Anda di halaman 1dari 13

RABIES

A. Definisi
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya
saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang transplantasi jaringan yang terinfeksi dapat memulai
proses penyakit (corey, 1999).
Nama lain untuk rabies, la rage (Perancis), la rabbia (Italia), la rabia
(Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama penyakit
Anjing Gila (corey, 1999).
B. Etiologi
Virus rabies merupakan virus asam ribonuklet beruntai tunggal,
beramplop, berbentuk peluru dengan diameter 75 sampai 80nm termasuk
anggota kelompok rhabdovirus. Glikoprotein virus terikat pada reseptor
asetilkolin, menambah neurovirulensi virus rabies, membangkitkan antibody
neutralisasi dan antibody penghambat hemaglutinasi, dan merangsang imunitas
sel T (Corey, 1999).

Gambar 1 Rhabdovirus

Virus rabies inaktif pada pemanasan; pada temperature 56ºC waktu paruh
kurang dari 1 menit, dan pada kondisi lembab pada temperatur 37ºC dapat
bertahan beberapa jam. Virus juga akan mati dengan deterjen, sabun, etanol
45%, solusi jodium (Chin, 2000).

C. Distribusi Dan Insidensi


Distribusi rabies tersebar di seluruh dunia dan hanya beberapa negara
yang bebas rabies seperti Australia, sebagian besar Skandinavia, Inggris,
Islandia, Yunani, Portugal, Uruguay, Chili, Papua Nugini, Brunai, Selandia
Baru, Jepang, dan Taiwan. Di Indonesia sampai akhir tahun 1977 rabies tersebar
di 20 provinsi dan 7 provinsi dinyatakan bebas rabies adalah Bali, NTB, NTT,
Maluku, Irian Jaya dan Kalimantan Barat. Data tahun 2001 menunjukkan
terdapat 7 provinsi yang bebas rabies adalah Jawa tengah, Jawa timur,
Kalimantan Barat, Bali, NTB, Maluku dan Irian Jaya. Data terakhir pada tahun
2004, di Ambon, Maluku jumlah orang yang meninggal akibat rabies tercatat 21
orang. Sedangkan di Provinsi Bali, desa kedonganan dan Ungasan pada tanggal
29 November 2008 terdapat beberapa anjing mati dan dinyatakan positif Rabies.
Hal ini membuat Provinsi Bali dengan status bebas rabies perlu ditinjau kembali
(Hardjianto, 2006).
D. Epidemiologi
Rabies terdapat dalam dua bentuk epidemiologik : Urban, disebarluaskan
terutama oleh anjing, dan atau kucing rumah yang tidak diimunisasi, dan
Sylvatic, disebarluaskan oleh sigung (skunk), rubah, raccoon, luwak (mongoos),
serigala, dan kelelawar. Infeksi pada manusia cenderung terjadi pada tempat
rabies bersifat enzootik atau epizootik, yaitu jika terdapat banyak populasi
binatang jinak yang tidak diimunisasi, dan manusia kontak dengan udara
terbuka. Kematian karena rabies hanya sekitar 1000 dilaporkan oleh World
Health Organization (WHO) setiap tahun, sedangkan insidensi rabies di seluruh
dunia diperkirakan lebih dari 30.000 kasus pertahun. Asia Tenggara, Philipina,
Afrika dan Amerika Selatan adalah area tempat penyakit biasanya terjadi. Di
Amerika, rabies manusia sangat jarang, dan sebagian besar kasus sekarang
berasal dari gigitan binatang yang terpajan di negara – negara yang didalamnya
terdapat endemik rabies anjing. (Chin, 2000).
Pada sebagian besar area di dunia, anjing merupakan vektor penting virus
rabies untuk manusia. Akan tetapi, serigala (Eropa timur, daerah kutub utara),
luwak (Afrika Selatan, Karibia), rubah (Eropa Barat) dan kelelawar (Amerika
Selatan) juga merupakan vektor penyakit yang penting. Di Amerika, rabies
kucing sekarang ini dilaporkan lebih sering daripada rabies anjing; sehingga
vaksinasi kucing rumah sangat penting. Di Amerika, rabies pada binatang buas
bertanggung jawab terhadap sekitar 85% rabies binatang yang dilaporkan,
dengan anjing dan kucing hanya sekitar 2-3%. Beberapa kasus penularan rabies
dari manusia ke manusia melalui transplantasi kornea juga pernah ditemukan
(Hardjianto, 2006).
E. Transmisi
Infeksi terjadi biasanya melalui kontak dengan binatang seperti anjing,
kucing, kera, serigala, kelelawar dan ditularkan ke manusia melalui gigitan
binatang atau kontak virus (saliva binatang) dengan luka pada host ataupun
melalui membran mukosa. Kulit yang utuh merupakan barier pertahanan
terhadap infeksi. Transmisi dari manusia ke manusia belum pernah dilaporkan.
Infeksi rabies pada manusia terjadi dengan masuknya virus lewat luka pada kulit
(garukan, lecet, luka robek) atau mukosa. Paling sering terjadi melalui gigitan
anjing, tetapi bisa juga melalui gigitan kucing, kera atau binatang lainnya yang
terinfeksi (serigala, musang, kelelawar). Cara infeksi yang lain adalah melalui
inhalasi dimana dilaporkan terjadinya infeksi rabies pada orang yang
mengunjungi gua kelelawar tanpa adanya gigitan. Dapat pula kontak virus rabies
pada kecelakaan kerja di laboratorium, atau akibat vaksinasi dari virus rabies
yang masih hidup. Terjangkitnya infeksi rabies juga dilaporkan pada tindakan
transplantasi kornea dari donor yang mungkin terinfeksi rabies (Hardjianto,
2006).
F. Patogenesis
Kejadian pertama perjalanan virus melalui epidermis atau ke dalam
membran mukosa. Replikasi viral awal tampak terjadi dalam sel otot lurik di
daerah inokulasi. Sistem saraf perifer terpajan pada neuromuskuler. Virus
kemudian menyebar secara sentripetal naik ke saraf sampai sistem saraf pusat,
mungkin melalui aksoplasma saraf perifer. Saat virus mencapai sistem saraf
pusat, virus melakukan replikasi secara eksklusif dalam substansia kelabu dan
kemudian lewat secara sentrifugal sepanjang saraf autonom untuk mencapai
jaringan – jaringan lain termasuk kelenjar saliva, medula adrenalis, ginjal, paru-
paru, hepar, otot rangka, kulit dan jantung. Virus juga tersebar pada air susu dan
urine (Chin, 2000).
Periode inkubasi rabies sangat bervariasi, antara 10 hari sampai lebih dari
1 tahun (rata – rata 1 sampai 2 bulan). Periode waktu tampak tergantung pada
jumlah virus yang masuk, jumlah jaringan yang terserang, mekanisme
pertahanan penderita dan perjalanan virus dari daerah inokulasi ke sistem saraf
pusat. Kasus rabies manusia dengan periode inkubasi yang panjang ( 2 sampai
dengan 7 tahun) telah dilaporkan tapi jarang terjadi (Chin, 2000).
Gambar 3. Perjalanan Virus Rabies Pada Hewan
G. Manifestasi
Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bisa
bervariasi antara 7 hari hingga 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7
tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat
kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek
daripada orang dewasa. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitan, lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke sistem saraf pusat),
derajat patogenitas virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala
inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari (Corey, 1999).
Manifestasi klinis rabies dapat dibagi menjadi 4 stadium: (1) prodromal
non spesifik, (2) ensefalitis akut yang mirip dengan ensefalitis virus lain. (3)
disfungsi pusat batang otak yang mendalam yang menimbulkan gambaran klasik
ensefalitis rabies, dan (4) koma rabies yang mendalam (Corey, 1999).

Periode prodromal biasanya menetap selama 1 sampai 4 hari dan


ditandai dengan demam, sakit kepala, malaise, mialgia, mudah terserang lelah
(fatigue), anoreksia, nausea, dan vomitus, nyeri tenggorokan dan batuk yang
tidak produktif. Gejala prodromal yang menunjukkan rabies adalah keluhan
parestesia dan/atau fasikulasi pada atau sekitar tempat inokulasi virus dan
mungkin berhubungan dengan multiplikasi virus dalam gaglion dorsalis saraf
sensoris yang mempersarafi area gigitan. Gejala ini terdapat pada 50 sampai
80% pasien. Stadium prodormal dapat berlangsung hingga 10 hari, kemudian
penyakit akan berlanjut sebagai gejala neurologik akut yang dapat berupa
furious atau paralitik (Hardjanto, 2006).
Fase ensefalitis biasanya ditunjukkan oleh periode aktivitas motorik
yang berlebihan, rasa gembira, dan gelisah. Muncul rasa bingung, halusinasi,
combativeness, penyimpangan alur pikiran yang aneh, spasme otot,
meningismus, posisi opistotonik, kejang, dan paralisis fokal. Yang khas, periode
penyimpangan mental yang diselingi dengan periode lucid tapi bersama dengan
berkembangnya penyakit, periode lucid menjadi lebih pendek sampai pasien
akhirnya menjadi koma. Hiperestesi, dengan sensitivitas yang berlebihan
terhadap cahaya terang, suara keras, sentuhan, bahkan rangsangan oleh udara
sering terjadi. Pada pemeriksaan fisis, suhu tubuh naik hingga 40,6ºC.
abnormalitas sistem saraf otonom meliputi dilatasi pupil yang ireguler, lakrimasi
meningkat, salivasi, dan berkeringat berlebih. Juga terdapat tanda paralisis
motor neuron bagian atas dengan kelemahan, meningkatnya refleks tendo
profunda, dan respon ekstensor plantaris. Paralisis pita suara biasa terjadi
(Corey, 1999).

Manifestasi disfungsi batang otak segera terjadi setelah mulainya fase


ensefalitis. Terkenanya saraf kranialis menyebabkan diplopia, dan kesulitan
menelan yang khas. Gabungan salivasi yang berlebihan dan kesulitan menelan
menimbulkan gambaran tradisional “foaming at the mouth”. Hidrofobia, tampak
pada sekitar 50% kasus. Pasien menjadi koma dengan terkenanya pusat respirasi
oleh virus, yang akan menimbulkan kematian apneik. Menonjolnya disfungsi
batang otak dini membedakan rabies dari ensefalitis virus lainnya. Daya tahan
hidup rata-rata setelah mulainya gejala adalah 4 hari, dengan maksimum 20 hari,
kecuali diberikan tindakan bantuan artifisial (Corey, 1999).

Tabel 1. Perjalanan Penyakit Penderita Rabies

Stadium Lamanya (% kasus) Manifestasi klinis

 Inkubasi  < 30 hari (25%) Tidak ada


 30-90 hari (50%)
 90 hari – 1 tahun
(20%)
 >1 tahun (5%)
 Prodromal 2-10 hari

Parestesi, nyeri pada luka


gigitan, demam, malaise,
anoreksia, mual & muntah,
nyeri kepala, lethargi,
agitasi, anxietas, depresi

Neurologik akut

 Furious (80%)
2-7 hari
Halusinasi, bingung,
delirium, tingkah laku aneh,
agitasi, menggigit,
hidropobia, hipersalivasi,
disfagia, afasia,
inkoordinasi, hiperaktif,
spasme faring, aerofobia,
hiperventilasi, disfungsi
saraf otonom, sindroma
abnormalitas ADH

 Paralitik Koma
Paralisis flaksid
2-7 hari

Autonomic instability,
0-14 hari
hipoventilasi, apnea, henti
nafas,
hipotermia/hipertermia,
hipotensi, disfungsi pituitari,
rhabdomiolisis, aritmia dan
henti jantung

H. Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul
pada fase koma. Komplikasi neurologik dapat berupa peningkatan tekanan
intrakranial; kelainan pada hipotalamus berupa diabetes insipidus, sindrom
abnormalitas hormon antidimetik (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan
hipertensi, hipotensi, hipertemia/hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat
lokal maupun generalisata dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan
respirasi. Pada stadium prodromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan
alkalosis respiratorik, sedangkan hipoventilasi dan depresi pernafasan terjadi pada
fase neurologik akut. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan
gangguan otonomik (Chin, 2000).
I. Diagnosis
Diagnosis rabies hanya berdasarkan gejala klinis sangat sulit dan kurang
bisa dipercaya, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu hidrofobia dan
aerofobia. Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dikerjakan:

1. Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 – 13000/mm)


dan penurunan hemoglobin serta hematokrit.
2. Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit.
3. Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2 minggu
setelah onset.
4. Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa badan Negri (badan inklusi
dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi
dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu. Antigen, badan
negri dan virus banyak ditemukan pada sel saraf (neuron) sedangkan kelenjar ludah
dapat mengandung antigen dan virus tetapi badan negri tidak selalu dapat ditemukan
pada kelenjar ludah anjing. Adanya kontaminasi pada specimen dapat mengganggu
pemeriksaan dan khususnya untuk ”isolasi virus” pengiriman harus dilakukan
sedemikian rupa sehingga kelestarian hidup virus dalam specimen tetap terjamin
sampai ke laboratorium. Bahan pemeriksaan dapat berupa seluruh kepala, otak,
hippocampus, cortex cerbri dan cerebellum, preparat pada gelas objek dan kelenjar
ludah. Bila negri body tidak ditemukan, supensi otak (hippocampus) atau kelenjar
ludah sub maksiler diinokulasikan intrakranial pada hewan coba (suckling animals),
misalnya hamster, tikus (mice) atau kelinci (rabbits).
5. Serologi : DFA Testing and RT-PCR melaluii biopsy kulit, Reverse-Transcription
Polymerase Chain Reaction (RTPCR) dalam saliva.
6. Cairan serebrospinal : Rabies Virus–Specific Antibodies dalam serum dan LCS
(Rapid fluorescent focus inhibition test/RFFIT), dapat ditemukan monositosis
sedangkan protein dan glukosa dalam batas normal. Namun, pada pemeriksaan
laboratorium, yang merupakan gold standar untuk diagnosis rabies adalah
pemeriksaan dengan tehnik fluorescent antibody (FA). Deteksi nukleokapsid
dengan ELISA merupakan tes yang cepat dan juga dapat digunakan maupun
dilakukan pada survei epidemiologi.3,6
J. Penatalaksanaan Rabies
Penanganan luka gigitan hewan penular rabies setiap ada kasus gigitan hewan
penular rabies (anjing, kucing, kera) harus ditangani dengan tepat dan sesegera
mungkin.
1. Berikut ini beberapa tips dan langkah-langkah penanganan luka gigitan:
Segera luka dibersihkan, bisa menggunakan sabun/deterjen, dibilas dgn air
bersihmengalir 5-10 menit. Lalu dikeringkan dgn kain/tissue bersih dan dapat
ditambahkan antiseptik betadin ataupun alkohol 70%.
2. Lakukan eksplorasi pada luka. lakukan pembersihan dgn NaCl 0,9%, atau dgn
H2O2 3%.
3. Luka yg ada jangan dijahit, kalau luka terlalu lebar bisa dilakukan penjahitan
secara longgar dgn menggunakan benang non absorbable, dan dipasang drain.
4. Pemberian vaksin rabies, 0,5 ml IM pada hari 1,3,7,14 dan hari ke-28 . Tidak
ada pembedaan dosis untuk anak-anak dan dewasa.
5. Dapat dikombinasikan dgn antibiotik, untuk mencegah adanya infeksi kuman
atau bakteri yg lain.
Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR) atau Vaksin Anti Rabies (VAR) disertai
Serum Anti Rabies (SAR) : Bila ada indikasi pengobatan, terhadap luka resiko
rendah diberi VAR saja. Yang termasuk luka yang tidak berbahaya adalah jilatan
pada kulit luka, garukan atau lecet (erosi, ekskoriasi), luka kecil disekitar tangan,
badan dan kaki. Terhadap luka resiko tinggi, selain VAR juga diberi SAR. Yang
termasuk luka berbahaya adalah jilatan/luka pada mukosa, luka diatas daerah bahu
(muka, kepala, leher), luka pada jari tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam
dan luka yang banyak (multipel). Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan
tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak ada luka, kontak tak
langsung, tidak ada kontak, maka tidak perlu diberikan pengobatan VAR maupun
SAR. Sedangkan apabila kontak dengan air luir pada kulit luka yang tidak
berbahaya, maka diberikan VAR atau diberikan kombinasi VAR dan SAR apabila
kontak dengan air liur pada luka berbahaya.
Dosis dengan cara pemberian Vaksin dan Serum Anti Rabies adalah sebagai berikut :
1. Dosis dan Cara Pemberian Vaksin Anti Rabies (VAR)

Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV). Kemasan : Vaksin terdiri dari vaksin kering
dalam vial dan pelarut sebanyak 0,5 ml dalam syringe.
Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment). Cara
pemberian : disuntikkan secara intra muskuler (im) di daerah deltoideus (anak–anak
di daerah paha).
Vaksinasi Dosis Waktu pemberian
Dasar 0,5ml 0,5ml 4x Pemberian :
Hari Ke-0 : 2x Sekaligus
(Deltoid Kiri dan Kanan)
Hari Ke 7 dan Ke 21
Ulangan - - -

Dosis dan cara pemberian VAR bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post
Exposure Treatment)
Vaksinasi Dosis Waktu pemberian Keterangan

Dasar 1ml 2ml 7x Pemberian : Anak < 3th


diberikan setiap hari

Ulangan 0,1ml 0,25ml Hari Ke-11, 15, 25,


30, dan 90

Vaksinasi Dosis Waktu pemberian


Dasar 0,5ml 0,5ml 4x Pemberian :
Hari Ke-0 : 2x Sekaligus
(Deltoid Kiri dan Kanan)
Hari Ke 7 dan Ke 21
Ulangan o.5ml 0.5ml Hari Ke-90

2. Suckling Mice Brain Vaccine (SMBV)


Kemasan : Dos berisi 7 vial @ 1 dosis dan 7 ampul pelarut @ 2 ml dan Dos berisi 5
ampul @ 1 dosis intra cutan dan 5 ampul pelarut @ 0,4 ml.
Dosis dan cara pemberian sesudah digigit (Post Exposure Treatment). Cara
pemberian : Untuk vaksinasi dasar disuntikkan secara sub cutan (sc) di sekitar daerah
pusar. Sedangkan untuk vaksinasi ulang disuntikkan secara intra cutan (ic) di bagaian
fleksor lengan bawah .

Vaksinasi Dosis Waktu pemberian Keterangan


Dasar 1ml 2ml 7x Pemberian : Anak < 3th
diberikan setiap hari

Ulangan 0,1ml 0,25ml Hari Ke-11, 15, 30,


dan 90

Dosis dan cara pemberian bersamaan dengan SAR sesudah digigit (Post Exposure
Treatment). Cara pemberian : sama seperti pada butir 2.a.
II. Dosis dan Cara Pemberian Serum Anti Rabies (SAR)
1. Serum hetorolog (Kuda). Kemasasn : vial 20 ml (1 ml = 100 IU)
Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi di sekitar luka sebanyak mungkin,
sisanya disuntikkan intra muskuler.
- Dosis :

Jenis Dosis Waktu pemberian Keterangan


Serum
Serum 40ml/Kgbb Bersamaan dengan Sebelumnya
Heterolog pemberian VAR Dilakukan
hari ke-0 Skintest

2. Serum Momolog
Kemasan : vial 2 ml ( 1 ml = 150 IU ). Cara pemberian : Disuntikkan secara infiltrasi
di sekitar luka sebanyak mungkin, sisanya disuntikkan intra muskuler.
- Dosis :
Jenis Dosis Waktu pemberian Keterangan
Serum
Serum 20ml/Kgbb Bersamaan dengan Sebelumnya
Momolog pemberian VAR tidak
hari ke-0 Dilakukan
Skintest

Perawatan Rabies
a. Penderita dirujuk ke Rumah Sakit
b. Sebelum dirujuk, penderita diinfus dengan cairan Ringer Laktat/NACI
0,9%/cairan lainnya, kalau perlu diberi anti konvulsan dan sebaiknya penderita
difiksasi selama di perjalanan dan waspada terhadap tindak–tanduk penderita
yang tidak rasional, kadang – kadang maniakal disertai saat–saat responsif.
c. Di Rumah Sakit penderita dirawat di ruang perawatan dan diisolasi
d. Tindakan medik dan pemberian obat–obat simptomatis dan supportif
termasukanti biotik bila diperlukan.
e. Untuk menghindari adanya kemungkinan penularan dari penderita, maka
sewaktu menanganikasus rabies pada manusia, hendaknya dokter dan paramedis
memakai sarung tangan, kaca mata dan masker, serta sebaiknya dilakukan
fiksasi penderita pada tempat tidurnya.4

2.10. Pencegahan Rabies


a. Pencegahan Primer
1. Tidak memberikan izin untuk memasukkan atau menurunkan anjing, kucing,
kera dan hewan sebangsanya di daerah bebas rabies.
2. Memusnahkan anjing, kucing, kera atau hewan sebangsanya yang masuk tanpa
izin ke daerah bebas rabies.
3. Dilarang melakukan vaksinasi atau memasukkan vaksin rabies kedaerah-daerah
bebas rabies.
4. Melaksanakan vaksinasi terhadap setiap anjing, kucing dan kera, 70% populasi
yang ada dalam jarak minimum 10 km disekitar lokasi kasus.
5. Pemberian tanda bukti atau pening terhadap setiap kera, anjing, kucing yang
telah divaksinasi.
6. Mengurangi jumlah populasi anjing liar atan anjing tak bertuan dengan jalan
pembunuhan dan pencegahan perkembangbiakan.
7. Anjing peliharaan, tidak boleh dibiarkan lepas berkeliaran, harus didaftarkan ke
Kantor Kepala Desa/Kelurahan atau Petugas Dinas Peternakan setempat.
8. Anjing harus diikat dengan rantai yang panjangnya tidak boleh lebih dari 2
meter. Anjing yang hendak dibawa keluar halaman harus diikat dengan rantai
tidak lebih dari 2 meter dan moncongnya harus menggunakan berangus
(beronsong).
9. Menangkap dan melaksanakan observasi hewan tersangka menderita rabies,
selama 10 sampai 14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau yang
dibunuh, maka harus diambil spesimen untuk dikirimkan ke laboratorium
terdekat untuk diagnosa.
10. Mengawasi dengan ketat lalu lintas anjing, kucing, kera dan hewan sebangsanya
yang bertempat sehalaman dengan hewan tersangka rabies.
11. Membakar dan menanam bangkai hewan yang mati karena rabies sekurang-
kurangnya 1 meter.
b. Pencegahan Sekunder
Pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meminimalkan resiko tertularnya
rabies adalah mencuci luka gigitan dengan sabun atau dengan deterjen selama 5-10
menit dibawah air mengalir/diguyur. Kemudian luka diberi alkohol 70% atau Yodium
tincture. Setelah itu pergi secepatnya ke Puskesmas atau Dokter yang terdekat untuk
mendapatkan pengobatan
sementara sambil menunggu hasil dari rumah observasi hewan. Resiko yang dihadapi
oleh orang yang mengidap rabies sangat besar. Oleh karena itu, setiap orang digigit
oleh hewan tersangka rabies atau digigit oleh anjing di daerah endemic rabies harus
sedini mungkin mendapat pertolongan setelah terjadinya gigitan sampai dapat
dibuktikan bahwa tidak benar adanya infeksi rabies.

c. Pencegahan Tersier
Tujuan dari tiga tahapan pencegahan adalah membatasi atau menghalangi
perkembangan ketidakmampuan, kondisi, atau gangguan sehingga tidak berkembang
ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif yang mencakup pembatasan
terhadap ketidakmampuan dengan menyediakan rehabilitasi. Apabila hewan yang
dimaksud ternyata menderita rabies berdasarkan pemeriksaan klinis atau
laboratorium dari Dinas Perternakan, maka orang yang digigit atau dijilat tersebut
harus segera mendapatkan pengobatan khusus (Pasteur Treatment) di Unit
Kesehatan yang mempunyai fasilitas pengobatan Anti Rabies dengan lengkap.4,6
Prognosis
Kematian karena infeksi virus rabies boleh dikatakan 100% bila virus sudah
mencapai sistem saraf pusat. Dari tahun 1857 sampai tahun 1972 dari kepustakaan
dilaporkan 10 pasien yang sembuh dari rabies namun sejak tahun 1972 hingga
sekarang belum ada pasien rabies yang dilaporkan hidup. Prognosis seringkali fatal
karena sekali gejala rabies telah tampak hampir selalu kematian terjadi 2-3 hari
sesudahnya sebagai akibat gagal nafas/henti jantung ataupun paralisis generalisata.
Berbagai penelitian dari tahun 1986 hingga 2000 yang melibatkan lebih dari 800
kasus gigitan anjing pengidap rabies di negara endemis yang segera mendapat
perawatan luka, pemberian VAR dan SAR, mendapatkan angka survival 100%
(Bleck, 2000).

Anda mungkin juga menyukai