Anda di halaman 1dari 15

PTERIGIUM

DISUSUN SEBAGAI TUGAS MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK

SENIOR (KKS) MATA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LUBUK PAKAM

Pembimbing:

dr. H. Syafridon, Sp.M

Disusun oleh:

Maria Goretty Anna Hartayati

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG

2017
BAB I
PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik. Jika pterigium membesar dan
meluas sampai ke daerah pupil, lesi harus diangkat secara bedah bersama sebagian
kecil kornea superfisial di luar daerah perluasannya. Kombinasi autograft
konjungtivadan eksisi lesi terbukti mengurangi resiko kekambuhan.1
Di Indonesia kasus-kasus pterygium cukup sering didapati. Mereka yang
sering bekerja di bawah cahaya matahari atau penghuni di negara tropika. Apalagi
karena faktor risikonya adalah paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa
dipengaruhi juga oleh papaparan alergen,iritasi berulang (misal karena debu atau
kekeringan), karena sering terdapat pada orang yang sebagian besar hidupnya
pada lingkungan berangin, penuh sinar matahari, berdebu dan berpasir.2
Angka prevalensi pterigium sangat besar (0,7–31%), berkisar 1,2%
ditemukan di daerah urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis
Barbados pada orang kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2%
(bagian Utara) sampai 7% (bagian Selatan). Prevalensi ini berbeda-beda di antara
jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar matahari. Umumnya angka prevalensi
pterigium pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Berbagai
teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar ultra violet merupakan
penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai dengan peta distribusi
pterigium dari Cameron, secara geografis memperlihatkan angka kejadian
pterigium, yang meningkat bila mendekati khatulistiwa (37° LU dan 37° LS).
Prevalensi penderita pterigium sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2%
pada daerah 40° LU dan LS.3
Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi,
risiko timbulnya pterigium 44× lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis,
dengan prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1%
dan perempuan 17,6%. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 1993–1996, angka kejadian pterigium sebesar
13,9% dan menempati urutan kedua penyakit mata.Di Sulawesi Selatan, pterigium
menduduki peringkat kedua dari sepuluh macam penyakit utama dengan insidens
sekitar 8,2%.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang
bersifat degeneratif dan invasif. Seperti daging berbentuk segitiga, dan umumnya
bilateral di sisi nasal. Temuan patologik pada konjungtiva, lapisan bowman
kornea digantikan oleh jaringan hialin dan elastik.1

Pterigium pertama kali ditemukan oleh Susruta (India) dokter ahli bedah
mata pertama di dunia 1000 tahun sebelum masehi. Pterigium dapat bervariasi
bentuknya dari yang kecil, lesi atrofi sampai lesi fibrovaskular besar yang tumbuh
agresif dan cepat yang dapat merusak topografi kornea, dan yang selanjutnya,
mengaburkan bagian tengah optik kornea.Dulu penyakit ini dianggap sebagai
suatu kondisi degeneratif, pterigium juga menampilkan ciri-ciri seperti tumor,
seperti kecenderungan untuk menginvasi jaringan normal dan tingkat rekurensi
yang tinggi setelah reseksi, dan dapat hidup berdampingan dengan lesi
premalignan sekunder.4

2.2 Epidemiologi
Angka prevalensi pterigium sangat besar (0,7–31%), berkisar 1,2%
ditemukan di daerah urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis
Barbados pada orang kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2%
(bagian Utara) sampai 7% (bagian Selatan). Prevalensi ini berbeda-beda di antara
jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar matahari. Umumnya angka prevalensi
pterigium pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Berbagai
teori patogenesis pterigium menunjukkan paparan sinar ultra violet merupakan
penyebab utama terjadinya pterigium. Hal ini sesuai dengan peta distribusi
pterigium dari Cameron, secara geografis memperlihatkan angka kejadian
pterigium, yang meningkat bila mendekati khatulistiwa (37° LU dan 37° LS).
Prevalensi penderita pterigium sebesar 22,5% dan akan terus menurun sampai 2%
pada daerah 40° LU dan LS.3
Di daerah tropis seperti Indonesia, dengan paparan sinar matahari tinggi, risiko
timbulnya pterigium 44× lebih tinggi dibandingkan daerah non-tropis, dengan
prevalensi untuk orang dewasa > 40 tahun adalah 16,8%; laki-laki 16,1% dan
perempuan 17,6%. Hasil survei morbiditas oleh Departemen Kesehatan Republik
Indonesia pada tahun 1993–1996, angka kejadian pterigium sebesar 13,9% dan
menempati urutan kedua penyakit mata.Di Sulawesi Selatan, pterigium
menduduki peringkat kedua dari sepuluh macam penyakit utama dengan insidens
sekitar 8,2%.3

2.3 Anatomi Konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa tembus cahaya yang melapisi


permukaan aspek posterior dari kelopak mata dan anterior bola mata.
Konjungtiva(conjoin: bergabung) membran mukosa yang menhubungkan bola
mata dengan kelopak mata. Membentang dari pinggir kelopak mata ke limbus,
dan membungkus ruang kompleks yang disebut sakus konjungtiva yang terbuka di
depan fisura palpebral.5

Konjungtiva dapat dibagi menjadi 3 bagian : Konjungtiva palpebralis.


Bagian ini melapisi permukaan dalam kelopak mata dan melekat kuatpada tarsus.
Konjungtiva palpebralis terbagi 3 yakni konjungtiva marginal, tarsal,orbital.
Konjungtiva marginal membentang dari tepi kelopak mata sekitar 2 mm pada
bagian belakang kelopak sampai ke alur dangkal, yakni sulkus subtarsalis. Bagian
ini sebenarnya zona transisi antara kulit dan konjungtiva lebuih tepatnya.
Konjungtiva tarsal tipis, transparan dan banyak mengandung vaskular. Bagian ini
melekat kuat pada seluruh tarsal kelopak mata atas. Pada kelopak mata bawah,
hanya melekat pada setengah bagian tarsal. Konjungtiva orbital terletak longgar
antara tarsal dan forniks.5

Konjungtiva bulbaris. melekat longgar pada sclera dan melekat lebih


eratpada limbus kornea. Di sana epitel konjungtiva bergabung dangan epitel
kornea. Bagian ini dipisahkan dari sklera anterior oleh jaringan episcleral dan
kapsul Tenon.Terdapat sebuah dataran tinggi 3-mm dari konjungtiva bulbaris
sekitar kornea disebutkonjungtiva limbal.5

Konjungtiva fornix, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal


dengankonjungtiva bulbi. Lain halnya dengan konjungtiva palpebra yang melekat
erat pada struktur sekitarnya, konjungtiva fornix ini melekat secara longgar
dengan struktur dibawahnya yaitu fasia muskulus levator palpebra superior serta
muskulus rektus.Karena perlekatannya bersifat longgar, maka konjungtiva fornix
dapat bergerak bebas bersama bola mata ketika otot-otot tersebut berkontraksi.5

Secara histologis, konjungtiva terdiri dari tiga lapisan yaitu epitel, lapisanadenoid,
dan lapisan fibrosa.5

1. Epitel. Lapisan sel epitel di konjungtiva bervariasi pada masing-masing


daerah dan dalam bagian-bagian sebagai berikut: Konjungtiva marginal
memiliki 5 lapis epitel sel gepeng bertingkat. Konjungtiva tarsal memiliki
2 lapis epitel:lapisan superficial terdiri dari sel-sel silinder dan lapisan
dalam terdiri dari sel-sel datar. Konjungtiva forniks dan bulbaris memiliki
3 lapis epitel: lapisan superfisial terdiri dari sel silindris, lapisan tengah
terdiri dari sel polyhedral dan lapisan dalam terdiri dari sel kubus. Limbal
konjungtiva memiliki lagi lapisanyang banyak (5 sampai 6 lapis) epitel
berlapis gepeng.
2. Lapisan adenoid. Lapisan ini disebut juga lapisan limfoid dan terdiri dari
retikulum jaringan ikat halus dengan jerat dimana terdapat limfosit.
Lapisan ini paling pesat perkembangannya di forniks. Lapisan ini tidak
ditemukan ketika bayi lahir tapi akan berkembang setelah 3-4 bulan awal
kehidupan. Hal ini menjelaskan bahwa peradangan konjungtiva pada bayi
tidak menghasilkan reaksi folikuler.
3. Lapisan fibrosa. Lapisan ini terdiri dari serat kolagen dan serat elastis.
Lapisan ini lebih tebal dari lapisan adenoid, kecuali di daerah konjungtiva
tarsal, di mana lapisan ini sangat tipis. Lapisan ini mengandung pembuluh
dan saraf dari konjungtiva. Lapisan ini bersatu dengan mendasari kapsul
Tenon di daerah konjungtiva bulbar. Konjungtiva berisi dua jenis kelenjar,
yakni kelenjar sekresi musin dan kelenjar lakrimalis aksesoris. Kelenjar ini
terdiri dari sel goblet (kelenjar uniseluler yang terletak di dalam epitel),
Crypts of Henle (terdapat di konjungtiva tarsal) dan kelenjar Manz
(ditemukan dalam konjungtiva limbal). Kelenjar-kelenjar ini mensekresi
mucus yang penting untuk membasahi kornea dan konjungtiva. Kelenjar
lakrimalis aksesoris terdiri dari: Kelenjar Krause (terdapat pada jaringan
ikat subconjunctival forniks,sekitar 42 buah di atas forniks dan 8 buah di
bawah forniks) dan kelenjar Wolfring(terdapat di sepanjang batas atas
tarsus superior dan sepanjang batas bawah tarsus inferior).

Gambar 1. Bagian Konjungtiva.


Gambar 2. Vaskularisasi Konjungtiva.

Plica semilunaris merupakan lipatan seperti bulan sabit berwarna merah


mudadari konjungtiva yang terdapat di kantus medial. Batas bebas lateralnya
berbentuk cekung. Korunkula adalah massa kecil, oval, merah muda, terletak di
canthus bagiandalam. Pada kenyataannya, massa ini merupakan potongan
modifikasi kulit danditutupi dengan epitel gepeng bertingkat dan berisi kelenjar
keringat, kelenjar sebaseadan folikel rambut.6

Arteri yang memperdarahi konjungtiva berasal dari tiga sumber yakni


arkade arteri perifer palpebra, arkade arteri marginal kelopak mata, dan arteri
ciliaris anterior. Konjungtiva palpebralis dan forniks diperdarahi oleh cabang-
cabang dari arkade arteri perifer dan marginal palpebra. Konjungtiva bulbar
diperdarahi oleh duaset pembuluh darah yaitu: arteri konjungtiva posterior yang
merupakan cabang dari arteri kelopak mata, dan arteri konjungtiva anterior yang
merupakan cabang dariarteri ciliaris anterior. Cabang terminal arteri konjungtiva
posterior membentuk anastomosis dengan arteri konjungtiva anterior dan
membentuk arkade pericorneal.Vena konjungtiva bermuara ke dalam vena pleksus
kelopak mata dan beberapa mengelilingi kornea dan bermuara ke vena ciliaris
anterior. Sistem limfatik konjungtiva tersusun dalam dua lapisan, yakni superficial
dan profunda. Sistem inidari sisi lateral bermuara ke limfonodus preaurikuler dan
sisi medial bermuara kelimfonodus submandibular.Konjungtiva menerima
persarafan dari percabangannervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus. Saraf ini
memiliki serabut nyeri yang relatif sedikit.6

2.4 Etiologi

Pterygium diduga merupakan fenomena iritatif akibat sinar ultraviolet,


pengeringan dan lingkungan dengan angin banyak. Faktor lain yang menyebabkan
pertumbuhan pterygium antara lain uap kimia, asap, debu dan benda-benda lain
yang terbang masuk ke dalam mata. Beberapa studi menunjukkan adanya
predisposisi genetik untuk kondisi ini.7

2.5 Klasifikasi

Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,


stadium,progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:1

1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3:

Tipe I: Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus


ataumenginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas <2 mm dari kornea.
Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dankepala
pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun sering mengalamiinflamasi
ringan. Pasien yang memakai lensa kontak dapat mengalamikeluhan lebih
cepat.

Tipe II: disebut juga pterigium tipe primer advanced atau pterigiumrekuren
tanpa keterlibatan zona optic. Pada tubuh pterigium seringnampak kapiler-
kapiler yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4mm, dapat primer
atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan
astigmat.

Tipe III: pterigium primer atau rekuren dangan keterlibatan zona


optic.Merupakan bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona
opticmembedakan tipe ini dengan tipe yang lain. Lesi mengenai kornea
>4mmdan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada
kasusrekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluaske forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola
mataserta kebutaan.

2. Berdasarkan stadium pterigium dibagai ke dalam 4 stadium yaitu:

Stadium 1 : invasi minimum, pertumbuhan lapisan yang transparan dantipis,


pertumbuhan pembuluh darah yang tipis hanya terbatas pada limbuskornea.

Stadium 2: lapisan tebal, pembuluh darah profunda tidak kelihatan


danmenginvasi kornea tapi belum mencapai pupil.

Stadium 3:lapisan tebal seperti daging yang menutupi pupil,


vaskularisasiyang jelas

Stadium 4: pertumbuhan telah melewati pupil.

3. Berdasarkan perjalanan penyakitnya, pterigium dibagi menjadi 2 yaitu:

Pterigium progresif: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrate dikornea di


depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)

Pterigium regresif:tipis,atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi


bentuk membrane, tetapi tidak pernah hilang.

4. Berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera di pterigium dan harus


diperiksa dengan slitlamp pterigium dibagi 3 yaitu:

T1(atrofi):pembuluh darah episkleral jelas terlihat.

T2(intermediet):pembuluh darah episkleral sebagian terlihat.

T3(fleshy,opaque):pembuluh darah tidak jelas


2.6 Patofisiologi

Meskipun paparan sinar ultraviolet kronis memainkan peran


utama,patogenesis pterigium belum sepenuhnya dipahami. Infeksi virus,
mekanismeimunologi, remodeling matriks ekstra seluler, faktor pertumbuhan,
sitokin,anti apoptotic mekanisme, dan faktor angiogenik berbagai semuanya telah
terlibat dalam patogenesis. Patogenesis pterigium ditandai dengan degenerasi
kolagen dan elastotic proliferasi fibrovaskular yang menutupi epitel. Radiasi sinar
UV dapat menyebabkan mutasi pada gen seperti gen supresor tumor p53,
sehingga berakibat pada terekspresinya gen ini secara abnormal pada epitel
pterigium. Temuan ini menunjukkan bahwa pterigium bukan hanya lesi
degeneratif, tetapi bisa menjadi manifestasi dari proliferasi sel yang tak terkendali.
Matriks metalloproteinase (MMP)dan jaringan inhibitor MMPs (TIMPs) pada
pinggir pterigium mungkin bertanggung jawab untuk proses inflamasi, tissue
remodeling dan angiogenesis yang menjadi ciripterigium, serta perusakan lapisan
Bowman dan invasi pterigium ke dalam kornea. Sinar UV menyebabkan mutasi
pada gene suppressor tumor TP53 di sel basal limbal dan fibroblast elastic gene di
epitel limbal (gambar 3). Karen kerusakan pada program apoptosis p53 oleh sinar
UV, mutasi juga terjadi pada gen lainnya. Hal ini menyebabkan multi step
perkembangan pterigium dan tumor sel limbal oleh ekspresi p53 pada sel epitel
limbal.8

Mutasi pada gen TP53 atau family TP53 pada sel basal limbal
jugamenyebabkan terjadinya produksi berlebih dari TGF-β melalui jalur p53 -Rb-
TGF-β. Oleh karena itu, pterigium merupakan tumor secreting TGF- β.
Banyaknya sekresiTGF-β oleh sel pterigium dapat menjelaskan macam-macam
perubahan jaringan danekspresi MMP yang terjadi pada pterigium. Pertama, sel
pterigium (sel epitel basal limbal) menghasilkan peningkatan MMP-2, MMP-9,
MTI-MMP, dan MT2-MMP,yang menyebabkan terputusnya perlekatan
hemidesmosom. Awalnya, sel pterigium akan bermigrasi secara sentrifugal ke
segala arah menuju ke adjacent dan limbalcorneal, limbus, dan membrane
konjungtiva. Karena produksi TGF-β oleh sel ini, terjadi penipisan jumlah lapisan
pada daerah di atas, dan tidak ada massa tumor yang nampak tapi sebagai tumor
yang tidak kelihatan. Selanjutnya, setelah perubahan pada seluruh sel basal limbus
berkembang dan semua hemidesmosom lepas dari sel-sel ini, terjadi migrasi sel ke
kornea diikuti oleh epitel konjungtiva, yang mengekspresikan 6 jenis MMP dan
berkontribusi terhadap penghancuran lapisan bowman pada kornea. Sebagai
tambahan, TGF-β yang diproduksi oleh sel pterigium menyebabkan peningkatan
monosit dan pembuluh darah kapiler dalam lapisan epitel dan stroma. Kemudian,
sekelompok fibroblast normal berkumpul dibawah invasive epitel limbus di depan
tepi yang rusak dari lapisan Bowman dan diaktivasi oleh jalurTGF-β-bFGF untuk
memproduksi MMP-1 dan MMP-3 yang juga membantu dalam penghancuran
lapisan bowman. Beberapa sitokin-sitokin ini mengaktivasi fibroblast untuk
bermigrasi untuk membentuk pulau kecil fibroblast yang memproduksi MMP
1dan juga berperan dalam penghancuran membran bowman.8

2.7 Gambaran Klinis

Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpakeluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering
dialamipasien antara lain:

1. mata sering berair dan tampak merah


2. merasa seperti ada benda asing
3. timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan
pterigiumtersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun
astigmatismeirreguler sehingga mengganggu penglihatan
4. pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil danaksis
visual sehingga tajam penglihatan menurun.

2.8 Penatalaksanaan

Karena kejadian pterigium berkaitan dengan aktivitas lingkungan,


penangananpterigium asimptomatik atau dengan iritasi ringan dapat diobati
dengan kacamata sinar UV-blockking dan salep mata. Anjurkan pasien untuk
menghindari daerah berasap atau berdebu sebisa mungkin. Pengobatan pterigium
yang meradang atau iritasi dengan topikal dekongestan atau kombinasi
antihistamin dan atau kortikosteroid topikal ringan empat kali sehari.5

Bedah eksisi adalah satu-satunya pengobatan yang memuaskan, yang


dapatdiindikasikan untuk: (1) alasan kosmetik, (2) perkembangan lanjutan
yangmengancam daerah pupil (sekali pterigium telah mencapai daerah pupil,
tunggusampai melintasi di sisi lain), (3) diplopia karena gangguan di gerakan
okular.5

Tujuan utama pembedahan adalah untuk sepenuhnya mengeluarkan


pterigiumdan untuk mencegah terjadinya rekurensi. Berbagai teknik bedah yang
digunakansaat ini untuk pengelolaan pterigium.5

1. Bare sclera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva


denganpermukaan sclera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat
rekurensipasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.
2. Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
dimanateknik ini dilakukan bila luka pada konjungtiva relative kecil.
3. Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.
4. Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U disekitar luka bekas
eksisiuntuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian
diletakkanpada bekas eksisi.
5. Conjungtival graft: menggunakan free graft yang biasanya diambil
darikonjungtiva bulbi bagian superior, dieksisi sesuai dengan ukuran
lukakemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan
perekat jaringan.
Rekurensi menjadi masalah setelah dilakukan bedah eksisi yakni sekitar
30-50%. Tapi hal ini dapat di minimalisir dengan cara berikut:5
1. Penggunaan mitomicin C intra dan post operasi
2. Post poerasi beta iradiasi
3. Conjungtival autograft
4. Limbal and limbal – conjunctival transplantation
5. Amniotic membrane transplantation
6. Cultivated conjunctival transplantation
7. Lamellar keratoplasty
8. Fibrin glue

2.9 Komplikasi

Komplikasi pterigium meliputi iritasi, kemerahan, diplopia,


distorsipenurunan visus dan skar pada konjungtiva , kornea dan otot rektus
medial. Komplikasi pasca operasi termasuk infeksi, diplopia dan terbentuknya
jaringan parut.Retina detachment, perdarahan vitreous dan perforasi bola mata
meskipun jarangterjadi.9

Komplikasi pasca operasi akhir radiasi beta pterygia dapat meliputi: Scleral dan /
atau kornea yang menipis atau ektasia dapat muncul beberapa tahun atau bahkan
puluhan tahun setelah perawatan. Beberapa kasus bisa sangat sulit untuk
ditangani. Komplikasi yang paling umum dari operasi pterigium adalah rekurensi.
Bedah eksisi sederhana memiliki tingkat rekurensi tinggi sekitar 50-80%. Tingkat
rekurensi telah berkurang menjadi sekitar 5-15% dengan penggunaan autografts
konjungtiva / limbal atau transplantasi membran amnion pada saat eksisi. Pada
kesempatan langka,degenerasi ganas dari jaringan epitel yang melapisi sebuah
pterigium yang ada dapat terjadi.9

2.10 Prognosis

Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Kebanyakan pasien
dapat beraktivitas lagi setelah 48 jam post operasi. Pasien dengan pterigium
rekuren dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan konjungtiva auto graft atau
transpalantasi membrane amnion.9
Daftar Pustaka

1. Voughan & Asbury. Oftalmologi umum , Paul Riordan-eva, John


P.Whitcher edisi 17 Jakarta : EGC, 2009 Hal 119
2. American Academy of Ofthalmology. 2012. www.AAO.org
3. Shintya, Djajakusli., Rukiah Syawal., Junaedi Sirajuddin., Noor Syamsu.
The Profile of Tear Mucin Layer and Impression Cytology in Pterygium
Patients. Vol. 7, No. 4. Jurnal Oftalmologi Indonesia Desember 2010
4. Chui J, Coroneo TM, et al. Ophthalmic Pterygium A Stem Cell Disorder
with Premalignant Features. The American Journal of Pathology.
2011;178(2):817-27
5. Khurana KA. Diseases of the Conjunctiva. In:, Khurana KA,
editors.Comprehensive Ophthalmology 4th ed. New Delhi: New Age
International.2007. p. 51 - 82.
6. Lang KG, Lang EG. Conjunctiva. In:, Lang KG, Gareis O, Lang EG,
ReckerD, Wagner P, editors. Ophthalmology: A Pocket Textbook Atlas
2nd ed. NewYork: Thieme Stuttgart. 2006. p. 67 - 72.
7. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI ;
2007.hal:2-6, 116 –117.
8. Dushku N, John KM, Schultz SG, Reid WT.Pterygia Pathogenesis:
CornealInvasion by Matrix Metalloproteinase Expressing Altered Limbal
EphitelialBasal Cells. Arch Ophthamol 2001;119:695-706.
9. Fisher PJ. Pterigium. Updated : 2012. Available from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview. Accessed
July7,2012.

Anda mungkin juga menyukai