Pembimbing:
Disusun oleh:
FAKULTAS KEDOKTERAN
2017
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
2.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.1
Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah
mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. Pterigium dapat bervariasi
bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh
agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya,
mengaburkan bagian tengah optik kornea.Dulu penyakit ini dianggap sebagai
suatu kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor,
seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi
yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi
premalignan sekunder.4
2.2 Epidemiologi
Angka prevalensi pterigium sangat besar (0,7–31%), berkisar 1,2%
ditemukan di daerah urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis
Barbados pada orang kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2%
(bagian Utara) sampai 7% (bagian Selatan). Prevalensi ini berbeda-beda di antara
jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar matahari. Umumnya angka prevalensi
pterigium pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Berbagai
teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar ultra violet merupakan
penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai dengan peta distribusi
pterigium dari Cameron, secara geografis memperlihatkan angka kejadian
pterigium, yang meningkat bila mendekati khatulistiwa (37° LU dan 37° LS).
Prevalensi penderita pterigium sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2%
pada daerah 40° LU dan LS.3
Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko
timbulnya pterigium 44× lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan
prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan
perempuan 17,6%. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 1993–1996, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan
menempati urutan kedua penyakit mata.Di Sulawesi Selatan, pterigium
menduduki peringkat kedua dari sepuluh macam penyakit utama dengan insidens
sekitar 8,2%.3
Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisanadenoid,
dan lapisan fibrosa.5
2.4 Etiologi
2.5 Klasifikasi
Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigiumrekuren
tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium seringnampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4mm, dapat primer
atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.
Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal
jugamenyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53 -Rb-
TGF-β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF- β.
Banyaknya sekresiTGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam
perubahan jaringan danekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel
pterigium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9,
MTI-MMP, dan MT2-MMP,yang menyebabkan terputusnya perlekatan
hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke
segala arah menuju ke adjacent dan limbalcorneal, limbus, dan membrane
konjungtiva. Karena produksi TGF-β oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan
pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor
yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus
berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke
kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan
berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai
tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan
monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian,
sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan
tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalurTGF-β-bFGF untuk
memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran
lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk
bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP
1dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.8
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpakeluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialamipasien antara lain:
2.8 Penatalaksanaan
2.9 Komplikasi
Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral dan /
atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan
puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk
ditangani. Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.
Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts
konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada
kesempatan langka,degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah
pterigium yang ada dapat terjadi.9
2.10 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau
transpalantasi membrane amnion.9
Daftar Pustaka