Anda di halaman 1dari 9

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak Tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah

rata-rata. Di samping itu mereka mengalami keterbėlakangan dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan

hal-hal yang abstrak yang sulit, dan yang berbelit-belit, Mereka kurang atau

terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua hari atau sebulan atau dua

bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan hanya dalam satu dua hal tetapi

hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti: mengarang,

menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam

semua pelajaran yang bersifat teoretis. Dan juga mereka kurang/terhambat dalam

menyesuaikan diri dengan lingkungan (Amin, 1996).

Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan kemampuan kecerdasan. Di

dalam kegiatan sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat dan

kemampuan untuk memahami, serta kemampuan untuk mencari hubungan sebab

akibat. Keadaan seperti itu sulit dilakukan oleh anak tunagrahita karena mereka

mengalami kesulitan untuk dapat berpikir secara abstrak, belajar apapun harus

terkait dengan objek yang bersifat konkrit. Kondisi seperti itu ada hubungannya

dengan kelemahan ingatan jangka pendek, kelemahan dalam bernalar, dan sukar

sekali dalam mengembangkan ide (Apriyanto, 2012). Secara umum

perkembangan kognitif yang terjadi pada anak tunagrahita maupun normal

berbeda. Hal ini dikarenakan adanya gangguan intelegensi yang dialami anak

1
2

tunagrahita sehingga menghambat perkembangan kognitif mereka salah satunya

yaitu daya ingat/memori terhadap materi pelajaran yang rendah (mudah lupa)

(Ratnasari dan Sudarto, 2014). Berdasarkan klasifikasi yang digunakan di

Indonesia saat ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) 72 Tahun 1991

berdasarkan tingkat keparahannya dimana penderita dengan Intelligence Quotient

(IQ) 50-70 (ringan), 35-50 (sedang), 20-35 (berat), dan <20 (sangat berat)

(Apriyanto, 2012).

Menurut penelitian World Health Organization (WHO) Tahun 2009, jumlah

anak tunagrahita seluruh dunia adalah 3% dari total populasi. Jumlah penyandang

tunagrahita adalah 2.3% atau 1,95% anak usia sekolah menyadang tunagrahita

40% atau 3.21. Pada data Pondok Sekolah Luar Biasa terlihat dari kelompok usia

sekolah, jumlah penduduk di Indonesia yang menyadang kelainan adalah

48.100.548 orang, jadi estimasi jumlah penduduk di Indonesia yg menyadang

tunagrahita adalah 2% x 48.100.548 orang =962.011 orang (Apriyanto, 2012).

Prevalensi anak umur 24-59 tahun yang menyandang satu jenis cacat pada

Riskesdas Tahun 2013 anak tunagrahita terdapat 0,14%. Di Jawa timur

penyandang kecacatan sebesar 24,27%. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah

dengan puncak umur 10 sampai 14 tahun. Tunagrahita mengenai 1,5 kali lebih

banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan (Marasmis, 2004 dalam

Wardhani, 2012). Di Taman Kanak-kanak Luar Biasa (TKLB) Wiyata Bhakti

Tuban jumlah tunagrahita kelas A sebanyak 14 anak, dan anak tunagrahita kelas B

sebanyak 10 anak.

Untuk mengaktifkan sensasi dalam tubuh seseorang termasuk anak

tunagrahita perlu keadaan yang rileks dan suasana yang menyenangkan, karena
3

dalam keadaan tegang seseorang tidak akan dapat menggunakan otaknya dengan

maksimal karena pikiran menjadi kosong (Denisson, 2006 dalam Desiningrum

dkk, 2012). Menurut Susanti (2009), puzzle merupakan sebuah permainan untuk

menyatukan pecahan keping untuk membentuk sebuah gambar atau bentuk huruf

yang telah ditentukan, dalam kegiatan bermain puzzle dapat mengasah otak karena

permainan puzzle melatih anak untuk memecahkan masalah, permainan puzzle

juga melatih kemampuan mengingat siswa. Dalam terapi bermain cooperative

play ini, permainan puzzle dilakukan secara berkelompok. Setiap anak saling

berkomunikasi dan berinteraksi dalam menyusun puzzle. Peran perawat dalam

terapi bermain ini sebagai fasilitator, mendukung, dan mendorong terjadinya

proses interaksi anak saat dilakukan permainan. Diharapkan dari permainan

puzzle yang dilakukan secara berkelompok ini dapat meningkatkan kecerdasan

anak. Dalam studi ini yang akan diteliti adalah kecerdasan yang juga menjadi

bagian dari kemampuan kognitif individu, dan biasanya terdapat hambatan pada

anak tunagrahita. Kemampuan kognitif berpusat pada organ otak individu,

sehingga untuk meningkatkan kemampuan kognitif seseorang bisa dengan

mengaktifkan fungsi otak (Santrock, 2006 dalam Desiningrum dkk, 2012).

Melihat masalah-masalah belajar yang dialami oleh anak tunagrahita

tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan di dalam pembelajaran

mereka, yaitu: a) bahan yang diajarkan perlu dipecah-pecah menjadi bagian-

bagian kecil dan ditata secara berurutan, b) setiap bagian dari bahan ajar diajarkan

satu demi satu dan dilakukan secara berulang-ulang, c) kegiatan belajar

hendaknya dilakukan dalam situasi yang konkrit, d) berikan kepadanya dorongan

untuk melakukan apa yang sedang ia pelajari, e) ciptakan suasana belajar yang
4

menyenangkan dengan menghindari kegiatan belajar yang terlalu formal, f)

gunakan alat peraga dalam mengongkritkan konsep (Rochyadi, 2005 dalam

Apriyanto, 2012). Salah satu upaya yang dapat dilakukan perawat adalah dengan

memberikan terapi bermain pada anak tunagrahita, berupa bentuk permainan

cooperative play dengan puzzle. Cooperative play adalah permainan yang

melibatkan interaksi sosial dalam kelompok dimana dapat ditemui identitas

kelompok dan kegiatan yang terorganisir antara pemimpin dan anggota kelompok

(Santrock, 2006). Dalam cooperative play disini, salah satu yang diterapkan

adalah dengan puzzle.

Alasan peneliti menggunakan terapi bermain karena berdasarkan hasil

pengamatan peneliti melihat kemampuan anak tunagrahita yang mudah lupa

dalam mengingat materi pelajaran. Berdasarkan karakteristik anak tunagrahita

yang memiliki kemampuan berfikir kongkrit dan sulit berfikir abstrak, mengalami

kesulitan konsentrasi, anak kurang mempunyai minat dalam belajar karena anak

mau belajar tergantung dari “moodnya” maka peneliti lebih memilih untuk

meningkatkan kecerdasan anak tunagrahita dengan cara yang menyenangkan

(Prihartawati, 2016).

1.2 Identifikasi Masalah

Anak tunagrahita masih kesulitan dalam mengikuti pelajaran karena

perkembangan kecerdasannya lebih lamban di bandingkan anak normal. Minat

anak dalam belajar masih kurang. Anak tersebut dalam belajar tergantung dari

“mood” nya, sehingga ketika anak tidak ingin belajar maka anak juga tidak mau
5

belajar. Belum diterapkannya media permainan puzzle, sedangkan puzzle bisa

membantu meningkatkan kecerdasan bagi anak tunagrahita.

Di TKLB Wiyata Bhakti Tuban jumlah tunagrahita kelas A sebanyak 14

anak, dan anak tunagrahita kelas B sebanyak 10 anak.

1.3 Rumusan Masalah

”Apakah ada pengaruh terapi puzzle terhadap kecerdasan kognitif pada anak

tunagrahita di TKLB Wiyata Bhakti Tuban? ”

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui adanya pengaruh terapi puzzle terhadap kecerdasan kognitif

pada anak tunagrahita di TKLB Wiyata Bhakti Tuban.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi kecerdasan kognitif pada anak tunagrahita sebelum

diberikan terapi puzzle di TKLB Wiyata Bhakti Tuban.


2. Mengidentifikasi kecerdasan kognitif pada anak tunagrahita sesudah

diberikan terapi puzzle di TKLB Wiyata Bhakti Tuban.


3. Menganalisis pengaruh terapi puzzle terhadap kecerdasan kognitif pada anak

tunagrahita di TKLB Wiyata Bhakti Tuban.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis


6

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan referensi dalam

meningkatkan ilmu keperawatan jiwa anak khususnya untuk mengatasi

kecerdasan kognitifnya.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Manfaat Bagi Peneliti


Hasil penelitian ini sebagai pengalaman bagi peneliti dalam melakukan

penelitian dan dapat mengaplikasikan ilmu pengetahuan di bangku kuliah

dengan keadaan nyata di masyarakat.


2. Manfaat Bagi Institusi
Bagi institusi diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

masukan untuk membuat karya tulis ilmiah lebih lanjut, terutama yang

berkaitan dengan kecerdasan kognitif bagi anak tunagrahita.


3. Manfaat Bagi Pasien (Responden)
Bagi masyarakat diharapkan hasil penelitian ini mampu menjadi wawasan

atau pengetahuan tentang kecerdasan kognitif bagi anak tunagrahita.

1.6 Riset Pendukung

Tabel 1.1 Riset Pendukung “Pengaruh Terapi Puzzle terhadap Kecerdasan


Kognitif pada Anak Tunagrahita di TKLB Wiyata Bhakti
Tuban”.

No Penulis/Judul/Tahun Desain Sampling Instrumen Hasil


1 Dinie Ratri Quasi purposive 1. Alat senam Meningkat
Desiningrum/Menstimul Experimenta sampling (musik, secara
asi Kemampuan l VCD, signifikan,
Kognitif (Atensi, Fokus- modul), dengan
Pemahaman, gambar, air skor Z =
Konsentrasi Dan putih, alat -2,023 dan
Memori Jangka Pendek) tulis, taraf
Anak Autis Melalui permainan. signifikansi
Terapi Senam 2. Cognitive- 0,043
7

Otak/2012 Observation > 0,05.


Guidance,
simple
puzzle dan
digit span.

2 Lilis Lisnawati/Analisis purposive tes WISC


Penelitian 7
Keberhasilan Terapi Quasi sampling
dari 13
Bermain terhadap Experimenta
anak RM
Perkembangan Potensi l
sedang
Kecerdasan Anak
berhasil
Retardasi Mental
mengalami
Sedang Usia 7–12
peningkata
Tahun/2014
n dalam
pengemban
gan potensi
kecerdasan
nya.

3 Noorlia Ratnasari dan purposive pre tes dan pos


Pembelajar
Zaini Sudarto/ sampling tes
an
Pembelajaran pre- kemampuan
kontekstual
Kontekstual Terhadap experiment mengenal
mempunyai
Kemampuan Mengenal “one group anggota tubuh
pengaruh
Anggota Tubuh Anak pre test and
yang
Tunagrahita post test
signifikan
Ringan/2014 design”
terhadap
kemampua
n mengenal
anggota
tubuh
(menunjuk
kan dan
menyebutk
an nama
anggota
tubuh
meliputi
mata,
hidung,
mulut, gigi,
lidah,
tangan, dan
kaki) anak
tunagrahita
ringan.

Media
4 Rr. Ekanti Prihartawati/ Single pre tes dan pos
permainan
Pengaruh Media Subject tes
puzzle
Permainan Puzzle Eksperimen Research
8

Terhadap berpengaru
Kemampuan Mengenal h terhadap
Huruf Vokal Pada kemampua
Anak Tunagrahita n mengenal
Kategori Sedang huruf vokal
Kelas Iii Slb N pada anak
Sleman/2016 tunagrahita
kategori
sedang.

5 Sintia Hartika purposive Lembar Terapi


Wardhani/Terapi sampling observasi bermain :
Bermain : Cooperative quasy cooperative
Play Dengan Puzzle experiment play
Meningkatkan dengan
Kemampuan Sosialisasi puzzle
Anak Retardasi dapat
Mental/2012 meningkatk
an
kemampua
n sosialisasi
pada anak
RM.

6 Yunus Nur Zakarya/ purposive pre tes dan pos Kemampua


Pengaruh Pelatihan Cuci sampling tes n cuci
Tangan Bersih Dengan pre tangan anak
Metode Bermain Puzzle experimental tunagrahita
Terhadap Kemampuan kategori
Melakukan Cuci Tangan cukup dan
Anak Tunagrahita kategori
Di Sdlb-C Tpa baik
Kabupaten Jember/2013 mengalami
peningkata
n
sedangkan
kategori
kurang
mengalami
penurunan
yang
signifikan
setelah
dilakukan
pelatihan
cuci tangan
bersih
dengan
metode
puzzle
9

Anda mungkin juga menyukai