Anda di halaman 1dari 23

Referat

PENGGUNAAN TES BERA SEBAGAI DIAGNOSIS VERTIGO

Oleh
Muhammad Nizar
I4A012071

Pembimbing
dr. Hj. Lily Runtuwene, Sp.S

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FK UNLAM-RSUD PENDIDIKAN ULIN
BANJARMASIN
Juli, 2016

i
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL i

DAFTAR ISI ii

BAB 1 PENDAHULUAN.................................................................. 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA......................................................... 3

2.1 DEFINISI......................................................................... 3

2.2 ETIOLOGI....................................................................... 4

2.3 EPIDEMIOLOGI............................................................. 4

2.4 GEJALA KLINIS............................................................ 5

2.5 KLASIFIKASI................................................................. 7

2.6 DIAGNOSIS.................................................................... 7

2.7 PENATALAKSANAAN................................................. 11

2.8 PROGNOSIS................................................................... 26

BAB 3 PENUTUP.............................................................................. 30

DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 31

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Penggunaan tes BERA dalam bidang ilmu audiologi dan neurology sangat

besar manfaatnya dan mempunyai nilai obyektifitas yang tinggi bila dibandingkan

dengan pemeriksaan audiologi konvensional. Penggunaannya yang mudah, tidak

invasive, dan dapat dilakukan pada pasien koma sekalipun; menyebabkan

pemeriksaan BERA ini dapat digunakan secara luas.1

BRAIN Evoked Response Audiometry atau BERA merupakan alat yang bisa

digunakan untuk mendeteksi dini adanya gangguan pendengaran, bahkan sejak bayi

baru saja dilahirkan. Istilah lain yang sering digunakan yakni Brainstem Auditory

Evoked Potential (BAEP) atau Brainstem Auditory Evoked Response Audiometry

(BAER). Alat ini efektif untuk mengevaluasi saluran atau organ pendengaran mulai

dari perifer sampai batang otak.2

Berbeda dengan audiometry, alat ini bisa digunakan pada pasien yang

kooperatif maupun non-kooperatif seperti pada anak baru lahir, anak kecil, pasien

yang sedang mengalami koma maupun stroke,tidak membutuhkan jawaban atau

respons dari pasien seperti pada audiometry karena pasien harus memencet tombol

jika mendengar stimulus suara. Alat ini juga tidak membutuhkan ruangan kedap

suara khusus.2

BERA juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan sumber gangguan

pendengaran apakah di cochlea atau retro choclearis, mengevaluasi brainstem

(batang otak), serta menentukan apakah gangguan pendengaran disebabkan karena

1
psikologis atau fisik. Pemeriksaan ini relatif aman, tidak nyeri, dan tidak ada efek

samping, sehingga bisa juga dimanfaatkan untuk screening medical check up.2

Dalam peranannya di bidang neurologi, BERA dapat digunakan sebagai

diagnosis vertigo. Vertigo adalah sensasi seolah olah bergerak atau berputar yang

dialami seseorang yang biasa di sertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan.

Vertigo diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan saluran vestibular yang

mengalami kelainan. Meskipun jarang disebabkan oleh penyakit yang berbahaya

vertigo akan mengganggu kegiatan penderita yang bila berlangsung lama akan

menurunkan kualitas sumber daya manusia. Vertigo merupakan keluhan yang

sering dijumpai dalam praktek yang sering digambarkan dengan rasa berputar, rasa

oleng, tak stabil (giddines, unsteadyness) atau rasa pusing (dizzines).3

Pemeriksaan BERA dapat membantu menentukan letak lesi dalam

pendekatan klinis vertigo sehingga dapat memberikan identifikasi awal dari

perubahan pada status neurofisiologi dari sistem vestibulocochlear. Informasi

tersebut berguna untuk mencegah disfungsi neurotologik dan terjadinya kehilangan

pendengaran lebih lanjut.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) merupakan tes neurologik

untuk fungsi pendengaran batang otak terhadap rangsangan suara (click). Pertama

kali diuraikan oleh Jewett dan Williston pada tahun 1971, BERA merupakan

aplikasi yang paling umum digunakan untuk menilai respon yang dibangkitkan oleh

rangsangan suara. Administrasi dan pelaksanaan tes ini biasanya oleh para ahli

audiologi. Untuk tujuan kejelasan dan untuk mempersingkat tinjauan, beberapa

teknik BERA khusus dan berbagai hal lainnya yang berkaitan dengan teknik telah

dihilangkan.4

Berbagai kondisi yang dianjurkan untuk pemeriksaan BERA antara lain

bayi baru lahir untuk mengantisipasi gangguan perkembangan bicara/bahasa. Jika

ada anak yang mengalami gangguan atau lambat dalam berbicara, mungkin salah

satu sebabnya karena anak tersebut tidak mampu menerima rangsangan suara

karena adanya gangguan di telinga.2

BERA juga dapat dimanfaatkan untuk menentukan sumber gangguan

pendengaran apakah di cochlea atau retro choclearis, mengevaluasi brainstem

(batang otak), serta menentukan apakah gangguan pendengaran disebabkan karena

psikologis atau fisik. Pemeriksaan ini relatif aman, tidak nyeri, dan tidak ada efek

samping, sehingga bisa juga dimanfaatkan untuk screening medical check up.2

3
BERA mengarah pada pembangkitan potensial yang ditimbulkan dengan

suara singkat atau nada khusus yang ditransmisikan dari transduser akustik dengan

menggunakan earphone atau headphone (headset). Bentuk gelombang yang

ditimbulkan dari respon tersebut dinilai dengan menggunakan elektrode permukaan

yang biasannya diletakkan pada bagian vertex kulit kepala dan pada lobus telinga.

Pencatatan rata-rata grafiknya diambil berdasarkan panjang gelombang/amplitudo

(microvoltage) dalam waktu (millisecond), mirip dengan EEG. Puncak dari

gelombang yang timbul ditandai dengan I-VII. Bentuk gelombang tersebut

normalnya muncul dalam periode waktu 10 millisecond setelah rangsangan suara

(click) pada intensitas tinggi (70-90 dB tingkat pendengaran normal/normal hearing

level [nHL]).4

Meskipun BERA memberikan informasi mengenai fungsi dan sensitivitas

pendengaran, namun tidak merupakan pengganti untuk evaluasi pendengaran

formal, dan hasil yang didapat harus dapat dihubungkan dengan hasil audiometri

yang biasa digunakan, jika tersedia.4

Vertigo sendiri merupakan sensasi seolah olah bergerak atau berputar yang

dialami seseorang yang biasa di sertai dengan mual dan kehilangan keseimbangan.

Vertigo diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan saluran vestibular yang

mengalami kelainan. Meskipun jarang disebabkan oleh penyakit yang berbahaya

vertigo akan mengganggu kegiatan penderita yang bila berlangsung lama akan

menurunkan kualitas sumber daya manusia.3

4
2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Terdapat tiga sistem yang mengelola keseimbangan tubuh yaitu : sistem

vestibular, sistem proprioseptif, dan sistem optik. Sistem vestibular meliputi labirin

(aparatus vestibularis), nervus vestibularis dan vestibularis sentral. Labirin terletak

dalam pars petrosa os temporalis dan dibagi atas koklea (alat pendengaran) dan

aparatus vestibularis (alat keseimbangan). Labirin yang merupakan seri saluran,

terdiri atas labirin membran yang berisi endolimfe dan labirin tulang yang berisi

perilimfe, dimana kedua cairan ini mempunyai komposisi kimia berbeda dan tidak

saling berhubungan.5

Aparatus vestibularis terdiri atas satu pasang organ otolith dan tiga pasang

kanalis semi sirkularis. Otolith terbagi atas sepasang kantong yang disebut sakulus

dan utrikulus. Sakulus dan utrikulus masing masing mempunyai suatu penebalan

atau makula sebagai mekanoreseptor khusus. Makula terdiri dari sel sel rambut dan

sel penyokong. Kanalis semisirkularis adalah saluran labirin selaput berisi

endolimfe. Ketiga duktus semisirkularis terletak saling tegak lurus.5

Sistem vestibularis memberi respon terhadap percepatan rotasional dan

linear (termasuk grafitasi) serta input visual proprioseptif dalam menjaga

keseimbangan dan orientasi tubuh di ruangan. Gerakan inersia endolimfe dalam

kanalis semisirkularisselama percepatan rotasional akan memindah kupula,

mengaktifkan silia dan transmisi potensial aksi ke divisi vestibuler nervus kranialis

VIII. Percepatan linear menghasilkan pemindaha otolit dalam utrikulus dan

sakulus. Hal ini akan mengubah silia dan meningkatkan atau menurunkan frekuensi

potensial aksidivisi vestibularis nervus VIII.5

5
Neuron orde I dari nervus vestibullaris merelai informasi dari utrikulus,

sakulus dan kanalis semisirkularis ke nukleus vestibularis, melalui badan sel bipolar

yang terletak dalam ganglion vestibularis (ganglion scarpa). Divisi koklearis dan

vestibularis ini berjalan bersama dalam tulang petrosus menuju ke meatus

auditorius internus, menembus sub runsg subarakhnoid di sudut serebello pontin,

masuk dan saling memisahkan diri pontomedullary juntion menuju nukleus

vestibularis dekat dengan lantai ventrikel IV. 5

Nukleus vestibularis tersusu atas 5

- Nukleus vestibularis superior (Bechterew)

- Nukleus vestibularis lateral (Deiter)

- Nukleus vestibularis medial (Schwalbe)

- Nukleus vestibularis inferior (Roller)

Serabut-serabut nervus vestibularis telah terbagi sebelum berakhir dalam kelompok

sel nukleus vestibularis dimana akan menjadi neuron orde II.5

Beberapa serabut nervus vestibularis membawa inpuls secara langsung

tanpa sinap lewat traktus juxtarestiformis menuju lobus flokulonodularis serebelum

(arkhi-serebellum). Ke empat nukleus vestibularis, sebagian besar dari nukleus

superior dan media mengirim serabutnya melalui fasikulus longitudinalis medialis.

Jalur ini menghubungkan nukleus vestibularis dengan nukleus III,IV,VI,XI dan

nervi spinalis serfikal atas, yang penting dalam mengatur gerakan mata, kepala dan

leher dalam meresponstimulasi kanalis semisirkularis. Beberapa serabut berlanjut

melewati nukleus intertisial cajal dan darkchewitsch di mesencephalon untuk

berjalan asenden menuju kel thalamus (regio ventral posterior) dan korteks serebri,

6
namun jalur yang pasti sehingga sinyal dari vestibular sampai ke korteks belum

diketahui. Implus dari nukleus superior dan medial secara tak langsung menuju

serebellum melalui serabut vestibulo serebelaris. Dari nukleus lateral turun sebagai

traktus vestibulospinalis yang penting dalam mengatur tonus oto dan postur.5

Neurofisiologi alat keseimbangan tubuh dipisahkan atas tiga tahap, yaitu 5

1. Tahap Transduksi

Rangsang gerakan (mekanis, cahaya, proprioseptif) yang ditangkap oleh

reseptor tubuh diubah menjadi implus saraf (bioelektrokimia) yang

selanjutnya diteruskan oleh saraf aferen.

2. Tahap transmisi

Implus saraf yang dikirim oleh reseptor disalurkan oleh saraf aferennya

menuju ke pusat-pusat keseimbangan di otak. Saraf aferen tersebut adalah :

n vestibularis, n opticus, n spinovestibuloserebellaris.

3. Tahap modulasi

Beberapa kelompok inti di otak berperan mengolah informasi yang disalurkan

oleh saraf aferen untuk dilakukan proses modulasi, komparasi, integrasi /

koordinasi dan persepsi. Kelompok inti yang terkait antara lain : inti vestibularis,

serebelum (vestibulo serebelum), okulomotorius, hipotalamus (termasuk pusat

mntah di batang otak), formasio retikularis (termasuk inti locus coeruleus), dan

korteks serebri (termasuk limbik dan prefrontal).5

Informasi yang ditangkap vestibulum, visus dan reseptor proprioseptif

tersebut diteruskan ke pusat keseimbangan di otak untuk dibandingkan, baik yang

datang dari sisi kiri terhadap kanan, maupun sebaliknya, yang kemudian akan

7
dijawab sebagai respon. Bila semuanya berfungsi normal informasi dari berbagai

sumber itu adalah sesuai atau harmonis, pusat akan memberikan informasi kepada

organ pelaksana / efektor dalam bentuk rspon fisiologis.5

Apabila salah satu sisi atau sistem dari ketiga tahap tersebut diatas tidak

bekerja sempurnaakan berakibat pada penyesuaian dengan muncunya respon yang

tidak normal (patologik) berupa tanda kegawatan tanda kegawatan dalam bentuk

vertigo (korteks serebri), mual, muntah, keringat dingin (otonom), nistagmus (otot

penggerak mata) dan gangguan keseimbangan.5

Brainstem Evoke Response Audiometri (BERA) menggunakan rangsangan

suara klik yang menghasilkan respon dari regio basilar cochlea. Sinyalnya berjalan

melalui jalur pendengaran/auditori pathway dari kompleks inti cochlear, proksimal

ke colliculus inferior. Gelombang BERA I dan II berkaitan dengan potensial aksi

yang benar. Gelombang selanjutnya mungkin menggambarkan aktivitas

postsinaptik pada pusat auditori batang otak utama yang secara bersamaan

menimbulkan bentuk gelombang puncak dan palung. Puncak positif dari bentuk

gelombang menunjukkan aktivitas aferen kombinasi (dan kemungkinan juga

eferen) dari jalur axonal pada batang otak auditory.4

Di Ameriksa Serikat, bentuk gelombang biasanya di plot dengan elektroda

pada vertex dengan amplifier tegangan input positif., sehingga menimbulkan

gelombang puncak pada I, III, dan V. Di negara-negara lainnya, gelombangnya di

plot dengan tegangan negatif.4 Reaksi yang timbul sepanjang jaras-jaras saraf

pendengaran dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan (satuan milidetik)

mulai dari saat pemberian impuls sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk

8
gelombang. Gelombang yang terjadi sebenarnya ada 7 buah, namun yang penting

dicatat adalah gelombang I, III, dan V.1

Gambar yang menunjukkan penempatan BERA electrodes

Komponen Bentuk Gelombang

Gelombang I: Respon gelombang BERA I merupakan gambaran yang luas dari

potensial aksi saraf auditori gabungan pada bagian distal dari nervus cranialis (CN)

VIII. Respon tersebut dipercaya berasal dari aktivitas aferen dari serabut saraf CN

VIII (neuron urutan pertama) saat meninggalkan cochlea dan masuk ke canalis

auditori internal.

Gelombang II: gelombang BERA II ditimbulkan oleh nervus VIII proksimal saat

memasuki batang otak.

9
Gelombang III: gelombang BERA III muncul dari aktivitas aktivitias saraf urutan

kedua arises from (diluar CN VIII) di dalam atau di dekat nukleus cochlearis.

Literatur menyatakan bahwa gelombang III ditimbulkan pada bagian caudal dari

pons auditori. Nukleus cochlearis mengandung hampir 100,000 neuron, kebanykan

dipersarafi oleh sembilan serabut saraf.

Gelombang IV: gelombang BERA IV, yang sering memiliki puncak yang sama

dengan gelombang V, diperkirakan muncul dari neuron urutan ketiga pontine yang

kebanyakan terletak pada kompleks olivary superior, tetapi kontribusi tambahan

untuk terbentuknya gelombang IV dapat datang dari nukleus cochlearis dan nukleus

dari lemniskus lateral.

Gelombang V: pembentukan gelombang V kemungkinan merupakan dari aktivitas

dari struktur auditori anatomik multipel. Gelombang BERA V merupakan

komponen yang paling sering di analisa pada aplikasi klinis BERA. Meskipun

terdapat beberapa database mengenai hal yang tepat dalam pembentukan

gelombang V, gelombang V dipercaya berasal dari sekitar colliculus inferior.

Aktivitas neuron urutan kedua mungkin secara sekunder mempengaruhi beberapa

hal dalam pembentukan gelombang V. Colliculus inferior merupakan sebuah

struktur yang komplex, dengan lebih dari 99% akson dari regio auditori batang otak

bawah melewati lemniskus lateral ke colliculus inferior.

Gelombang VI dan VII: Gelombang VI dan VII dianggap berasal dari thalamus

(medial geniculate body), tetapi tempat pembentukan sebenarnya masih diragukan.4

10
2.3 ETIOLOGI VERTIGO

Vertigo dibedakan menurut anatomi atau lokasi penyakitnya dan menurut


gejala-gejalanya yang menonjol atau klinisnya. Berdasarkan anatomi penyebab
vertigo dapat dibedakan atas 2 bentuk vertigo.3
Vertigo non-sistematis, yaitu vertigo yang disebabkan oleh kelainan sistem saraf
pusat, bukan oleh kelainan sistem vestibuler perifer.Kelainan ini dapat terletak di :3
1. Mata :
- Paresis otot mata
- Kelainan refraksi
- Glaukoma
2. Proprioseptik :
- Pelagra
- Anemia pernisiosa
- Alkoholisme
- Tabes dorsalis
3. Sistem saraf pusat :
a. Hipoksia serebri :
- Hipertensi kronis
- Arteriosklerosis
- Anemia
- Hipertensi kardivaskuler
- Fibrilasi atrium paroksismal
- Stenosis aorta dan insufisiensi
- Sindrom sinus karotis
- Blok jantung
b. Infeksi
- Meningitis
- Ensefalitis
- Abses
- Lues

11
c. Trauma
d. Tumor
e. Migren
f. Epilepsi
g. Kelainan endokrin :
- Hipotoroidi
- Hipoglikemi
- Hipoparatiroidi
- Umor medulla adrenalis
- Keadaan menstruasi-hamil-menopause
h. Kelainan psikoneurosis

Vertigo yang sistematis, yaitu vertigo yang disebabkan oleh kelainan sistem
vestibular ( yaitu labirin, nervus VIII ata inti vestibularis ) :3
1. Telinga
a. Bagian luar :
- Serumen
- Benda asing
b. Bagian tengah :
- Retraksi membran timpani
- Otitis media purulenta akuta
- Ototis media dengan efusi
- Labirintitis
- Kolesteatoma
- Ruda paksa dengan perdarahan
c. Bagian dalam :
- Labirintitis akuta toksika
- Trauma
- Serangan vaskular
- Alergi
- Hidrops labirin ( morbus meniere )

12
- Mabuk gerakan
- Vertigo postural
2. Nervus VIII :
a. Infeksi :
- Meningitis akuta
- Meningitis TB
- Meningitis basillaris luetika
b. Trauma
c. Tumor
3. Inti vestibulum ( batang otak ) :
a. Infeksi
- Meningitis
- Ensefalitis
- Abses otak
b. Trauma
c. Perdarahan
d. Trombosis arteria serebeli postero-inferior
e. Tumor
f. Sklerosis multipleks

2.4 PATOFISIOLOGI VERTIGO

Beberapa teori dikemukakan oleh para pakar untuk patofisiologi vertigo


adalah sebagai berikut :5
a. Konflik sensoris
Vertigo timbul bila ada ketidakharmonisan antara masukan sensoris dari
kedua sisi dan atau dari ketiga janis reseptor alat keseimbangan tubuh. Keadaan ini
bisa akibat rangsangan berlebihan, lesi sistem vestibular sentral atau perifer.
b. Neural mismatch
Gejala timbul akibat adanya ‘mismatch’ (ketidaksesuaian) antara pengalaman
gerakan yang sudah disimpan di otak dengan gerakan yang sedang berlangsung.
Rangsangan yang baru tersebut dirasakan asing atau tidak sesuai dengan harapan di

13
otak dan merangsang kagiatan yang berlebihan di SSP. Bila berlangsung terus akan
muncul suatu adaptasi (sensory rerrengement theory).
c. Ketidakseimbangan saraf otonomik
Teori ini didasarkan atas kerja obat anti vertigo dimana gejala muncul akibat
ketidakseimbangan saraf otonom akibat rangsang gerakan. Yang bisa mengarah
pada dominasi saraf parasimpatis atau simpatis.
d. Neurohumoral (sinaps)
Munculnya sindroma vertigo berasal dari pelepasan corticotropin releasing
factor (CRF) dari hipotalamus akibat rangsang gerakan. CRF meningkatkan sekresi
stress hormon, dimana akan merangsang korteks limbik/ hipokampus (ansietas),
dan lokus coeruleus ke arah simpatis (pucat, vertigo) atau parasimpatis
(hipersalivasi, muntah). Bila sindroma tersebut berulang akibat rangsangan /
latihan, maka siklus perubahan dominasi saraf simpatis dan parasimpatis akan
timbul bergantian, sampai terjadi : perubahan sensitifitas (hiposensitif) reseptor
(down regulation), serta penurunan terhadap influks kalsium.

2.5 KLASIFIKASI VERTIGO

Berdasarkan lokasinya vertigo terbagi atas perier dan sentral yang secara
umum dapat dibedakan dari riwayat penyakit. Vertigo perifer melibatkan baik
bagian akhir vestibula (kanalis semisirkularis) atau neuron perifer termasuk nervus
VIII pars vestibula. Vertigo sentral dihasilkan dari kelainan yang terjadi pada
batang otak (nukleus vestibularis, fasikulus longitudinalis medialis), serebelum
(lobus flokulonodularis atau traktus vestibuloserebellaris) dan korteks lobus
temporalis.6
1. Vertigo perifer
Terdapat tiga jenis vertigo perifer yang sering dialami yaitu BPPV,
vestibular neuritis dan penyakit menierre :6
a. Benign paroxysmal positioning vertigo (BPVV):6

Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) merupakan jenis vertigo


vestibular perifer yang paling sering ditemui, kira-kira 107 kasus per 100.000

14
penduduk, dan lebih banyak pada perempuan serta usia tua (51-57 tahun). Jarang
ditemukan pada orang berusia dibawah 35 tahun yang tidak memiliki riwayat
cedera kepala Dari namanya, jelas bahwa vertigo ini diakibatkan perubahan posisi
kepala seperti saat berguling di tempat tidur, membungkuk, atau menengadah ke
atas. Mekanisme pasti terjadinya BPPV masih samar. Tapi penyebabnya sudah
diketahui pasti yaitu debris yang terdapat pada kanalis semisirkularis biasanya pada
kanalis posterior. Debris berupa kristal kalsium karbonat itu dalam keadaan normal
tidak ada. Diduga debris itu menyebabkan perubahan tekanan endolimfe dan
defleksi kupula sehingga timbul gejala vertigo. Salah satu cara yang sangat mudah
dikerjakan untuk mendiagnosis BPPV adalah uji Dix-Hallpike, yaitu dengan
menggerakkan kepala pasien dengan cepat ke kanan, kiri dan kembali ke tengah.
Uji itu dapat membedakan lesi perifer atau sentral. Pada lesi perifer, dalam hal ini
positif BPPV, didapatkan vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10
detik, menghilang dalam waktu kurang dari 1 menit, berkurang dan menghilang
bila uji diulang beberapa kali (fatigue). Berbeda dengan lesi sentral, periode laten
tidak ditemukan, vertigo dan nistagmus berlangsung lebih dari 1 menit, dan bila
diulang gejala tetap ada (non fatigue). Obat tidak diberikan secara rutin pada BPPV.
Malah cenderung dihindari karena penggunaan obat vestibular suppresant yang
berkepanjangan hingga lebih dari 2 minggu dapat mengganggu mekanisme adaptasi
susunan saraf pusat terhadap abnormalitas vestibular perifer yang sudah terjadi.
Selain itu, efek samping yang timbul berupa ngantuk, letargi, dan perburukan
keseimbangan. Tanpa obat bukan berarti tidak ada terapi untuk mengurangi gejala
vertigo pada BPPV. Adalah manuver Epley yang disinyalir merupakan terapi yang
aman dan efektif. Manuver ini bertujuan untuk mengembalikan debris dari kanalis
semisirkularis posterior ke vestibular labirin. Angka keberhasilan manuver Epley
dapat mencapai 100% bila dilatih secara berkesinambungan. Bahkan, uji Dix-
Hallpike yang semula positif menjadi negatif. Angka rekurensi ditemukan 15%
dalam 1 tahun. Meski dibilang aman, tetap saja ada keadaan tertentu yang menjadi
kontraindikasi melaksanakan manuver ini yaitu stenosis karotid berat, unstable
angina, dan gangguan leher seperti spondilosis servikal dengan mielopati atau
reumatoid artritis berat. Setelah melakukan manuver Epley, pasien disarankan

15
untuk tetap tegak lurus selama 24 jam untuk mencegah kemungkinan debris
kembali lagi ke kanal semisirkularis posterior. Bila pasien tidak ada perbaikan
dengan manuver Epley dan medikamentosa, pembedahan dipertimbangkan.3,6
b. Vestibular neuritis
Vertigo rotasional yang berat dengan onset akut, disertai nistagmus spontan,
ketidakstabilan postur, dan nausea tanpa diikuti disfungsi auditorik. Gejala
biasanya mencapai puncak dalam 24 jam, membaik setelah beberapa hari-minggu.
Meski kerusakan berupa hilangnya fungsi vestibular unilateral permanen, tetap
terjadi perbaikan dengan adanya perbaikan otak. Vestibular neuritis dianggap
sebagai akibat virus, meski sulit untuk membuktikan.5
c. Penyakit menierre

Serangan yang khas dengan rasa penuh ditelinga, penurunan daya


pendengaran serta tinitus, sebelum muncul vertigo rotasional. Disertai keluhan
ketidakstabilan postur, nistagmus, dan mual selama beberapa menit – beberapa jam.
Penyakit menierre disebabkan oleh hidrops indolimfatik yang berakhir dengan
degenerasi sel-sel rambut pada koklea dan neuro epitel di kanalis semi sirkularis.
Sering terjadi pada usia 30-50 tahun. Penyakit ini lebih “memilih” orang kulit putih.
Di Inggris, prevalensinya sebesar 1 per 1000 penduduk. Laki-laki atau perempuan
mempunyai risiko yang sama. Bisa terjadi pada anak-anak namun paling sering
antara usia 20-50 tahun. Pada penyakit ini terjadi gangguan filtrasi endolimfatik
dan ekskresi pada telinga dalam, menyebabkan peregangan pada kompartemen
endolimfatik. Penyebabnya multifaktor. Dari kelainan anatomi, genetik (autosom
dominan), virus, autoimun, vaskular, metabolik, hingga gangguan psikologis.
Gejala penyakit Meniere lebih berat daripada BPPV. Selain vertigo, biasanya
pasien juga mengalami keluhan di telinga berupa tinitus, tuli sensorineural terhadap
frekuensi rendah, dan sensasi rasa penuh di telinga. Ada 3 tingkat derajat
keparahan penyakit Meniere.(1,2)
- Derajat I : gejala awal berupa vertigo yang disertai mual dan muntah. Gangguan
vagal seperti pucat dan berkeringat dapat terjadi. Sebelum gejala vertigo

16
menyerang, pasien dapat merasakan sensasi di telinga yang berlangsung selama 20
menit hingga beberapa jam. Diantara serangan, pasien sama sekali normal.
- Derajat II : gangguan pendengaran semakin menjadi-jadi dan berfluktuasi.
Muncul gejala tuli sensorineural terhadap frekuensi rendah.
- Derajat III : gangguan pendengaran tidak lagi berfluktuasi namun progresif
memburuk. Kali ini mengenai kedua telinga sehingga pasien seolah mengalami tuli
total. Vertigo mulai berkurang atau menghilang. Obat-obatan seperti
proklorperasin, sinnarizin, prometasin, dan diazepam berguna untuk menekan
gejala. Akan tetapi, pemakaian proklorperasin jangka panjang tidak dianjurkan
karena menimbulkan efek samping ekstrapiramidal dan terkadang efek sedasinya
kurang dapat ditoleransi, khususnya kaum lansia. Intervensi lain berupa diet rendah
garam (<1-2 gram per hari) dan diuretik seperti furosemid, amilorid, dan
hidroklorotiazid. Namun, kurang efektif menghilangkan gejala tuli dan tinitus.
Terapi ablasi sel rambut vestibular dengan injeksi intratimpani gentamisin juga
efektif. Keuntungan injeksi intratimpani daripada sistemik adalah mencegah efek
toksik berupa toksisitas koklea, ataxia, dan oscillopsia. Pada kasus jarang dimana
penyakit sudah kebal dengan terapi obat, diet dan diuretik, pasien terpaksa harus
memilih intervensi bedah, misalnya endolimfatik shunt atau kokleosakulotomi.
Prognosis pasien dengan vertigo vestibular tipe perifer umumnya baik, dapat terjadi
remisi sempurna. Sebaliknya pada tipe sentral, prognosis tergantung dari penyakit
yang mendasarinya. Infark arteri basilar atau vertebral, misalnya, menandakan
prognosis yang buruk. Semoga dengan kemajuan ilmu bedah saraf di masa yang
akan datang, vertigo tak lagi menjadi momok. (1,2)

2. Vertigo sentral
Pada sebagian besar kasus sindroma vertigo sentral disebabkan disfungsi
dari induksi suatu lesi, tapi sebagian kecil disebabkan proses patologis dari berbagai
struktur mulai dari nukleus sampai korteks vestibularis.(2)

17
BAB 3

PENUTUP

Gangguan afektif bipolar campuran adalah beberapa episode yang


menunjukkan gejala-gejala manik, hipomanik, dan depresif yang tercampur atau
bergantian dengan cepat (gejala mania/hipomania dan depresif yang sama-sama
mencolok selama masa terbesar dari episode penyakit yang sekarang, dan telah
berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu); dan terdapat sekurang-kurangnya satu
episode afektif hipomanik, manik, atau campuran di masa lampau.
Seperti kondisi kesehatan lainnya, membuat diagnosis yang akurat
memerlukan dasar pemahaman tentang sifat kondisi, penyebab, dan gejala.
Keterampilan wawancara dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis. Informasi dari
keluarga juga sangat diperlukan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria
gangguan afek bipolar menurut PPDGJ III.
Pada saat ini, tidak ada obat yang spesifik untuk gangguan bipolar. Namun,
pengobatan yang ada dapat menurunkan terkait morbiditas dan mortalitas.
Awalnya, psikiater harus melakukan evaluasi diagnostik dan menilai keamanan
tingkat fungsi pasien untuk sampai pada keputusan tentang pengaturan terapi
optimal. Selanjutnya, tujuan spesifik manajemen kejiwaan termasuk membangun
dan mempertahankan terapi, pemantauan status psikiatri pasien, memberikan
pendidikan mengenai gangguan bipolar, meningkatkan kepatuhan pengobatan,

18
mempromosikan pola yang teratur dalam aktivitas dan tidur, mengantisipasi stres,
mengidentifikasi episode baru awal, dan meminimalkan gangguan fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

1. Efiaty AS. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala
Leher Ed. 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 2003.

2. Henny. BERA. 2008. Dikutip dari situs: http://hennykartika.wordpress.com.

3. Harsono (Ed.). Kapita Selekta Neourologi Edisi ke 2. Jogjakarta: UGM Press.


2007
4. Bhattacharyya N. Auditory Brainstem Response Audiometry. 2008. Dikutip dari
situs: http://emedicine.medscape.com.

5. Bintoro Aris Catur. Kecepatan Rerata Aliran Darah Otak Sistem Vertebrobasilar
Pada Pasien Vertigo Sentral. Semarang: Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Ilmu Penyakit Saraf Universitas Diponegoro. 2000.
6. Conrad Melissa. Vertigo Cause, Simptom, Treatment. 2013. Dikutip dari situs:
http://www.emedichine.com.
7.

1. Mayo Clinic. Bipolar disorder. 2015. Available from


http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/bipolar
disorder/basics/definition/con-20027544?p=1. Accessed 12 November 2015.

19
2. Kessler RC, Chiu WT, Demler O, Merikangas KR, Walters EE, Prevalence,
severity, and comorbidity of 12-month DSM-IV disorders in the National
Comorbidity Survey Replication. Arch Gen Psychiatry 2005;62:617–627.

3. Merikangas KR, Akiskal HS, Angst J, Greenberg PE, Hirschfeld RM,


Petukhova M, Kessler RC, Lifetime and 12-month prevalence of bipolar
spectrum disorder in the National Comorbidity Survey Replication. Arch Gen
Psychiatry 2007;64:543–552.

4. Geller B, Luby J, Child and adolescent bipolar disorder: a review of the past 10
years. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 1997;36:1168–1176.

5. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ – III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2013.

6. Moreno C, Laje G, Blanco C, Jiang H, Schmidt AB, Olfson M. National trends


in the outpatient diagnosis and treatment of bipolar disorder in youth. Arch Gen
Psychiatry. 2007 Sep;64(9).

7. National Institute of Mental Health, Bipolar Disorder. Bethesda, MD: National


Institute of Mental Health, Jan 2007. National Institute of Mental Health,
Bipolar Disorder. Bethesda, MD: National Institute of Mental Health, Jan 2007.
Available at: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/bipolar-
disorder/complete-publication.html.

8. Geller B, Craney JL, Bolhofner K, Nickelsburg MJ, Williams M, Zimerman B,


Two-year prospective follow-up of children with a prepubertal and early
adolescent bipolar disorder phenotype. Am J Psychiatry 2002;159:893–894.

9. Geller B, Tillman R, Bolhofner K, Zimerman B, Child bipolar I disorder:


prospective continuity with adult bipolar I disorder; characteristics of second
and third episodes; predictors of 8-year outcome. Arch Gen Psychiatry. 2008
Oct;65(10):1125-33.

10. National Alliance on Mental Illness. Bipolar Disorder. 2013. Available from
http://www2.nami.org/factsheets/bipolardisorder_factsheet.pdf.

11. National Institute of Mental Health, What are common symptoms of bipolar
disorder in children and teens? In: Bipolar Disorder In Children and Teens: A
Parent’s Guide. Bethesda, MD: National Institute of Mental Health, Jan 2007.

20
Available at: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/bipolar-
disorder/symptoms.html.

12. DelBello MP. Mood disorders: assessment, risk factors, and outcome. J Clin
Psychiatry. 2008 May;69(5):830.

13. Biederman J, Mick E, Faraone S, Wozniak J, Pediatric bipolar disorder or


disruptive behavior disorder? Prim Psychiatry 2004;11:36–41.

14. Geller B, Cooper TB, Sun K, Zimerman B, Frazier J, Williams M, Heath J,


Double-blind and placebo-controlled study of lithium for adolescent bipolar
disorders with secondary substance dependency. J Am Acad Child Adolesc
Psychiatry 1998;37:171–178.

15. Robert M.A. Hirschfeld, M.D., Chair Charles L. Bowden, M.D. Michael J.
Gitlin, M.D, et al. Practice Guideline For The Treatment of Patients With
Bipolar Disorder: Second Edition. American Psychiatric Association. 2010.

16. Goldstein TR, Birmaher B, Axelson D, Ryan ND, Strober MA, Gill MK, Valeri
S, Chiappetta L, Leonard H, Hunt J, Bridge JA, Brent DA, Keller M, History of
suicide attempts in pediatric bipolar disorder: factors associated with increased
risk. Bipolar Disord 2005;7:525–535.

17. Gould, M., Marrocco, F., Kleinman, M., Thomas, J.G., Mostkoff, K., Cote, J.
And Davies, M. Evaluating Iatrogenic Risk of Youth Suicide Screening
Programs. A Randomized Controlled Trial. JAMA 2005:293 (13) 1635-1643.

18. National Institute of Mental Health. Bipolar Disorder Research At the National
Institute of Mental Health. National Institute of Mental Health. 2000 April: 1-
16.

19. Miklowitz DJ. Adjunctive psychotherapy for bipolar disorder: state of the
evidence. Am J Psychiatry. 2008 Nov;165(11):1408-19. Epub 2008 Sep 15.
Review.

20. Moore et al. Mood dynamics in bipolar disorder. International Journal of


Bipolar Disorder. 2014; 2 (11): 1-9.

21

Anda mungkin juga menyukai