tersebut. Mereka adalah : [1] Megawati
Soekarnoputri (Lahir di Yogyakarta, 23 Januari 1947), [2] KH Abdulrachman
Wachid / Gus Dur (Lahir di Jombang, 4 Agustus 1940), [3] Prof Dr BJ
Habibie (Lahir di Pare-pare, 25 Juni 1936) dan at last but not least, calon
yang waktu itu diunggulkan [4] Dr Nurcholish Majid (Lahir di Jombang, 17
Maret 1939). Meskipun pada saat itu Habibie sudah ditolak oleh ke-355
Anggota MPR dalam Voting Penerimaan Pidato Pertanggungjawabannya
semalam (Rabu dini hari, 20/10/99).

Setiap cara pengambilan keputusan memiliki kelebihan dan


kekurangan tergantung pada jenis masalah yang dihadapi. Oleh karena itu kita
harus mengetahui dalam situatu seperti apa pengambilan keputusan dengan
cara voting independen, non-independen dan konsensus menjadi superior.

Pengambilan keputusan dengan metode voting ini masing-masing


menggunakan cara pengambilan keputusan yang berbeda, yaitu:

• Voting yang independen.

• Voting non-independen.

• Konsensus.

Voting dalam hal ini merupakan pemilihan pemenang dari kandidat-

kandidat yang ada oleh orang-orang yang memiliki hak ikut serta dalam

voting. Yang memiliki hak suara voting memilih kandidat yang dijagokan, dan

hasilnya dihitung. Kandidat yang mendapat suara voting tertinggi dialah yang

26
Kewarganegaraan

layak manjadi pemenangnya. Contoh : pemilu, pilkada, memilih ketua kelas,

dll.

27
Kewarganegaraan

BAB IV
KESIMPULAN & SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari makalah yang telah disusun diatas dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan unsur-unsur demokrasi pada masa kepemerintahan BJ.Habibie
merupakan titik awal yang memulai munculnya era reformasi dalam sejarah
pemerintahan di Indonesia.
a.) Pada era sesudah kejatuhan rezim Orde Baru, pemilu bisa berjalan dengan
lebih terbuka, adil, dan bebas. Satu hal yang secara sangat menonjol
membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971
adalah Pemilu 1999 ini diikuti oleh banyak sekali peserta yaitu sebanyak
48 parpol, namun hanya segelintir saja yang mampu meraih suara dan
kursi dalam jumlah signifikan di DPR.
b.) Di masa reformasi, keran politik terbuka lebar, sehingga segala pembatas
terhadap prinsip kebebasan berserikat ditiadakan.
c.) Kedaulatan rakyat diwujudkan dalam tiga cabang kekuasaan yang
tercermin dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; presiden dan wakil
presiden ; dan kekuasaan Kehakiman yang terdiri atas Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Ketiga cabang kekuasaan legislatif,
eksekutif, dan yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol
satu sama lain sesuai dengan prinsip ‘Check and balances’.
d.) Pada hari Rabu 20 Oktober 1999 para wakil rakyat yang sedang bersidang
di Gedung MPR-RI telah mengelar Sidang Paripurna yang ke-13, berupa
Pemilihan Presiden ke-4 RI yang ditentukan melalui Pemilihan Suara
dengan Sistem 'One man one vote' (Voting Individual) Tertutup.
e.) Tuntutan untuk diadakannya reformasi total yang dipelopori oleh kekuatan-
kekuatan non-Orde Baru muncul sebagai tuntutan kunci sayap radikal
gerakan oposisi.

28
Kewarganegaraan

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan menanggapi permasalahan tersebut adalah:
a.) Sebaiknya dalam sistem demokrasi di Indonesia ini pemberdayaan masyarakat
untuk turut berperan serta dalam proses demokratisasi merupakan hal penting
yang harus dilakukan dengan memberikan pendidikan politik. Peran
organisasi non pemerintah (Ornop) mempunyai arti strategis dalam hal itu
untuk mendorong perilaku masyarakat yang konstruktif dan efektif untuk
mewujudkan peran mereka dalam Pemilu yang demokratis.
b.) Selain itu, untuk mengatur dan mengarahkan agar kecenderungan dan
keinginan orang untuk mendirikan partai politik menjadi rasional, sehingga
perlu diadakan pembatasan jumlah partai politik. Akan tetapi pembatasannya
haruslah bersifat obyektif dan alamiah.
c.) Prinsip perwakilan daerah dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
seharusnya dibedakan hakikatnya dari prinsip perwakilan rakyat dalam Dewan
Perwakilan Rakyat. Maksudnya ialah agar seluruh aspirasi rakyat benar-benar
dapat dijelmakan ke dalam Majelis Perusyawaratan Rakyat yang terdiri dari
dua pintu, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
d.) Dalam mengambil keputusan sebaiknya kita harus mengetahui terlebih dahulu
dalam situatu seperti apa pengambilan keputusan dengan cara voting benar-
benar tepat untuk dilakukan.

29
Kewarganegaraan

DAFTAR PUSTAKA

www.tokohindonesia.com
www.wikipedia.org
www.suaramerdeka.co.id
www.pikiranrakyat.co.id
www.dephan.go.id
www.tempointeraktif.com
www.thehabibiecenter.com
www.suarapembaruan.com

30

Anda mungkin juga menyukai