PENDAHULUAN
1
1.2.2 Bagaimana manajemen asuhan keperawatan pada stroke non hemoragik?
1.2.3 Bagaimana laporan pendahuluan tentang gangguan mobilitas fisik?
1.2.4 Bagaimana manajemen asuhan keperawatan pada gangguan mobilitas fisik?
3
2.1.2 Klasifikasi
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Israr, 2008):
2.1.2.1 Berdasarkan kelainan patologis
1) Stroke hemoragik, yaitu pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis di
sekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan
gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh
hematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya.
Peningkatan tekanan intracranial pada gilirannya akan menimbulkan
herniasi jaringan otak dan menekan batang otak (Price, 2005).
a) Perdarahan intra serebral
b) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)
2) Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
a) Stroke akibat trombosis serebri
b) Emboli serebri
c) Hipoperfusi sistemik
2.1.3 Etiologi
Stroke non-hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari tiga mekanisme patogenik
yaitu trombosis serebri atau emboli serebri dan hipoperfusion sistemik (Sabiston,
1994; Nurarif, 2013).
2.1.3.1 Trombosis serebri merupakan proses terbentuknya thrombus yang
membuat penggumpalan. Trombosis serebri menunjukkan oklusi
trombotik arteri karotis atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis
yang mendasari. Proses ini sering timbul selama tidur dan bisa
menyebabkan stroke mendadak dan lengkap. Defisit neurologi bisa timbul
progresif dalam beberapa jam atau intermiten dalam beberapa jam atau
hari.
2.1.3.2 Emboli serebri merupakan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau
cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber
proksimal, seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari
bifurkasio karotis biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi
di atasnya di sertai trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi
ateromatosa dari plak sendiri. Embolisme serebri sering di mulai
mendadak, tanpa tanda-tanda disertai nyeri kepala berdenyut.
2.1.3.3 Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh
bagian tubuh karena adanya gangguan denyut jantung
2.1.4 Patofisiologi
Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagai neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal
darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60 ml per 100 gram jaringan otak per
menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840
ml/menit, dari jumlah darah itu disalurkan melalui arteri karotis interna yang
terdiri dari arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian
depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah
vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior
bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus
Willisi (Sinaga, 2008; Mardjono, 2010).
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak
selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut
dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut.
Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi di dalam
pembuluh darah yang memperdarahai otak diantaranya berupa (Price, 2005):
2.1.4.1 Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada
aterosklerosis dan thrombosis.
2.1.4.2 Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok
atau hiperviskositas darah.
2.1.4.3 Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal
dari jantung atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di system motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang
terkena.
2.1.7 Penatalaksanaan
Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan stroke
non hemoragik yang di perlukan pengobatan sedini mungkin, karena jeda terapi
dari stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat, tepat dan cermat
memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir pengobatan (Mansjoer,
2000).
2.1.5.1 Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
2.1.5.2 Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil
CT scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan
di rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
2.1.5.3 Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang
dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini
tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada
hipertensi beri obat antihipertensi.
4) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke
terapi dengan heparin.
2.1.5.4 Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
2.1.5.5 Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg)
10% di berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1
jam jika onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan
infrak yang luas.
2.1.5.6 Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau
iskemia miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat
diberikan digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg
intravena atau amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
2.1.5.7 Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat
memperluas infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan
hipertensi bila terdapat salah satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis
seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna
(retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120
mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan
darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.
Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin. Nifedifin
sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena penurunan darahnya
sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah masih sulit di turunkan
maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50 mg/250 ml dekstrosa 5%
dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3 ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi
sampai tekanan darah yang di inginkan. Alternatif lain dapat diberikan
nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di jumpai tekanan darah yang rendah
pada stroke maka harus di naikkan dengan dopamin atau debutamin drips.
2.1.6 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.1.6.1 Pengkajian
Adapun pengkajian pada pasien stroke adalah :
1) Aktivitas/istirahat
2) Sirkulasi
3) Integritas Ego
4) Eliminasi
5) Makanan dan Cairan
6) Neurosensori
7) Kenyamanan
8) Interaksi Sosial
2.2.2 Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi yaitu :
2.2.2.1 Gaya hidup, mobilitas seseorang dipengaruhi oleh latar belakang budaya,
nilai-nilai yang dianut, serta lingkungan tempat ia tinggal (masyarakat).
2.2.2.2 Ketidakmampuan, kelemahan fisik dan mental akan menghalangi
seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Secara umum
ketidakmampuan dibagi menjadi dua yaitu :
1) Ketidakmampuan primer yaitu disebabkan oleh penyakit atau trauma
(misalnya : paralisis akibat gangguan atau cedera pada medula spinalis).
2) Ketidakmampuan sekunder yaitu terjadi akibat dampak dari
ketidakmampuan primer (misalnya : kelemahan otot dan tirah baring).
Penyakit-penyakit tertentu dan kondisi cedera akan berpengaruh terhadap
mobilitas.
2.2.6 Komplikasi
2.2.6.1 Perubahan Metabolik
Secara umum imobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,
mengingat imobilitas dapat menyebabkan turunnya kecepatan
metabolisme dalam tubuh. Immobilisasi menggangu fungsi metabolic
normal antara lain laju metabolic: metabolisme karbohidarat, lemak, dan
protein, keseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan kalsium,
dan gangguan pencernaan. Keberdaaan infeksius padaklien immobilisasi
meningkatkan BMR karena adanya demam dan penyembuhanluka yang
membutuhkan peningkatan kebutuhan oksgen selular.
2.2.6.2 Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit
Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari
imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan
konsenstrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu
kebutuhan cairan tubuh. Berkurangnya perpindahan cairan dari
intravaskular ke interstitial dapat menyebabkan edema, sehingga terjadi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
2.2.6.3 Gangguan Pengubahan Zat Gizi
Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya
pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat
makanan pada tingkat sel menurun, dan tidak bisa melaksanakan aktivitas
metabolisme.
2.2.6.4 Gangguan Fungsi Gastrointestinal
Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal, karena
imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna dan dapat
menyebabkan gangguan proses eliminasi.
2.2.6.5 Perubahan Sistem Pernapasan
Imobilitas menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernapasan. Akibat
imobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan
terjadinya lemah otot.
2.2.6.6 Perubahan Kardiovaskular
Perubahan sistem kardiovaskular akibat imobilitas, yaitu berupa hipotensi
ortostatik, meningkatnya kerja jantung, dan terjadinya pembentukan
trombus.
2.2.6.7 Perubahan Sistem Muskuloskeletal
1) Gangguan Muskular: menurunnya massa otot sebagai dampak
imobilitas, dapat menyebabkan turunnya kekuatan otot secara
langsung.
2) Gangguan Skeletal: adanya imobilitas juga dapat menyebabkan
gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadi kontraktur sendi dan
osteoporosis.
2.2.6.8 Perubahan Sistem Integumen, perubahan sistem integumen yang terjadi
berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah
akibat imobilitas.
2.2.6.9 Perubahan Eliminasi, perubahan dalam eliminasi misalnya dalam
penurunan jumlah urine.
2.2.7 Penatalaksanaan
2.2.7.1 Terapi
1) Penatalaksanaan umum
a) Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan
pramuwerdha.
b) Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,
pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah
ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari
sendiri, semampu pasien.
c) Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan
pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang
diperlukan untuk mencapai target terapi.
d) Temu dan kenali tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan
dan elektrolit yang mungkin terjadi pada masalah imobilisasi, serta
penyakit/ kondisi penyetara lainnya.
e) Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat
menyebabkan kelemahan atau kelelahan wajib diturunkan dosisnya atau
dihentkan bila memungkinkan.
f) Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang
mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.
g) Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis
terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,
aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (isotonik,
isometrik, isokinetik), latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi
terbatas.
h) Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu
berdiri dan ambulasi.
i) Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet.
2) Penatalaksanaan khusus
a) Tatalaksana faktor risiko imobilisasi.
b) Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi.
c) Pada keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter
spesialis yang kompeten.
d) Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pada pasien–pasien yang
mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk
mobilitas yang adekuat bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas
permanen.
3) Penatalaksanaan Lain
a) Pengaturan Posisi Tubuh sesuai Kebutuhan Pasien
Pengaturan posisi dalam mengatasi masalah kebutuhan mobilitas,
diberdayakan untuk meningkatkan kekuatan, ketahanan otot, dan
fleksibilitas sendi.
b) Ambulasi dini
Cara ini adalah salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini
bisa dilakukan dengan cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari
tempat tidur, bergerak ke kursi roda, dan lain-lain.
c) Melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri juga dilakukan untuk
melatih kekuatan, ketahanan, kemampuan sendi agar mudah bergerak,
serta meningkatkan fungsi kardiovaskular.
d) Latihan isotonik dan isometri
Latihan ini juga dapat dilakukan untuk melatih kekuatan dan ketahanan
otot dengan cara mengangkat beban ringan, lalu beban yang berat. Latihan
isotonik (dynamic exercise) dapat dilakukan dengan rentang gerak (ROM)
secara aktif, sedangkan latihan isometrik (static exercise) dapat dilakukan
dengan meningkatkan curah jantung dan denyut nadi.
e) Latihan ROM Pasif dan Aktif
Latihan ini baik ROM aktif maupun pasif merupakan tindakan pelatihan
untuk mengurangi kekakuan pada sendi dan kelemahan otot.
ROM Aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien)
dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan motivasi,
dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendiri
secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal (klien
aktif).
ROM Pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal dari
orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan
persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien
pasif). Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak
sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu
melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan
mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis
ekstermitas total (suratun, dkk, 2008)
f) Latihan Napas Dalam dan Batuk Efektif
Latihan ini dilakukan untuk meningkatkan fungsi respirasi sebagai
dampak terjadinya imobilitas.
g) Melakukan Postural Drainase
Postural drainase merupakan cara klasik untuk mengeluarkan sekret dari
paru dengan memanfaatkan gaya berat (gravitasi) dari sekret itu sendiri.
Postural drainase dilakukan untuk mencegah terkumpulnya sekret dalam
saluran napas tetapi juga mempercepat pengeluaran sekret sehingga tidak
terjadi atelektasis, sehingga dapat meningkatkan fungsi respirasi. Pada
penderita dengan produksi sputum yang banyak, postural drainase lebih
efektif bila diikuti dengan perkusi dan vibrasi dada.
h) Melakukan komunikasi terapeutik
Cara ini dilakukan untuk memperbaiki gangguan psikologis yaitu dengan
cara berbagi perasaan dengan pasien, membantu pasien untuk
mengekspresikan kecemasannya, memberikan dukungan moril, dan lain-
lain.
TINGKAT
KATEGORI
AKTIVITAS/ MOBILITAS
2.2.8.3 Intervensi
1) Gangguan mobilitas fisik
a) Latihan Kekuatan, ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk
melakukan program latihan secara rutin
b) Latihan untuk ambulasi
c) Ajarkan teknik Ambulasi dan perpindahan yang aman kepada klien dan
keluarga.
d) Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker.
e) Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.
f) Latihan mobilisasi dengan kursi roda
g) Ajarkan pada klien dan keluarga tentang cara pemakaian kursi roda dan
cara berpindah dari kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
h) Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
i) Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda
j) Latihan Keseimbangan
k) Ajarkan pada klien dan keluarga untuk dapat mengatur posisi secara
mandiri dan menjaga keseimbangan selama latihan ataupun dalam
aktivitas sehari hari.
l) Perbaikan Posisi Tubuh yang Benar.
m) Ajarkan pada klien atau keluarga untuk mem perhatikan postur tubuh yg
benar untuk menghindari kelelahan, keram & cedera.
n) Kolaborasi ke ahli terapi fisik untuk program latihan.
2) Nyeri akut
Pain Management
a) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
c) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri pasien
d) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
e) Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain tentang ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
f) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan
g) Kurangi faktor presipitasi nyeri
h) Ajarkan tentang teknik non farmakologi
i) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
j) Tingkatkan istirahat
k) Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
l) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri
3) Intoleransi aktivitas
Managemen Energi
a) Tentukan penyebab keletihan: :nyeri, aktifitas, perawatan , pengobatan
b) Kaji respon emosi, sosial dan spiritual terhadap aktifitas.
c) Evaluasi motivasi dan keinginan klien untuk meningkatkan aktifitas.
d) Monitor respon kardiorespirasi terhadap aktifitas : takikardi, disritmia,
dispnea, diaforesis, pucat.
e) Monitor asupan nutrisi untuk memastikan ke adekuatan sumber energi.
f) Monitor respon terhadap pemberian oksigen : nadi, irama jantung,
frekuensi Respirasi terhadap aktifitas perawatan diri.
g) Letakkan benda-benda yang sering digunakan pada tempat yang mudah
dijangkau
h) Kelola energi pada klien dengan pemenuhan kebutuhan makanan, cairan,
kenyamanan / digendong untuk mencegah tangisan yang menurunkan
energi.
i) Kaji pola istirahat klien dan adanya faktor yang menyebabkan kelelahan.
Terapi Aktivitas
a) Bantu klien melakukan ambulasi yang dapat ditoleransi.
b) Rencanakan jadwal antara aktifitas dan istirahat.
c) Bantu dengan aktifitas fisik teratur : misal: ambulasi, berubah posisi,
perawatan personal, sesuai kebutuhan.
d) Minimalkan anxietas dan stress, dan berikan istirahat yang adekuat.
e) Kolaborasi dengan medis untuk pemberian terapi, sesuai indikasi.