Anda di halaman 1dari 5

KEBIJAKAN PENDIDIKAN

DI INDONESIA
Berdasarkan UU No.20/2003 SISDIKNAS
(Ujian Nasional)

Mata kuliah: Kebijakan Pendidikan

Dosen Pengampu:
Amirul Mukminin, S.Pd.,M.Sc.,PhD
Drs. Marzul Hidayat, MA.,PhD

Disusun oleh:

Firdaus
NIM. P2A219011

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN

FAKULTAS PASCASARJANA

UNIVERSITAS JAMBI

2019
PENDAHULUAN
1.) Latar belakang
Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa
Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan
mengenai tujuan-tujuan yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan, partai
politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-pernyataan
mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis. Pengertian ini mengandung
arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana, pernyataan
tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang dikeluarkan oleh
pemerintah, partai politik, dan lain-lain.
James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian
tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh
seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu.
Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari seorang
pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang mempunyai
tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau
sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu.
Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia
memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan
dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan
atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.
Kebijakan yang dikemukakan oleh M. Irfan Islamy ini mencakup tindakan-tindakan
yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah
tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu. Terakhir,
pengertian M. Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh
masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan
kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian
dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses
pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan),
proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan
kepada pembuat kebijakan.
Uluran pemerintah di bidang pendidikan dimaksudkan untuk mengemban amanat
konstitusi. Amanat tersebut, tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea keempat, yang berbunyi antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa.
Masalah kualitas pendidikan berkenaan dengan bagaimana meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia agar bangsa Indonesia dapat
mempertahankan eksistensinya. Dalam masalah ini tercakup pula masalah
ketertinggalan bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang lebih
maju. Masalah kuakualitas pendidikan menyangkut banyak hal, antara lain kualitas
calon anak didik, guru dan tenaga kependidikan lainnya, prasarana dan sarana
pendidikan.
Penulis akan mengangkat beberapa kebijakan yang populer dalam pendidikan di
Indonesia yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berlandaskan
pada UU No.20/2003 SISDIKNAS. Dan mengemukakan indikator-indikator yang
membuat tercapai atau tidaknya kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tersebut.

2.) Tujuan
a. Untuk merelevansikan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun
daerah dengan pasal atau ayat pada UU No.20/2003 SISDIKNAS.
b. Untuk mengetahui indikator-indikator tercapainya atau tidak suatu kebijakan
tersebut.

3.) Pertanyaan
a. Apakah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sejalan atau sesuai dengan UU
No. 20/2003 SISDIKNAS (Ujian Nasional)?
b. Apa saja indikator-indikator tercapai atau tidaknya (kekurangan/kelemahan)
suatu kebijakan yang telah dbuat oleh pemerintah pusat maupun daerah (Ujian
Nasional)?
PEMBAHASAN
1.) Kebijakan Ujian Nasional (UN)
Penilain nasional akan dapat mendorong perubahan mutu pendidikan bila desainnya
didasarkan pada teori dan model kognisi dan pembelajaran siswa serta mampu
merekam pengetahuan dan keterampilan yang bernilai (valued knowledge and thinking
skills). Kebijakan tentang sangat merefleksikan bagaimana nilai-nilai tersebut dianut baik
pada tingkat sekolah, komunitas, eksekutif maupun legislatif. Semua persoalan tentang
ujian nasional sebenarnya harus dilihat, dianalisis, dipelajari dan direvisi dalam kerangka
keempat nilai yaitu: pilihan, kualitas, efisiensi, dan kesetaraan. Karena ketegangan
dalam perumusan kebijakan ujian nasional akan selalu terkait dengan budaya, ideologi,
dan keyakinan tentang bagaimana proses keempat nilai tersebut akan
diimplementasikan.
Beberapa pertanyaan mendasar soal kebijakan ujian nasional sebagai alat kontrol
negara terhadap kualitas pendidikan seharusnya bisa ditindaklajuti dengan serangkaian
riset tentang polarisasi terhadap kebutuhan standar nasional pendidikan di Indonesia.
Artinya, sebagai sebuah kebijakan publik, dasar hukum ujian nasional harus diuji secara
publik dan meluas sehingga aspek normatif ujian nasional dapat diterapkan secara
transparan.
Kontroversi mengenai Ujian Nasional (UN) pada pendidikan dasar dan menengah.
Beberapa penolakan terhadap penerapan (UN) pada siswa sebagai alat untuk
menentukan kelulusan, sebenarnya memiliki dasar keilmuan, pertimbangan psikologis
dan ekonomis yang cukup mendasar dan sahih. Namun, (Depdiknas) selalu
mengesampingkan semua pemikiran kritis tentang (UN), dan memilih untuk terus maju
dengan program tahunan yang biayanya diperkirakan lebih dari 250 miliar rupiah.
Secara teknis, (UN) yang sekarang ditetapkan mengandugn sejumlah kelemahan,
khususnya bila dikaji dari konsep ‘unified validity’, yaitu pemanfaatan dan penafsiran
hasil/skor ujian untuk kepentingan penentuan kelulusan dan konsep keadilan serta
potensi terjadinya bias pada tes karena masih lebarnya diskrepansi kualitas guru, sarana
dan fasilitas belajar pada sistem pendidikan di Indonesia. Hasil (UN) juga memiliki
kendala teknis untuk diperbandingkan karena soal tes yang digunakan tidak dikalibrasi
sehingga belum memiliki skala yang sama. Karenanya untuk mengatakan hasil (UN)
tahun ini lebih baik dari tahun sebelumnya juga sulit dilakukan.
Depdiknas lebih mengutamakan kepentingan akuntabilitas sekolah daripada
kebutuhan untuk melakukan pembenahan pendidikan secara sistematik dan
konsepsional termasuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan kemandirian pada
siswa dalam belajar. Permasalahan lain dari (UN) adalah sulitnya menemukan bukti
empirik bahwa tujuan yang dijadikan landasan kebijakan penerapan (UN) itu sudah
tercapai. Depdiknas dengan proyek ujian akhir ini meminta pertanggung jawaban
sekolah atas program pendidikan yang sudah dilaksanakan. Selain itu, UN juga
diharapakn mendorong dan meningkatkan kualitas pembelajaran siswa. Depdiknas
berkeyakinan, dengan menggunakan instrument UN, kedua pekerjaan besar tersebut
akan dapat diraih secara bersamaan.
Lebih daripada itu, UN sebagai instrument kebijakan pendidikan untuk meningkatkan
mutu pendidikan juga masih belum memadai karena standar mutu nasional soal tes
yang dijadikan kriteria masih sangat rendah.
Sekarang sudah saatnya pemerintah membenahi sistem penilaian pendidikan yang
berorientasi pada standar kualitas yang tinggi bagi kemajuan bangsa ini dan
menciptakan desain pembelajaran dan penilaian yang bernilai secara kognitif. Guru
dapat menciptakan dan memperkenalkan berbagai model pembelajaran dan penilaian
yang lebih menantang. Seharusnya Depdiknas tidak membiarkan model penilaian di
muka semakin berkurang dan menghilang pada praktek pembelajaran dikelas.
Sebaliknya kegiatan pembelajaran dan penilaian yang menantang tersebut dapat
mendorong dan meningkatkan kualitas pembelajaran siswa.
Meskipun mutu ujian kelas kelak dapat diperbaiki dan ditingkatkan, UN akan tetap
diperlukan namun dengan tujuan yang berbeda, yaitu untuk memetakan mutu
pendidikan secara umum dan memengaruhi kualitas pembelajaran siswa. Sedangkan
penentuan kelulusan akan tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab guru dan
sekolah. Dimana yang tertuang pada pasal 57 dan 58 UU NO.20/2003 DISDIKNAS
mengenai evaluasi (ujian nasional) yang berbunyi:
Pasal 57: (1) “Evaluasi dilakukan dalam rangka pengendalian mutu pendidikan
secara nasional sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan keapada pihak-
pihak yang berkepentingan”. (2) “Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, lembaga
dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan
dan jenis pendidikan”.
Pasal 58: (1) “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk
memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara
berkesinambungan”. (2) “Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program
pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan
sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan”.

Anda mungkin juga menyukai