Anda di halaman 1dari 13

BAGIAN/SMF KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

BPK RSUZA BANDA ACEH

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aritmia
Aritmia atau disritmia adalah perubahan pada frekuensi dan irama jantung
yang disebabkan oleh konduksi elektrolit abnormal atauotomatis (Doenges, 1999).
Aritmia dapat didefenisikan pula sebagai berikut:
1. Berasal bukan dari nodus SA
2. Irama tidak teratur, sekalipun ia berasal dari nodus SA, misalnya sinus aritmia.
3. Frekwensi kurang dari 60x/menit (sinus bradikardia) atau lebih dari 100x/menit
(sinus takikardia)
4. Terdapatnya hambatan impuls supra atau intraventrikular (Rahman, 2006).
Gangguan irama jantung (disritmia atau aritmia) tidak hanya terbatas pada
denyut jantung yang tidak teratur, tetapi juga kecepatan denyut jantung yang
abnormal dan gangguan konduksi (Trisnohadi, 2007).

2.1.1 Mekanisme terjadinya aritmia


1. Automatisasi
Didalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai automatisitas, artinya
dapat dengan sendirinya secara teratur melepas rangsangan (impuls). Secara

13
Gambar 2.1 Fisiologi canel ion
4

fisiologis impuls ini berjalan sesuai depolarisasi sel jantung, seperti mekanisme
diatas (gambar 2.1).
Sel-sel ini akan mengalami Phase 0 ( depolarisasi ) yaitu Masuknya Na
secara mendadak ke intra sel sehingga intra sel menjadi positif. fase 1 (repolarisasi
awal ) yaitu kanal natrium tertutup sehingga muatan positif intrasel berkurang
sedikit. Kemudian fase 2 ( plateu ) yaitu kalsium masuk lambat ke intrasel,
muatan stabil disebut juga masa refrakter absolut . Kemudian fase 3
(repolarisasi) Kalium keluar ke ekstra sel sehingga intrasel menjadi lebih
bermuatan negatif kembali. Selanjutnya Phase 4 ( istirahat ) yaitu terjadi
polarisasi dimana intrasel negatif, ekstrasel positif. Pada VES setelah fase 1, 2, 3
dan akan masuk ke fase 4 yang secara spontan perlahan-lahan akan mengalami
depolarisasi, dan apabila telah melewati ambang batasnya akan timbulah impuls.
Impuls ini akan merangsang sel sekitarnya. Selanjutnya disebarkan keseluruh
jantung sehingga menghasilkan denyut spontan (Rahman, 2006).

Gambar 2.2 Potensial aksi manusia


Dibawah kondisi patologis penurunan potensial membran istirahat dapat memicu
depolarisasi fase 4 spontan pada seluruh sel jantung (Rosendorff, 2005).
Kelompok sel yang mempunyai automatisitas misalnya terdapat pada
nodus SA, kelompok sel yang terdapat di atrium dan ventrikel, AV junction,
sepanajng berkas HIS dan lain-lain. Pada keadaan normal yang paling dominan
adalah berada di nodus SA. Bila ia mengalami depresi dan tak dapat
mengeluarkan impuls pada waktunya, maka fokus yang berada ditempat lain akan
mengambil alih pembentukan impuls sehingga terjadilah irama jantung yang baru
yang kita katakan sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif
5

mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama jantung tersebut,


dengan frekuensi yang lebih cepat, misalnya pada ventrikular atau supraventikular
takikardia. Selain dari itu, sudah diutarakan diatas. Bahwa kecepatan perjalanan
impuls menuju keseluruhan jantung juga dapat menimbulkan aritmia (Rahman,
2006).

2. Re-entry
Re-entry yaitu suatu bentuk hantaran abnormal, dimana ada fokus lain
dapat mendominasi nodus SA tertekan, juga dapat karena fokus lainnya itu lebih
aktif dengan frekwensi yang lebih tinggi. Terjadinya peningkatan frekuensi fokus
lainnya dapat timbul dengan berbagai cara:
- Pengaruh persarafan yang menekan nodus SA seperti telah dijelaskan
diatas atau mengaktifkan kelompok-kelompok sel automatisitas di
dalam/diluar nodus SA.
- Timbulnya re-entry takikardia di salah satu tempat penghantar baik supra
atau ventrikular karena timbulnya hambatan parsial ataupun komplit, uni
atau bi direksional, maupun hambatan masuknya impuls (entrance block)
setempat.
- Selain reentry tachicardia dan berbagai derajat blok AV seperti telah
disebutkan pada 2 diatas, hambatan yang timbul pada penghantar dapat
mejadi dasar terjadinya berbagai aritmia, seperti bundle branch block, rate
dependent BBB/aberrant (Rahman, 2006).
Selama Re-entry suatu impuls juga akan masuk kembali dan merangsang
daerah miokardium yang sebelumnya sudah diaktifkan, sehingga menimbulka
denyut prematur (Price & Wilson, 2006).

2.2 Ekstra sistol ventrikel


2.2.1 Defenisi
Ekstrasistol ventrikel berasal dari fokus ektopik ventrikel. Rekaman EKG
menunjukkan bentuk QRS lebar oleh karena rangsang di ventrikel tidak berjalan
melewati jalur yang normal (sistem His-Purkinje) tetapi melalui miokard yang
merupakan media penghantar listrik yang kurang baik dibandingkan dengan jalur
normal (Podrid, 2013). Seperti annulus trikuspidalis, anulus katup mitral,
6

muskulus papilaris, dan selain serabut purkkinje seperti tendon palsu ventrikel kiri
(Cantillon, 2013). Umumnya berbetuk seperti bundle branch block, dengan
segmen ST-T yang diskordan (berlawanan arah vektor) terhadap kompleks QRS
(Munawar & sutandar, 2004). Sedangkan menurut Saunders ekstra sistol ventrikel
dikenal pula dengan Premature Ventricular Complexes (PVC), ventricular
premature depolarizations atau premature ventricular beats (Podrid, 2013).
PVC merupakan kompleks QRS yang terjadi secara prematur dan
memiliki bentuk abnormal serta memiliki durasi yang biasanya kelebihan
dominan kompleks QRS, yaitu lebih dari 120 ms sedangkan menurut harrison
lebih dari 140 ms. Kompleks QRS tidak dihasilkan oleh gelombang P yang
prematur tapi dihasilkan oleh sinus yang tidak dikonduksi pada waktu yang
diperkirakan. Transmisi retrogard ke atrium dari PVC terjadi cukup sering tapi
sering keluar karena rusaknya kompleks QRS dan gelombang T. Jika impuls
retrogard mengeluarkan atau mengembalikan nodus sinus dengan prematur maka
itu akan menghasilkan penghentian sementara yang tidak sepenuhnya
dikompensasi (Rosendorff, 2005).
Istilah multifokal atau unifokal mungkin tidak tepat lagi oleh karena fokus
ektopik yang sama mungkin akan menimbulkan gambaran EKG yang berbada
karena jalan yang dilewati pun mungkin berbada. Istilah multiform atau uniform
tampaknya tidak tepat. EKG permukaan saja kadang-kadang tidak mampu
menentukan lokasi ekstrasistol ventrikel (Ismudiaty, et al., 2004).

2.2.2 Etiologi
Ekstrasistol ventrikel adalah jenis aritmia yang paling banyak dijumpai.
Pada orang dewasa, makin tua umur makin sering frekuensi ekstrasistol ventrikel.
Selain itu adalah stres emosi, olahraga, penggunaa bahan-bahan seperti alkohol,
kafein (kopi), tembakau, atau stimulan. obat-obatan seperti alpa, beta atau agonis
dopamin reseptor serta obat simpatomimetik. Selain itu ada pula penggunaan zat
terlarang seperti kokain. Amfetamin, metamfetamin, dan turunannya. Adapula
masalah hipoksia, gangguan elektrolit (hipokalemi, hipomagnesemia), iskemia,
infark mikard akut, kardiomiopati, MVP, gagal jantung, sindrom QT yang
memanjang, prolaps katup mitral, cerebrovaskuler accident, keracunan digitalis,
7

hipokalemi, miokarditis, keracunan digitalis dan lain sebagainya (Trisnohadi,


2007); (P, et al., 1984 ).
Penyebab lain VES adalah riwayat turunan keluarga yang masih satu
derajat dengan pasien (Cantillon, 2013).
Secara ringkas etiologi VES dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 2.1 Etiologi VES (Dave, 2012)

2.2.3 Manifestasi Klinis


VES lebih sering terjadi pada pagi hari pasien dengan miokard infark,
namun irama sirkandian ini bervariasi tergantung beratnya disfungsi dari ventrikel
kirinya. Seseorang yang mengalami VES akan mengalami hal-hal sebagai berikut;
palpitasi, presinkop atau sinkop (Salvador, 2012). Gejala awal seseorang yang
mengalami VES biasanya menyebutkan dada berdebar, bisa bunyi jantung yang
keras, degupan dada atau dada seperti berhenti. Gejala palpitasi yang terjadi lain
disebutkan seperti ketidaknyamanan di area leher dan dada karena adanya
denyutan jantung ekstra atau perasaan jantung berhenti sejenak setelah kompleks
prematur tersebut (Libby, et al., 2008).
Gejala lain yang menyertai adalah sulit bernafas, nyeri dada, fatig, dan
pusing (Cantillon, 2013).

2.2.4 Klasifikasi
Lown membagi ekstrasistol ventrikel sebagai berikut:
8

0: tidak ada ekstrasistol ventrikel


1: Ekstrasistol ventrikel jarang (<30 kali/ menit)
2: Ekstrasistol ventrikel sering (>30 kali/menit)
3: Ekstrasistol ventrikel multiform
4: Ekstrasistol ventrikel berturutan
5: Ekstrasistol ventrikel yang terjadi dini (R on T)
Beberapa peneliti telah mengatakan bahwa penderajatan ekstrasistol ventrikel
menurut lown sudah tidak tepat lagi (Ismudiaty, et al., 2004).
Penilaian yang tepat dari VES harus mempertimbangkan : 1 ) karakteristik
elektrokardiografi . 2) Asosiasi gejala . 3) Ada tidaknya penyakit yang mendasari,
dan 4) fungsi ventrikel ( VF ). Atas dasar ini VES dapat diklasifikasikan sebagai
"jinak" (terisolasi, asimtomatik, kardiopati ringan atau tidak ada, dan VF
permanen); “ Berbahaya " (kehadiran VES kompleks, dengan atau tanpa gejala,
dan diakui penyakit jantung organik) , dan "ganas" (VES kompleks dan
takiaritmia ventrikel, penyakit jantung simptomatik, dan VF compromise) (J,
1992).
Rekaman EKG VES berupa QRS yang sangat lebar, mungkin lebih dari
0,14 detik. Berbeda dengan ekstrasistol supraventrikular, maka pada ekstrasistol
ventrikel, terjadi pause kompensatoar. Interval antara gelombang P sebelum dan
sesudah ekstrasistol ventrikel sama dengan 2 kali interval PP sewaktu irama sinus.
Hal ini terjadi oleh karena letak nodus SA yang relatif lebih jauh, sehingga
rangsang ekstrasistol ventrikel terjadi diantara 2 denyutan sinus (Trisnohadi,
2007).
Berdasarkan frekuensi dan bentuknya menurut (Yamin & harun, 2006)
VES dapat dibagi menjadi:
1. VES jarang (infrequent), yaitu gelombang muncul kurang dari lima kali
permenit
2. VES sering (frequent), yaitu gelombang muncul lebih dari lima kali permenit
3. VES repetitif: Bila muncul pada tiap denyutan (beat) kedua dari irama dasar
yang disebut juga VES bigemini. Ekstrasistol ventrikel dikatakan bigemini, bila
ektra sistol ventrikel tersebut selalu terjadi setelah kompleks QRS sinus, dengan
9

kata lain ekstrasistol ventrikel timbul berganti-ganti dengan QRS irama sinus
sebagaimana gambar 2.4 berikut:

Gambar 2.4 Ekstrasistol ventrikel bigemini (Yonowits, 2006)


Bila muncul pada denyutan ketiga dari irama dasar disebut VES trigemini.
Ekstrasistol ventrikel trigemini bila ekstra sistol ventrikel terjadi setelah 2
denyutan sinus sebagaimana gambar 2.5 berikut:

Gambar 2.5 Ekstrasistol ventrikel trigemini (Yonowits, 2006)

Bila muncul pada denyutan keempat dari irama dasar disebut VES quadrigemini.
10

Gambar 2.6 Ekstrasistol ventrikel quadrigemini (Yonowits, 2006)

Ekstrasistol ventrikel interpolated terjadi diantara 2 denyutan sinus.

Gambar 2.7 Ekstrasistol ventrikel interpolated (Yonowits, 2006)

4. VES berkelompok: Bila dua VES muncul berkelompok disebut VES salvo. Bila
tiga atau lebih VES disebut Ventrikular takikardi.
5. VES Multifokal: Bila bentuk PVC dalam satu sadapan bentuknya berlainan. Ini
menandakan fokus ektopik berasal lebih dari satu tempat.

Gambar 2.8 Ekstrasistol ventrikel multifokal (Yonowits, 2006)


6. Fenomena R on T: VES muncul pada periode repolarisasi ventrikel yang rentan
terjadinya VF yaitu pada down-slope gelombang T. Ekstrasistol ventrikel
dinamakan R on T bilamana ekstrasistol ventrikel tersebut terjadi terlalu dini.
Pada rekaman EKG, ekstrasistol ventrikel tersebut terjadi terlalu dini.rekaman
EKG, ekstrasistol ventrikel terjadi pada puncak gelombang T.
11

Gambar 2.9 ekstrasistol ventrikel yang terjadi dini (R on T) (Yonowits, 2006)


Zona berbahaya yang dapat memacu terjadinya ekstrasistol ventrikel lain secara
berurutan dapat terjadi di puncak, sebelum atau sesudah puncak gelombang T.

2.2.5 Patogenesis VES


VES yang sering dan multiformik seringkali di lanjutkan dengan masalah
jantung yang dapat mengarah ke kematian tiba-tiba. Menurut berbagai penelitian
VES terjadi sebagai penunjuk adanya kardiomiopati. Adapun patofisiologinya
sebagai berikut:
VES dapat menginduksi fenomena seperti atrial fibrilasi, Supraventrikular
takikardi, dan ventrikular takikardi. Hal ini terjadi karena dipicu oleh aktivitas
mekanisme cAMP sehingga membuat perubahan intraselular kalsium, dinamika
heart rate, parameter hemodinamik, dan miokardium serta stimulasi otonom
permbuluh darah. Abnormalitas morfologi dan fungsi dari miokard ventrikel dapat
ditemukan pada MRI. Penelitian lain menyebutkan, bahwa dissinkroni ventrikular
akan meningkatkan konsumsi oksigen sehingga memungkinkan terjadinya
mekanisme patogenik. Dissinkronisasi ventrikel akan menghasilkan global
kardiak efisiensi mekanik, seperti peningkatan ketebalan dinding yang tidak
simetris karena ada aktivitas regio yang melambat, perubahan aliran darah
miokardiak, dan perubahan lokal ekspresi protein miokardial. Ketika PVC terus
meningkat LV (left ventricle) dilatasi akan muncul. Perubahan aktivitas simpatis
kardiak, histopatologi seperti ekspresi channel ion. Dalam sebuah penelitian yang
dilakukan pada anjing, disfungsi LV terjadi terjadi dalam 4-12 minggu dari
adanya ventrikular ektopi.(Cha, et al., 2012).
12

Pada pasien dengan infark jantung akut perlu diberikan pengobatan jika
ekstrasistol dianggap maligna, karena dapat berkembang menjadi aritmia ventrikel
yang berbahaya seperti takikadia atau fibrilasi atrial(Trisnohadi, 2007).

Gambar 2.10 Mekanisme VES yang menyebabkan kardiomiopati (Cha, et al.,


2012).
Sedangkan VES yang terjadi pada seseorang yang tidak memiliki masalah
jantung etiologi penyebabnya adalah aliran ventrikel kanan dan kiri, atau jaringan
epicardium yang merangsang valsalva sinus aorta (Cantillon, 2013).
Pengobatan perlu diberikan pada ventrikel ekstrasistol yang dapat
berkembang menjadi aritmia ventrikel yang lebih berbahaya, seperti takikardi
ventrikel.
2.2.6 Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik sebaiknya mencari fokus struktur jantung yang
mengalami kelainan. Misalnya akan terdengar suara jantung tambahan saat
auskultasi dengan intensitas yang lebih rendah, dapat sharp dan snapping.
Menemukan hal-hal yang mengarah kepada CHF termasuk peningkatan tekanan
vena jugularis, tekanan vena, ada atau tidak di denyut arteri radialis, ronki pulmo,
13

atau edema periver. Alat pendekteksi VES adalah EKG baik yang 12 lead maupun
yang ambulatory Holter Monitoring selama 24-48 jam, pada EKG akan ditemukan
interval PR yang memanjang dengan adanya denyutan yang terpisah dari
kompleks lainnya (Libby, et al., 2008).

Gambar 2.11. Flow Chart diagnosis dan treatment serta follow up pasien dengan
VES (Cha, et al., 2012).
Ekokardiografi berguna untuk menyingkirkan sebab patologis katub,
gerakan abnormal dinding, kardiomiopati, atau abnormalitas miokardium.
Ekokardiografi pada kardiomiopati biasanya menunjukkan penurunan LVEF,
peningkatan sistolik dan diastolik preassure, gerakan abnormalitas dinding
jantung dan sebagainya. Selain itu tomografi MRI yang berguna mendeteksi
14

aritmogenik kardiomiopati dengan keterlibatan LV dan penyakit infiltratif ketika


ada kecurigaan klinis (Cantillon, 2013) dan ( (Cha, et al., 2012)

2.2.7 Penatalaksanaan
Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan jantung normal tidak
memiliki faktor prognostik yang penting. Bila pasien merasa tidak nyaman dapat
diberikan minor tranzquilizer dan menghindarkan faktor yang memperberat
seperti kopi, rokok dan menghindari obat-obat simpatomimetik seperti adrenalin,
efedrin dan lain-lain. (Trisnohadi, 2007). Bila gejala tidak dapat berkurang dapat
diberikan obat penyekat beta, nondihydropyridine calcium channel blockers
(verapamil, atau diltiazem)(Yamin & harun, 2006).
Beta blocker bekerja dengan menghambat reseptor adrenergik untuk
mengurangi intraselular siklik adenosin monofosfat supaya menurunkan
automatisasi. Beta bloker juga memberikan efek konotrofik negatif sehingga
mengurangi irama jantung dan menurunkan konduksi nodus atrioventrikular.
Kardioselekstif seperti atenolol, betaxolol, metoprolol, dan nadolol efektif
mengurangi VES. Adapun efek sampingnya adalah fatig, nafas dangkal, mood
yang depresi dan kehilangan nafsu seksual (Cantillon, 2013).
Jika penggunaan Beta blocker atau Chalsium channel blocker tidak efektif
maka perlu dipertimbangkan pemberian antiaritmia seperti flecainide. Namun
sangat dipertimbagkan efek sampingnya yang merusak fungsi hati dan ginjal.
Pada dasarnya, pengobatan ditujukan pada penyakit asalnya (Cha, et al., 2012).
Obat yang paling sering dipakai pada ekstrasistol ventrikel maligna pada
infark jantung akut ialah xilokain yang diberikan secara intravena dengan dosis
bolus 1-2 mg per kg berat badan, dilanjutkan dengan infus 1-2 mg permenit. Dosis
dapat dinaikkan sampai 4 mg permenit. Obat lain yang dapat dipakai adalah
amiodaron, meksiletin, dilantin (Yamin & harun, 2006)..
Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama PVC bigemini
multifokal, atau R on T, dapat diberikan lidokain, prokainamid meskipun
kegunaannya belum begitu terlihat sukses, IV magnesium dilaporkan dapat
digunakan untuk mencegah ventrikular takikardi. Amiodaron disebutkan cukup
efektif mengendalikan PVC (Libby, et al., 2008).
15

Namun, tidak ada penelitian yang telah mendokumentasikan bahwa


penghapusan PVC dengan terapi obat antiarrhythmic mengurangi risiko kematian
arrhythmic pada pasien dengan penyakit jantung struktural yang parah. Bahkan ,
terapi obat konduksi miokard lambat dan / atau meningkatkan dispersi
refractoriness benar-benar dapat meningkatkan risiko aritmia yang mengancam
nyawa (obat-perangsang perpanjangan QT) meskipun efektif dalam
menghilangkan VPCs (J, et al., 1986) .
Penelitian 2013 yang telah menyebutkan bahwa tekhnik ablasi kateter
dengan prosedur yang benar telah sukses lebih dari 90% mengatasi VES
(Cantillon, 2013). Kateter ablasi perlu dipertimbangkan ketika pasien VES ada
disfungsi LV dengan VES berjumlah >10000-20000 atau > 10% dari total heart
beat selama 24 jam (Cha, et al., 2012).

2.2.8 Prognostik
Bila PVC yang sering (frequent) muncul pada pasien pasca infark dengan
penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi <35%) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai
prognostiknya menjadi penting karena kelompok pasien ini sebaiknya dirujuk
untuk pemeriksaan elektrofisiologi untuk menentukan apakah perlu dipasang
implantable cardioveter defibrilator (Yamin & harun, 2006).

2.2.9 Edukasi
Pasien dengan VES akan diedukasi tentang perbaikan aktivitas. Aktivitas
dapat meningkatkan frekuensi jantung dan menurunkan kekhawatiran terhadap
prematur sistol tersebut. Olahraga juga mengurangi kompleks prematur pada
beberapa pasien (Libby, et al., 2008).
Selain itu, masukan kafein, obat-obat stimulan, rokok, alkohol untuk
dihindari. Faktanya, Penelitian secara random digunakan 81 laki-laki tidak
ditemukan adanya kaitan yang positiv terhadap tubuh tentang penggunaan barang-
barang tersebut (Cantillon, 2013).

Anda mungkin juga menyukai