Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Hak Tanggungan / Hak Jaminan Atas Tanah

“Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Hukum Agraria”

Disusun Oleh :

Nama NIM

1. Deviyanti 12011800026
2. Lola Amelia 12011800050
3. Rifat Mahali 12011800111
4. Arif Julianto W. 12011800108
5. Yudi Firdaus 12011900039

UNIVERSITAS BINA BANGSA

FAKULTAS HUKUM

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan nikmat serta
anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami dengan judul “Hak Tanggungan
/ Hak Jaminan Atas Tanah” ini. Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita panjatkan untuk junjungan
nabi agung kita,yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk
kita semua,yang merupakan sebuah petunjuk yang paling benar yakni syariah agama islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk makalah
ini untuk selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat menyadari, bahwa makalah yang
telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.

Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga rampungnya
makalah ini.

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, kami berharap supaya makalah yang telah kami
buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya. Aamiinn

Serang, 12 Desember 2019

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................................. 4
1. Latar Belakang ................................................................................................................................. 4
2. Rumusan Masalah ........................................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................................................... 5
A. Dasar Hukum Hak Tanggugan ..................................................................................................... 5
B. Ciri- Ciri Hak Tanggungan ............................................................................................................ 6
C. Subjek dan Objek Hak Tanggungan............................................................................................. 8
D. Proses Pembebanan Hak Tanggungan ...................................................................................... 10
E. Eksekusi Hak Tanggungan ......................................................................................................... 11
F. Akibat Hukum Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan.......................................................... 13
BAB III PENUTUP ................................................................................................................................... 15
A. KESIMPULAN ............................................................................................................................. 15
B. SARAN ....................................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 16

3
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang
sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda – benda lain yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak-hak atas
tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak
Guna Bangunan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas
tanah berupa Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.

Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak


Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian
dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan
atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut dilakukan selambat – lambatnya 7 hari kerja
setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan.Namun pada prakteknya di
masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara peraturan perundang – undangan
dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan.
Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak tanggungan tersebut. Selain itu juga sering
kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka waktu yang ditentukan
oleh Undang – Undang Hak Tanggungan.

2. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah pengaturan dasar hukum hak tanggungan?

2. Bagaimanakah ciri-ciri hak tanggungan?

3. Apakah yang menjadi subjek dan objek hak tanggungan?

4. Bagaimanakah proses pembebanan hak tanggungan?

5. Bagaimanakah eksekusi hak tanggungan?

6. Bagaimanakah akibat hukum hak tanggugan yang tidak didaftarkan?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum Hak Tanggugan

Adanya unifikasi hukum barat yang tadinya tertulis, dan hukum tanah adat yang
tadinya tidak tertulis kedua-duanya lalu diganti dengan hukum tertulis sesuai dengan
ketetapan MPRS Nomor II/MPR/1960 yang intinya memperkuat adanya unifikasi hukum
tersebut. Sebelum berlakunya UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria), dalam hukum
dikenal lembaga-lembaga hak jaminan atas tanah yaitu apabila yang dijadikan jaminan tanah
hak barat, seperti Hak Eigendom, Hak Erfpacht atau Hak Opstal, lembaga jaminannya adalah
Hipotik, sedangkan Hak Milik menjadi obyek Credietverband. Dengan demikian mengenai
segi materilnya mengenai Hipotik dan Credietverband atas tanah masih tetap berdasarkan
ketentuan – ketentuan KUHPerdata dan Stb 1908 Nomor 542 jo Stb 1937 Nomor 190 yaitu
misalnya mengenai hak – hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu
mengenai asas – asas Hipotik, mengenai tingkatan-tingkatan Hipotik janji-janji dalam
Hipotik dan Credietverband.[1]

Dengan berlakunya UUPA, (UU Nomor 5 Tahun 1960) maka dalam rangka
mengadakan unifikasi hukum tanah, dibentuklah hak jaminan atas tanah yang diberi nama
Hak Tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hipotik dan Credietverband dengan Hak milik,
Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan sebagai obyek yang dapat dibebaninya. Hak-hak
barat sebagai obyek Hipotik dan Hak Milik sebagai obyek Credietverband tidak ada lagi,
karena hak-hak tersebut telah dikonversi menjadi salah satu hak baru yang diatur dalam
UUPA.

Munculnya istilah Hak Tanggungan itu lebih jelas setelah muncul Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda - Benda yang
berkaitan dengan Tanah pada tanggal 9 April 1996. Pasal 1 angka 1 UUHT menyebutkan
pengertian dari Hak Tanggungan.

"Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria berikut atau tidak
berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya”

Dengan lahirnya Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
diharapkan akan memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan jaminan dengan
tanah beserta benda – benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sebagai jaminan yang
selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan – ketentuan Creditverband dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT pada dasarnya adalah hak tanggungan
yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun, pada kenyataannya seringkali terdapat benda –

5
benda berupa bangunan, tanaman dan hasil karya yang secara tetap merupakan satu kesatuan
dengan tanah yang dijadikan jaminan turut pula dijaminkan. Sebagaimana diketahui bahwa
Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan
Horizontal, yang menjelaskan bahwa setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah
tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut.[2] Penerapan asas tersebut tidak
mutlak, melainkan selalu menyesuaikan dan memperhatikan dengan perkembangan
kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat. Sehingga atas dasar itu UUHT memungkinkan
dilakukan pembebanan Hak Tanggungan yang meliputi benda-benda diatasnya sepanjang
benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah bersangkutan dan ikut dijadikan
jaminan yang dinyatakan secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

B. Ciri- Ciri Hak Tanggungan

Adapun ciri-ciri dari hak tanggungan adalah sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya


(droit de preference). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 ayat (1).
Apabila debitor cidera janji (wanprestasi), maka kreditor pemegang hak tanggungan
berhak menjual tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut melalui pelelangan
umum dengan hak mendahului dan kreditor yang lain.
2. Selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapapun obyek itu berada
(droit de suite). Hal ini ditegaskan dalam Pasal 7. Sifat ini merupakan salah satu
jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Meskipun obyek Hak
Tanggungan telah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap
dapat menggunakan haknya untuk melakukan eksekusi apabila debitor cidera janji
(wanprestasi).
3. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan
memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.
4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 kreditur diberikan kemudahan dan kepastian dalam pelaksanaan eksekusi. Hal
ini diatur dalam Pasal 6. Apabila debitor cidera janji (wanpreslasi), maka kreditor
tidak perlu menempuh cara gugatan perdata biasa yang memakan waktu dan biaya
besar. Kreditur pemegang Hak Tanggungan dapat menggunakan haknya untuk
menjual obyek hak tanggungan melalui pelelangan umum.[3]

Ciri-ciri tersebut selalu melekat pada Hak Tanggungan. Menurut J. Satrio


bahwa:[4] Ciri-ciri Hak Tanggungan dapat dilihat dalam Pasal 1 sub 1 Undang-
Undang Hak Tanggungan, suatu Pasal yang hendak memberikan perumusan tentang
Hak Tanggungan yang antara lain menyebutkan ciri:

a. Hak jaminan;
b. atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan kesatuan
dengan tanah yang bersangkutan;
c. untuk pelunasan suatu hutang;
d. memberikan kedudukan yang diutamakan

6
Bila dibandingkan ciri-ciri yang dikemukakan dua sarjana di atas, maka ciri yang
ditampilkan berbeda dasar pengaturannya yaitu Pasal 3 dan Pasal 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan sedangkan yang sama hanyalah mengenai kedudukan yang diutamakan.

Apabila mengacu beberapa Pasal dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, maka
terdapat beberapa sifat dan asas dari Hak Tanggungan. Adapun sifat dari hak tangggungan
adalah sebagai berikut:

a. Hak Tanggungan bersifat memberikan Hak Preference (droit de prefence) atau kedudukan
yang diutamakan kepada kreditur tertentu dari pada kreditur lainnya.
b. Hak tanggungan mengikuti tempat benda berada (droit de suite). Ini merupakan salah satu
kekuatan lain hak tanggungan. Jadi walaupun tanah yang dibebani dengan Hak
Tanggungan tersebut dialihkan kepada pihak atau orang lain (dalam hal ini misalnya
dijual), Hak Tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah tersebut, sepanjang belum
dihapuskan dalam praktiknya sering juga disebut dengan istilah dilakukan “Roya” oleh
pemegang hak tanggungan.
c. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi, kecuali telah diperjanjikan sebelumnya. Hak
tanggungan yang melekat pada suatu jaminan berupa tanah dan bangunan, tidak dapat
ditetapkan hanya melekat disebagian bidang tanah atau rumah tersebut. Namun dapat pula
diperjanjikan bahwa Hak Tanggungan yang membebani beberapa bidang tanah, dapat
dihapuskan secara sebagian-sebagian, sesuai dengan proporsi pelunasan fasilitas
pembiayaan yang dilakukan oleh debitur.
d. Hak Tanggungan dapat digunakan untuk menjamin utang yang sudah ada atau yang akan
ada. Jika utang yang sudah ada, tentunya sudah jelas, tetapi untuk utang yang akan ada
seperti apa? Yang dimaksud dengan utang yang akan ada adalah utang yang pada saat
dibuat dan ditandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan tersebut belum ditetapkan
jumlah ataupun bentuknya. Dalam setiap APHT disebutkan bahwa debitur punya sejumlah
utang tertentu, yang dituliskan’……..yang dibuktikan dengan akta perjanjian kredit
tertanggal (hh-bb-tt), Nomor xxx, yang dibuat dihadapan xxxx, Notaris di xxx berikut
perubahannya dan/atau penambahannya…..’Misalnya, pada saat akta tersebut dibuat
jumlah utang debitur masih sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Kemudian
karena nilai Hak Tanggungan yang dipasang masih cukup untuk penambahan Plafon
Kredit, pada saat debitur memperoleh tambahan kredit sebesar Rp. 50.000.000,- (Lima
Puluh Juta Rupiah) dia tidak dibebani dengan Hak Tanggungan baru. Hanya cukup
menunjuk kepada jaminan yang sudah pernah diberikan oleh debitur dengan nilai utang
yang dijaminnya bertambah menjadi Rp. 150.000.000,- (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah).
e. Hak Tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai
kekuatan eksekusi tanpa melalui putusan pengadilan melalui penjualan di muka umum.
Namun demikian, hal yang menarik dalam praktiknya adalah pada saat pemilik jaminan
melakukan penawaran atas upaya kreditur untuk melelang tanah dan bangunan yang
dijaminkan, kreditur masih tetap membutuhkan bantuan pengadilan untuk mengeksekusi
jaminan yang sudah dibebani Hak Tanggungan.
f. Hak Tanggungan memiliki sifat spesialitas dan publisitas. Sifat spesialitas dan publisitas
yang menyebabkan timbulnya hak Preference kreditur. Dalam hal terjadi peristiwa
kepailitan debitur, Hak Preference kreditur tersebut tidak hilang dan menjadi separatis.
Artinya, kreditur punya hak terpisah atas obyek yang dibebani Hak Tanggungan tersebut.
Oleh karena itu kreditur berhak mendapatkan pelunasan utang terlebih dahulu dari hasil

7
penjualan tanah atau bangunan sebagai jaminan. Dengan adanya publisitas tersebut pihak
ketiga (Siapa pun) bisa mengecek status tanah tersebut melalui kantor pertanahan setempat.
Tujannya menghindari terjadinya suatu transaksi peralihan hak atas tanah dimaksud tanpa
persetujuan dari kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.

C. Subjek dan Objek Hak Tanggungan

1. Subjek Hak Tanggungan


Subjek hak tanggungan adalah:
a. Pemberi Hak Tanggungan

Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak
Tanggungan yang bersangkutan.

Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak
yang berutang atau debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan
untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak
Tanggungan.

Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan


tersebut harus ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pendaftaran hak
tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat
didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan
pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.

Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau
debitor, akan tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya
pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman
dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan.

b. Pemegang Hak Tanggungan

Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang
berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Sebagai pihak yang berpiutang di sini
dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan
hukum lainnya atau perseorangan. Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga
jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik
dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam
penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak
tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

8
2. Obyek hak tanggungan

Obyek hak tanggungan adalah sesuatu yang dapat dibebani dengan hak
tanggungan. Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, maka obyek hak
tanggungan harus memenuhi empat (4) syarat, yaitu:[2]
a. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. Maksudnya
adalah jika debitor cidera janji maka obyek hak tanggungan itu dapat dijual dengan
cara lelang
b. Mempanyai sifat dapat dipindahkan, karena apabila debitor cidera janji, maka
benda yang dijadikan jaminan akan dijual. Sehingga apabila diperlukan dapat segera
direalisasikan untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya
c. Termasuk hak yang didaftar menurut peraturan pendaftaran tanah yang berlaku,
karena harus dipenuhi "syarat publisitas". Maksudnya adalah adanya kewajiban untuk
mendaftarkan obyek hak tanggungan dalam daftar umum, dalam hal ini adalah Kantor
Pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan atau preferen yang
diberikan kepada kreditor pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk
itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan tersebut pada buku tanah dan
sertifikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat
mengetahuinya.
d. Memerlukan penunjukkan khusus oleh undang-undang. Dalam Pasal 4 undang-
undang Hak Tanggungan disebutkan bahwa yang dapat dibebani dengan hak
tanggungan adalah:

a. Hak Milik (Pasal 25 UUPA) ;

b. Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA) ;

c. Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA) ;

d. Hak Pakai Atas Tanah Negara (Pasal 4 ayat (D), yang menurut ketentuan
yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan.
Maksud dari hak pakai atas tanah Negara di atas adalah Hak Pakai yang
diberikan oleh Negara kepada orang perseorangan dan badan-badan hukum
perdata dengan jangka waktu terbatas, untuk keperluan pribadi atau usaha.
Sedangkan Hak Pakai yang diberikan kepada Instansi-instansi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Badan-badan Keagamaan dan Sosial serta Perwakilan
Negara Asing yang peruntukkannya tertentu dan telah didaftar bukan
merupakan hak pakai yang dapat dibebani dengan hak tanggungan karena
sifatnya tidak dapat dipindahtangankan. Selain itu, Hak Pakai yang diberikan
oleh pemilik tanah juga bukan merupakan obyek hak tanggungan;

e. Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas satuan Rumah Susun yang
berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan
Hak Pakai yang diberikan oleh Negara. (Pasal 27 jo UU No. 16 Tahun 1985
Tentang Rumah Susun.

9
D. Proses Pembebanan Hak Tanggungan

Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak
tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang undang Hak Tanggungan, janji tersebut
wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang
piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan,
yaitu:

a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam
rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah
yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib


didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah
penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah
lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan
dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di
dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak
tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas
pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang jabatan PPAT.[3]

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat


buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi
obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.

Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai
bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal
ini berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena
itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya
sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau
pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.

Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate
eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.

Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang

10
bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak
tanggungan.

Untuk melindungi kepentingan kreditor, maka dapat saja sertifikat hak tanggungan
tetap berada ditangan kreditor. Hal ini dimungkinkan oleh Pasal 14 Ayat (4) Undang-Undang
Hak Tanggungan yang menyatakan kecuali jika diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah
yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan.

E. Eksekusi Hak Tanggungan

Adapun mengenai eksekusi hak tanggungan adalah sebagai berikut :

a. Pasal 1 butir (1) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 menyebutkan bahwa “Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang
selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah milik, untuk pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-
kreditor lain.
b. Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan
sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan
bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan suatu perjanjian
lainnya yang menimbulkan utang tersebut, dan pemberian Hak Tanggungan tersebut
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT (Pasal 10
ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
c. Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan, dan sebagai bukti
adanya Hak Tanggungan, Kantor Pendaftaran Tanah menerbitkan Sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” (Pasal 13 ayat (I), Pasal 14 ayat (1) dan (2)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
d. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan apabila debitur cidera janji
maka berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan
tersebut, pemegang hak tanggungan mohon eksekusi sertifikat hak tanggungan kepada
Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang. Kemudian eksekusi akan dilakukan seperti
eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
e. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak
Tanggungan dapat dilaksanakan dibawah tangan, jika dengan demikian itu akan diperoleh
harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak (Pasal 20 ayat (2) Undang-undang
No.4 Tahun 1996) .
f. Pelaksanaan penjualan dibawah tangan tersebut hanya dapat dilakukan setelah lewat 1
(satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pembeli dan/ atau pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya
dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/ atau media

11
massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (Pasal 20 ayat (3)
Undang-undang No. 4 Tahun 1996).
g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta
PPAT, dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain dari pada membebankan
Hak Tanggungan;
- tidak memuat kuasa substitusi;
- mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta
identitas kreditornya, nama dan identitas debitur apabila debitur bukan pemberi
Hak Tanggungan;
h. Eksekusi hak tanggungan dilaksanakan seperti eksekusi putusan Pengadilan yang
berkekuatan hukum yang tetap.
i. Eksekusi dimulai dengan teguran dan berakhir dengan pelelangan tanah yang dibebani
dengan Hak tanggungan.
j. Setelah dilakukan pelelangan terhadap tanah yang dibebani Hak tanggungan dan uang
hasil lelang diserahkan kepada Kreditur, maka hak tanggungan yang membebani tanah
tersebut akan diroya dan tanah tersebut akan diserahkan secara bersih, dan bebas dan
semua beban, kepada pembeli lelang.
k. Apabila terlelang tidak mau meninggalkan tanah tersebut, maka berlakulah ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 200 ayat (11) HIR.
l. Hal ini berbeda dengan penjualan berdasarkan janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
berdasarkan Pasal 1178 ayat (2) BW, dan Pasal 11 ayat (2) e UU No. 4 Tahun 1996 yang
juga dilakukan melalui pelelangan oleh Kantor Lelang Negara atas permohonan
pemegang hak tanggungan pertama, Janji ini hanya berlaku untuk pemegang Hak
tanggungan pertama saja. Apabila pemegang hak tanggungan pertama telah membuat
janji untuk tidak dibersihkan (Pasal 1210 BW dan pasal 11 ayat (2) j UU No. 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan), maka apabila ada Hak tanggungan lain-¬lainnya dan
hasil lelang tidak cukup untuk membayar semua Hak tanggungan yang membebani tanah
yang bersangkutan, maka hak tanggungan yang tidak terbayar itu, akan tetap membebani
persil yang bersangkutan, meskipun sudah dibeli oleh pembeli dan pelelangan yang sah.
Jadi pembeli lelang memperoleh tanah tersebut dengan beban-beban hak tanggungan
yang belum terbayar. Terlelang tetap harus meninggalkan tanah tersebut dan apabila ia
membangkang, ia dan keluarganya, akan dikeluarkan dengan paksa.
m. Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh Ketua Pengadilan Negeri, maka lelang tersebut
hanya dapat ditangguhkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan tidak dapat ditangguhkan
dengan alasan apapun oleh pejabat instansi lain, karena lelang yang diperintahkan oleh
Ketua Pengadilan Negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara, adalah dalam
rangka eksekusi, dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara.
n. Penjualan (lelang) benda tetap harus di umumkan dua kali dengan berselang lima belas
hari di harian yang terbit di kota itu atau kota yang berdekatan dengan obyek yang akan
dilelang (Pasal 200 ayat (7) HIR, Pasal 217 RBg).

12
F. Akibat Hukum Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan

Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak
tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang - Undang Hak Tanggungan, janji tersebut
wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang
piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan,
yaitu:

a. Tahap Pemberian Hak Tanggungan

Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah
pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam
rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah
yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

b. Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan

Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib


didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah
penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah
lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan
dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di
dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak
tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas
pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang jabatan PPAT.

Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat


buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi
obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang
bersangkutan.

Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai
bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal
ini berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena
itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya
sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau
pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.

Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate
eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.

13
Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak
tanggungan.

Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan
kepada Kantor Pertanahan selambat – lambatnya dalam jangka waktu 7 hari. Pendaftaran Hak
Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya suatu hak tanggungan dan
merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak didaftarkan hak tanggungan
maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah berlaku. Namun tidak memenuhi unsur dari
hak tanggungan. Sehingga kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki hak sebagai kreditur
preferen sebagaimana kreditur hak tanggungan.

Jika tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak
tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional.
Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan
bukti dari adanya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial
karena memuat irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sertifikat yang memiliki irah – irah ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan tidak
didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak
memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak – hak kepada kreditur
seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum
yang tetap.

Sehingga suatu hak tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan
asas dari hak tanggungan. Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai
kreditur yang preferen melainkan sama seperti kedudukan kreditur konkuren. Selain itu
dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat sertifikat hak tanggungan
yang memberikan hak parate executie dan dapat menjadi bukti di pengadilan.

14
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hak Tanggungan adalah hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah. Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok - Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak Tanggungan
diatur dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Lahirnya undang-
undang tersebut diharapkan dapat memberikan suatu kepastian hukum tentang pengikatan
jaminan dengan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut
sebagai jaminan yang selama ini pengaturannya menggunakan ketentuan-ketentuan
Creditverband dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).
Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal
13 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan
pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan
akta pemeberian hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain
yang diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan
sertifikat hak tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut terlambat didaftarkan, bukan
suatu persoalan penting karena Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak
Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan
sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis.

Lain halnya apabila hak tanggungan tersebut tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan
tidak didaftarkan, maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan.
Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak
tanggungan menurut Pasal 14 Undang – Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari
adanya hak tanggungan. Dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor
Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya
memberikan hak – hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan
barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.

B. SARAN

Pemilik Hak Tanggungan sebaiknya mendaftarkan hak tanggungannya sesuai dengan


prosedur yang berlaku, agar bisa mendapatkan sertifikat hak tanggungan, yang dapat
dijadikan sebagai alat bukti yang otentik apabila dikemudian hari terjadi suatu permasalahan
terhadap hak tanggungan tersebut.

15
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku
Harsono, Boedi. 2000. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang P
okok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan.

Masjehoen, Sri Soedewi. 1975. Hak Jaminan Atas Tanah, Yogyakarta: Liberty.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2005. Hak Tanggungan, Jakarta:


Prenada Media.

Patrik ,Purwahid. 1986. Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang :
Badan Penerbit UNDIP.

Salim HS. 2004. Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, Jakarta: PT


Raja Grafindo Persada.

Satrio, J. 2002. Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra


Aditya Bakti.

Sudrajat, Sutardja. 1997. Pendaftaran Hak Tanggungan dan Penerbitan


Sertifikatnya, Bandung: Mandar Maju.

Sutarno. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung: Alfabeta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

16

Anda mungkin juga menyukai