Anda di halaman 1dari 5

PENUNTUN LKK 5 BLOK 13

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN HIDUNG DAN TENGGOROKAN

A. SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah kegiatan ini diharapkan mahasiswa mampu:
1. Melakukan anamnesis kelainan hidung dan tenggorokan:
a. Menanyakan keluhan utama
b. Menanyakan riwayat penyakit sekarang.
c. Menanyakan riwayat penyakit dan pengobatan dahulu.
d. Menanyakan riwayat penyakit lainnya.
e. Menanyakan riwayat keluarga.
2. Melakukan pemeriksaan fisik hidung dan tenggorokan secara runtut dan benar:
a. Melakukan pemeriksaan rhinoskopi anterior.
b. Melihat demonstrasi pemeriksaan nasofaringoskopi oleh dokter spesialis THT-KL.
c. Melihat demonstrasi pemeriksaan laringoskopi indirek oleh dokter spesialis THT-KL.

B. PELAKSANAAN
1. PANDUAN BELAJAR ANAMNESIS THT
1.1 Landasan Teori
Untuk menegakkan diagnosis kelainan pada telinga, hidung, tenggorokan yang dapat mengganggu sistem respirasi,
perlulah dilakukan anamnesis yang teliti dan dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik, dan bila perlu dilakukan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis mengenai telinga akan dibahas lebih lanjut di blok Sistem Sensoris. Berikut ini beberapa gangguan
hidung dan tenggorokan yang sering mengganggu saluran pernapasan:
1. Nyeri tenggorokan (odinofagia)
Merupakan gejala yang sering dikeluhkan akibat kelainan di daerah nasofaring, orofaring, dan hipofaring.
a. Faringitis
Merupakan peradangan dinding faring. Terdapat dua jenis faringitis berdasarkan lamanya, yaitu akut dan
kronis. Faringitis akut dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, trauma, toksin, dan lain-lain. Gejala dan
tanda yang sering muncul pada faringitis virus adalah demam disertai hidung berair (rhinorrhea), mual, nyeri
tenggorok, sulit menelan. Epstein Barr Virus sering menyebabkan faringitis dengan produksi eksudat yang
banyak. Gejala dan tanda yang sering muncul pada faringitis bakteri adalah nyeri kepala hebat, muntah,
demam, jarang disertai batuk.
Faringitis kronis terbagi dua, yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi. Faktor
predisposisi timbulnya faringitis kronik adalah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minuman
alkohol, inhalasi uap yang merangsang, debu, serta kebiasaan bernapas lewat mulut. Gejala faringitis kronik
hiperplastik adalah tenggorok kering dan gatal lalu muncul batuk yang beriak. Gejala pada faringitis kronik
atrofi adalah tenggorokan kering, gatal, serta mulut berbau.
Ada juga faringitis dengan etiologi yang spesifik, yaitu faringitis luetika (pada sifilis) dan faringitis
tuberkulosis.
b. Abses leher dalam
Penyakit yang termasuk golongan ini adalah abses peritonsil (Quinsy), abses parafaring, abses retrofaring,
abses submandibula, dan angina Ludovici. Gejalanya mirip seperti tonsilitis akut yaitu nyeri menelan, nyeri
tenggorok, mulu berbau, suara bergumam, nyeri telinga, muntah, sukar membuka mulut (trismus).
c. Tonsilitis
Merupakan peradangan pada tonsil palatina, salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Ada tiga macam
tonsilitis, yaitu:
- Tonsilitis akut
Dapat disebabkan oleh virus dengan gejala lebih menyerupai common cold disertai nyeri
tenggorokan. Bila penyebabnya bakteri maka gejalanya nyeri tenggorok dan nyeri menelan, demam
tinggi, lesu, nyeri sendi-sendi, tidak nafsu makan, dan rasa nyeri di telinga (otalgia).
- Tonsilitis kronik
Faktor predisposisi timbulnya penyakit ini adalah rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa
jenis makanan, higiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik, dan akibat pengobatan
tonsilitis akut yang tidak adekuat. Gejala yang muncul adalah rasa mengganjal di tenggorok, mulut
berbau, tenggorokan kering,.
- Tonsilitis membranosa
Penyakit yang termasuk dalam golongan ini adalah tonsilitis difteri, tonsilitis septik, angina Plaut
Vincent, penyakit kelainan darah, proses spesifik lues dan tuberkulosis, infeksi jamur
moniliasis/aktinomikosis/balstomikosis, dan infeksi virus morbili/pertusis/skarlatina.
2. Mimisan (Epistaksis)
Merupakan perdarahan dari hidung. Epistaksis kadang-kadang dapat timbul spontan dikarenakan trauma, kelainan
lokal pada hidung, kelainan sistemik, atau tanpa penyebab. Dalam anamnesis dapat ditanyakan riwayat trauma
sebelum timbul epistaksis, riwayat mengorek-ngorek lubang hidung, bersin atau mengeluarkan ingus berlebihan.
Perlu juga ditanyakan riwayat penyakit lain yang mungkin menjadi penyebab utama epistaksis seperti kelainan
darah, kelainan sistemik, kelainan pembuluh darah hidung, penyakit kardiovaskuler, gangguan hormonal.
3. Bersin-bersin (Rhinitis)
Rhinitis adalah penyakit inflamasi pada hidung. Ada dua tipe yaitu rhinitis alergi dan rhinitis vasomotor. Gejala
rhinitis alergi adalah bersin berulang, hidung berair encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
banyak air mata (lakrimasi). Gejala rhinitis vasomotor biasanya disebabkan oleh berbagai rangsangan nonspesifik
seperti asap, bau menyengat, parfum, minuman alkohol, makanan pedas, udara dingin, perubahan kelembaban,
perubahan suhu lingkungan, kelelahan, serta emosi. Gejalanya mirip dengan rhinitis alergi, namun yang dominan
adalah hidung tersumbat, rhinorrhea mukoid atau serosa.
4. Sinusitis
Merupakan inflamasi mukosa sinus paranasal. Etiologinya bisa virus, bakteri, jamur, atau dari gigi. Gejala yang
timbul biasanya hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen yang sering turun ke
tenggorok (post nasal drip), sakit kepala, nyeri alih ke telinga, hidung tidak dapat membaui (hipoosmia/anosmia),
mulut berbau (halitosis), batuk. Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu.
Setelah selesai menanyakan keluhan utama dan keluhan penyerta, anamnesis dilanjutkan dengan menanyakan riwayat
perjalanan penyakit. Yang dimaksud dengan riwayat perjalanan penyakit adalah saat keluhan pertama kali dirasakan oleh
pasien sampai saat si pasien datang berobat. Dapat juga ditanyakan mengenai riwayat penyakit terdahulu atau penyakit lain
yang kira-kira bisa mempengaruhi timbulnya keluhan utama saat ini.
1.2 Media Pembelajaran
1. Penuntun LKK 5 Blok XIII FK UMP
2. Pasien simulasi
3. Ruang periksa dokter

1.3 Langkah Kerja


1. Mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien sebagai dokter.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan anamnesis.
4. Meminta izin kepada pasien untuk melakukan anamnesis.
5. Menanyakan keluhan utama yang sering pada kasus THT.
6. Menanyakan riwayat penyakit sekarang, yang berhubungan dengan keluhan utama secara kronologis. Dimulai
dari keluhan pertama kali sampai penderita berobat.
7. Menanyakan riwayat penyakit dan pengobatan terdahulu.
8. Menanyakan riwayat penyakit lainnya.

Contoh kasus:
1. Mimisan
- Sejak kapan
- Hilang timbul/terus-menerus
- Faktor yang mencetuskan mimisan
- Faktor yang menghilangkan mimisan
- Gejala penyerta (demam, pilek, dll)
- Didahului trauma atau tidak
- Riwayat mimisan sebelumnya
- Riwayat sering perdarahan gusi, memar-memar di kulit sebelumnya.
- Riwayat pengobatan
2. Sakit tenggorokan
- Sejak kapan
- Hilang timbul/terus-menerus
- Gejala penyerta (demam, batuk, sulit menelan, suara serak dll)
- Riwayat keluhan serupa sebelumnya
- Riwayat pengobatan
- Riwayat alergi
- Riwayat penyakit lainnya (misal amandel)
3. Bersin-bersin
- Sejak kapan
- Hilang timbul / terus menerus
- Faktor pencetus bersing-bersin
- Faktor yang mengurangi keluhan
- Riwayat keluhan serupa sebelumnya
- Riwayat pengobatan
- Riwayat alergi, asma

1.4 Kesimpulan
Mahasiswa menyimpulkan kemungkinan diagnosis yang diderita pasien berdasarkan hasil anamnesis. Perlu diingatkan
kepada pasien bahwa untuk memastikan diagnosis harus dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
setelah anamnesis.

2. PANDUAN BELAJAR PEMERIKSAAN THT


2.1 Landasan Teori
Setelah selesai menganamnesa, pasien selanjutnya akan diperiksa untuk melihat kondisi fisik hidung dan
tenggorokannya.
1. Pemeriksaan fisik hidung
Hidung sebaiknya diperiksa dengan spekulum hidung dan sumber cahaya yang kuat yang diarahkan dengan cermin
kepala. Perlu diingat bahwa sumbu saluran hidung tegak lurus dengan muka, tidak sejajar dengan batang hidung.
Untuk mendapatkan visualisasi yang baik, miringkan kepala pasien ke belakang 45°.
a. Konkha yang membengkak dan mengalami hipertrofi mungkin terlihat sebagai suatu massa.
b. Polip hidung yang lazim ditemukan pada pasien atopik terlihat sebagai massa seperti anggur, merah muda
pucat dan mobile. Keganasan terlihat berwarna putih keabu-abuan, rapuh dan relatif tidak sensitif. Polip
yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran
batang hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang
berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.
c. Kelainan septum ada beberapa macam, yaitu (1) deviasi septum, biasanya berbentuk huruf C atau S, (2)
dislokasi, (3) penonjolan tulang atau tulang rawan septum, (4) sinekia, merupakan penyatuan deviasi atau
Krista septum dengan konkha di hadapannya.
d. Mukosa hidung
Pada rhinitis alergi tampak mukosa edema, basah, pucat atau livid, disertai adanya sekret encer yang
banyak. Kadang dapat ditemukan mukosa hipertrofi.
e. Lain-lain
Pada bagian bawah mata tampak kehitaman (allergic shiner), sering menggosok hidung dengan punggung
tangan (allergic salute), garis melintang di dorsum nasi 1/3 bawah (allergic crease), facies adenoid, dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), lidah tampak seperti ada gambaran
peta (geographic tongue).

2. Pemeriksaan fisik tenggorokan


a. Faringitis: Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati di leher yang kenyal
dan nyeri tekan, bercak petechiae pada pallatum dan faring. Pada faringitis karena jamur akan tampak plak
putih di orofaring dan mukosa lainnya hiperemis. Pada faringitis kronik maka lateral band akan hiperplasi,
mukosa dinding posterior faring tidak rata dan bergranula, mukosa faring ditutupi lendir kental.
b. Tonsilitis: Pada tonsillitis akut dapat ditemukan luka-luka kecil pada pallatum dan tonsil yang nyeri,
detritus menempel pada tonsil, tonsil membengkak, hiperemis, limfadenopati submandibula yang nyeri
tekan.
c. Abses: Abses menyebabkan pembengkakan yang dapat jelas terlihat pada pemeriksaan. Abses peritonsil
akan mendorong uvula ke arah yang sehat, tonsil pun ikut terdorong oleh pembengkakan, limfadenopati
submandibula, pallatum mole menonjol ke depan.
d. Laringitis: Kelainan laring dapat berupa kelainan congenital, inflamasi, tumor jinak, atau kelumpuhan pita
suara. Kelainan kongenital dapat berupa laringomalasia, stenosis subglotik, selaput di laring, kista
congenital, hemangioma, dan fistel laringotrakheaesofagus. Pada inflamasi laring (laryngitis) dapat
ditemukan mukosa laring hiperemis, membengkak terutama di atas dan di bawah pita suara, mukosa dapat
menebal pada kasus kronis.
Tumor jinak pada laring yang dapat ditemukan adalah nodul pita suara (vocal nodule), polip pita
suara, dan kista pita suara. Pada vocal nodule akan ditemukan nodul kecil biasanya bilateral di sepertiga
anterior atau medial pita suara, berwarna keputihan. Pada poli pita suara, biasanya bertangkai, di sepertiga
anterior, sepertiga tengah, bahkan di seluruh permukaan pita suara. Lesi biasanya unilateral. Polip mukoid
berwarna keabuan jernih, polip angiomatosa berwarna merah tua. Kelumpuhan pita suara biasanya dideteksi
dengan laringoskopi untuk melihat pergerakan pita suara.

2.2 Media Pembelajaran


1. Penuntun LKK 5 Blok XI FK UMP
2. Ruang periksa dokter
3. Pasien simulasi
4. Lampu kepala
5. Spekulum hidung
6. Spatula lidah
7. Kaca laring
8. Kaca faring
9. Xyllocaine spray
10. Lampu spiritus
11. Pinset bayonet
12. Kertas tisu

2.3 Langkah Kerja


1. Mahasiswa mengucapkan salam dan memperkenalkan diri kepada pasien.
2. Menanyakan identitas pasien.
3. Menjelaskan tujuan dan prosedur pemeriksaan yang akan dilakukan.
4. Meminta izin pasien untuk melakukan pemeriksaan THT.
5. Pasien dipersilakan duduk, berhadap-hadapan dengan pemeriksa.
6. Posisi kaki pemeriksa berada di sebelah kanan kaki pasien.
7. Alat-alat berada di sebelah kanan pemeriksa.
8. Pemeriksaan hidung depan (rhinoskopi anterior)
a. Pemeriksa memakai lampu kepala yang cahayanya diarahkan ke hidung pasien.
b. Melihat bentuk hidung simetris atau tidak.
c. Memasang spekulum hidung pada salah satu lubang hidung lalu perhatikan mukosa hidung, concha
nasales, lubang hidung (cavum nasi), sekat hidung (septum nasi), sekret hidung, massa.
9. Pemeriksaan hidung belakang (rhinoskopi posterior atau nasofaringoskopi)
a. Minta pasien membuka mulut lebar-lebar lalu semprotkan xyllocain spray secukupnya ke dalam rongga
mulut.
b. Tunggu beberapa menit sampai pasien tidak merasa lagi waktu menelan ludah.
c. Kaca faring dipanasi dengan lampu spiritus ( lebih tinggi sedikit dari 37° C) supaya nanti tidak
menjadi buram / kabur. Lalu tempelkan pada tangan kita untuk mengontrol apakah cermin terlalu panas
atau tidak.
d. Kembali minta pasien untuk membuka mulut dan mengeluarkan lidahnya. Tekan lidah dengan spatula
lidah.
e. Masukkan kaca faring ke dalam mulut, dipegang dengan tangan kanan, seperti memegang pensil, dan
diarahkan ke bawah.
f. Kaca faring dimasukkan ke dalam faring dan mengambil posisi di depan uvula. Kalau perlu uvula
didorong sedikit ke belakang dengan punggung kaca faring. Lalu kaca faring disinari dengan lampu
kepala.
g. Perhatikan pada cermin: tuba eustachii, fossa Rosenmuller, choana, massa.
h. Lakukan interpretasi dari hasil rhinoskopi posterior.
10. Pemeriksaan tenggorokan
a. Pemeriksa memakai lampu kepala yang cahayanya diarahkan ke mulut pasien
b. Pasien diminta membuka mulut.
c. Lidah ditekan ke bawah dengan spatula lidah yang dipegang dengan tangan kiri.
d. Perhatikanlah tonsila palatina kanan dan kiri serta keadaan faring pasien.
e. Lakukan interpretasi hasil pemeriksaan tenggorokan.
11. Pemeriksaan Laring
a. Pemeriksaan luar
Inspeksi : warna kulit leher, massa
Palpasi : massa
b. Laringoskopi indirek, yaitu melihat laring secara tidak langsung dengan pencahayaan yang dipantulkan
dari kaca di dalam faring yang disinari lampu kepala. Teknik pemeriksaan:
1. Minta pasien membuka mulut lebar-lebar lalu semprotkan xyllocain spray secukupnya ke
dalam rongga mulut.
2. Tunggu beberapa menit sampai pasien tidak merasa lagi waktu menelan ludah.
3. Kembali minta pasien untuk membuka mulut dan mengeluarkan lidah sepanjang mungkin.
4. Bungkus bagian lidah yang ada di luar mulut dengan tisu lalu kita pegang dengan tangan kiri
dengan tenaga yang cukup. Tidak longgar karena lidah dapat terlepas dari pegangan dan juga
tidak kuat karena pasien akan kesakitan.
5. Kaca laring dipanasi dengan lampu spiritus ( lebih tinggi sedikit dari 37° C) supaya nanti tidak
menjadi buram / kabur. Lalu tempelkan pada tangan kita untuk mengontrol apakah cermin
terlalu panas atau tidak.
6. Kaca laring dipegang dengan tangan kanan, seperti memegang pensil, dan diarahkan ke bawah.
7. Kaca laring dimasukkan ke dalam faring dan mengambil posisi di depan uvula. Kalau perlu
uvula didorong sedikit ke belakang dengan punggung kaca laring. Kaca laring disinari dengan
lampu kepala.
8. Minta pasien mengucapkan huruf ”i” dengan tempo yang agak lama agar kita dapat
memperhatikan:
a. Radiks lidah, epiglotis, dan sekitarnya
b. Lumen laring dan rima glottidis
c. Bagian yang terletak kaudal dari rima glotidis.
2.4 Interpretasi Hasil
1. Rhinoskopi anterior
- Mukosa hidung: normal (merah muda), hiperemis
- Concha nasal: normal (kurang dari 1/2 lubang hidung), membesar (lebih dari ½ lubang hidung.
- Cavum nasi: longgar, sempit.
- Septum nasi: lurus, bengkok
- Sekret: ada, tidak ada
- Massa: ada, tidak ada

2. Rhinoskopi posterior
- tuba Eustachii : tersumbat/tidak
- fossa Rossenmuller : massa, tidak. Mukosa normal/tidak
- choana: mukosa normal/tidak, massa ada/tidak

3. Pemeriksaan tenggorokan
Tonsila palatina:
- Ukuran: normal, membesar, sudah diangkat (T 0)
- Mukosa: normal (merah muda pucat), hiperemis
- Detritus: tidak ada, ada
- Kripta: normal, melebar
Faring:
- Mukosa: normal (merah muda pucat), hiperemis
- Granula: tidak ada, ada
- Lateral band: normal, melebar
- Sekret: tidak ada, ada
-
4. Pemeriksaan laring
a. Pemeriksaan dari luar
Inspeksi:
Warna kulit leher: normal, hiperemis
Massa: tidak ada, bila ada (struma atau duktus tireoglossus)
Palpasi
Bila massanya bergerak waktu menelan ludah kemungkinannya adalah duktus tireoglossus. Bila tidak
bergerak: struma.

b. Pemeriksaan dari dalam (laringoskopi indirek)


a. Lumen laring: ada massa/tidak, mukosa normal/tidak
b. Rima glotis: ada massa/tidak
c. Korda vokalis stadium fonasi:
- Gerakan kiri-kanan sama cepat (simetris).
- Bersama-sama bergerak ke median lalu pinggir korda vokalis itu merapatkan diri (bertaut).
- Bila salah satu korda vokalis tidak sampai ke median berarti korda vokalis itu mengalami parese atau
paralisa.

Anda mungkin juga menyukai