Anda di halaman 1dari 1

Beda Penanganan Bencana dan Konflik Menurut M.

Sulfan Reza dalam “Bencana Alam dan


Dampak Psikologisnya pada Kehidupan Manusia” (2007), peristiwa bencana alam memang
dapat mengganggu kondisi psikologis seseorang karena mengancam keselamatan jiwa dan
menyebabkan hilangnya mata pencaharian. Ketidakseimbangan kondisi psikologis tersebut,
demikian Sulfan Reza, nampak dari gejala-gejala seperti syok, mimpi buruk, sulit konsentrasi,
cemas, waspada secara berlebihan, dan perasaan tidak aman. Selain itu, penyintas juga bisa
mengalami kesedihan mendalam, merasa hampa serta tak berdaya, dan enggan bergaul. Gejala
psikis itu tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Para penyintas harus dibantu supaya pulih kesehatan
mentalnya. Menurut Jackie, penanganan dampak psikologis terhadap korban dalam konteks
bencana alam ditempuh dengan cara memberikan dukungan psikososial, alih-alih pemulihan
trauma. Selama ini ada anggapan bahwa pemulihan trauma bertujuan untuk melupakan peristiwa
traumatik, sementara memori manusia mustahil melupakan peristiwa pahit seperti bencana. Oleh
sebab itu, alih-alih melupakan, para korban diajak untuk melepaskan diri dari kungkungan rasa
takut jika ingatan akan bencana muncul. Baca juga: Bencana Alam dan Ancaman Gangguan
Jiwa Hal ini diamini Bram. Menurutnya, pemulihan trauma atau trauma healing lebih tepat
dilekatkan pada penanganan dampak psikologis yang diberikan pada korban konflik, bukan
bencana alam. “Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder edisi empat dan
Pedoman Penyakit dan Gangguan Jiwa Kemenkes, Post Traumatic Stress Disorder pada korban
bencana muncul setelah enam bulan. Di bawah enam bulan, yang muncul Acute Stress Disorder.
Jadi korban bencana itu belum trauma. Makanya yang tepat adalah dukungan psikososial,” kata
Bram.

Dalam “Memahami Masalah Psikologis Bencana” (2007), Nathanael Sumampouw memaparkan


proses mengatasi stres akibat bencana alam melalui dua konsep. Konsep pertama menjelaskan
lima fase yang dialami seseorang hingga akhirnya ia menerima situasi pahit yang terjadi. Fase
pertama, orang akan merasa terguncang pasca-peristiwa traumatis. Tahap berikutnya, ia akan
menyangkal, marah pada peristiwa yang terjadi dan terhadap diri sendiri. Setelah itu, ia akan
merasa tak berdaya dan kehilangan gairah hidup. Setelah mengalami semua hal itu, catat
Nathanael, perlahan-lahan ia akan menerima keadaan. Di titik itu, harapannya akan masa depan
kembali tumbuh. Adapun konsep pemulihan yang kedua, lanjut Nathanael, mirip permainan ular
tangga: proses pemulihan bisa berlangsung secara berbeda, tergantung pada masing-masing
individu. Ada banyak faktor yang bisa membuat orang segera mampu "menaiki tangga" alias
bisa "pulih", di antaranya dukungan sosial dari orang lain, terjaminnya situasi yang aman dan
nyaman, rasa kebersamaan dengan orang-orang sekitar, dan bantuan proses pemulihan.

Baca selengkapnya di Tirto.id dengan judul "Apa Saja Tahap Trauma Healing Pasca-Bencana? ",
https://tirto.id/apa-saja-tahap-trauma-healing-pasca-bencana-cRoq.

Follow kami di Instagram: tirtoid | Twitter: tirto.id

Anda mungkin juga menyukai