Anda di halaman 1dari 23

Nyeri

Nyeri menurut International Association for the Study of Pain adalah pengalaman sensorik
dan motorik yang tidak menyenangkan sehubungan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun
potensial. Nyeri tidaklah selalu berhubungan dengan derajat kerusakan jaringan yang dijumpai.
Nyeri bersifat individual yang dipengaruhi oleh genetik, latar belakang kultural, umur dan jenis
kelamin. Kegagalan dalam menilai faktor kompleks nyeri dan bergantung pada pemeriksaan fisik
sepenuhnya dan tes laboratorium mengarahkan kita pada kesalahpahaman dan terapi yang tidak
adekuat terhadap nyeri, terutama pada pasien-pasien dengan resiko tinggi seperti orangtua, anak-
anak dan pasien dengan gangguan komunikasi.6

Klasifikasi Nyeri

Nyeri Berdasarkan Lokasi

Nyeri sering diklasifikasikan berdasarkan lokasi dari tubuh. Ada dua skema yang
tumpang tindih mengenai nyeri berdasarkan sistem atau anatomi tubuh. Skema yang
pertama mengklasifikasikan nyeri dilihat dari perspektif regional (contoh, nyeri
punggung, sakit kepala, nyeri panggul). Sedangkan skema yang lain mengklasifikasikan
nyeri dilihat dari sistem tubuh (contoh muskuloskeletal, neurologis, vaskular). Namun,
dua skema ini hanya mengarahkan nyeri menjadi satu dimensi (yaitu, dimana atau
mengapa pasien menjadi sakit) dan hal ini mempersulit dalam hal penentuan masalah
neurofisiologis yang mendasari masalah tersebut.7

Nyeri Berdasarkan Durasi

Nyeri diklasifikasi menjadi 3 jenis jika berdasarkan durasi nyeri, yaitu nyeri akut,
nyeri sub-akut, dan nyeri kronik. Nyeri akut merupakan nyeri yang durasinya terjadi
kurang dari 1 bulan serta mempunyai tujuan protektif seperti untuk memperingatkan
bahaya ataupun sebagai tanda batas menggunakan bagian tubuh yang terluka atau sakit,
contoh dari nyeri ini adalah nyeri pasca operasi. Sedangkan nyeri sub-akut didefinisikan
sebagai nyeri yang durasinya terjadi lebih dari 1 bulan dan kurang dari 6 bulan.
Selanjutnya, nyeri kronik merupakan nyeri yang durasinya lebih dari 6 bulan dan
berdasarkan etiologinya nyeri kronik dapat dibedakan menjadi nyeri yang tidak
berhubungan dengan kanker (benign/non-malignant pain) dan nyeri yang berhubungan
dengan kanker (malignant cancer). Ada satu klasifikasi nyeri lagi yaitu nyeri akut
berulang, merupakan rasa nyeri yang memiliki pola dan menetap beberapa waktu yang
terjadi karena episode nyeri yang terisolasi, contoh dari tipe nyeri ini adalah sakit kepala,
gangguan motilitas gastrointestinal, penyakit sendi degeneratif, gangguan vaskular dan
kolagen.8,9

Nyeri Berdasarkan Penyebab

Nyeri dibagi menjadi 4 berdasarkan penyebabnya yaitu nyeri somatik, viseral,


neuropatik (yang sering disebut deafferentation pain), dan psikosomatik. Nyeri somatik
dan viseral merupakan kelompok nyeri nosiseptik. Nyeri somatik biasanya perifer, bisa
dilokalisasi dengan baik, konstan, dan sangat perih. Nyeri viseral biasanya sulit
dilokalisir jika di intra-abdomen namun nyeri bersifat konstant, sakit, dan nyerinya
merujuk ke daerah kulit. Nyeri neuropatik bersifat seperti kesemutan, paroksismal tajam,
dan terbakar. Nyeri psikosomatik ditandai dengan nyeri di satu atau lebih situs anatomi
yang merupakan fokus utama dari klinis pasien dan hal tersebut dapat menimbulkan
perhatian klinis. Nyeri psikosomatik ini dipengaruhi oleh mood, depresi, dan motivasi.
Tabel 1 memperlihatkan contoh-contoh nyeri somatik, viseral, dan neuropatik.8,10
Berdasarkan keterkaitan kanker, nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri yang
berhubungan dengan kanker dan tidak berhubungan dengan kanker. Foley
mengklasifikasikan keadaan ini menjadi lima, yaitu pasien dengan nyeri akut yang
berhubungan dengan kanker, pasien dengan nyeri kanker yang berhubungan dengan
kanker yang disebabkan progresitifitas penyakit atau terapi, pasien dengan nyeri kronis
yang sudah ada sebelumnya baik terkait ataupun tidak dengan kanker, pasien dengan
riwayat ketergantungan zat kimia dan berhubungan dengan kanker, dan pasien yang
sekarat yang membutuhkan kenyamanan dalam meringankan penyakitnya.8,10

Tabel 1. Tipe Nyeri Berdasarkan Penyebabnya


Somatik Viseral Neuropatik

Fraktur Obstruksi usus Neuropati akibat alkoholik


Somatik Viseral Neuropatik

dan nutrisi

Luka sayatan Konstipasi Poli atau mononeuropati


diabetik

Luka akibat suhu Endometriosis Tumor Pancoast

Luka akibat trauma Metastase Neuralgia postherpes

Tabel 2. Perbedaan karakteristik nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik


Nyeri Nosiseptik Nyeri Neuropatik

Terlokalisasi pada tempat cedera Nyeri di bagian distal dari lesi atau
disfungsi saraf
Sensasi sesuai stimulus
Sensasi tidak selalu sesuai dengan stimulus,
Akut, mempunyai batas waktu rasa panas, berdenyut, ngilu
Memiliki fungsi protektif Kronis, persisten setelah cedera
menyembuh

Tidak memiliki fungsi protektif

Nyeri Berdasarkan Intensitas

Klasifikasi nyeri berdasarkan intensitasnya merupakan klasifikasi yang cukup


rumit karena intensitas nyeri yang dialami pasien berbeda-beda dan sangat subyektif. Ada
pasien yang merasakan nyeri dengan angka 10 sedangkan pasien lain merasakannya
dengan angka 5 dalam suatu kondisi patologis yang sama (lihat skala numerik pada
gambar 1.). Sementara itu untuk nyeri yang tidak berhubungan dengan kanker biasanya
dinyatakan secara continuum (contoh ringan, sedang, sampai berat). Biasanya intensitas
nyeri dinyatakan dengan berbagai skala seperti gambar dibawah ini.7
Gambar 1. Skala Nyeri Numerik11

Gambar 2. Skala Analog Visual11

Gambar 3. Skala Nyeri Wong Baker11

Gambar 4. Skala Nyeri Berdasarkan Ekspresi Wajah – Revisi/Faces Pain Scale – Revised (FPS-R)12

Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang: Secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat: secara obyektif klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. 7
Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling banyak digunakan
untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara visual gradasi tingkat
nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang nyeri diwakili sebagai garis
sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap sentimeter (Gambar 1). Tanda
pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka atau pernyataan deskriptif. Ujung
yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan ujung yang lain mewakili rasa
nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat dibuat vertikal atau horizontal.
VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala hilangnya/reda rasa nyeri. Digunakan
pada pasien anak >8 tahun dan dewasa. Manfaat utama VAS adalah
penggunaannya sangat mudah dan sederhana. Namun, untuk periode pascabedah,
VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS memerlukan koordinasi visual dan
motorik serta kemampuan konsentrasi.
Skala nyeri numerik dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif
terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS
terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan
pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan untuk
membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang
sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik.
Skala nyeri Wong Baker digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun
yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka (Gambar 3).
Keempat skala nyeri tersebut bersifat unidimensional dimana hanya mengukur
intensitas nyeri, cocok untuk nyeri akut, dan biasanya digunakan untuk evaluasi
pemberian analgetik.

Anatomi, Fisiologi dan Patofisiologi Nyeri

Salah satu fungsi sistem saraf yang paling penting adalah menyampaikan
informasi tentang ancaman kerusakan tubuh. Saraf yang dapat mendeteksi nyeri tersebut
dinamakan nociception. Nociception termasuk menyampaikan informasi perifer dari
reseptor khusus pada jaringan (nociseptors) kepada struktur sentral pada otak. Sistem
nyeri mempunyai beberapa komponen8 (gambar 5):
Reseptor khusus yang disebut nociceptors, pada sistem saraf perifer, mendeteksi dan menyaring
intensitas dan tipe stimulus noxious.(orde 1)
Saraf aferen primer (saraf A-delta dan C) mentransmisikan stimulus noxious ke CNS.
Kornu dorsalis medulla spinalis adalah tempat dimana terjadi hubungan antara serat aferen
primer dengan neuron kedua dan tempat kompleks hubungan antara lokal eksitasi dan
inhibitor interneuron dan traktus desenden inhibitor dari otak.
Traktus asenden nosiseptik (antara lain traktus spinothalamikus lateralis dan ventralis)
menyampaikan sinyal ke area yang lebih tinggi pada thalamus. (orde 2)
Traktus thalamo-kortikalis yang menghubungkan thalamus sebagai pusat relay sensibilitas ke
korteks cerebralis pada girus post sentralis. (orde 3)
Keterlibatan area yang lebih tinggi pada perasaan nyeri, komponen afektif nyeri, ingatan tentang
nyeri dan nyeri yang dihubungkan dengan respon motoris (termasuk withdrawal response).
Sistem inhibitor desenden mengubah impuls nosiseptik yang datang pada level medulla spinalis
Bila terjadi kerusakan jaringan/ancaman kerusakan jaringan tubuh, seperti
pembedahan akan menghasilkan sel-sel rusak dengan konsekuensi akan mengeluarkan
zat-zat kimia bersifat algesik yang berkumpul sekitarnya dan dapat menimbulkan nyeri.
Selanjutnya akan terjadi pelepasan beberapa jenis mediator seperti zat-zat algesik, sitokin
serta produk-produk seluler yang lain, seperti metabolit eikosinoid, radikal bebas dan
lain-lain (tabel 2). Mediator-mediator ini dapat menimbulkan efek nyeri melalui
mekanisme spesifik.8
Gambar 5. Patofisiologi nyeri13

Tabel 3. Zat-zat yang timbul akibat nyeri


Zat Sumber Menimbulkan Efek pada aferen
nyeri primer
Kalium Sel-sel rusak ++ Mengaktifkan
Seroronin Trombosis ++ Mengaktifkan
Bradikinin Kininogen plasma +++ Mengaktifkan
Histramin Sel-sel mast + Mengaktifkan
Prostaglandin Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Lekotrien Asam arakidonat dan sel rusak ± Sensitisasi
Substansi P Aferen primer ± Sensitisasi
Gambar 6. Patofisiologi nyeri8

Rangkaian proses perjalanan yang menyertai antara kerusakan jaringan sampai


dirasakannya nyeri adalah suatu proses elektrofisiologis. Ada 4 proses yang mengikuti suatu
proses nosisepsi yaitu8,14,15:

Tranduksi

Transduksi adalah perubahan rangsang nyeri (noxious stimuli) menjadi aktifitas


listrik pada ujung-ujung saraf sensoris. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, substansi P, potasium, histamin, asam laktat, dan lain-lain akan
mengaktifkan atau mensensitisasi reseptor-reseptor nyeri. Reseptor nyeri merupakan
anyaman ujung-ujung bebas serat-serat aferen A-delta dan C. Reseptor-reseptor ini
banyak dijumpai di jaringan kulit, periosteum, di dalam pulpa gigi dan jaringan tubuh
yang lain. Serat saraf aferen A-delta dan C adalah serat-serat saraf sensorik yang
mempunyai fungsi meneruskan sensorik nyeri dari perifir ke sentral ke susunan saraf
pusat. Interaksi antara zat algesik dengan reseptor nyeri menyebabkan terbentuknya
impuls nyeri.

Transmisi
Transmisi adalah proses perambatan impuls nyeri melalui A-delta dan C yang
menyusul proses tranduksi. Serat aferen A-delta dan C meneruskan impuls nyeri ke
sentral, yaitu ke medulla spinalis, ke sel neuron di kornu dorsalis, disebut sebagai neuron
aferen primer. Serat aferen A-delta dan C yang berfungsi meneruskan impuls nyeri
mempunyai perbedaan ukuran diameter. Serat A-delta mempunyai diameter lebih besar
dibanding dengan serat C. Serat A-delta dilapisi myelin sehingga dapat menghantarkan
impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C yang tidak bermyelin (0.5-
5 m/dtk). Sel-sel neuron di medulla spinalis kornu dorsalis yang berfungsi dalam fisiologi
nyeri ini disebut sel-sel neuron nosisepsi. Pada nyeri akut, sebagian dari impuls nyeri tadi
oleh serat aferen A-delta dan C diteruskan langsung ke sel-sel neuron yang berada di
kornu antero-lateral dan sebagian lagi ke sel-sel neuron yang berada di kornu anterior
medulla spinalis. Jaringan saraf yang naik dari medula spinalis ke batang otak dan
talamus disebut neuron penerima kedua. Neuron yang menghubungkan dari talamus ke
korteks serebri disebut neuron penerima ketiga. Aktivasi sel-sel neuron di kornu antero-
lateral akan menimbulkan peningkatan tonus sistem saraf otonom simpatis dengan segala
efek yang dapat ditimbulkannya. Sedangkan aktivasi sel-sel neuron di kornu anterior
medulla spinalis akan menimbulkan peningkatan tonus otot skeleton di daerah cedera.

Modulasi

Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin, NA,


5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Impuls nyeri yang diteruskan
oleh serat-serat A-delta dan C ke sel-sel neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla
spinalis tidak semuanya diteruskan ke sentral lewat traktus spinotalamikus. Di daerah ini
akan terjadi interaksi antara impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem
inhibisi endogen maupun sistem inhibisi eksogen, tergantung mana yang lebih dominan.
Bila impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan nyeri.
Sedangkan bila efek sistem inhibisi lebih kuat, maka penderita tidak akan merasakan
nyeri.

Persepsi
Impuls yang diteruskan ke korteks sensorik akan mengalami proses yang sangat
kompleks, termasuk proses interpretasi dan persepsi yang akhirnya menghasilkan rasa
nyeri.

Gambar 6. Proses perjalanan nyeri

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulus noksius yakni serabut saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi lambat).
Serat A delta mempunyai diameter lebih besar dibanding dengan serat C. Serat A delta
menghantarkan impuls lebih cepat (12-30 m/dtk) dibandingkan dengan serat C (0.5-5
m/dtk). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noksius, namun keduanya memiliki
perbedaan, baik reseptor maupun neurotransmiter yang dilepaskan pada presinaps di
kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A hanya peka terhadap stimulus mekanik
dan termal, sedangkan serabut C peka terhadap berbagai stimulus noksius, meliputi
mekanik, termal dan kimiawi. Oleh karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai
polymodal nociceptors. Demikian pula neurotransmiter yang dilepaskan oleh serabut A di
presinaps adalah asam glutamat, sedangkan serabut C selain melepaskan asam glutamat
juga substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida.
Proses terjadinya nyeri diawali dengan adanya sensitisasi. Sensitisasi dibagi
menjadi sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Pada sensitisasi perifer, kerusakan
jaringan akibat suatu trauma selain akan menyebabkan terlepasnya zat-zat dalam sel juga
akan menginduksi terlepasnya mediator inflamasi dari sel mast, makrofag dan limfosit.
Lebih dari itu terjadi impuls balik dari saraf aferen yang melepaskan mediator kimia yang
berakibat terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
ekstravasasi protein plasma.

Gambar 7. Skema sensitisasi perifer

Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya mediator-mediator inflamasi seperti


ion kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P, histamin dan produk-produk
siklooksigenase dan lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat yang menghasilkan
prostaglandin. Mediator kimia inilah yang menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor
tersebut di atas. Akibat dari sensitisasi ini, rangsang lemah normal yang biasanya tidak
menyebabkan nyeri akan terasa nyeri. Peristiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer
yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal/suhu pada daerah
jaringan yang rusak. Dengan kata lain sensitisasi perifer diinduksi oleh adanya perubahan
neurohumoral pada daerah jaringan yang rusak maupun sekitarnya. Jika kita ingin
menekan fenomena sensitisasi perifer ini, maka dibutuhkan upaya menekan efek
mediator kimia tersebut. Upaya demikian merupakan dasar penggunaan obat-obat anti
inflamasi non-steroid (AINS) yang merupakan anti enzim siklooksigenase.
Pada sensitisasi sentral, suatu stimulus noksius yang berkepanjangan sebagai
akibat pembedahan/inflamasi, akan mengubah respon saraf pada kornu dorsalis medulla
spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan meningkat seirama dengan lamanya stimulus
tersebut. Neuron kornu dorsalis berperan sangat penting dalam proses transmisi dan
modulasi suatu stimulus noksius. Neuron kornu dorsalis terdiri atas first-order neuron
yang merupakan akhir dari serabut aferen pertama dan second-order neuron sebagai
neuron penerima dari neuron pertama. Second-order neuron-lah yang memainkan peran
modulasi yang dapat memfasilitasi atau menghambat suatu stimulus noksius. Nosiseptif
second-order neuron di kornu dorsalis terdiri atas dua jenis, yakni pertama, nociceptive-
specific neuron (NS) yang secara eksklusif responsif terhadap impuls dari serabut Aδ dan
serabut C. Neuron kedua disebut wide-dynamic range neuron (WDR) yang responsif
terhadap baik stimulus noksius maupun stimulus non-noksius yang menyebabkan
menurunnya respon treshold serta meningkatnya reseptive field, sehingga terjadi
peningkatan sinyal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada kornu
dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan/inflamasi. Perubahan ini disebut sebagai
sensitisasi sentral atau wind up. “Wind-up” ini dapat menyebabkan neuron-neuron
tersebut menjadi lebih sensitif terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi
sentral. Hal ini menunjukkan bahwa susunan saraf pusat tidak bisa diibaratkan sebagai
“hard wired” yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat berubah sifatnya akibat
adanya kerusakan jaringan atau inflamasi.
Penemuan ini telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini
telah diketahui bahwa suatu stimulus noksius yang berkepanjangan pada serabut C dari
serabut aferen primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia pada kornu
dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya nyeri kronik yang
sulit disembuhkan.
Perubahan-perubahan yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungan dengan
sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan reseptor field size sehingga neuron
spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak merupakan stimulus
nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi respon terhadap stimulus yang
lebih dari potensial ambang. Dan yang terakhir, terjadi pengurangan ambang batas
sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat nosiseptif akan mentransmisikan
informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini penting pada keadaan nyeri akut seperti
nyeri pascabedah dan perkembangan terjadinya nyeri kronik. Perubahan ini
bermanifestasi sebagai hyperalgesia, allodynia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar
perlukaan.
Suatu jejas saraf akibat pembedahan juga akan mengakibatkan perubahan pada
kornu dorsalis. Telah dibuktikan bahwa setelah terjadi jejas saraf perifer pada ujung
terminal aferen yang bermielin, terjadi perluasan perubahan pada daerah sekitar kornu
dorsalis. Ini berarti bahwa serabut saraf yang biasanya tidak menghantarkan nyeri ke
daerah kornu dorsalis yang superfisial telah berfungsi sebagai relay pada transmisi nyeri.
Jika secara fungsional dilakukan hubungan antara terminal-terminal yang normalnya
menghantarkan informasi non-noxious dengan neuron-neuron yang secara normal
menerima input nosiseptif maka akan terbentuk suatu pola nyeri dan hipersensitivitas
terhadap sentuhan ringan sebagaimana yang terjadi pada kerusakan saraf.

Gambar 8. Skema sensitisasi sentral

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan postsinaps dari terminal serabut aferen primer.
Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari alternatif
pengobatan baru. Reseptor N-methyl-D-Aspartat (NMDA) banyak mendapat perhatian
khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat memediasi proses fisiologis dari
informasi sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan peranan reseptor NMDA pada
perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme “wind-up” dan perubahan-perubahan
lain termasuk proses fasilitasi, sensitisasi sentral dan perubahan daerah reseptor perifer.
Dengan demikian antargonis NMDA tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin,
penyekat reseptor NMDA, dengan jelas dapat mengurangi kebutuhan opiat bila diberikan
sebelum operasi. Dekstrometorfan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain
karena penelitian menunjukkan bahwa dekrtrometorfan juga merupakan penyekat
reseptor NMDA.
Dewasa ini perhatian selanjutnya juga tertuju pada NO dan peranannya dalam
proses biologik. Sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada proses nosiseptif.
Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan influks Ca. Ca
intraseluler akan bergabung dengan calmodulin menjadi Ca-calmodulin yang selanjutnya
akan mengaktivasi enzim NOS (Nitric Oxide Synthase) yang dapat mengubah arginin
menghasilkan sitrulin dan NO (Nitric Oxide) dengan bantuan NADPH sebagai co-factor.
Dalam keadaan normal, NO dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi normal
sel. Namun, dalam jumlah yang berlebihan, NO dapat bersifat neurotoksik yang akan
merusak sel saraf itu sendiri. Perubahan yang digambarkan di atas, terjadi seiring dengan
aktivasi reseptor NMDA yang berkelanjutan. Dengan demikian, obat-obat yang dapat
menghambat produksi dari NO akan mempunyai peranan yang penting dalam
pencegahan dan penanganan nyeri.
Fenomena “wind-up” merupakan dasar dari analgesia pre-emptif, dimana
memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan respon nyeri akut
sedini mungkin, analgesia pre-emptif dapat mencegah atau setidaknya mengurangi
kemungkinan terjadinya “wind-up”. Idealnya, pemberian analgesik telah dimulai
sebelum pembedahan.
Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologik dalam penerapan strategi penanganan nyeri.
Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang bahan-bahan
yang pada tingkat spinal berefek terhadap opiat, adrenoreseptor alfa dan reseptor NMDA.
Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba mengurangi fenomena sensitisasi
sentral. Konsep analgesia pre-emptif telah mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan
menjadi sebuah usaha dalam mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang
terjadi pada proses nyeri.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri trauma
adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu prinsip dasar
pengelolaan nyeri adalah mencegah atau meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer
dengan pemberian obat-obat NSAID (COX, atau COX 2), sedangkan untuk menekan atau
mencegah terjadinya sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian opiat atau
anestetik lokal utamanya jika diberikan secara sentral.

Nyeri Neuropatik

Definisi

Pengertian nyeri neuropatik menurut International Association for The Study of Pain
(IASP) adalah “nyeri yang dipicu atau disebabkan oleh lesi primer atau disfungsi dari sistem
saraf” dan dapat disebabkan oleh kompresi atau infiltrasi dari nervus oleh suatu tumor,
tergantung di mana lesi atau disfungsi terjadi. Nyeri neuropatik pada dasarnya dapat dibagi
menjadi dua yaitu berdasarkan asalnya yaitu perifer dan sentral, juga berdasarkan waktunya,
yakni nyeri neuropatik akut dan kronik. Ada beberapa masalah dalam bidang kedokteran paliatif
yang menyulitkan dalam mendiagnosis dan menangani nyeri neuropatik, dan tak ada satupun
hasil yang memuaskan yang dapat menyebabkan hilangnya nyeri. Dalam membuat suatu
diagnosa adanya nyeri neuropatik diperlukan anamnesis yang tepat tentang apa yang sedang
dirasakan pasien, baik tipenya maupun derajat dari nyeri tersebut.1,15,16

Epidemiologi

Prevalensi kejadian nyeri neuropatik yang akurat belum ada. Salah satu alasan tidak adanya
data epidemiologis mengenai nyeri neuropatik di rumah sakit adalah kurangnya kemampuan
klinisi dan belum adanya instrumen sederhana yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi
karakteristik nyeri neuropatik. Secara global prevalensi nyeri neuropati di Prancis dan Inggris
adalah sekitar 6-8%. Dari hasil penelitian oleh Purwata dkk (2015) di 13 rumah sakit di
Indonesia, sebanyak 21,8% pasien dengan keluhan nyeri yang datang ke rumah sakit memiliki
karakteristik nyeri neuropatik. Prevalensi nyeri neuropatik lebih tinggi pada pria dibandingkan
perempuan (2:1). Nyeri neuropatik lebih sering dialami oleh penderita usia tua dengan yang
terbanyak adalah pada usia 40-60 tahun. Frekuensinya akan meningkat seiring meningkatnya
usia. Nyeri neuropatik memiliki beragam kondisi yang mendasarinya dan yang terbanyak
ditemukan adalah low back pain, Carpal Tunnel syndrome, frozen shoulder, neuropati
diabetikum, dan brakhialgia.4,5

Klasifikasi

Nyeri neuropatik dapat berasal dari lesi di semua jaringan somatosensorik, mulai
dari ujung saraf bebas di nosiseptor sampai dengan neuron kortikal di otak. Nyeri
neuropatik dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasi, etiologi, dan gejalanya.
Berdasarkan lokasinya, neuropatik terbagi menjadi nyeri neuropatik sentral (spinal,
thalamus, dan korteks) dan perifer (nervus, pleksus, ganglion radiks dorsalis, dan radiks
spinalis). Berdasarkan etiologinya nyeri neuropatik dapat terjadi akibat trauma, iskemi,
inflamasi, neurotoksik, paraneoplastik, metabolik, dan defisiensi. Berdasarkan gejala
nyeri dapat bersifat spontan (independent pain), dirangsang stimulus (evoked pain), atau
gabungan antara keduanya.1,12

Etiologi

Nyeri neuropatik dapat terjadi akibat lesi di susunan saraf pusat (nyeri sentral)
atau kerusakan saraf perifer (nyeri perifer). Nyeri neuropatik berasal dari saraf perifer di
sepanjang perjalanannya atau dari SSP karena gangguan fungsi, tanpa melibatkan eksitasi
reseptor nyeri spesifik (nosiseptor). Gangguan ini dapat disebabkan oleh kompresi,
transeksi, infiltrasi, iskemik, dan gangguan metabolik pada badan sel neuron.3
Nyeri sentral neuropatik adalah suatu konsep yang berkembang akibat
bertambahnya bukti bahwa kerusakan ujung-ujung saraf nosiseptif perifer di jaringan
lunak, pleksus saraf, dan saraf itu sendiri juga dapat menyebabkan nyeri sentral nosiseptif
melalui proses sensitasi. Sindrom nyeri thalamus adalah salah satu nyeri neuropatik
sentral. Nyeri sentral neuropatik juga dapat ditemukan pada pasien post-strok, multiple
sklerosis, spinal cord injury, dan penyakit Parkinson.3,18
Nyeri neuropatik perifer terjadi akibat kerusakan saraf perifer. Kerusakan yang
berasal dari perifer menyebabkan tidak saja pelepasan muatan spontan serat saraf perifer
yang terkena tetapi juga lepasnya muatan spontan sel-sel ganglion akar dorsal saraf yang
rusak. Contoh-contoh sindrom yang mungkin dijumpai adalah neuralgia pascaherpes,
neuropati diabetes, neuralgia trigeminus, kausalgia, phantom-limb pain, kompresi akibat
tumor, dan post operasi.3,18
Tabel 4. Penyebab Tersering Nyeri Neuropatik

Nyeri Neuropatik Sentral Nyeri Neuropatik Perifer

• Mielopati kompresif dengan • Poliradikuloneuropati demielinasi inflamasi


stenosis spinalis akut dan kronik

• Mielopati HIV • Polineuropati alkoholik

• Multipel sklerosis • Polineuropati oleh karena kemoterapi

• Penyakit Parkinson • Sindrom nyeri regional kompleks (complex


regional pain syndrome)
• Mielopati post iskemik
• Neuropati jebakan (misalnya, carpal tunnel
• Mielopati post radiasi syndrome)
• Nyeri post stroke • Neuropati sensoris oleh karena HIV
• Nyeri post trauma korda spinalis • Neuralgia iatrogenik (misalnya, nyeri post
mastektomi atau nyeri post thorakotomi)
• Siringomielia
• Neuropati sensoris idiopatik

• Kompresi atau infiltrasi saraf oleh tumor

• Neuropati oleh karena defisiensi nutrisional

• Neuropati diabetik

• Phantom limb pain

• Neuralgia post herpetic

• Pleksopati post radiasi

• Radikulopati (servikal, thorakal, atau


lumbosakral)

• Neuropatik oleh karena paparan toksik

• Neuralgia trigeminus (Tic Doulorex)

• Neuralgia post trauma


Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan penyakit infeksi, yang paling sering
adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada pada penderita HIV, juga dapat menyebabkan low
back pain, radicular pain, dan mielopati. Nyeri neuropatik adalah hal yang paling sering dan
penting dalam morbiditas pasien kanker. Nyeri pada pasien kanker dapat timbul dari kompresi
tumor pada jaringan saraf atau kerusakan sistem saraf karena radiasi atau kemoterapi.2

Pemeriksaan Neurologis
Lesi di sistem somatosensori menyebabkan defisit sensorik di area yang
dipersarafi sistem somatosensori tersebut, yang kemudian diekspresikan sebagai
gambaran defisit pada persepsi mekanik atau vibratorik, yang mengindikasikan kerusakan
serabut saraf aferen pada traktur kolumna dorsal. Sedangkan defisit persepsi noksius dan
suhu mengindikasikan adanya kerusakan pada serabut aferen diameter kecil atau pada
jalur perjalanan nyeri seperti pada traktus spinotalamik.23,24
Pemeriksaan pasien yang mengalami nyeri neuropatik meliputi pemeriksaan
persepsi terhadap sentuhan, tekanan, vibrasi, pinprick/tajam, suhu dingin, dan suhu panas.
Respon dinilai sebagai normal, menurun, atau meningkat. Alodinia dan hiperalgesia
dinilai kualitasnya dengan mengukur intensitas dan area yang mengalaminya. Penilaian
nyeri dilakukan pada area dimana nyeri paling dirasakan, area kontralateral, sekitar nyeri,
dan daerah yang bebas nyeri. Persepsi terhadap sentuhan dapat dilakukan dengan
menggunakan cotton swab atau filamen von Frey 2 gram dan 26 gram. Sensasi pinprick
dinilai dengan menggunakan stimulus berupa benda tajam. Sensai terhadap suhu dinilai
dengan menilai respon terhadap stimulus thermal (misalnya benda logam yang bersuhu
20oC atau 40oC). Sensasi vibrasi dinilai dengan menggunakan garpu tala.23,24
Inspeksi pada area kulit yang merasakan nyeri juga penting dilakukan untuk
melihat perubahan fungsi vasomotor, keringat, dan trofi yang menggambarkan reaksi
adrenergik patologis antara serabut saraf simpatis postganglion dan serabut saraf aferen
nosiseptif. Pada kondisi nyeri kronis, perubahan trofi pada kulit dan kuku terjadi
bersamaan dengan gejala motorik seperti kelemahan, tremot, dan distonia. Perkusi saraf
pada area terjadi nya kompresi atau iritasi dapat menimbulkan sensasi tersetrum pada
area yang dipersarafi (Tinel’s sign).19

Tabel 6. Penilaian fungsi saraf sensorik19


Serabut Sensasi Pemeriksaan Respon Patologis
Saraf Klinis

A-β Sentuhan Cotton swab Penurunan


persepsi
(hipoestesi)

Vibrasi/getaran Garpu tala 128 Hz Penurunan ambang


persepsi (pall-
hipoestesi)

A-δ Tajam Jarum Penurunan


persepsi
(hipoalgesi)

Suhu dingin Thermoroller Penurunan


(20oC) persepsi
(hipoestesi
thermal)

C Suhu panas Thermoroller Penurunan


(40oC) persepsi
(hipoestesi
thermal)

Tatalaksana

Survei epidemiologis menunjukkan bahwa pasien yang mengalami nyeri neuropatik


belum mendapatkan tatalaksana yang sesuai. Alasannya dapat dikarenakan kesalahan diagnosis,
obat yang tidak efektif, dan kurangnya pengetahuan mengenai efektivitas obat dan kesesuaian
penggunaan obat dalam praktik klinis. Hasil studi oleh Finnerup dkk (2015) menunjukkan bahwa
tatalaksana farmakologis tidak bergantung pada penyebab yang mendasari terjadinya nyeri
neuropatik. Namun efek samping obat memiliki kaitan dengan penyebab-misal penggunaan obat
yang memiliki efek samping terkait SSP toleransinya lebih rendah pada pasien dengan lesi di
SSP.25
Tabel 6. Jenis obat yang digunakan dalam tatalaksana nyeri neuropatik sesuai klasifikasi GRADE
(Grading of Recommendations Assessment, Development, and Evaluation)25
Jenis obat Dosis harian total Rekomendasi

Gabapentin 1200-3600 mg, dibagi dalam 3 Lini utama


dosis

Gabapentin 1200-3600 mg, dibagi dalam 2 Lini utama


extended release dosis
atau enacarbil

Pregabalin 300-600 mg, dibagi dalam 2 dosis Lini utama

Serotonin- 60-120 mg, satu kali sehari Lini utama


noradrenaline (duloxetine)
reuptake inhibitors
duloxetine atau 150-225 mg, satu kali sehari
venlafaxine (venlafaxine extended release)

Antidepresan 25-150 mg, satu kali sehari atau Lini utama


trisiklik dibagi dalam 2 dosis

Capsaicin 8% Satu hingga empat patch pada area Lini kedua (nyeri
patches yang nyeri selama 30-60 menit neuropatik perifer)
setiap 3 bulan

Lidocaine patches Satu hungga tiga patch pada regio Lini kedua (nyeri
yang nyeri satu kali sehari hingga neuropatik perifer)
12 jam

Tramadol 200-400 mg, dibagi dalam 2 atau 3 Lini kedua


dosis

Botulinum toxin A 50-200 unit pada area yang nyeri Lini ketiga;
(subkutan) setiap 3 bulan digunakan oleh
spesialis (nyeri
neuropatik perifer)

Opioid kuat Titrasi individual Lini ketiga

Lini utama terapi nyeri neuropatik adalah obat golongan anti konvulsan,
antidepresan, dan serotonin-noradrenaline reuptake inhibitors (SNRI). Gabapentin dan
pregabalin merupakan antikonvulsan yang mekanisme kerjanya adalah berikatan dengan
presinaps voltage-gated calcium channel di dorsal horn, menyebabkan penurunan
pelepasan neurotransmiter eksitator seperti glutamat dan substansi P. Pregabalin
merupakan analog gabapenting dengan mekanisme kerja yang sama, namun memiliki
afinitas yang lebih tinggi terhadap presinaps di kanal kalsium. Pada beberapa studi
pregabalin mampu menghilangkan nyeri dan memperbaiki kualitas tidur pada pasien
dengan neuralgia post-herpetik dan neuropati diabetikum.25
Antidepresan trisiklik secara umum memiliki efikasi yang sama. Mekanisme kerja
antidepresan trisiklik belum diketahui secara pasti, namun obat ini memblok pengambilan
kembali (reuptake) noradrenalin dan serotonin, memblok hiperalgesia yang diinduksi
oleh agonis N-methyl-D-aspartat dan juga memiliki hubungan dengan kanal natrium.
Antidepresan trisiklik tersier (amitriptilin, imipramin, dan domipramin) tidak
direkomendasikan digunakan pada dosis lebih dari 75 mg/hari pada orang dewasa usia
>65 tahun karena efek antikolinergik dan efek samping sedatif, konstipasi dan retensi
urin, serta potensi risiko pasien jatuh besar. Peningkatan risiko henti jantung mendadak
telah dilaporkan pada penggunaan antidepresan trisiklik dengan dosis lebih dari 100 mg
per hari. Efek samping umum yang timbul akibat penggunaan antidepresan antara lain
mengantuk, konstipasi, mulut kering (terutama antidepresan trisiklik), dan mual (terutama
duloxetine).25,26
Golongan serotonin-noradrenaline reuptake inhibitor (SNRI) yang paling sering
diteliti adalah duloxetine, sehingga penggunaannya pada nyeri neuropatik
direkomendasikan. Selain duloxetine, golongan SNRI lain adalah venlafaxine.25
Tatalaksana menggunakan obat topikal direkomendasikan pada nyeri neuropatik
perifer dengan nyeri lokal seperti pada post-herpetic neuralgia, post-traumatic painful
neuropathies, dan polineuropati yang nyeri. Pada beberapa keadaan dimana efek samping
penggunaan obat lini pertama menjadi pertimbangan, terutama pada pasien usia tua,
lidokain patches dapat menjadi pilihan utama. Penggunaan capsaicin patches jangka
panjang berkaitan dengan degenerasi serat saraf epidermal. Efek samping yang sering
ditemukan adalah nyeri lokal, edema, dan eritema.26
Tramadol merupakan agonis opioid lemah yang kerjanya mirip dengan
antidepresan trisiklik. Tramadol memiliki afinitas rendah terhadap reseptor opioid mu dan
menginhibisi reuptake noradrenalin dan serotonin. Tramadol memiliki efek samping yang
lebih lemah dibandingkan opioid lemah lain seperti kodein, namun harganya lebih
mahal.25
Sustained-release oksikodon dan morfin dengan dosis maksimum 120 mg/hari
dan 240 mg/hari telah diteliti dengan percobaan klinis. Efek samping opioid (termasuk
tramadol) antara lain konstipasi, mual, muntah, rasa lelah, mengantuk, pusing, mulut
kering, dan gatal. Penggunaan opioid jangka panjang berhubungan dengan
penyalahgunaan, terutama pada dosis tinggi, gangguan kognitif, perubahan endokrin dan
imunologis.26
Lini ketiga selain opioid kuat adalah botulinum neurotoxin (BoNT) yang
diderivasi dari Clostridium botulinum. Mekanisme kerjanya adalah dengan menginhibisi
pelepasan neurotransmiter asetilkolin pada terminal saraf presinaps, yang menyebabkan
penurunan aktivitas serat otot. BoNT juga menginhibisi pelepasan neuropeptida
nosiseptif lokal, seperti substnasi P, kalsitonin, dan glutamat. Melalui proses ini BoNT
menginhibisi inflamasi neurogenik dan sensitisasi perifer. Efek samping BoNT berkaitan
dengan pembentukan antibodi terhadap BoNT yang diinjeksikan. Efek samping yang
paling sering ditemukan adalah infeksi pada tempat penyuntikan.27
Terapi kombinasi digunakan pada pasien yang tidak respon terhadap penggunaan
monoterapi dosis sedang. Terapi kombinasi yang direkomendasikan adalah kombinasi
pregabalin atau gabapentin (300 mg/hari) dan duloxetine (60 mg/hari) atau antidepresan
trisiklik.26
Gambar 10. Terapi nyeri neuropatik berdasarkan mekanisme kerja obatnya

Selain terapi farmakologis dengan pemberian obat analgesik, terapi lain yang bersifat non
farmakologis adalah dengan pemberian terapi rehabilitasi yang bertujuan untuk merangsang
pengeluaran endorfin dan enkefalin yang merupakan peredam nyeri alami yang ada dalam tubuh.
Terapi rehabilitasi yang dapat diterapkan adalah sebagai berikut.

Modifikasi perilaku: relaksasi, terapi musik, biofeedback dan lain-lain.

Modulasi nyeri: modalitas termal, Transcutaneus Electric Nerve Stimulation (TENS), akupuntur.

Latihan kondisi otot: peregangan, myofascial release, spray and strech.

Rehabilitasi vokasional: Pada tahap ini kapasitas kerja dan semua kemampuan penderita yang masih
tersisa dioptimalkan agar penderita dapat kembali bekerja.

Pada kasus-kasus intractable neuropathic pain mungkin diperlukan intervensi disiplin


ilmu lain seperti anestesi dan bedah saraf.

Anda mungkin juga menyukai