Anda di halaman 1dari 33

A.

Tinjauan Teori
1. Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu gangguan pada jantung yang paling umum
(ritme jantung abnormal) yang ditandai dengan irama denyut jantung iregular dan
peningkatan frekuensi denyut jantung, yaitu sebesar 350-650 x/menit. Pada dasarnya
atrial fibrilasi merupakan suatu takikardi supraventrikuler dengan aktivasi atrial yang
tidak terkoordinasi sehingga terjadi gangguan fungsi mekanik atrium. Keadaan ini
menyebabkan tidak efektifnya proses mekanik atau pompa darah jantung 1,2,3.
Dari gambaran elektrokardiogram AF dapat dikenali dengan absennya
gelombang P, yang diganti oleh fibrilasi atau oskilasi antara 400-700 permenit dengan
berbagai bentuk, ukuran, jarak dan waktu timbulnya yang dihubungkan dengan
respon ventrikel yang cepat dan tidak teratur bila konduksi AV masih utuh. Irama
semacam ini sering disebutsebagai gelombang “f” 4.
a. Anatomi Jantung
Jantung adalah organ berotot dan berongga yang berfungsi memompa
darah melalui pembuluh darah dengan frekuensi denyut yang ritmik. Jantung
manusia dewasa mempunyai berat yang hampir sama antara satu orang
dengan orang yang lain, yaitu kurang lebih sekitar 300-350 gr. Jantung secara
normal terletak didalam rongga toraks, yang berada diantara sternum di
sebelah anterior dan vertebra di sebelah posterior, sedangkan pada bagian
inferior berbatasan dengan diafragma15,16.
Anatomi jantung dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu anatomi
eksternal dan anatomi internal13,15,16.
1. Anatomi Eksternal
Anatomi eksternal jantung dapat dikatakan sebagai bagian lapisan-
lapisan pada jantung. Pada dasarnya terdapat tiga bagian lapisan pada
jantung, yaitu pericardium, miokardium dan endokardium.
Lapisan perikardium merupakan lapisan jantung bagian luar yang
terbuat oleh jaringan ikat yang tebal. Lapisan ini terdiri dari 2 lapisan yaitu
perikardium parietal yang berada dibagian luar dan perikardium visceral
yang berada dibagian dalam. Ruangan diantara perikardium parietal dan
perikardium visceral dinamakan rongga perikardial yang berisi cairan
perikardium encer. Fungsi rongga tersebut adalah sebagai ruang
kompsensasi pergerakan jantung.
Lapisan kedua adalah lapisan miokardium, yang merupakan
lapisan paling tebal dan lapisan yang terdiri atas otot-otot jantung. Lapisan
ini terdiri dari 3 macam otot, yaitu otot atrium, otot ventrikel dan otot serat
khusus. Otot atrium mempunyai karakteristik otot yang lebih tipis
dibandingkan dengan otot ventrikel, hal ini lebih banyak dipengaruhi oleh
fungsi kontraktilitas jantung berkaitan dengan fungsi pompa darah ke
seluruh tubuh. Otot atrium dan otot ventrikel mempunyai kinerja kontraksi
yang sama, sedangkan otot serat khusus lebih tergantung dari rangsang
konduksi jantung.
Lapisan yang terakhir adalah lapisan endokardium. Lapisan ini
adalah suatu lapisan yang terdiri dari membran tipis di bagian luar yang
membungkus jantung. Lapisan ini terdiri dari jaringan epitel (endotel) dan
berhubungan langsung dengan jantung.
2. Anatomi Internal
Jantung terdiri dari 4 ruang, yaitu atrium kanan, atrium kiri,
ventrikel kanan dan ventrikel kiri. Bagian kanan (atrium dan ventrikel
kanan) dan kiri (atrium dan ventrikel kiri) jantung dipisahkan oleh suatu
sekat yang dinamakan septum cordis. Disamping itu, jantung juga
mempunyai 4 buah katup jantung, yang terdiri dari katup trikuspidalis,
katup mitral/bikuspidalis, katup semilunar pulmonalis dan katup semilunar
aorta.
a. Atrium Kanan
Atrium kanan merupakan ruang pada jantung yang berfungsi
untuk menampung darah vena yang mengalir melalui vena kava
inferior dan vena kava superior. Kedua vena kava bermuara pada
tempat yang berbeda, vena kava superior bermuara pada dinding
bagian supero-posterior atrium kanan, sedangkan vena kava inferior
bermuara pada dinding bagian infero-latero-posterior atrium kanan.
b. Ventrikel Kanan
Ventrikel kanan merupakan ruangan setelah atrium kanan.
Darah vena akan dialirkan dari atrium kanan ke ventrikel kanan, yang
sebelumnya melewati katup atrio-ventrikular kanan atau triskupidalis.
c. Atrium Kiri
Atrium kiri merupakan ruangan yang menerima darah (bersih)
yang berasal dari paru-paru. Atrium kiri menerima darah dari empat
vena pulmonalis yang bermuara pada dinding postero-posterior atau
postero-lateral.
d. Ventrikel Kiri
Ventikel kiri merupakan bagian ruangan pada jantung yang
berfungsi memompa darah ke seluruh bagian organ tubuh. Ventrikel
kiri mempunyai tebal lapisan sebesar 2-3 kali lipat dibandingkan
dengan ventrikel kanan. Hal ini dipengaruhi oleh fungsi pompa darah
ventrikel kanan dan kiri.
e. Katup Semilunar
Katup semilunar terdiri dari dua katup, yaitu katup semilunar
pulmonalis dan katup semilunar aorta. Kedua katup ini mempunyai
bentuk katup yang sama, tetapi secara antomis katup semilunar aorta
lebih tebal dibandingkan dengan katup semilunar pulmonalis. Katup
semilunar pulmonalis berfungsi sebagai sekat antara ventrikel kanan
dengan paru-paru, sedangkan katup semilunar aorta berfungsi sebagai
sekat antara ventrikel kiri dengan aorta. Setiap katup terdiri dari tiga
daun katup, untuk katup semilunar pulmonalis terdiri dari daun katup
anterior, dekstra dan sinistra. Sedangkan katup semilunar aorta terdiri
dari daun katup koroner dekstra, koroner sinistra dan non-koroner.
f. Katup Atrio-Ventrikuler
Katup Atrio-ventrikuler terdiri dari dua katup, yaitu katup
trikuspidalis dan katup bikuspidalis atau mitral. Katup trikuspidalis
terdiri dari tiga daun katup yang berbeda ukuran pada setiap daun
katup. Ketiga daun katup ini adalah katup anterior, septal dan katup
posterior. Katup ini terletak sebagai sekat antara atrium kanan dengan
ventrikel kanan. Sedangkan katup bikuspidalis (mitral) terletak sebagai
sekat antara atrium kiri dengan ventrikel kiri. Katup bikuspidalis
(mitral) mempunyai dua daun katup, yang terdiri dari daun katup
mitral anterior dan posterior.
Aliran darah yang melewati kedua katup tidak hanya diatur
oleh kedua katub ini, tetapi lebih diatur oleh interaksi antara atrium,
annulus fibrosus, daun katup, korda tandinea, otot papillaris dan otot
ventrikel. Keenam komponen ini merupakan rangkaian unit fungsional
dalam proses aliran darah, sehingga bila terjadi gangguan pada salah
satu komponen akan mengakibatkan gangguan hemodinamik yang
serius.

Gambar 1. Anatomi Jantung


b. Persarafan Jantung
Jantung dipersarafi oleh sistem saraf otonom, yaitu serabut saraf
simpatis dan serabut saraf parasimpatis. Serabut saraf simpatis mempersarafi
daerah atrium, ventrikel dan pembuluh darah koroner. Sedangkan serabut
saraf parasimpatis mempersarafi nodus sino-atrial, atrio-ventrikuler dan otot-
otot atrium15,16.
Persarafan simpatis eferen preganglionik berasal dari medulla spinalis
torakal III-VI dan diperantarai oleh norepinefrin. Sedangkan persarafan
parasimpatis berasal dari pusat nervus vagus di medulla oblongata dan
diperantarai oleh asetilkolin. Secara fungsional, saraf simpatis mempengaruhi
kinerja dari otot ventrikel, sedangkan saraf parasimpatis lebih berperan dalam
mengontrol irama dan menurunkan laju denyut jantung.
c. Pembuluh Darah Jantung
Pendarahan otot jantung berasal dari aorta melalui dua pembuluh
koroner, yaitu arteri koroner kanan dan arteri koroner kiri. Kedua arteri ini,
baik arteri koroner kanan atau arteri koroner kiri keluar dari sinus valsava
aorta. Arteri koroner kiri akan bercabang menjadi arteri sirkumfleks kiri dan
arteri desendens anterior kiri yang memperdarahi sebagian besar bagian
proksimal RBB (right bundle branch), LBB (left bundle branch) dan fasikulus
anterior LBB. Sedangkan arteri koroner kanan akan bercabang menjadi arteri
atrium anterior kanan yang memperdarahi nodus sino-atrial dan arteri koroner
desendens posterior yang memperdarahi nodus atrio-ventrikuler dan fasikulus
posterior LBB. Pembuluh darah balik dari otot jantung adalah vena koroner.
Vana koroner ini berjalan berdampingan dengan arteri koroner yang akan
masuk atau bermuara ke dalam atrium kanan melalui sinus koronarius15,16,17.

Gambar 2. Pembuluh Darah Jantung


1. Fisiologi dan Sistem Konduksi Jantung
a. Fisologi Jantung
Jantung berkontraksi atau berdenyut dengan irama yang ritmik, akibat
adanya potensial aksi (otoritmisitas). Terdapat dua jenis khusus sel otot
jantung, yaitu 99% sel-sel kontraktil yang melakukan kerja mekanik
(kontraksi), tetapi tidak menghasilkan potensial aksi dan 1 % sel-sel otoritmik
yang tidak melakukan kerja mekanik (tidak berkontraksi), tetapi mempunyai
fungsi dalam mencetuskan dan menghantarkan potensial aksi15,16,17.
Aksi potensial otot jantung yang memicu suatu proses kontraksi
mekanik jantung dinamakan excitation contraction coupling. Kontraksi otot
jantung dimulai dengan adanya aksi potensial pada sel-sel otoritmik. Potensial
aksi dimulai dari proses dopalarisasi, proses plateau dan proses repolarisasi.
Ketiga proses ini merupakan rangkaian proses potensial aksi yang harus ada
untuk memicu kontraksi otot jantung15.
Potensial aksi dimulai dari proses depolarisasi, dimana terjadi
pembukaan saluran Na+ secara cepat. Proses masuknya ion Na+ menyebabkan
perubahan potensial membran sel-sel otoritmik, mulai dari -70 mv hingga +30
mv. Setelah mencapai ambang batas perubahan potensial, saluran Na+ akan
segera menutup yang kemudian diikuti pembukaan saluran Ca2+. Pembukaan
saluran Ca2+ terjadi secara lambat, yang menyebabkan proses plateau dan
influks Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler atau sel-sel otoritmik.
Setelah beberapa saat, saluran Ca2+ akan menutup dan terjadi pembukaan
saluran K+. Pembukaan saluran K+ menyebabkan terjadinya proses
repolarisasi, yang ditandai dengan keluarnya atau effluks K+ ke
ekstraseluler9,16,17.

Gambar 3. Fisiologi Potensial Aksi Jantung


Proses kontraktilitas otot jantung terjadi pada fase plateau proses
potensial aksi, dimana terjadi penutupan saluran Na2+ dan pembukaan saluran
Ca2+ secara lambat. Proses kontraktilitas otot jantung ini terjadi akibat influks
Ca2+ atau kenaikan konsentrasi Ca2+ bebas intraseluler. Pada dasarnya terdapat
dua mekanisme yang dapat menerangkan hal tersebut, yaitu Ca2+ ekstraseluler
berdifusi kedalam intraseluler akibat pembukaan saluran Ca2+ selama fase
plateu pada potensial aksi jantung dan Ca2+ yang dikeluarkan dari cadangan
intraseluler (sarcoplamic reticulum) akibat rangsangan masuknya Ca2+ yang
berasal dari ekstraseluler 9,17.
Peningkatan Ca2+ dalam intraseluler mengakibatkan adanya ikatan Ca2+
dengan troponin. Ikatan antara Ca2+ dengan troponin, mengakibatkan
kontraksi otot-otot jantung. Selama kontraksi otot jantung, filamen-filamen
tebal (miosin) dan tipis (aktin) akan saling menggeser untuk memperpendek
tiap sarkomer. Berkurangnya ikatan antara Ca2+ dengan troponin akan
menyebabkan stimulasi proses relaksasi otot jantung. Pada fase ini, Ca 2+ yang
tidak berikatan dengan troponin akan disimpan kembali di dalam sarcoplamic
reticulum dan sebagian Ca2+ keluar ke ekstraseluler. Proses keluarnya Ca2+ ke
ekstraseluler terjadi karena adanya pertukaran dengan ion Na2+ yang berada di
ekstraseluler. Kemudian ion Na+ yang telah masuk kedalam intraseluler akan
bertukaran secara aktif dengan ion K+ melalui proses Na+- K+-ATPase 9,17.

Gambar 4. Fisiologi kontraksi dan Relaksasi Otot Jantung


b. Sistem Konduksi Jantung
Pada dasarnya yang menyebabkan adanya potensial aksi hingga
menimbulkan kontraktilitas otot jantung adalah adanya impuls atau
rangsangan elektrik. Sistem konduksi jantung terdiri dari nodus sino-atrial,
nodus atrio-ventrikuler, berkas his, berkas cabang kanan-kiri dan serabut
purkinje. Rangsangan atau sinyal elektrik pertama jantung berawal di nodus
sino-atrial (Nodus SA) yang berada di latero-superior atrium kanan.
Terjadinya sinyal elektrik pada nodus SA menyebabkan kontraksi dari atrium,
baik atrium kanan ataupun atrium kiri. Kontraksi yang bersamaan antara
atrium kanan dan kiri dipengaruhi oleh penjalaran rangsangan elektrik melalui
traktus inter-atrial yang merupakan cabang dari nodus SA. Nodus SA
memiliki kemampuan mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) tercepat
bila dibandingkan dengan sistem konduksi jantung yang lain, yaitu sebesar
60-100 potensial aksi/menit. Kemampuan ini menyebabkan nodus SA sebagai
pengontrol utama rangsangan elektrik jantung (overdrive pacemaker) dan
mengendalikan sistem konduksi jantung6,8.
Sistem penjalaran rangsangan elektrik harus terkoordinasi dengan baik
untuk menimbulkan proses mekanik atau pemompaan yang efisien. Penjalaran
sinyal elektrik harus memenuhi tiga kriteria, diantaranya adalah :
a. Rangsangan dan kontraksi atrium harus sudah selesai sebelum kontraksi
ventrikel dimulai
b. Rangsangan otot-otot jantung dikoordinasi untuk memastikan setiap
pasangan atrium dan pasangan ventrikel berkontraksi sebagai satu
kesatuan
c. Pasangan atrium dan ventrikel harus saling terkoordinasi sebagai satu
sinsitium.
Sinyal elektrik dari nodus SA kemudian akan diteruskan ke nodus
atrio-ventrikuler (nodus AV). Rangsangan elektrik ini dihantarkan melalui
traktus internodal (internodal anterior, posterior dan medial). Nodus AV
merupakan satu-satunya penghubung sistem konduksi antara atrium dengan
ventrikel. Disamping itu, nodus AV juga mempunyai kemampuan
mencetuskan potensial elektrik (pacemaker) kedua tercepat, yaitu sebesar 40-
60 potensial aksi/menit. Hal ini memungkinkan nodus SA sebagai
pengontrol dan pengendali sistem konduksi jantung apabila terjadi blok pada
rangsangan elektrik nodus SA. Secara fisiologis, nodus AV sebenarnya
memiliki keterlambatan penjalaran sinyal elektrik, yaitu sebesar 0,08-0,12
detik. Keterlambatan ini sebenarnya mempunyai fungsi dalam memberikan
waktu atrium untuk berkontraksi sempurna dan memberikan waktu dalam
proses mengosongkan voleme atrium ke dalam ventrikel (memberi waktu
pengisian ventrikel), sebelum ventrikel terdepolarisasi dan berkontraksi813.
Sistem konduksi setelah nodus AV adalah berkas his. Berkas his
sebenarnya dapat dikatakan sebagai sekelompok serabut purkinje yang berasal
dari nodus AV, yang berjalan sepanjang septum interventrikuler menuju ke
ventrikel. Berkas his akan bercabang menjadi dua bagian, yaitu berkas cabang
kanan dan berkas cabang kiri. Berkas cabang kanan (RBB/right bundle
branch) merupakan percabangan dari berkas his. RBB bercabang sebagai
struktur tunggal di lapisan subendokardium di sisi bagian kanan. Kemudian
RBB akan terbagi menjadi tiga cabang, yaitu RBB cabang anterior, posterior
dan lateral. Bagian RBB lateral akan berjalan menuju dinding lateral ventrikel
kanan dan menuju bagian bawah septum interventrikuler, yang kemudian akan
membentuk anyaman purkinje atau serabut purkinje. Berbeda dengan RBB,
berkas cabang kiri (LBB/left bundle branch) mempunyai dua struktur
percabangan. Kedua struktur percabangan LBB ini berjalan di
subendokardium di sisi bagian kiri dan kemudian masing-masing percabangan
akan membentuk suatu struktur bangunan seperti pada percabangan RBB,
yaitu serabut purkinje. Penjalaran sinyal elektrik menuju ventrikel melewati
berkas his dan serabut purkinje berjalan sangat cepat. Disamping itu, serabut
purkinje juga mempunyai peran dalam menjaga keseimbangan koordinasi
kontraktilitas (sinsitium) antara ventrikel kanan dan ventrikel kiri6,8,9.
Gambar 5. Sistem Konduksi Jantung

2. Etiologi
Etiologi yang terkait dengan AF terbagi menjadi beberapa faktor-faktor,
diantaranya adalah1,2 :
a. Peningkatan tekanan/resistensi atrium
1. Penyakit katup jantung
2. Kelainan pengisian dan pengosongan ruang atrium
3. Hipertrofi jantung
4. Kardiomiopati
5. Hipertensi pulmo (chronic obstructive pulmonary disease dan cor pulmonal
chronic)
6. Tumor intracardiac
b. Proses infiltratif dan inflamasi
1. Pericarditis/myocarditis
2. Amiloidosis dan sarcoidosis
3. Faktor peningkatan usia
c. Proses infeksi
1. Demam dan segala macam infeksi
d. Kelainan Endokrin
1. Hipertiroid
2. Feokromositoma
e. Neurogenik
1. Stroke
2. Perdarahan subarachnoid
f. Iskemik Atrium (Infark myocardial)
g. Obat-obatan
1. Alkohol
2. Kafein
h. Keturunan/genetik

3. Klasifikasi
Menurut AHA (American Heart Association), klasifikasi dari atrial fibrilasi
dibedakan menjadi 4 jenis, yaitu3 :
1. AF deteksi pertama
Semua pasien dengan AF selalu diawali dengan tahap AF deteksi pertama. Tahap
ini merupakan tahapan dimana belum pernah terdeteksi AF sebelumnya dan baru
pertama kali terdeteksi.
2. Paroksismal AF
AF yang berlangsung kurang dari 7 hari atau AF yang mempunyai episode
pertama kali kurang dari 48 jam dinamakan dengan paroksismal AF. AF jenis ini
juga mempunyai kecenderungan untuk sembuh sendiri dalam waktu kurang dari
24 jam tanpa bantuan kardioversi.
3. Persisten AF
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7
hari. Berbeda dengan paroksismal AF, persisten AF perlu penggunaan dari
kardioversi untuk mengembalikan irama sinus kembali normal.
4. Kronik (permanen AF)
AF yang sifatnya menetap dan berlangsung lebih dari 7 hari. Pada permanen AF,
penggunaan kardioversi dinilai kurang berarti, karena dinilai cukup sulit untuk
mengembalikan ke irama sinus yang normal.
Disamping klasifikasi menurut AHA (American Heart Association), AF juga
sering diklasifikasikan menurut lama waktu berlangsungnya, yaitu AF akut dan AF
kronik. AF akut dikategorikan menurut waktu berlangsungnya atau onset yang kurang
dari 48 jam, sedangkan AF kronik sebaliknya, yaitu AF yang berlangsung lebih dari
48 jam. Berdasarkan ada tidaknya penyakit yang mendasari, AF dapat dibedakan
menjadi 14 :
1. AF primer terjadi bila tidak disertai penyakit jantung atau penyakit sistemik
lainnya.
2. AF sekunder disertai adanya penyakit jantung atau penyakit sistemik seperti
gangguan tiroid. Berdasarkan bentuk gelombang P AF dibedakan atas:

AF coarse (kasar)

AF fine (halus)

1. Frekuensi : frekuensi atrium 350 sampai 600 denyut per menit; respon ventrikuler
biasanya 120 sampai 200 denyut per menit.
2. Gelombang P : tidak terdapat gelombang P yang jelas; tampak undulasi yang
ireguler, dinamakan gelombang fibrilasi atau gelombang f, interval PR tidak dapat
diukur.
3. Kompleks QRS : biasanya normal.
4. Hantaran : biasanya normal melalui ventrikel. Ditandai oleh respon ventrikel
ireguler, karena nodus AV tidak berespons terhadap frekuensi atrium yang cepat,
maka impuls yang dihantarkan menyebabkan ventrikel berespons ireguler.
5. Irama : ireguler dan biasanya cepat, kecuali bila terkontrol. Iregularitas irama
diakibatkan oleh perbedaan hantaran pada nodus AV.
4. Manifestasi Klinis
AF dapat simptomatik dapat pula asimptomatik. Gejala-gejala AF sangat
bervariasi tergantung dari kecepatan laju irama ventrikel, lamanya FA, penyakit yang
mendasarinya. Fibrilasi atrium (AF) biasanya menyebabkan ventrikel berkontraksi
lebih cepat dari biasanya. Ketika ini terjadi, ventrikel tidak memiliki cukup waktu
untuk mengisi sepenuhnya dengan darah untuk memompa ke paru-paru dan tubuh.
Atrial fibrilasi sering tanpa disertai gejala, tapi kebanyakan penderita mengalami
palpitasi (perasaan yang kuat dari denyut jantung yang cepat atau "berdebar" dalam
dada), nyeri dada terutama saat beraktivitas, pusing atau pingsan, sesak napas, cepat
lelah, laju denyut jantung meningkat, intoleransi terhadap olahraga, sinkop atau gejala
tromboemboli, atau dapat disertai gejala-gejala gagal jantung (seperti rasa lemah,
sakit kepala berat, dan sesak nafas), terutama jika denyut ventrikel yang sangat cepat
(sering 140-160 denyutan/menit) 6,7,8.
Pasien dapat juga disertai tanda dan gejala stroke akut atau kerusakan organ
tubuh lainnya yang berkaitan dengan emboli systemic. AF dapat mencetuskan gejala
iskemik pada AF dengan dasar penyakit jantung koroner. Fungsi kontraksi atrial yang
sangat berkurang pada AF akan menurunkan curah jantung dan dapat menyebabkan
terjadi gagal jantung kongestif pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri 5.

5. Patofisiologi
Mekanisme AF terdiri dari 2 proses, yaitu proses aktivasi lokal dan multiple
wavelet reentry. Proses aktivasi lokal bisa melibatkan proses depolarisasi tunggal atau
depolarisasi berulang. Pada proses aktivasi lokal, fokus ektopik yang dominan adalah
berasal dari vena pulmonalis superior. Selain itu, fokus ektopik bisa juga berasal dari
atrium kanan, vena cava superior dan sinus coronarius. Fokus ektopik ini
menimbulkan sinyal elektrik yang mempengaruhi potensial aksi pada atrium dan
menggangu potensial aksi yang dicetuskan oleh nodus SA 6,8,9.
Sedangkan multiple wavelet reentry, merupakan proses potensial aksi yang
berulang dan melibatkan sirkuit/jalur depolarisasi. Mekanisme multiple wavelet
reentry tidak tergantung pada adanya fokus ektopik seperti pada proses aktivasi lokal,
tetapi lebih tergantung pada sedikit banyaknya sinyal elektrik yang mempengaruhi
depolarisasi. Pada multiple wavelet reentry, sedikit banyaknya sinyal
elektrik dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu periode refractory, besarnya ruang atrium dan
kecepatan konduksi. Hal ini bisa dianalogikan, bahwa pada pembesaran atrium
biasanya akan disertai dengan pemendekan periode refractory dan penurunan
kecepatan konduksi. Ketiga faktor tersebutlah yang akan meningkatkan sinyal
elektrik dan menimbulkan peningkatan depolarisasi serta mencetuskan terjadinya AF
6,8,9.
Aktivasi fokal fokus diawali biasanya dari daerah vena pulmonalis timbulnya
gelombang yang menetap dari Multiple wavelet reentry depolarisasi atrial atau
wavelets yang dipicu oleh depolarisasi atrial premature atau aktivitas aritmogenik dari
fokus yang tercetus secara cepat. Mekanisme fibrilasi atrium identik dengan
mekanisme fibrilasi ventrikel kecuali bila prosesnya ternyata hanya di massa otot
atrium dan bukan di massa otot ventrikel. Penyebab yang sering menimbulkan
fibrilasi atrium adalah pembesaran atrium akibat lesi katup jantung yang mencegah
atrium mengosongkan isinya secara adekuat ke dalam ventrikel, atau akibat
kegagalan ventrikel dengan pembendungan darah yang banyak di dalam atrium.
Dinding atrium yang berdilatasi akan menyediakan kondisi yang tepat untuk sebuah
jalur konduksi yang panjang demikian juga konduksi lambat, yang keduanya
merupakan faktor predisposisi bagi fibrilasi atrium. Fibrilasi atrium dapat juga
disebabkan oleh gangguan katup jantung pada demam reumatik, atau gangguan aliran
darah seperti yang terjadi pada penderita aterosklerosis 10.
Pada AF aktivitas sitolik pada atrium kiri tidak teratur, terjadi penurunan atrial
flow velocities yang menyebabkan statis pada atrium kiri dan memudahkan
terbentuknya trombus. Pada pemeriksaan TEE, trombus pada atrium kiri lebih banyak
dijumpai pada pasien AF dengan stroke emboli dibandingkan dengan AF tanpa stroke
emboli. 2/3 sampai ¾ stroke iskemik yang terjadi pada pasien dengan AF non
valvular karena stroke emboli.Beberapa penelitian menghubungkan AF dengan
gangguan hemostasis dan thrombosis. Kelainan tersebut mungkin akibat dari statis
atrial tetapi mungkin juga sebagai kofaktor terjadinya tromboemboli pada AF 5.

6. Komplikasi
Dampak penyakit ini, selain berdebar-debar dan mudah sesak bila naik tangga
atau berjalan cepat, juga dapat menyebabkan emboli, bekuan darah yang lepas,
yang bisa menyumbat pembuluh darah di otak, menyebabkan stroke atau bekuan
darah di bagian tubuh yang lain 11.
Kelainan irama jantung (disritmia) jenis atrial fibrilasi seringkali menimbulkan
masalah tambahan bagi yang mengidapnya, yaitu serangan gangguan sirkulasi otak
(stroke). Ini terjadi karena atrium jantung yang berkontraksi tidak teratur
menyebabkan banyak darah yang tertinggal dalam atrium akibat tak bisa masuk ke
dalam ventrikel jantung dengan lancar. Hal ini memudahkan timbulnya gumpalan
atau bekuan darah (trombi) akibat stagnasi dan turbulensi darah yang terjadi. Atrium
dapat berdenyut lebih dari 300 kali per menit padahal biasanya tak lebih dari 100.
Makin tinggi frekuensi denyut dan makin besar volume atrium, makin besar peluang
terbentuknya gumpalan darah. Sebagian dari gumpalan inilah yang seringkali
melanjutkan perjalanannya memasuki sirkulasi otak dan sewaktu-waktu menyumbat
sehingga terjadi stroke 11.
Pada penyakit katup jantung, terutama bila katup yang menghubungkan antara
atrium dan ventrikel tak dapat membuka dengan sempurna, maka volume atrium akan
bertambah, dindingnya akan membesar dan memudahkan timbulnya rangsang yang
tidak teratur. Sekitar 20 persen kematian penderita katup jantung seperti ini
disebabkan oleh sumbatan gumpalan darah dalam sirkulasi otak. Fibrilasi atrium
(kontraksi otot atrium yang tidak terorganisasi dan tidak terkoordinasi) biasanya
berhubungan dengan penyakit jantung aterosklerotik, penyakit katup jantung, gagal
jantung kongestif, tirotoksikosis, cor pulmonale, atau penyakit jantung kongenital 12.

7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis atrial fibrilasi, antara lain 5 :
1. Anamnesis :

Dapat diketahui tipe AF dengan mengetahui lama timbulnya (episode
pertama, paroksismal, persisten, permanen)

Menentukan beratnya gejala yang menyertai: berdebar-debar, lemah,
sesak napas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukkan
adanya iskemia atau gagal jantung kongestif

Penyakit jantung yang mendasari, penyebab lain dari FA misalnya
hipertiroid
2. Pemeriksaan fisik :

Tanda vital : denyut nadi berupa kecepatan dan regularitasnya, tekanan
darah

Tekanan vena jugularis

Ronki pada paru menunjukkan kemungkinan terdapat gagal jantung
kongestif

Irama gallop s3 pada auskultasi jantung menunjukkan kemungkinan
terdapat gagal jantung kongestif, terdapatnya bising pada auskultasi
kemungkinan adanya penyakit katup jantung

Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan

Edema perifer : kemungkinanterdapat gagal jantung kongestif
3. Laboratorium : hematokrit (anemia), TSH (penyakit gondok), enzim jantung
bila dicurigai terdapat iskemia jantung
4. Pemeriksaan EKG : dapat diketahui antara lain irama (verifikasi FA),
hipertropi ventrikel kiri, pre-eksitasi ventrikel kiri, sindroma pre-eksitasi
(sindroma WPW), identifikasi adanya iskemia)
5. Foto rontgen toraks
6. Ekokardiografi untuk melihat antara lain kelainan katup, ukuran dari atrium
dan ventrikel, hipertrofi ventrikel kiri, fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow
dan TEE (Trans Esopago Echocardiography) untuk melihat thrombus di
atrium kiri
7. Pemeriksaan fungsi tiroid. Pada AF episode pertama bila laju irama ventrikel
sulit dikontrol
8. Uji latih : identifikasi iskemia jantung, menentukan adekuasi dari kontrol laju
irama jantung.
9. Pemeriksaa lain yang mungkin diperlukan adalah holter monitoring, studi
elektrofisiologi.

8. Penatalaksanaan
Sasaran utama pada penatalaksanaan AF adalah mengontrol irama jantung yang
tidak teratur, menurunkan peningkatan denyut jantung dan mencegah
terjadinya komplikasi tromboembolisme. Kardioversi merupakan salah satu
penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk AF. Menurut
pengertiannya, kardioversi sendiri adalah suatu tata laksana yang
berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama dan menurunkan denyut jantung.
Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi 2, yaitu pengobatan farmakologi
(Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan elektrik (Electrical Cardioversion)
7,13.
a. Mencegah pembekuan darah (tromboembolisme)
Pencegahan pembekuan darah merupakan pengobatan untuk mencegah
adanya komplikasi dari AF.Pengobatan yang digunakan adalah jenis antikoagulan
atau antitrombosis, hal ini dikarenakan obat ini berfungsi mengurangi resiko dari
terbentuknya trombus dalam pembuluh darah serta cabang-cabang vaskularisasi.
Pengobatan yang sering dipakai untuk mencegah pembekuan darah terdiri dari
berbagai macam, diantaranya adalah :


Warfarin
Warfarin termasuk obat golongan antikoagulan yang berfungsi dalam proses
pembentukan sumbatan fibrin untuk mengurangi atau mencegah koagulasi.
Warfarin diberikan secara oral dan sangat cepat diserap hingga mencapai
puncak konsentrasi plasma dalam waktu ± 1 jam dengan bioavailabilitas
100%. Warfarin di metabolisme dengan cara oksidasi (bentuk L) dan reduksi
(bentuk D), yang kemudian diikuti oleh konjugasi glukoronidasi dengan lama
kerja ± 40 jam.

Aspirin
Aspirin secara irreversible menonaktifkan siklo-oksigenase dari trombosit
(COX2) dengan cara asetilasi dari asam amino serin terminal. Efek dari COX2
ini adalah menghambat produksi endoperoksida dan tromboksan (TXA2) di
dalam trombosit.Hal inilah yang menyebabkan tidak terbentuknya agregasi
dari trombosit.Tetapi, penggunaan aspirin dalam waktu lama dapat
menyebabkan pengurangan tingkat sirkulasi dari faktor-faktor pembekuan
darah, terutama faktor II, VII, IX dan X.
b. Mengurangi denyut jantung
Terdapat 3 jenis obat yang dapat digunakan untuk menurunkan peningkatan
denyut jantung, yaitu obat digitalis, β-blocker dan antagonis kalsium.Obat-obat
tersebut bisa digunakan secara individual ataupun kombinasi.

Digitalis
Obat ini digunakan untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
menurunkan denyut jantung.Hal ini membuat kinerja jantung menjadi lebih
efisien.Disamping itu, digitalis juga memperlambat sinyal elektrik yang
abnormal dari atrium ke ventrikel.Hal ini mengakibatkan peningkatan
pengisian ventrikel dari kontraksi atrium yang abnormal.

β-blocker
Obat β-blocker merupakan obat yang menghambat efek sistem saraf
simpatis.Saraf simpatis pada jantung bekerja untuk meningkatkan denyut
jantung dan kontraktilitas jantung. Efek ini akan berakibat dalam efisiensi
kinerja jantung.

Antagonis Kalsium
Obat antagonis kalsium menyebabkan penurunan kontraktilitas jantung akibat
dihambatnya ion Ca2+ dari ekstraseluler ke dalam intraseluler melewati Ca2+
channel yang terdapat pada membran sel.
c. Mengembalikan irama jantung
Kardioversi merupakan salah satu penatalaksanaan yang dapat dilakukan
untuk menteraturkan irama jantung. Menurut pengertiannya, kardioversi sendiri
adalah suatu tata laksana yang berfungsi untuk mengontrol ketidakteraturan irama
dan menurunkan denyut jantung.Pada dasarnya kardioversi dibagi menjadi
2, yaitu pengobatan farmakologi (Pharmacological Cardioversion) dan pengobatan
elektrik (Electrical Cardioversion).
1. Pharmacological Cardioversion (Anti-aritmia)

Amiodarone

Dofetilide

Flecainide

Ibutilide

Propafenone

Quinidine
2. Electrical Cardioversion
Suatu teknik memberikan arus listrik ke jantung melalui dua pelat logam
(bantalan) ditempatkan pada dada. Fungsi dari terapi listrik ini adalah
mengembalikan irama jantung kembali normal atau sesuai dengan NSR
(nodus sinus rhythm). Pasien AF hemodinamik yang tidak stabil akibat laju
ventrikel yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop peru segera
dilakukan kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200
joule.Bila tidak berhasil dapat dinaikkan menjadi 300 joule.Pasien dipuasakan
dan dilakukan anestesi dengan obat anestesi kerja pendek.

3. Operatif

Catheter ablation
Prosedur ini menggunakan teknik pembedahan dengan membuatan sayatan
pada daerah paha.Kemudian dimasukkan kateter kedalam pembuluh darah
utma hingga masuk kedalam jantung.Pada bagian ujung kateter terdapat
elektroda yang berfungsi menghancurkan fokus ektopik yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya AF.

Maze operation
Prosedur maze operation hampeir sama dengan catheter ablation, tetapi
pada maze operation, akan mengahasilkan suatu “labirin” yang berfungsi
untuk membantu menormalitaskan system konduksi sinus SA.

Artificial pacemaker
Artificial pacemaker merupakan alat pacu jantung yang ditempatkan di
jantung, yang berfungsi mengontrol irama dan denyut jantung.
B. Asuhan Keperawatan
1. Diagnose Keperawatan
1) Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan konduksi
listrik, Perubahan structural.
2) Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidakseimbangan antar suplai
okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan :
Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea,
pucat, berkeringat.
3) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi
glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan
retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria,
edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung
abnormal.
4) Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan
menbran kapiler-alveolus.

2. Intervensi Keperawatan
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan
kontraktilitasmiokardial/perubahan inotropik, Perubahan frekuensi, irama dan
konduksi listrik, Perubahan structural, ditandai dengan ;

Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan
gambaran pola EKG

Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).

Bunyi ekstra (S3 & S4)

Penurunan keluaran urine

Nadi perifer tidak teraba

Kulit dingin kusam

Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.

Tujuan
Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia
terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung, Melaporkan
penurunan epiode dispnea, angina, Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi
beban kerja jantung.
Intervensi
1. Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung
Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk
mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
2. Catat bunyi jantung
Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa.
Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah
kesermbi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan
Inkompetensi/stenosis katup.
3. Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi
radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang
atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan.
4. Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat.
Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi
tidak dapat norml lagi.
5. Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder
terhadap tidak dekutnya curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis
dapt terjadi sebagai refrakstori GJK.Area yang sakit sering berwarna biru
atu belang karena peningkatan kongesti vena.
6. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi)
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk
melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk
meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan
menurunkan kongesti.
2. Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai
okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan :
Kelemahan, kelelahan, Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea,
pucat, berkeringat.
Tujuan /kriteria evaluasi :
Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan
diri sendiri, Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur,
dibuktikan oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi
1. Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila
klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek
obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi
jantung.
2. Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia,
dispnea berkeringat dan pucat
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan
volume sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera
frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan
kelemahan.
3. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung
daripada kelebihan aktivitas.
4. Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja
jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi
jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali,

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi


glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan
retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria,
edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung
abnormal.
Tujuan /kriteria evaluasi
Klien akan : Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan
masukan danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang
yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema., Menyatakan
pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi :
1. Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis
terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan
perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran
urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
2. Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-
tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
3. Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase
akut.
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4. Pantau TD dan CVP (bila ada)
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru,
gagal jantung.
5. Kaji bising usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan
konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu
fungsi gaster/intestinal.
6. Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi) dan Konsul dengan ahli diet.
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang
memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.

4. Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan


menbran kapiler-alveolus.
Tujuan /kriteria evaluasi,
Klien akan : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi adekuat pada
jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala
distress pernapasan, Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas
kemampuan/situasi.
Intervensi :
1. Pantau suara nafas dan catat suara nafas tambahan.
Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret
menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
2. Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
3. Dorong perubahan posisi.
Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
4. Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.
Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.
5. Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan jumlah O2 yang ada untuk pemakaian
miokardium sekaligus mengurangi ketidaknyamanan sekunder terhadap
iskemia.
DAFTRA PUTAKA

1. Narumiya T, Sakamaki T, Sato Y, Kanmatsuse K ( January 2003). “Relationship


between left atrial appendage function and left atrial thrombus in patient with
nonvalvular chronic atrial fibrillation and atrial flutter”. Circulation Journal 67.
2. Sanfilippo AJ, Abascal VM, Sheehan M, Oertel LB, Harrigan P, Hughes RA dan
Weyman AE (1990). "Atrial enlargement as a consequence of atrial fibrillation A
prospective echocardiographic study" . Circulation 82 (3): 792–7.
3. "Atrial Fibrillation (for Professionals)". American Heart Association, Inc. 2008-12-
4. Archived from the original on 2009-03-28.
4. Mappahya AA. Atrium Fibrilation Theraphy To Prevent Stroke: A Review. The
Indonesian Journal of Medical Science Volume 1 No.8 April 2009 p. 477-489.
5. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi
IV. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007.
6. Nasution SA, Ismail D. 2006. Fibrilasi Atrial. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalaml.
Ed.3. Jakarta. EGC, 1522-27.
7. Wattigney WA, Mensah GA, Croft JB (2002). "Increased atrial fibrillation
mortality: United States, 1980-1998". Am. J. Epidemiol. 155 (9): 819–26.
8. Blackshear JL, Odell JA (February 1996). "Appendage obliteration to reduce
stroke in cardiac surgical patients with atrial fibrillation". Ann. Thorac. Surg. 61
(2): 755–9.
9. Harrison (2000). Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 3 Edisi 13. EGC:
1418-87.
10. Noer S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi ketiga. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 1996.
11. Emergency Cardiovascular Care Program, Advanced Cardiac Life Support, 1997-
1999, American Heart Association.
12. Smeltzer, SC. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi
8 Volume 2. Jakarta: EGC, 2001.
13. Wolf PA, Dawber TR, Thomas HE, Kannel WB (1978). "Epidemiologic
assessment of chronic atrial fibrillation and risk of stroke: the Framingham
study". Neurology 28 (10): 973–7.
14. Firdaus I. Fibrilasi Atrium Pada Penyakit Hipertiroidisme. Patogenesis dan
Tatalaksana. Jurnal Kardiologi Indonesia; September 2007: Vol. 28, No. 5.
15. Guyton (1995). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. EGC: 287-305.
16. Ganong William F (1999). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17. EGC: 682-
712.
17. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson (2000). Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit) Buku 2, Edisi 4. EGC: 770-89, 813-93.

Anda mungkin juga menyukai