Anda di halaman 1dari 35

TUTORIAL KLINIK

INSOMNIA
Disusun untuk Memenuhi Syarat Kelulusan Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Saraf RSUD Kota Salatiga

Disusun oleh :

Nadya Ratu Aziza Fuady

1413010031

Pembimbing: dr. Gama Sita Setya Pratiwi, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU SARAF

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan disahkan tutorial klinik dengan judul
INSOMNIA

Disusun Oleh:
Nama : Nadya Ratu Aziza Fuady
NIM : 1413010031

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Rabu, 6 Desember 2018

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

Pembimbing: dr. Gama Sita Setya Pratiwi, Sp.S

2
1. Fisiologi Tidur
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan
beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola
dunia disebut sebagai irama sirkadian.
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi proses deaktivasi sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron
di substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi
terletak pada substansia ventrikulo retikularis batang otak yang disebut sebagai
pusat tidur (sleep center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan
sinkronisasi/desinkronisasi terdapat pada bagian rostral batang otak disebut
sebagai pusat penggugah (arousal center).
Y

Dikatakan sehat dan normal bila begitu naik ke atas tempat tidur dengan
tatanan rapi, bantal enak dan empuk, kurang lebih selang 30 menit sudah tertidur,
bahkan ada orang begitu mencium bantal dalam 3-5 menit langsung tertidur.
Salah satu kriteria yang digunakan adalah “Siklus Kleitman”, yang terdiri dari

3
aktivitas bangun / aktivitas harian dan siklus tidur yang juga dikenal sebagai
activity / rest cycle. Siklus ini terdiri dari Rapid Eye Movement (REM) dan Non-
Rapid Eye Movement (NREM). Sebenarnya bentuk pola tidur dapat dibedakan
dengan memperhatikan pergerakan bola mata yang dimonitor selama fase tidur.
Secara obyektif, EEG dapat digunakan untuk mencatat fase REM maupun NREM
selama tidur. Tidur yang dipengaruhi oleh NREM ditandai dengan gelombang
EEG yang bervoltase tinggi tetapi berfrekuensi rendah, sedangkan tidur yang
dipengaruhi oleh REM ditandai oleh gambaran EEG yang berfrekuensi tinggi
tetapi bervoltase rendah.

Siklus dari Kleitman akan berulang selama periode tidur setiap pengulangan
diserati dengan pemendekan fase 3-4 dari NREM yang disebut SWS (Slow Wave
Sleep) sedangkan lama REM lebih panjang. Kenyenyakan tidur sebenarnya
tergantung pada lamanya fase-fase yang dilalui dari fase pertama sampai fase
empat dari NREM. Sedangkan fase ini berjalan cepat, maka orang itu belum tidur
nyenyak.

Pada usia lanjut, jumlah tidur yang dibutuhkan setiapa hari akan makin
berkurang dan disertai fragmen-fragmen tidur yang banyak sehingga jumlah SWS
makin berkurang dan ini menunjukkan bahwa mereka mengalami masa tidur yang
tidak terlalu nyenyak.

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:

1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)

2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu

diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM
terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur
16-20jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada
umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa.

4
Tahap tidur normal orang dewasa adalah sebagai berikut :

- Stadium 0 adalah periode dalam keadaan masih bangun tetapi mata


menutup. Fase ini ditandai dengan gelombang voltase rendah, cepat, 8-12
siklus per detik. Tonus otot meningkat. Aktivitas alfa menurun dengan
meningkatnya rasa kantuk. Pada fase mengantuk terdapat gelombang alfa
campuran.
- Stadium 1 disebut onset tidur. Tidur dimulai dengan stadium NREM.
Stadium 1 NREM adalah perpindahan dari bangun ke tidur. Ia menduduki
sekitar 5% dari total waktu tidur. Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas
gelombang alfa (gelombang alfa menurun kurang dari 50%), amplitudo
rendah, sinyal campuran, predominan beta dan teta, tegangan rendah,
frekuensi 4-7 siklus per detik. Aktivitas bola mata melambat, tonus otot
menurun, berlangsung sekitar 3-5 menit. Pada stadium ini seseorang
mudah dibangunkan dan bila terbangun merasa seperti setengah tidur.
- Stadium 2 ditandai dengan gelombang EEG spesifik yaitu didominasi
oleh aktivitas teta, voltase rendah-sedang, kumparan tidur dan kompleks
K. Kumparan tidur adalah gelombang ritmik pendek dengan frekuensi 12-
14 siklus per detik. Kompleks K yaitu gelombang tajam, negatif, voltase
tinggi, diikuti oleh gelombang lebih lambat, frekuensi 2-3 siklus per menit,
aktivitas positif, dengan durasi 500 mdetik. Tonus otot rendah, nadi dan
tekanan darah cenderung menurun. Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur
dangkal. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.
- Stadium 3 ditandai dengan 20%-50% aktivitas delta, frekuensi 1-2 siklus
per detik, amplitudo tinggi, dan disebut juga tidur delta. Tonus otot
meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.
- Stadium 4 terjadi jika gelombang delta lebih dari 50%. Stadium 3 dan 4
sulit dibedakan. Stadium 4 lebih lambat dari stadium 3. Rekaman EEG
berupa delta. Stadium 3 dan 4 disebut juga tidur gelombang lambat atau
tidur dalam. Stadium ini menghabiskan sekitar 10%-20% waktu tidur total.

5
Tidur ini terjadi antara sepertiga awal malam dengan setengah malam.
Durasi tidur ini meningkat bila seseorang mengalami deprivasi tidur.
- Stadium 5 (REM) ditandai dengan rekaman EEG yang menyerupai tahap
pertama, yang terjadi bersamaan dengan gerak bola mata yang cepat dan
penurunan level muscle tone. Periode REM akan disertai dengan frekuensi
pernafasan dan frekuensi jantung yang berfluktuasi. Periode ini dikenal
sebagai desynchronized sleep.

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang
dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan
gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan
mempengaruhi suatu bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic
(NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi
pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth
hormone, dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja
seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang
masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan
temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang terbangun. Jila malam tiba,
NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan
tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal. Saat hari
mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan mempengaruhi

6
terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol. Kadar
melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat
sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.
Pada orang dewasa muda normal periode tidur NREM berakhir kira-kira
90 menit sebelum periode pertama REM, periode ini dikenal sebagai periode
REM laten. Rangkaian dari tahap tidur selama tahap awal siklus adalah sebagai
berikut : NREM tahap 1,2,3,4,3, dan 2; kemudian terjadi periode REM. Jumlah
siklus REM bervariasi dari 4 sampai 6 tiap malamnya, tergantung pada lamanya
tidur.

Siklus tidur lebih pendek pada bayi dibandingkan pada orang dewasa.
Periode REM pada bayi berkisar antara 50-60 menit pada awalnya, yang lama-
kelamaan akan meningkat. Siklus tidur dewasa berlangsung 70-100 menit selama
masa remaja.

Pola tidur berubah sepanjang kehidupan seseorang.

Pola tidur-bangun berubah sesuai dengan bertambahnya umur. Pada masa


neonatus sekitar 50% waktu tidur total adalah tidur REM. Lama tidur sekitar 18
jam. Pada usia satu tahun lama tidur sekitar 13 jam dan 30 % adalah tidur REM.
Waktu tidur menurun dengan tajam setelah itu. Dewasa muda membutuhkan
waktu tidur 7-8 jam dengan NREM 75% dan REM 25%. Kebutuhan ini menetap
sampai batas lansia.
Pengaturan dan kontrol tidur tergantung dari hubungan antara dua
mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan dan menekan pusat otak
untuk tidur dan bangun. Reticular activating sistem (RAS) di bagian batang otak
atas diyakini mempunyai sel – sel khusus dalam mempertahankan kewaspadaan
dan kesadaran. RAS memberikan stimulus visual, auditori, nyeri dan sensorik
raba. Juga menerima stimulus dari korteks serebri (emosi dan proses pikir). Pada
keadaan sadar mengakibatkan neuron-neuron alam RAS melepaskan katekolamin,
misalnya norepinefrin. Saat tidur mungkin disebabkan oleh pelepasan serum
serotinin dari sel-sel spesifik di pons dan batang otak tengah yaitu bulbar
synchronizing regional (BSR).

7
Bangun dan tidurnya seseorang tergantung dari keseimbangan impuls yang
diterima dari pusat otak, reseptor sensorik perifer misalnya bunyi, stimulus
cahaya, dan sistem limbic seperti emosi. Seseorang yang mencoba untuk tidur,
mereka menutup matanya dan berusaha dalam posisi rileks. Jika ruangan gelap
dan tenang aktivitas RAS menurun, pada saat itu BSR mengeluarkan serum
serotonin. Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS
(Ascending Reticulary Activity System). Bila aktivitas ARAS ini meningkat
orang tersebut dalam keadaan sadar, aktivitas ARAS menurun, orang tersebut
akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas
neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik, kolinergik,
histaminergik (Czeisler, 2000).

• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk / tidur. Bila
serotonin dari trypthopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak
bisa tidur / jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem
serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana
terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.

• Sistem Adrenergik

Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di


badan sel nukleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus
cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan
yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergik akan
menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan
jaga.

• Sistem Kholinergik

8
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra
vena dapat mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini,
mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan
aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat
pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari
lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

• Sistem histaminergik

Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.

• Sistem hormon

Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon


seperti ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi
secara teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem
ini secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter norepinefrin,
dopamin, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.

Beberapa orang secara normal adalah petidur yang normal yang


memerlukan tidur kurang dari enam jam setiap malam dan yang berfungsi secara
adekuat. Petidur lama adalah mereka yang tidur lebih dari sembilan jam setiap
malamnya untuk dapat berfungsi secara adekuat.

Tidur dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang
dimaksud disini adalah irama biologis tubuh, dimana dalam periode 24 jam, orang
dewasa tidur sekali, kadang 2 kali. Sedangkan faktor eksternal dipengaruhi oleh
siklus terang gelap, rutinitas harian, periode makan, dan penyelaras eksternal
lainnya. Faktor-faktor inilah yang membentuk siklus 24 jam.

Gelombang otak manusia

Secara garis besar, otak manusia menghasilkan empat jenis Gelombang Otak
(Brainwave) secara bersamaan, yaitu Gamma, Beta, Alpha, Tetha, Delta. Akan

9
tetapi selalu ada jenis Gelombang Otak yang dominan, yang menandakan aktivitas
otak saat itu. Misalnya jika kita tertidur, maka Gelombang Otak yang dominan
adalah Delta. Berikut disajikan klasifikasi Gelombang Otak berdasarkan
frekuensinya.

a. GAMMA (20 hz -40 hz)

Gelombang Gamma cenderung merupakan yang terendah dalam amplitudo


dan gelombang paling cepat. Adalah Gelombang Otak (Brainwave) yang terjadi
pada saat seseorang mengalami aktifitas mental yang sangat tinggi, misalnya
sedang berada di arena pertandingan, perebutan kejuaraan, tampil dimuka umum,
sangat panik, ketakutan, kondisi ini dalam kesadaran penuh.

b. BETA (di atas 12 hz atau dari 12 hz s/d 20 hz)


Merupakan Gelombang Otak (Brainwave) yang terjadi pada saat seseorang
mengalami aktifitas mental yang terjaga penuh. Anda berada dalam kondisi ini
ketika Anda melakukan kegiatan Anda sehari-hari dan berinteraksi dengan orang

10
lain di sekitar Anda. Frekwensi beta adalah keadaan pikiran anda sekaran ini,
ketika Anda duduk di depan komputer membaca artikel ini. Gelombang beta
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu high beta (lebih dari 19 Hz) yang merupakan
transisi dengan getaran gamma , lalu getaran beta (15 hz -18 hz) yang juga
merupakan transisi dengan getaran gamma, dan selanjutnya lowbeta (12 hz ~ 15
hz). Gelombang Beta di perlukan otak ketika Anda berpikir, rasional, pemecahan
masalah, dan keadaan pikiran di mana Anda telah menghabiskan sebagian besar
hidup Anda.

c. Sensori Motor Rhytm (12 hz – 16 hz)


SMR sebenarnya masih masuk kelompok getaran lowbeta, namun
mendapatkan perhatian khusus dan juga baru dipelajari secara mendalam akhir-
akhir ini oleh para ahli, karena penderita epilepsy, ADHD ( Attention Deficit and
Hyperactivity Disorder) dan Autism ternyata tidak menghasilkan gelombang jenis
ini. Para penderita gangguan di atas tidak tidak mampu berkonsentrasi atau fokus
pada suatu hal yang dianggap penting. Sehingga setiap pengobatan yang tepat
adalah cara agar otaknya bisa menghasilkan getaran SMR tersebut. Dan hal ini
bisa dilakukan dengan teknik neurofeedback .

d. ALPHA ( 8 hz – 12 hz)
Adalah Gelombang Otak (Brainwave) yang terjadi pada saat seseorang yang
mengalami relaksaksi atau mulai istirahat dengan tanda-tanda mata mulai
menutup atau mulai mengantuk. Anda menghasilkan gelombang alpha setiap akan
tidur, tepatnya masa peralihan antara sadar dan tidak sadar. Fenomena alpha
banyak dimanfaatkan oleh para pakar hypnosis untuk mulai memberikan sugesti
kepada pasiennya. Orang yang memulai meditasi (meditasi ringan) juga
menghasilkan gelombang alpha. Frekwensi alpha 8 -12 hz , merupakan frekwensi
pengendali, penghubung pikiran sadar dan bawah sadar. Anda bisa mengingat
mimpi Anda, karena Anda memiliki gelombang alpha. Kabur atau jelas sebuah
mimpi yang bisa Anda ingat, tergantung kualitas dan kuantitas gelombang alpha
pada saat Anda bermimpi. Alpha adalah pikiran yang paling cocok untuk
pemrograman bawah sadar

11
e. THETA ( 4 hz – 8 hz )
Adalah Gelombang Otak (Brainwave) yang terjadi pada saat seseorang
mengalami tidur ringan, atau sangat mengantuk. Tanda-tandanya napas mulai
melambat dan dalam. Selain orang yang sedang diambang tidur, beberapa orang
juga menghasilkan Gelombang Otak (Brainwave) ini saat trance, hypnosis,
meditasi dalam, berdoa, menjalani ritual agama dengan khusyu.

f. DELTA (0.5 hz – 4 hz)


Adalah Gelombang Otak (Brainwave) yang memiliki amplitudo yang besar
dan frekwensi yang rendah, yaitu dibawah 3 hz. Otak Anda menghasilkan
gelombang ini ketika Anda tertidur lelap, tanpa mimpi. Fase Delta adalah fase
istirahat bagi tubuh dan pikiran. Tubuh Anda melakukan proses penyembuhan
diri, memperbaiki kerusakan jaringan, dan aktif memproduksi sel-sel baru saat
Anda tertidur lelap. Gelombang Delta adalah gelombang yang paling rendah pada
otak anda, otak tidak akan pernah mencapai frekwensi 0 hz.

2. Gangguan Tidur
Menurut Diagnostic And Statictical Manual of Mental Disorders edisi ke
empat (DSM-IV), gangguan tidur diklasifikasikan berdasarkan kriteria diagnostik
klinik dan perkiraan etiologi. Tiga kategori utama gangguan tidur dalam DSM-IV
adalah gangguan tidur primer, gangguan tidur yang berhubungan dengan
gangguan tidur mental lain, dan gangguan tidur lain, khususnya gangguan tidur
akibat kondisi medis umum atau yang disebabkan oleh zat.

1. Gangguan tidur primer


Gangguan tidur primer adalah gangguan tidur yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental lain, kondisi medik umum, atau
zat. Gangguan tidur ini terdiri atas dua bagian, yaitu disomnia dan
parasomnia. Dissomnia merupakan suatu keadaan dimana
seseorang mengalami kesukaran jatuh tidur,mengalami gangguan
mempertahankan tidur, bangun terlalu dini atau kombinasi
diantaranya.

12
ditandai dengan gangguan pada jumlah, kualitas, dan waktu tidur.

Dissomnia adalah suatu kelompok gangguan tidur yang heterogen


termasuk :

(i) Insomnia primer


(ii) Hipersomnia primer
Dari gangguan tidur primer tersebut, yang sering terjadi adalah
insomnia dan hipersomnia primer. Kriteria diagnostik untuk
insomnia primer adalah kesulitan untuk memulai atau
mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama
sekurangnya satu bulan. Gangguan tidur yang disertai keletihan
pada siang hari menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain.Kriteria diagnostik untuk hipersomnia primer adalah
mengantuk berlebihan di siang hari selama sekurangnya satu bulan
seperti yang ditunjukkan oleh episode tidur yang memanjang atau
episode tidur siang hari yang terjadi hampir setiap hari. Mengantuk
berlebihan di siang hari menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.
(iii) Narkolepsi
 Ditandai oleh serangan mendadak tidur yang tidak dapat
dihindari pada siang hari, biasanya hanya berlangsung 10-
20 menit atau selalu kurang dari 1 jam, setelah itu pasien
akan segar kembali dan terulang kembali 2-3 jam
berikutnya. Gambaran tidurnya menunjukkan penurunan
fase REM 30-70%. Pada serangan tidur dimulai dengan
fase REM. Berbagai bentuk narkolepsi:
- Narkolepsi kataplesia, adalah kehilangan tonus otot
yang sementara baik sebagian atau seluruh otot tubuh,
seperti jaw drop, head drop.

13
- Hypnagogic halusinasi auditorik/visual adalah
halusinasi pada saat jatuh tidur sehingga pasien dalam
keadaan terjaga, kemudian ke kerangka pikiran
normal.

- Sleep paralis adalah otot volunter mengalami paralis


pada saat tidur sehingga pasien sadar ia tidak mampu
menggerakkan ototnya. Gangguan ini merupakan
kelainan heriditer, kelainannya terletak pada lokus
kromoson 6 didapatkan pada orang-orang Kaukasia
dengan populasi lebih dari 90%, sedangkan pada
bangsa Jepang 20-25%, dan bangsa Israel 1:500.000.
Tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki dan
wanita.
(iv) Gangguan gerakan anggota gerak badan secara periodik (periodic
limb movement disorders)/mioklonus nokturnal
Ditandai adanya gerakan anggota gerak badan secara streotipik,
berulang selama tidur. Paling sering terjadi pada tungkai, baik satu
ataupun kedua tungkai. Bentuknya berupa ekstensi ibu jari kaki
dan fleksi sebagian pada sendi lutut dan tumit. Gerak itu
berlangsung antara 0,5-5 detik, berulang dalam waktu 20-60 detik
atau mungkin berlangsung terusmenerus dalam beberapa menit
atau jam. Bentuk tonik lebih sering dari pada mioklonus.Sering
timbul pada fase NREM atau saat onset tidur sehingga
menyebabkan gangguan tidur kronik. Insidensi 5% dari orang
normal antara usia 30-50 tahun dan 29% pada usia lebih dari 50
tahun. Berat ringan gangguan ini sangat tergantung dari jumlah
gerakan yang terjadi selama tidur, bila 5-25 gerakan/jam: ringan,
25-50 gerakan/jam: sedang, danlebih dari 50 kali/jam : berat.
Gangguan ini sering dijumpai pada penyakit seperti mielopati

14
kronik, neuropati, gangguan ginjal kronik, PPOK, rhematoid
arteritis, sleep apnea, ketergantungan obat, anemia.
(v) Sindroma kaki gelisah (Restless legs syndrome)
Ditandai oleh rasa sensasi pada kaki/kaku, yang terjadi sebelum
onset tidur.Gangguan ini sangat berhubungan dengan mioklonus
nokturnal.Pergerakan kaki secara periodik disertai dengan rasa
nyeri akibat kejang otot M. tibialis kiri dan kanan sehingga
penderita selalu mendorong - dorong kakinya. Ditemukan pada
penyakit gangguan ginjal stadium akut, parkinson, wanita hamil.
Lokasi kelainan ini diduga diantara lesi batang otak, hipotalamus.
(vi) Gangguan tidur yang berhubungan dengan pernafasan
Terdapat tiga jenis sleep apnea, yaitu central sleep apnea, upper
airway obstructive apnea dan bentuk campuran dari keduanya.
Sleep apnea adalah gangguan pernafasan yang terjadi saat tidur,
yang berlangsung selama lebih dari 10 detik. Dikatakan sleep
apnea patologis jika penderita mengalami episode apnea lebihh
dari sama dengan lima kali dalam satu jam atau 30 episode apnea
selama semalam. Selama periode ini, gerakan dada dan dinding
perut sangat dominan. Apnea sentral sering terjadi pada usia lanjut,
yang ditandai dengan intermiten penurunan kemampuan respirasi
akibat penurunan saturasi oksigen. Apnea sentral ditandai oleh
terhentinya aliran udara dan usaha pernafasan secara periodik
selama tidur, sehingga pergerakan dada dan dinding perut
menghilang. Hal ini diduga akibat kerusakan pada batang otak atau
hiperkapnia. Obstruksi saluran nafas atas (upper airway
obstructive) pada saat tidur ditandai dengan peningkatan
pernafasan selama apnea, peningkatan usaha otot dada dan dinding
perut dengan tujuan memaksa udara masuk melalui
obstruksi.Gangguan ini semakin berat bila memasuki fase REM.
Gangguan saluran nafas ini ditandai dengan nafas megap-megap
atau mendengkur pada saat tidur.Mendengkur ini berlangsung 3-6

15
kali bersuara kemudian menghilang dan berulang setiap 20-50
detik.Serangan apnea terjadi pada saat pasien tidak mendengkur.
Hipoksia atau hipercapnea, menyebabkan respirasi lebih aktif, hal
ini diaktifkan oleh formasi retikularis dan pusat respirasi medula,
sehingga pasien dapat bernafas kembali secara spontan.Baik pada
sentral atau obstruksi apnea, pasien sering terbangun berulang kali
di malam hari dan terkadang sulit untuk jatuh tidur
kembali.Gangguan ini sering ditandai dengan nyeri kepala atau
perasaan tidak enak pada pagi hari.Pada anak-anak sering
berhubungan dengan gangguan kongenital saluran nafas atau
hipertrofi adenotonsilar. Pada orang dewasa obstruksi saluran nafas
terjadi akibat septal defek, hipotiroid, bradikardi, gangguan
jantung, PPOK, hipertensi, stroke, GBS, Arnord-Chiari
Malformation.
(vii) Gangguan tidur irama sirkadian
Gangguan jadwal tidur yaitu gangguan dimana penderita tidak
dapat tidur dan bangun pada waktu yang dikehendaki, walaupun
jumlah tidurnya tetap. Gangguan ini sangat berhubungan dengan
irama tidur sirkadian normal. Bagian-bagian yang berfungsi dalam
pengaturan sirkadian antara lain temperatur badan,plasma darah,
urine, fungsi ginjal dan psikologi. Dalam keadan normal fungsi
irama sirkadian mengatur siklus biologi irama tidur-bangun,
dimana sepertiga waktu untuk tidur dan dua pertiga untuk
bangun/aktivitas.Siklus irama sirkadian ini dapat mengalami
gangguan, apabila irama tersebut mengalami pergeseran.Menurut
beberapa penelitian, terjadi pergeseran irama sirkadian antara onset
waktu tidur reguler dengan waktu tidur yang irreguler.Perubahan
gangguan irama sirkadian dengan penyebab organik adalah tumor
pineal. Gangguan irama sirkadian dapat dikategorikan dua bagian:
 Sementara (Acute work shift, Jet lag)
 Menetap (Shift worker)

16
Keduanya dapat mengganggu irama tidur sirkadian sehingga
terjadi perubahan pemendekan waktu onset tidur dan perubahan
pada fase REM. Berbagai macam gangguan tidur gangguan irama
sirkadian adalah sebagai berikut:
I. Tipe fase tidur terlambat (delayed sleep phase type)
yaitu ditandai oleh waktu tidur dan terjaga lebih
lambat daripada yang diinginkan. Gangguan ini sering
ditemukan dewasa muda, anak sekolah atau pekerja
sosial. Orang - orang tersebut sering tertidur
(kesulitan jatuh tidur) dan mengantuk pada siang hari
(insomnia sekunder).
II. Tipe jet lag ialah mengantuk dan terjaga pada waktu
yang tidak tepat menurut jam setempat, hal ini terjadi
setelah berpergian melewati lebih dari satu zona
waktu. Gambaran tidur menunjukkan sleep latennya
panjang dengan tidur yang terputus-putus.
III. Tipe pergeseran kerja (shift work type). Pergeseran
kerja terjadi pada orang yang secara teratur dan cepat
mengubah jadwal kerja sehingga akan mempengaruhi
jadwal tidur. Gejala ini sering timbul bersama-sama
dengan gangguan somatik seperti ulkus peptikum.
Gambarannya berupa pola irreguler atau mungkin
pola tidur normal dengan onset tidur fase REM.
IV. Tipe fase terlalu cepat tidur (advanced sleep phase
syndrome).Tipe ini sangat jarang, lebih sering
ditemukan pada pasien usialanjut,dimana onset tidur
pada pukul 6-8 malam dan terbangun antarapukul 1-3
pagi. Namun, pasien ini merasa cukup untuk waktu
tidurnya.
V. Tipe bangun-tidur beraturan
VI. Tipe tidak tidur-bangun dalam 24 jam

17
Parasomnia sendiri berarti peristiwa fisiologis atau tingkah laku yang
abnormal terjadi selama tidur, disebabkan oleh aktivasi sistem fisiologis
yang tidak tepat waktunya.Kasus ini sering berhubungan dengan gangguan
perubahantingkah laku danaksi motorik potensial, sehingga sangat
potensial menimbulkanangka kesakitan dan kematian, Insidensi ini sering
ditemukan pada usia anak berumur 3-5 tahun (15%) dan mengalami
perbaikan atau penurunan insidensi padausia dewasa (3%).Ada 3 faktor
utama presipitasi terjadinya parasomnia yaitu:
i. Peminum alcohol
ii. Kurang tidur (sleep deprivation)
iii. Stress psikososial
Yang termasuk kelompok gangguan tidur parasomnia adalah:
(i) Gangguan mimpi menakutkan (nightmare disorder)
(ii) Gangguan teror tidur
(iii) Gangguan tidur berjalan
Merupakan gangguan tingkah laku yang sangat komplek
termasuk adanya automatis dan semipurposeful aksi motorik,
seperti membuka pintu, menutup pintu, duduk ditempat tidur,
menabrak kursi, berjalan kaki, berbicara. Tingkah laku berjalan
dalam beberapa menit dan kembali tidur. Gambaran tipikal
gangguan tingkah laku ini didapat dengan gelombang tidur yang
rendah, berlangsung 1/3 bagian pertama malam selama tidur
NREM pada stadium 3 dan 4. Selama serangan, relatif tidak
memberikan respon terhadap usaha orang lain untuk
berkomunikasi dengannya dan dapat dibangunkan susah payah.
gelombang rendah. Bahkan tidak didapatkan adanya gelombang
alpha.
2. Gangguan tidur terkait gangguan mental lain
Gangguan tidur terkait gangguan mental lain yaitu terdapatnya keluhan
gangguan tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh gangguan mental

18
lain (sering karena gangguan mood) tetapi tidak memenuhi syarat untuk
ditegakkan sebagai gangguan tidur tersendiri. Ada dugaan bahwa
mekanisme patofisiologik yang mendasari gangguan mental juga
mempengaruhi terjadinya gangguan tidur-bangun. Gangguan tidur ini
terdiri dari: Insomnia terkait aksis I atau II dan Hipersomnia terkait aksis I
atau II.

3. Gangguan tidur akibat kondisi medik umum


Gangguan akibat kondisi medik umum yaitu adanya keluhan gangguan
tidur yang menonjol yang diakibatkan oleh pengaruh fisiologik langsung
kondisi medik umum terhadap siklus tidur-bangun.

4. Gangguan tidur akibat zat


Yaitu adanya keluhan tidur yang menonjol akibat sedang menggunakan
atau menghentikan penggunaan zat (termasuk medikasi).Penilaian
sistematik terhadap seseorang yang mengalami keluhan tidur seperti
evaluasi bentuk gangguan tidur yang spesifik, gangguan mental saat ini,
kondisi medik umum, dan zat atau medikasi yang digunakan, perlu
dilakukan.Gangguan tidur dapat disebabkan oleh penggunaan
obatstimulan yang kronik (amphetamine, kaffein, nikotine),
antihipertensi,antidepresan, antiparkinson, antihistamin,
antikholinergik.Obat – obat ini dapat menimbulkan terputus-putusnya
fase tidur REM.

3. Definisi Insomnia

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal


kesulitan untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang
berlangsung setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau
gangguan dalam fungsi individu. The International Classification of Diseases
mendefinisikan Insomnia sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur

19
yang terjadi minimal 3 malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The
International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur
yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur
tersebut.

Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang
untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala
yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan
pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi
dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

4. Tanda dan Gejala Insomnia

 Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari


 Sering terbangun pada malam hari
 Bangun tidur terlalu awal
 Kelelahan atau mengantuk pada siang hari
 Iritabilitas, depresi atau kecemasan
 Konsentrasi dan perhatian berkurang
 Peningkatan kesalahan dan kecelakaan
 Ketegangan dan sakit kepala
 Gejala gastrointestinal

5. Etiologi Insomnia
• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga
dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk
tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit
dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat
menyebabkan insomnia.
• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.

20
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,
stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami
insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.
Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,
penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit
Parkinson dan penyakit Alzheimer.
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai
jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.

6. Faktor Resiko Insomnia

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada:

 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon


selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.

21
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu
tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia.
 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.

7. Klasifikasi Insomnia

Gangguan insomnia biasa terjadi sebelum seseorang berusia 40 tahun tetapi


prevalensi tertinggi dijumpai pada usia di atas 65 tahun. Insomnia dapat
disebabkan oleh gangguan mental lainnya, penyakit organik atau akibat
penggunaan obat tertentu (insomnia sekunder) atau mungkin idiopatik (insomnia
primer).

Insomnia dikelompokan menjadi :

 Insomnia primer, yaitu insomnia menahun dengan sedikit atau sama sekali
tidak berhubungan dengan berbagai stres maupun kejadian.
 Insomnia sekunder, yaitu suatu keadaan yang disebabkan oleh nyeri,
kecemasan obat, depresi, atau stres yang hebat.

Insomnia primer cirinya ditandai dengan adanya kesulitan dalam memulai


atau mempertahankan tidur atau non restoratif atau tidur tidak nyenyak selama 1
bulan dan tidak disebabkan oleh gangguan mental, keadaan medikal umum, dan
penggunaan zat.

Insomnia sering terjadi di masyarakat umum dan lebih sering terjadi pada
pasien yang mengalami gangguan kejiwaan; meskipun hanya sedikit jumlah
orang-orang dengan insomnia yang berkonsultasi ke dokter. Kesulitan tidur lebih

22
sering terjadi pada orang tua, wanita, individu dengan pendidikan rendah dan
status ekonomi rendah, dan orang-orang dengan masalah medis kronis.

Transient insomnia sering terjadi pada orang yang biasanya tidur normal.
Bentuk insomnia ini terjadi bersamaan dengan adanya stres piskologis akut,
seperti saat kehilangan. Keadaan ini cenderung untuk sembuh sendiri.

Insomnia kronis adalah kesulitan tidur yang dialami hampir setiap malam
selama sebulan atau lebih. Salah satu penyebab kronik insomnia yang paling
umum adalah depresi. Penyebab lainnya adalah arthritis, gangguan ginjal, gagal
jantung, sleep apnea, sindrom restless legs, parkinson, dan hypertyroidism.
Namun demikian, insomnia kronis bisa juga disebabkan oleh faktor perilaku,
termasuk penyalahgunaan kafein, alkohol, dan substansi lain, siklus tidur/bangun
yang disebabkan oleh kerja lembur dan kegiatan malam hari lainnya, dan stres
kronik.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang


direvisi, insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

23
8. Diagnosis

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

 Pola tidur penderita.


 Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
 Tingkatan stres psikis.
 Riwayat medis.
 Aktivitas fisik
 Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.
Insomnia cenderung bertambah kronis jika terjadi stres psikologi
(contohnya : perceraian, kehilangan pekerjaan) dan juga penggunaan
mekanisme pertahanan yang keliru. Gangguan tidur seringkali timbul sebagai
eksaserbasi yang dapat memberi petunjuk apakah berkaitan dengan peristiwa
hidup tertentukah? Atau mungkin disebabkan oleh etiologi lainnya. Demikian
pula riwayat pola tidur maupun siklus harian (rest/activity cycle) sangat
bermanfaat dalam menentukan suatu diagnosis. Insomnia juga dapat menjadi
suatu keluhan dari pasien yang sebenarnya menderita sleep apnea atau
myoclonus-nocturnal.

Pada pasien dengan insomnia primer harus diperiksa riwayat medis dan
psikiatrinya. Riwayat medis harus dinilai secara seksama, mengenai riwayat
penggunaan obat dan pengobatan.

Pengukuran sleep hygiene digunakan untuk memonitor pasien dengan


insomnia kronis. Pengukuran ini meliputi :

- Bangun dan pergi ke tempat tidur pada waktu yang sama setiap hari,
walaupun pada akhir pekan.
- Batasi waktu ditempat tidur setiap harinya.
- Tidak menggunakan tempat tidur sebagai tempat untuk membaca, nonton
TV atau bekerja.
- Meninggalkan tempat tidur dan tidak kembali selama belum mengantuk
- Menghindari tidur siang.

24
- Latihan minimal tiga atau empat kali tiap minggu (tetapi bukan pada sore
hari, kalau hal ini akan mengganggu tidur).
- Pemutusan atau pengurangan konsumsi alkohol, minuman yang
mengandung kafein, rokok dan obat-obat hipnotik-sedatif.

Banyak aspek dari program yang mungkin akan menyulitkan pasien.


Meskipun demikian, cukup banyak pasien yang termotivasi untuk
meningkatkan fungsinya dengan cara melakukan pengukuran ini.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan
yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”)
tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0)
atau gangguan penyesuaian (F43.2)

Kriteria Diagnostik untuk Insomnia Primer menurut DSM-IV-TR


A. Keluhan yang menonjol adalah kesulitan untuk memulai atau
mempertahankan tidur, atau tidur yang tidak menyegarkan, selama
sekurangnya satu bulan.
B. Gangguan tidur (atau kelelahan siang hari yang menyertai) menyebabkan
penderitaan yang bermakana secara klinis atau gangguan dalam fungsi
sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
C. Gangguan tidur tidak terjadi semata-mata selama perjalanan narkolepsi,
gangguan tidur berhubungan pernafasan, gangguan tidur irama sirkadian,
atau parasomnia.
D. Gangguan tidak terjadi semata-mata selama perjalanan gangguan mental
lain (misalnya, gangguan depresi berat, gangguan kecemasan umum,
delirium).
E. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ

25
• Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak
didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian (F43.2)

9. Tatalaksana
1. Non Farmakoterapi
a. Terapi Tingkah Laku
Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan
mengajarkan cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku
ini umumnya direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk
penderita insomnia.

Terapi tingkah laku meliputi

- Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.


- Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback,
dan latihan pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi

26
kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat membantu Anda mengontrol
pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

- Terapi kognitif.
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan
pemikiran yang positif. Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling
tatap muka atau dalam grup.
- Kontrol stimulus
Terapi ini dimaksudakan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk
beraktivitas.
- Restriksi Tidur.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di
tempat tidur yang dapat membuat lelah pada malam berikutnya.

b. Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :

 Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur


 Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
 Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
 Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
 Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan
pernapasan atau beribadah
 Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan
tidur pada malam hari.
 Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti
menghindari kebisingan
 Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit
setiap hari sekitar lima hingga enam jam sebelum tidur.
 Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin
 Menghindari makan besar sebelum tidur

27
 Cek kesehatan secara rutin
 Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik
2. Farmakologi
Pengobatan insomnia secara farmakologi dibagi menjadi dua golongan
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :

- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)


Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia”
yaitu golongan benzodiazepine (Short Acting)
Misalnya pada gangguan anxietaS
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk
kembali ke proses tidur selanjutnya)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan
Tetrasiklik)
Misalnya pada gangguan depresi
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan
terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-
Insomnia”, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (Long acting).
Misalnya pada gangguan stres psikososial.

Pengaturan Dosis

- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi


tidur.

28
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut
Lama Pemberian

- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak


lebih dari 2 minggu, agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan
lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan perubahan “Sleep EEG” yang
menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological
Dependence” (habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah
gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Efek Samping

Supresi SSP (susunan saraf pusat) pada saat tidur

Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-


insomnia (waktu paruh) :

- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam)  gejala


rebound lebih berat pada pagi harinya dan dapat sampai menjadi panik
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam  gejala rebound lebih ringan
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam  menimbulkan gejala
“hang over”, Hang over adalah efek sisa yang disebabkan adanya
akumulasi dari sisa metabolit aktif. Jika ini terjadi pada pengendara
kendaraan bermotor, resiko terjadinya kecelakaan meningkat lebih
dari lima kali lipat. pada pagi harinya dan juga “intensifying daytime
sleepiness”

29
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”

Interaksi obat

- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan


potensiasi efek supresi SSP yang dapat menyebabkan “oversedation
and respiratory failure”
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal
enzyme atau “produce protein binding displacement” sehingga jarang
menimbulkan interaksi obat atau dengan kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol
atau “CNS Depressant” lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus

Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome,


congestive heart failure, dan chronic respiratory disease. Penggunaan
benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities) khususnya pada
trimester pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek
pada bayi, yaitu penekanan fungsi SSP .
Sleep apnea syndrome adalah suatu sindrom dengan ditemukannya
episode apnea atau hipopnea pada saat tidur. Apnea dapat disebabkan
kelainan sentral, obstruktif jalan nafas, atau campuran. Obstruktif apnea
adalah berhentinya aliran udara pada hidung dan mulut walaupun dengan
usaha nafas, sedangkan central apnea adalah penghentian pernafasan yang
tidak disertai dengan usaha bernafas akibat tidak adanya rangsangan nafas.
Obstruktif hipoventilasi disebabkan oleh obstruksi parsial aliran udara
yang menyebabkan hipoventilasi dan hipoksia. Istilah obstruktif hipo-
ventilasi digunakan untuk menunjukkan adanya hipopnea, yang berarti
adanya pengurangan aliran udara.

30
Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering
digunakan dan tetap merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia
baik primer maupun sekunder. Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan
cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin, prekursor protein seperti l-
triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan.
Obat hipnotik sebaiknya digunakan dalam waktu terbatas atau
untuk mengatasi insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan durasi
pemberian harus singkat. Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk
dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih dari tiga kali. Penggunaan
jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat menutupi
penyakit yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit
paru obstruktif kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi.
Benzodiazepin dapat mengganggu ventilasi pada apnea tidur. Efek
samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat gangguan
koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan
benzodiazepin pada lansia harus hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan
zolpidem) merupakan obat pilihan untuk membantu orang-orang yang sulit
masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu paruhnya panjang (estazolam,
temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang mengalami
interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat
memperbaiki anxietas di siang hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar.
Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom
(seperti simetidin, estrogen, INH, eritromisin, dan fluoxetine) dapat
menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari.
Triazolam tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD
ringan-sedang yang mengalami insomnia. Neuroleptik dapat digunakan
untuk insomnia sekunder

31
terhadap delirium pada lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti
lorazepam digunakan untuk memperkuat efek neuroleptik terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat
diberikan bersamaan dengan benzodiazepin pada awal malam.
Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk gangguan gerakan
terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic
and specific serotonin antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek
onset tidur, stadium 1 berkurang, dan meningkatkan dalamnya tidur.
Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta efisiensi tidur
meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita
depresi dengan insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan
monoamin oksidase inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi
insomnia. Lithium dapat menganggu kontinuitas tidur akibat efek samping
poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung
menekan pernafasan. Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk
beberapa pasien tapi penggunaannya harus hati-hati karena dapat
menginduksi delirium.

32
10. Komplikasi

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi Insomnia

Komplikasi insomnia meliputi

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.


 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan
reaksi kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya
tekanan darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

33
11. Prognosis

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain spt depresi dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

34
DAFTAR PUSTAKA

Colten, Harvey R. Et Al. 2006. Sleep Disorders And Sleep Deprivation: An


Unmet Public Health Problem. National Academy Of Sciences :
Washington, Dc

Edinger JD, Means MK. 2005. Overview of insomnia: Definitions, epidemiology,


differential diagnosis, and assessment. In: Kryger MH, Roth T, Dement
WC, eds. Principles and Practice of Sleep Medicine. 4th ed. Philadelphia:

Elsevier/Saunders. Pp. 702–713 Colten, Harvey R. Et Al. 2006. Sleep Disorders


And Sleep Deprivation: An Unmet Public Health Problem. National
Academy Of Sciences : Washington, Dc

Meadows R. 2005. The “Negotiated Night:” An Embodied Conceptual


Framework

Kaplan, Sadock, Grebb. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku Psikiatri


Klinis Jilid Satu. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997.

Maramis, W.E, Ilmu Kedokteran Jiwa, Airlangga Press, Surabaya, 2009

Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.

Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.

Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC

Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.


(http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com Diakses
tanggal 10 Januari 2012)

35

Anda mungkin juga menyukai