Anda di halaman 1dari 14

MYASTENIA GRAVIS

A. Definisi Myastenia Gravis


Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu kelemahan
abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara terusmenerus dan disertai
dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari sinaps
transmission atau pada neuromuscular junction. Bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Myasthenia Gravis (MG) adalah penyakit autoimun kronis dari transmisi
neuromuskular yang menghasilkan kelemahan otot. Istilah Myasthenia adalah bahasa Latin
untuk kelemahan otot, dan Gravis untuk berat atau serius. Miastenia gravis merupakan bagian
dari penyakit neuromuskular. Miastenia gravis adalah gangguang yang memengaruhi
transmisi neuromuskular pada otot tubuh yang kerjanya di bawah kesadaran seseorang
(volunter). Miastenia gravis merupakan kelemahan otot yang parah dan satu-satunya penyakit
neuromuskular dengan gabungan antara cepatnya terjadi kelelahan otot-otot volunter dan
lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu 10-20 kali lebih lama dari normal). (Price dan
Wilson, 1995). Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya
terjadi kelelahan pada otot-otot volunter yang dipengaruhi oleh fungsi saraf kranial. Serangan
dapat terjadi pada beberapa usia, ini terlihat paling sering pada wanita antara 15-35 tahun dan
pada pria sampai 40 tahun.

B. Klasifikasi Klinis Myasthenia Gravis


1. Kelompok I Myasthenia Okular
Hanya menyerang otot-otot ocular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat ringan, tidak ada
kasus kematian.
2. Kelompok II Myasthenia Umum
a. Myasthenia umum ringan
Progress lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan
bulbar. Sistem pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi obat baik. Angka
kematian rendah.
b. Myasthenia umum sedang
Progress bertahap dan sering disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat
dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar. Disartria (gangguan bicara),
disfagia (kesulitan menelan) dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
Myasthenia umum ringan. Otot-otot pernafasan tidak terkena. Respon terhadap terapi
obat kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas, tetapi angka kematian rendah.
c. Myasthenia umum berat
- Fulminan akut: progress yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar
yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase
thymoma paling tinngi. Respon terhadap obat buruk. Insiden krisis Myasthenik,
kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya tinggi. Tingkat kematian tinggi.
- Lanjut: Myasthenia Gravis berat timbul paling sedikit 2 tahun sesudah progress
gejala-gejala kelompok I atau II. Myasthenia Gravis dapat berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Persentase thymoma menduduki urutan kedua.
Respon terhadap obat dan prognosis buruk.
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Kelas I: Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
2. Kelas II: Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya kelemahan
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
3. Kelas IIA: Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.
4. Kelas IIB: Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.
Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan dibandingkan
klas IIa
5. Kelas III: Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otototot lain
selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.
6. Kelas IIIA: Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.
7. Kelas IIIB: Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot- 9 otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan
8. Kelas IV: Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.
9. Kelas IVA: Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-otot
aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.
10. Kelas IVB: Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot
aksial, atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita menggunakan feeding tube tanpa
dilakukan intubasi
11. Kelas V: Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

C. Etiologi
Myasthenia gravis terjadi ketika sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan dan
menghasilkan antibodi yang menyerang jaringan sehat dalam tubuh. Dalam hal ini, antibodi
menyerang jaringan yang menghubungkan sel saraf dan otot, sehingga otot melemah dan
penderitanya menjadi cepat lelah. Belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya
gangguan autoimun pada penderita myasthenia gravis, namun kelainan pada kelenjar timus
diduga sebagai faktor yang dapat meningkatkan risiko munculnya penyakit autoimun ini.
Kelenjar timus adalah suatu kelenjar di bagian dada yang berperan sebagai penghasil antibodi.
Sebagian penderita myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar timus akibat tumor
atau pembengkakan kelenjar. Diduga kemungkinan terjadi karena gangguan atau destruksi
reseptor asetilkolin (Acetyl Choline Receptor (AChR)) pada persimpangan neoromuskular
akibat reaksi autoimun. Etiologi dari penyakit ini adalah:
a. Kelainan autoimun: direct mediated antibody, kekurangan AChR, atau kelebihan
kolinesterase
b. Genetik: bayi yang dilahirkan oleh ibu MG
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia gravis adalah:
1. Infeksi (virus)
2. Pembedahan
3. Stress
4. Perubahan hormonal
5. Alkohol
6. Tumor mediastinum
7. Obat-obatan:
a) Antikolinesterase
b) Laksative atau enema
c) Sedatif
d) Antibiotik (Aminoglycosides, ciprofloxacin, ampicillin, erythromycin)
e) Potassium depleting diuretic
f) Narkotik analgetik
g) Diphenilhydramine
h) B-blocker (propranolol)
i) Lithium
j) Magnesium
k) Procainamide
l) Verapamil
m)Chloroquine
n) Prednisone

D. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya kerusakan pada tranmisi
impuls saraf menuju sel otot karena kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal
membrane postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian memperlihatkan adanya
penurunan 70 % sampai 90 % reseptor asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap
individu. Miastenia gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap lansung
melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi neuromuscular.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan antibodi yang menyerang
salah satu jenis reseptor pada otot samping pada simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi
terhadap neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel syaraf dan otot
terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang reseptor acetylcholine sendiri-reaksi
autoimun-tidak diketahui. Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus
kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem kekebalan belajar
bagaimana membedakan antara tubuh dan zat asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot
(myocytes) dengan reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar thymus
bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk menghasilkan antibodi yang menyerang
acetylcholine. Orang bisa mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar
65% orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran kelenjar thymus, dan
sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma
adalah kanker (malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak memiliki antibodi
untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi terhadap enzim yang berhubungan
dengan pembentukan persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa
memerlukan pengobatan berbeda.

E. Manifestasi Klinis
Karakteristik penyakit berupa kelemahan otot ekstrem dan mudah mengalami
kelelahan, yang umumnya memburuk setelah aktivitas dan berkurang setelah istirahat.
Berbagai gejala yang muncul sesuai denagn otot yang terpenagaruh, sebagai berikut:
1) Apabila otot simetri yang terkena, umumnya dihubungkan dengan saraf kranial. Karena
otot–otot okular terkena, maka gejala awal yang muncul diplopia (penglihata ganda) dan
ptosis (jatuhnya kelopak mata). Ekspresi wajah pasien seperti sedang tidur terlihat seperti
patung hal ini dikarenakan otot wajah terkena
2) Pengaruh terhadapa laring menyebabkan disfonia (gangguan suara) dalam pembentukan
bunyi suara hidung atau kesukaran dalam pengucapan kata kata. Kelemahan pada otot otot
bulbar menyebabkan masalah mengunyah dan menelan dan adanya bahaya tersedak dan
aspirasi.
3) Sekitar 15% sampai 20% keluhan pada tangan dan otot otot lengan, pada otot kaki
mengalami kelemahan yang membuat pasien jatuh.
4) Kelemahan diafragma dan otot–otot interkostal menyebabkan gawat nafas, yang
merupakan keadaan darurat akut. (Keperawatan medikal bedah, 2001).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes darah dikerjakan untuk menebtukan kadar antibody tertentu didalam serum(mis,
AChR-binding antibodies, AChR-modulating antibodies, antistriational antibodies).
Tingginya kadar dari antibody dibawah ini dapat mengindikasikan adanya MG.
2. Pemeriksaan Neurologis melibatkan pemeriksaan otot dan reflex. MG dapat menyebabkan
pergerakan mata abnormal, ketidakmampuanuntuk menggerakkan mata secara normal, dan
kelopak mata turun. Untuk memeriksa kekuatan otot lengan dan tungkai, pasien diminta
untuk mempertahankan posisint melawan resistansi selama beberapa periode. Kelemahan
yang terjadi pada pemeriksaan ini disebut fatigabilitas.
3. Foto thorax X-Ray dan CT-Scan dapat dilakukan untuk mendeteksi adanya pembesaran
thymoma, yang umum terjadi pada MG
4. Pemeriksaan Tensilon sering digunakan untuk mendiagnosis MG. Enzim
acetylcholinesterase memecah acetylcholine setelah otot distimulasi, mencegah terjadinya
perpanjangan respon otot terhadap suatu rangsangan saraf tunggal. Edrophonium Chloride
merupakan obat yang memblokir aksi dari enzim acetylcholinesterase
5. Electromyography (EMG) menggunakan elektroda untuk merangsang otot dan
mengevaluasi fungsi otot. Kontraksi otot yang semakin melemah menandakan adanya MG.

G. Penatalaksanaan
Menurut Corwin (2009), penatalaksanaan pada pasien dengan miastenia gravis adalah:
1. Periode istirahat yang sering selama siang hari untuk menghemat kekuatan
2. Timektomi (pengangkatan timus melalui pembedahan)
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi dan
kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita beberapa hari
pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase sering kali merupakan
tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi dengan fisioterapi dan
antibiotik.
3. Plasmaferesis (dialisis darah dengan pengeluaran antibodi IgG)
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50 ml/kg BB.
Plasmaferesis mungkin efektif pada krisis miastenik karena kemampuannya untuk
membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi tidak bermanfaat pada penanganan
kasus kronik.
4. Terapi farmakologi
 Antikolinesterase (piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin bromida
15-45 mg per oral tiap 3 jam) untuk memperpanjang waktu paruh asetilkolin di taut
neuromuskular. Pemberian antikolinesterase sangat bermanfaat pada miastenia gravis
golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan,
berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan.
 Steroid (prednisolon sekali sehari secara selang-seling/alternate days dengan dosis awal
kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu). Apabila sudah ada
perbaikan klinis maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan
tujuan memperoleh dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon
secara mendadak harus dihindari.
 Azatioprin (merupakan obat imunosupresif dengan efek samping lebih sedikit jika
dibandingkan dengan steroid, yaitu berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim
hati, dan leukopenia). Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu
pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati.
Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan setiap bulan sekali.
 Obat anti-inflamasi untuk membatasi serangan autoimun

H. Komplikasi
Miastenia gravis dikatakan berada dalam krisis jika ia tidak dapat menelan,
membersihkan sekret, atau bernapas secara adekuat tanpa bantuan alat-alat. Ada dua jenis
krisis yang terjadi sebagai komplikasi dari miastenia gravis (Corwin, 2009), yaitu:
a. Krisis miastenik
Ditandai dengan perburukan berat fungsi otot rangka yang memuncak pada gawat napas
dan kematian karena diafragma dan otot interkostal menjadi lumpuh. Dalam kondisi ini,
dibutuhkan antikolinesterase yang lebih banyak. Keadaan ini dapat terjadi pada kasus
yang tidak memperoleh obat secara cukup, terjadi setelah pengalaman yang menimbulkan
stres seperti penyakit, gangguan emosional, pembedahan, atau selama kehamilan, serta
infeksi. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
1. kontrol jalan napas
2. pemberian antikolinesterase
3. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasmaferesis
Bila pada krisis miastenik pasien tetap mendapat pernapasan buatan (respirator),
obat-obat antikolinesterase tidak diberikan terlebih dahulu, karena obat-obat ini dapat
memperbanyak sekresi saluran pernapasan dan dapat mempercepat terjadinya krisis
kolinergik. Setelah krisis terlampaui, obat-obat dapat mulai diberikan secara bertahap,
dan seringkali dosis dapat diturunkan.
b. Krisis kolinergik
Krisis kolinergik yaitu respons toksik akibat kelebihan obat-obat antikolinesterase. Hal
ini mungkin disebabkan karena pasien tidak sengaja telah minum obat berlebihan, atau
mungkin juga dosis menjadi berlebihan karena terjadi remisi spontan. Golongan ini sulit
dikontrol dengan obat-obatan dan batas terapeutik antara dosis yang terlalu sedikit dan
dosis yang berlebihan sempit sekali. Respons mereka terhadap obat-obatan seringkali
hanya parsial. Status hiperkolinergik ditandai dengan peningkatan motilitas usus,
konstriksi pupil, bradikardia, mual dan muntah, berkeringat, diare, serta dapat pula timbul
gawat napas. Tindakan terhadap kasus ini adalah:
1. kontrol jalan napas
Penghentian antikolinesterase untuk sementara waktu, dan dapat diberikan atropine 1
mg intravena dan dapat diulang bila perlu. Jika diberikan atropine, pasien harus
diawasi secara ketat, karena sekret saluran napas dapat menjadi kental sehingga sulit
dihisap atau mungkin gumpalan lendir dapat menyumbat bronkus, menyebabkan
atelektasis. Kemudian, antikolinesterase dapat diberikan lagi dengan dosis yang lebih
rendah
2. bila diperlukan: obat imunosupresan dan plasma feresis.
Untuk membedakan kedua tipe krisis tersebut dapat diberikan tensilon 2-5 mg
intravena. Obat ini akan memberikan perbaikan sementara pada krisis miastenik, tetapi
tidak akan memberikan perbaikan atau bahkan memperberat gejala-gejala krisis
kolinergik.
I. Pencegahan Myasthenia Gravis
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, tidak ada yang dapat dilakukan untuk
mencegah terjadinya myasthenia gravis, karena bukan disebabkan oleh sesuatu yang bisa kita
hindari.

ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien yang meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan status

2. Keluhan utama: kelemahan otot

3. Riwayat kesehatan: diagnosa miastenia gravis didasarkan pada riwayat dan presentasi
klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan pemulihan kekuatan parsial setelah
istirahat sangatlah menunjukkan miastenia gravis, pasien mungkin mengeluh kelemahan
setelah melakukan pekerjaan fisik yang sederhana. Riwayat adanya jatuhnya kelopak mata
pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga bukti tentang kelemahan otot.

4. Pemeriksaan fisik:
 B1(breathing): dispnea,resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut, kelemahan otot
diafragma
 B2(bleeding): hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi
 B3(brain): kelemahan otot ekstraokular yang menyebabkan palsi okular, jatuhnya mata
atau dipoblia
 B4(bladder): menurunkan fungsi kandung kemih,retensi urine,hilangnya sensasi saat
berkemih
 B5(bowel): kesulitan mengunyah-menelan, disfagia, dan peristaltik usus turun,
hipersalivasi, hipersekresi
 B6(bone): gangguan aktifitas / mobilitas fisik, kelemahan otot yang berlebih

B. Diagnosa keperawatan
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan

2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan tidak optimal

3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia, gangguan pengucapan kata,


gangguan neuromuskular, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis

C. Intervensi
1. Ketidakefektifan pola nafas yang berhubungan dengan kelemahan otot pernafasan
Tujuan: Dalam waktu 1 x 24 jam setelah diberikan intervensi polapernapasan klien kembali
efektif
Kriteria hasil:
 Irama, frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam batas normal
 Bunyi nafas terdengar jelas
 Respirator terpasang dengan optimal

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji Kemampuan ventilasi  Untuk klien dengan penurunan kapasitas ventilasi,
perawat mengkaji frekuensi pernapasan, kedalaman,
dna bunyi nafas, pantau hasil tes fungsi paru-paru
tidal, kapasitas vital, kekuatan inspirasi), dengan
interval yang sering dalam mendeteksi masalah pau-
paru, sebelum perubahan kadar gas darah arteri dan
sebelum tampak gejala klinik.
2. Kaji kualitas, frekuensi, dan  Dengan mengkaji kualitas, frekuensi, dan
kedalaman pernapasan, kedalaman pernapasan, kita dapat mengetahui sejauh
laporkan setiap perubahan mana perubahan kondisi klien.
yang terjadi.

3. Baringkan klien dalamposisi  Penurunan diafragma memperluas daerah dada


yang nyaman dalam posisi sehingga ekspansi paru bisa maksimal
duduk
4. Observasi tanda-tanda vital  Peningkatan RR dan takikardi merupakan indikasi
(nadi,RR) adanya penurunan fungsi paru
2. Resiko cedera bd fungsi indra penglihatan yang tidak optimal
Tujuan: Menyatakan pemahaman terhadap faktor yang terlibat dalam kemungkinan cedera.
Kriteria hasil:
 Menunjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan faktor resiko dan
melindungi diri dari cedera.
 Mengubah lingkungan sesuai dengan indikasi untuk meningkatkan keamanan

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji kemampuan klien  Menjadi data dasar dalam melakukan intervensi
dalam melakukan aktivitas selanjutnya
2. Atur cara beraktivitas  Sasaran klien adalah memperbaiki kekuatandan
klien sesuai kemampuan daya tahan. Menjadi partisipan dalampengobatan,
klien harus belajar tentangfakta-faakta dasar mengenai
agen-agen antikolinesterase-kerja, waktu,
penyesuaiandosis, gejala-gejala kelebihan dosis, dan
efek toksik. Dan yang penting pada penggunaan
medikasi dengan tepat waktu adalah ketegasan.
3. Evaluasi Kemampuan  Menilai singkat keberhasilan dari terapi yang boleh
aktivitas motorik diberikan

3. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan disfonia,gangguan pengucapan kata,


gangguan neuromuskular, kehilangankontrol tonus otot fasial atau oral
Tujuan: Klien dapat menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, mampu
mengekspresikan perasaannya, mampu menggunakan bahasa isyarat
Kriteria hasil:
 Terciptanya suatu komunikasi di mana kebutuhan klien dapat dipenuhi
 Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat.

Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji komunikasi verbal  Kelemahan otot-otot bicara klien krisis miastenia
klien. gravis dapat berakibat pada komunikasi
2. Lakukan metode  Teknik untuk meningkatkan komunikasi meliputi
komunikasi yang ideal sesuai mendengarkan klien, mengulangiapa yang mereka
dengan kondisiklien coba komunikasikan dengan jelas dan membuktikan
yang diinformasikan, berbicara dengan klien terhadap
kedipan mata mereka dan atau goyangkan jari-jari
tangan atau kaki untuk menjawab ya/tidak. Setelah
periode krisis klien selalu mampu mengenal
kebutuhan mereka.
3. Beri peringatan bahwa  Untuk kenyamanan yang berhubungan dengan
klien di ruang ini mengalami ketidakmampuan komunikasi
gangguan berbicara,
sediakan bel khusus bila
perlu
4. Antisipasi dan bantu  Membantu menurunkan frustasi oleh karena
kebutuhan klien ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi
5. Ucapkan langsung kepada  Mengurangi kebingungan atau kecemasan terhadap
klien dengan berbicara pelan banyaknya informasi. Memajukan stimulasi
dan tenang, gunakan komunikasi ingatan dan kata-kata.
pertanyaan dengan jawaban
”ya” atau” tidak” dan
perhatikan respon klien
6. Kolaborasi: konsultasi ke  Mengkaji kemampuan verbal individual, sensorik,
ahli terapi bicara dan motorik, serta fungsi kognitif untuk
mengidentifikasi defisit dan kebutuhan terapi
4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ptosis, ketidakmampuan komunikasi verbal
Tujuan: Citra diri klien meningkat
Kriteria hasil:
 Mampu menyatakan atau mengkomunikasikan dengan orang terdekat tentang situasi
dan perubahan yang sedang terjadi
 Mampu menyatakan penerimaan diri terhadap situasi
 Mengakui dan menggabungkan perubahan ke dalam kosep diri dengan cara yang akurat tanpa
harga diri yang negatif.
Intervensi Rasionalisasi
1. Kaji perubahan dari  Menentukan bantuan individual dalam menyusun
gangguan persepsi rencana perawatan atau pemilihan intervensi.
danhubungan dengan derajat
ketidakmampuan
2. Identifikasi arti dari  Beberapa klien dapat menerima dan mengatur
Kehilangan atau disfungsi beberapa fungsi secara efektif dengan sedikit
pada klien. penyesuaian diri, sedangkan yang lain mempunyai
kesulitan membandingkan mengenal dan mengatur
kekurangan.
3. Bantu dan anjurkan  Membantu meningkatkan perasaan hargadiri dan
perawatan yang baik dan mengontrol lebih dari satu area kehidupan
memperbaiki kebiasaan
4. Anjurkan orang yang  Menghidupkan kembali perasaan kemandirian dan
Terdekat untuk mengizinkan membantu perkembangan harga diri serta
klien melakukan hal untuk mempengaruhi proses rehabilitasi
dirinya sebanyak-banyaknya
5. Kolaborasi: rujuk pada  Dapat memfasilitasi perubahan peran yang penting
ahli neuro psikologi dan untuk perkembangan perasaan
konseling bila ada indikasi.

D. Evaluasi
1. Pola napas kembali efektif
2. Terhindar dari resiko cedera
3. Tidak terjadi hambatan dalam komunikasi
4. Citra tubuh klien meningkat
DAFTAR PUSTAKA

Engel A. Miastenia gravis and miastenia syndromes. Annals of Neurology. 2004. Volume 16:
Page: 519-534.

Khadilkar SV, Sahni AO, Patil SG. Miastenia gravis. JAPI. 2004 November; 52:897-903. 3.
Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Miastenia gravis: clinical, immunological, and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand. 2005; 111: 134-141.

Beekman R, Kuks JBM., Oostherhius HJGH. Miastenia gravis: diagnosis and follow-up of 100
consecutive patients. J Neurol. 2007; 244: 112-8.

Christensen PB, Jensen TS, Tsirropoulus I. Mortality and survival in miastenia gravis: a Danish
population based study. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2003; 64: 78-63.

Sanders DB. Generalized miastenia gravis: clinical presentation and diagnosis. 56th Annual
Meeting. San Francisco, CA: American Academy of Neurology, 2004.

Brainin M., Barnes M., Baron J.C., et al. Guidance for the preparation of neurological
management guidelines by EFNS scientific task forces-revised recommendations 2004.
Eur J Neurol. 2004; 11:577-581.

Vincent A. Unravelling the pathogenesis of miastenia gravis. Nat Rev Immunol. 2002; 2: 797-
804. 9. Goldenberg W. Miastenia Gravis. 20 Januari 2012.

Miastenia Gravis and Related Disorders of the Neuromuscular Junction. In: Ropper A, Brown R,
eds. Adam and Victor’s : Princiles of Neurology 8 th ed. McGraw Hill. 2005; 53: 1264 –
1250.
Hoch W, McConville J., Helms S., Newsom-Davis J., Melms A., Vincent A., Auto-antibodies to
the reseptor tyrosine kinase MuSK in patients with miastenia gravis without acethylcholine
receptor antibodies. Nat Med 2001; 7: 365-368.

Anda mungkin juga menyukai