Anda di halaman 1dari 42

CLINICAL SCIENCE SESSION HERNIA INGUINALIS

Penyusun :

Shera Amalia Kholida

NPM : 12100118181

Preseptor : Krishna Pradananta, dr., Sp.B., FINACS

SMF ILMU BEDAH

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG

RSUD AL-IHSAN KABUPATEN BANDUNG 2019


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………….i
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian .............................................................. 1

BAB II ILUSTRASI KASUS


2.1 Identitas Pasien.............................................................................. 2
2.2 Anamnesis ..................................................................................... 2
2.3 Pemeriksaan Fisik ......................................................................... 5
2.4 Resume .......................................................................................... 9
2.5 Diagnosis Banding ........................................................................ 10
2.6 Pemeriksaan Penunjang ................................................................ 10
2.7 Diagnosis Kerja ............................................................................. 10
2.8 Tatalaksana.................................................................................... 11
2.9 Prognosis ....................................................................................... 11

BAB III KAJIAN KASUS

3.1 Kajian Diagnosis Kerja ................................................................. 13


3.1.1 HIV ....................................................................................... 13
3.1.2 Gastroenteritis Kronis .......................................................... 13
3.1.3 TB Paru ................................................................................ 14

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA


4.1 HIV ................................................................................................ 15
4.2 HIV Ko-infeksi ............................................................................. 28

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Human immunodeficiency virus (HIV) adalah sejenis virus yang


menyerang atau menginfeksi sel darah putih yang menyebabkan turunnya
kekebalan tubuh manusia. Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS)
adalah sekumpulan gejala penyakit yang timbul karena turunnya system
kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. Akibat menurunnya
kekebalan tubuh, maka orang tersebut akan mudah terserang berbagai infeksi
oportunistik yang sering berakibat fatal. Pengidap HIV memerlukan
pengobatan dengan Anti Retro Viral (ARV) untuk menurunkan jumlah virus
HIV dalam tubuh agar tidak memasuki stadium AIDS, sedangkan penderita
AIDS memerlukan ARV untuk mencegah terjadinya infeksi oportunistik. 1
Pada tahun 2015 diperkirakan terdapat 36,7 juta orang hidup dengan HIV
(ODHA), meningkat sebanyak 3,4 juta dibandingkan dengan tahun 2010.
Sebanyak 2,1 juta diantaranya merupakan kasus baru HIV. Namun dalam
laporan yang sama terjadi penurunan kematian. WHO mencatat sejak AIDS
ditemukan hingga akhir 2015 tercatat terdapat 34 juta orang meninggal, dan
di tahun 2015 tercatat sebesar 1,1 juta orang meninggal terkait dengan AIDS,
menurun dibandingkan tahun 2010 yang sebesar 1,5 juta kematian.1
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. W
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Pernikahan : Belum Menikah
Usia : 23 tahun
Agama : Islam
Alamat : Dusun Sonokembang RT.004/004
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Wiraswasta (pedangang)
Tanggal masuk RS : 19 November 2018
Tanggal pemeriksaan : 22 November 2018

2.2 Anamnesis
Dilakukan secara autoanamnesis
2.2.1 Keluhan utama : BAB cair sejak 1 bulan SMRS
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Sukabumi dengan keluhan BAB cair (diare)
sejak satu bulan yang lalu SMRS. Keluhan tersebut muncul secara perlahan-lahan,
pada saat pertama kali mengalami BAB cair, pasien mengatakan BAB nya kurang
lebih dirasakan 5 kali dalam sehari. Selain itu pasien juga merasakan keluhannya
dirasakan terus menerus dan semakin memburuk sampai pada satu hari sebelum
masuk Rumah Sakit BAB nya mencapai lebih dari 10 kali dalam sehari. Pasien
menyangkal diarenya disertai dengan lendir, darah, nanah, bau yang menyengat,
mual dan muntah. pasien juga menyangkal adanya nyeri dan panas pada saat
buang air besar. Pasien mengatakan keluhan seperti ini baru pertama kali
dirasakan oleh pasien dan belum pernah diobati sebelumnya.
Keluhan disertai nyeri yang awalnya dirasakan diseluruh bagian perut
sebelum masuk ke RS. Pada saat masuk ke RS pasien mengatakan bahwa nyeri
perutnya hanya dirasakan diperut kanan bawah, pasien mengatakan bahwa
nyerinya tidak menyebar dan nyerinya seperti ditusuk-tusuk jarum. Nyeri pada
bagian perut tersebut muncul bersamaan dengan keluhan diarenya. Nyeri tersebut
dirasakan terus menerus sampai sekarang. Selain itu keluhannya juga sertai
dengan adanya demam yang dirasakan pasien muncul bersamaan dengan keluhan
diarenya. Pasien mengatakan pada awal terjadinya demam, demamnya langsung
tinggi. Demam tersebut dirasakan terus-menerus sampai sekarang dan suhunya
naik turun. Demam tersebut dirasakan terus menerus sepanjang hari oleh pasien.
Keluhan demamnya disertai juga dengan menggigil. Selain itu pasien
mengeluhkan sering batuk-batuk sejak 1 bulan yang lalu sebelum masuk Rumah
Sakit bersamaan dengan keluhan diare yang pasien rasakan. Pasien mengatakan
keluhannya dirasakan terus-menerus dan semakin memburuk. Keluhan batuk
tersebut disertai juga dengan adanya nyeri pada bagian dada, badan terasa lemas,
sesak napas, berkeringat banyak pada saat malam hari, penurunan berat badan,
dan penurunan nafsu makan. Pada saat sebelum sakit, pasien mengatakan nafsu
makannya baik dan biasanya makan sebanyak tiga kali dalam sehari, pasien sering
memakan sayur-sayuran serta nasi, tahu, tempe, ikan, daging dan juga susu. sejak
1 bulan yang lalu, nafsu makannya menjadi menurun dan disertai dengan
penurunan berat badan. Berat badan saat satu bulan yang lalu 51 kilo gram dan
sekarang berat badannya mencapai 42 kilo gram. Keluhan tidak disertai dengan
batuk berdahak, berdarah, gangguan berkemih, infeksi pada bagian kulit dan
sariawan yang berulang.

Pasien memiliki riwayat sering melakukan hubungan seksual dengan


gonta-ganti pasangan. Perilaku tersebut sudah dilakukan sejak tahun 2015 pada
saat pasien tamat sekolah menengah atas sampai tahun 2017. Pasien mengatakan
melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, setiap seminggu satu kali atau
empat kali dalam sebulan. Pasien mengatakan melakukan hubungan seksual
dengan pacarnya melalui kemaluan. Pasien menyangkal melakukan hubungan
seksual melalui mulut dan dubur. Selain itu pasien juga mengatakan pernah
mengalami nyeri dan panas pada saat buang air kecil disertai dengan keluarnya
nanah dan darah dari kemaluannya pada saat tahun 2016. Keluhan tersebut sudah
pernah diobati di klinik dan sudah membaik. Pasien mengatakan pernah ditato
dibagian punggungnya pada saat pasien bekerja di Jakarta. Pasien menyangkal
memiliki riwayat konsumsi alkohol, merokok, konsumsi obat-obatan terlarang,
menggunakan obat suntik, dan ditransfusi darah.

Riwayat Pengobatan
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat gagal jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal
 Riwayat penyakit paru-paru disangkal
 Riwayat keluhan sesak dari kecil disangkal
 Riwayat keganasan disangkal
 Riwayat kolesterol tinggi disangkal
 Riwayat Asam urat tinggi disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat penyakit kuning disangkal
 Riwayat batu empedu disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat penyakit batuk rejan disangkal
 Riwayat penyakit paru disangkal
 Riwayat penyakit kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit jantung dikeluarga disangkal
 Riwayat penyakit Tuberkolosis disangkal
 Riwayat penyakit Pnemonia disangkal
 Riwaayat penyakit kuning disangkal
 Riwayat darah tinggi disangkal
 Riwayat berhubungan dengan orang yang memiliki penyakit paru
disangkal
 Riwayat penyakit paru di keluarga maupun pada orang serumah
disangkal
 Riwayat kolesterol tinggi di keluarga tidak diketahui
 Riwayat kadar asam urat tinggi di keluarga disangkal
 Terdapat riwayat keganasan pada keluarga yaitu ibunya meninggal
karena kanker payudara pada tahun 2010.

Riwayat Kebiasaan :
 Pasien menyangkal memiliki kebiasaan merokok
 Pasien menyangkal memiliki kebiasaan mengkonsumsi alkohol.
 Pasien menyangkal memiliki kebiasaan mengkonsumsi obat
terlarang.

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Pemeriksaan generalis:
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Laju Nadi : 120 bpm
Laju Nafas : 22 x/menit
Suhu : 38°C
Kepala : Normocephali, deformitas (-)
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor , refleks cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+)
Hidung : Deformitas (-), sekret (-/-), massa (-/-)
Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), massa (-/-)
Mulut : Mukosa oral basah, faring hiperemis (-), sianosis (-)
Lidah : Atrofi (-), tremor (-), lidah kotor (-), kandidiasis (+)
Leher :Trakea ditengah, pembesaran KGB (+) di posterior
cervical 6x4 cm, dengan cri-ciri tidak mobile, tidak nyeri dan tidak ada
tanda peradangan JVP 5 - 1 cmH2O.
Thorax
 Inspeksi :Pergerakan napas tampak simetris statis dan dinamis
 Palpasi :Pergerakan napas teraba simetris statis dan dinamis,
fremitus taktil kanan sama dengan kiri
 Perkusi : Sonor pada lapang paru kanan dan kiri, batas paru hepar
pada sela iga ke-5, dengan peranjakan 1 sela iga
 Auskultasi : Vesikuler pada lapang paru kanan dan kiri, ronkhi (-/-),
wheezing (-/-)
COR
 Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba pulsasi, tidak ada vibrasi dan kuat
angkat.
 Perkusi :
Batas atas : ICS III
Batas kanan : Sternal line dextra
Batas kiri : midclavicular line sinistra ICS 5
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II terdengar regular, murmur (-),
gallop (-)
Abdomen
 Inspeksi : tampak datar
 Auskultasi : Bising usus (+) 14 kali per menit
 Perkusi : Timpani pada seluruh regio abdomen, ruang trobe terisi.
 Palpasi : Supel, nyeri tekan (+) di right iliac region, tidak terdapat
hepatomegali, lien tidak teraba.
Punggung: normal
Ekstremitas: akral hangat, CRT < 2s, edema -/-/-/-
Kulit : Jaundice (-)

Pemeriksaan Neurolgis
1. Tanda perangsangan selaput otak
Kaku kuduk : negatif
Kernig : negatif
Brudzinski I : negatif
Brudzinski II : negatif
2. Tanda peningkatan tekanan intrakranial
Sakit kepala :-
Penglihatan kabur :-
Bradikardia :-
Papil edema : tidak dinilai
3. Saraf kranial
N. I (kanan/kiri) : tidak dinilai
N. II (kanan/kiri)
Asies visus : tidak dinilai
Lihat warna : tidak dinilai
Kampus visus : tidak dinilai
Funduskopi : tidak dinilai
N.III-IV-VI (kanan/kiri)
Kedudukan bola mata : di tengah / di tengah
Ptosis : -/-
Eks/enoftalmus : -/-
Diplopia : -/-
Gerak bola mata
Lateral : +/+
Medial : +/+
Atas : +/+
Bawah : +/+
Medial bawah : +/+
Pupil
Bentuk/besar : bulat, isokor 3mm/ 3mm
Refleks cahaya : langsung +/+, tidak langsung +/+
Refleks akomodasi : +/+
N. V (kanan/kiri)
Motorik
Membuka mulut : simetris
Menggerakkan rahang : simetris
Menggigit/mengunyah: simetris
Sensorik [raba, suhu, nyeri]
Oftalmikus : +/+
Maksilaris : +/+
Mandibularis : +/+
Refleks kornea : +/+
N.VII (kanan/kiri)
Raut wajah : simetris
Kerutan dahi : simetris
Angkat alis : simetris
Tutup mata rapat-rapat : simetris
Kembungkan pipi : simetris
Memperlihatkan gigi : simetris
Mencucukan bibir : simetris
Senyum : simetris
Rasa kecap 2/3 depan : tidak dinilai

N. VIII (kanan/kiri)
N. Vestibularis
Nystagmus : tidak dinilai
Vertigo : tidak dinilai
Tes Romberg : tidak dinilai
N. Koklearis
Tinitus : -/-
Gesekan jari : -/-
Tes Schwabach : tidak dinilai
Tes Rinne : tidak dinilai
Tes Weber : tidak dinilai
N. IX-X (kanan/kiri)
Suara (afoni/disfoni/normal) : normal
Menelan : baik
Batuk : baik
Refleks faring : tidak dinilai
Arkus faring
Istirahat : tidak ada lateralisasi
Fonasi : tidak ada lateralisasi
N. XI (kanan/kiri)
Menoleh (M. Sternokleidomastoideus) : baik
Angkat bahu (M. Trapezius) : baik
N. XII (kanan/kiri)
Disartria :-
Posisi lidah
Di dalam mulut : di tengah
Saat menjulur : di tengah
Gerak lidah
Ke kanan : normal
Ke kiri : normal
Fasikulasi :-
Atrofi :-
4. Motorik
Ekstremitas atas : 5/5
Ekstremitas Bawah : 5/5
5. Fungsi luhur
Tidak dilakukan
2. 4 Resume
Pasien datang ke IGD RSUD Sukabumi dengan keluhan BAB cair (diare),
tidak ada lendir, dan tidak ada darah sebanyak lebih dari 10 kali dalam sehari
sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan dirasakan terus menerus dan
semakin memburuk sejak 1 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan disertai
demam terus-menerus disertai dengan batuk-batuk, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan yang muncul bersamaan sejak 1 bulan sebelum masuk
Rumah Sakit. Pasien memiliki riwayat sering melakukan hubungan seksual
dengan bergonta-ganti pasangan sejak tahun 2015 sampai 2017. Pada tahun 2017
pasien pernah mengalami nyeri dan panas saat buang air kencing disertai dengan
keluar nanah dan darah dari kemaluannya.
2.5 Diagnosa Banding
1. HIV
2. TB Paru
3. Gastroenteritis Kronis
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium tanggal 19/11/18
Darah rurin
Hemoglobin 9,9 13-17 g/dl
Leukosit 9800 4000-10000
Hematokrit 32 40-50%
Eritrosit 4,1 4.4-6.0 juta
Index Eritrosit
MCV 78 80-100 fl
MCH 24 26-34 pg
MCHC 31 32-36 g/dl
Trombosit 296.000 150.000-450.000
Kimia Klinik
Glukosa Darah
GDS 131 <140 mg/Dl
Imunoserologi
Anti HIV Kualitatif Terlampir Nonreaktif

Rontgen Thorax
Kesan : Tampak TB paru aktif

2.7 Diagnosis Kerja


HIV+ TB Paru + Gastoenteritis Kronis
2.8 Tatalaksana
Infus tutofusim 20 tpm
New diatab 3 x 2 prn
Ceftriaxone 2 x 1 gr
Ranitidin 2x1 amp
Ondancentron 2x1 amp

2.9 Prognosis
Ad vitam : Dubia ad Malam
Ad functionam : Dubia Ad Malam
Ad sanctionam : Dubia Ad Malam

Follow Up
Laboratorium
Tanggal Nama pemeriksaan Hasil Nilai normal
19-11- Hemoglobin 9,9 13-17 g/dl
2018 Leukosit 9800 4000-10000
Hematokrit 32 40-50%

Eritrosit 4,1 4.4-6.0 juta

Index Eritrosit
MCV 78 80-100 fl
MCH 24 26-34 pg
MCHC 31 32-36 g/dl
Trombosit 296.000 150.000-450.000

Kimia Klinik
Glukosa Darah
<140 mg/Dl
GDS 131

Imunoserologi Terlampir Nonreaktif


Anti HIV Kualitatif
21-11- Kimia klinik
2018
AST (SGOT) 29 <37 g/dl
ALT (SGPT) 10 <42 g/dl

22-11- Mikrobiologi
2018
Jenis Sampel Sputum
Waktu dahak Pagi

Visual dahak Nanah, Lendir


Hasil Positif hasil
pemeriksaan TMC,
MTB detected
medium (positif),
Rif resistanca not
detected.
BAB III
KAJIAN KASUS

3.1 Kajian Diagnosa Kerja


A. Laki-laki, 23 tahun dengan HIV
 Diare satu bulan
 Demam satu bulan
 Batuk satu bulan
 Penurunan berat badan yang mencolok dari 51 kg sampai 42 kg
 Kandidiasis oral
 TB Paru
Anamnesis : memiliki riwayat hubungan sexual dengan bergonta-ganti
pasangan dari tahun 2015-2017.
Pemeriksaan Fisik
- Pembesaran KGB 6x4 cm di posterior cervikal
- Kandidiasis oral
 Dari pemeriksaan Lab menunjukan : HIV terlampir
 Diagnosis : Human Immunodeficiency Virus (HIV)

Usulan pemeriksaan :

- Laboratorium : darah rutin, kimia klinik (fungsi hepar), immunoserologi,


mikrobiologi
- Thorax

Tatalaksana :

Anti Retroviral (pengobatan HIV Co-infection TB)

B. laki-laki , 23 tahun dengan gastroenteritis kronis

 Diare satu bulan atau lebih dengan konsistensi cair, tidak berlendir dan
tidak berdarah.
 Tatalaksana
New diatab 3x2 prn.
C. laki-laki , 23 tahun dengan TB Paru

 Demam lebih dari 7 hari


 Berkeringat pada malam hari
 Nyeri dada
 Sesak nafas
 Batuk lebih dari dua minggu
 Penurunan berat badan
 Badan terasa lemas

 Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium : pemeriksaan sputum SPS
 Usulan pemeriksaan gen Xpert
 Tatalaksana : OAT katagori 1
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 HIV/AIDS
4.1.1 Definisi
HIV atau Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang
sistem kekebalan tubuh manusia (terutama CD4 positif T-sel dan makrofag–
komponen-komponen utama sistem kekebalan tubuh), dan menghancurkan atau
mengganggu fungsinya yang berdampak pada penurunan sistem kekebalan tubuh
sehingga menimbulkan satu penyakit yang disebut AIDS. HIV menyerang sel-sel
darah putih, sel-sel darah putih itu merupakan bagian dari sitem kekebalan tubuh
yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan penyakit. Manusia yang terinfeksi
HIV akan berpotensi sebagai pembawa (carrier) dan menularkan virus tersebut
selama hidupnya. AIDS (Aqquired Immune Deficiency syndrom) merupakan
kumpulan gejala penyakit spesifik yang disebabkan oleh rusaknya system
kekebalan tubuh oleh virus HIV.2

4.1.2 Epidemiologi
Di Indonesia, HIV/AIDS pertama kali ditemukan di Provinsi Bali tahun
1987. HIV/AIDS telah menyebar diseluruh Indonesia. Dalam jangka waktu 5
tahun (2009-2014) infeksi HIV paling banyak terjadi di usia produktif yaitu (25-
49 tahun) dengan jumlah pria lebih banyak terinfeksi dibandingkan dengan
perempuan.
4.1.3 Faktor Risiko HIV
Faktor risiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Perilaku berisiko tinggi :
 Hubungan seksual dengan pasangan berisiko tinggi tanpa menggunakan
kondom
 Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum secara bersama
tanpa sterilisasi yang memadai.
 Hubungan seksual yang tidak aman : multi partner, pasangan seks individu
yang diketahui terinfeksi HIV, kontak seks per anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang tidak
disterilisasi.
Virus HIV berada terutama dalam cairan tubuh manusia. Cairan yang
berpotensial mengandung virus HIV adalah darah, cairan sperma, cairan vagina
dan air susu ibu. Sedangkan cairan yang tidak berpotensi untuk menularkan virus
HIV adalah cairan keringat, air liur, air mata dan lain-lain.

4.1.4 Etiologi

HIV/Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh


Human Immunodeficiency Virus (HIV). HIV adalah virus sitopatik yang
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentivirinae, genus
Lentivirus. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid (RNA) dengan berat molekul
9,7 kb (kilobases). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri
atas glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya
terdapat lapisan kedua yang terdiri dari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV
yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa
dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang
terdiri atas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya
infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik
CD4 dari sel Host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu
membran selubung yang mengandung protein.
Jenis virus RNA dalam proses replikasinya harus membuat sebuah salinan
Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dari RNA yang ada di dalam virus. Gen DNA
tersebut yang memungkinkan virus untuk bereplikasi. Seperti halnya virus yang
lain, HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel induk. Di dalam inti virus juga
terdapat enzim-enzim yang digunakan untuk membuat salinan RNA, yang
diperlukan untuk replikasi HIV yakni antara lain: reverse transcriptase, integrase,
dan protease. RNA diliputi oleh kapsul berbentuk kerucut terdiri atas sekitar 2000
kopi p24 protein virus. Dikenal dua tipe HIV yaitu HIV -1 yang ditemukan pada
tahun 1983 dan HIV-2 yang ditemukan pada tahun 1986 pada pasien AIDS di
Afrika Barat.
Epidemi HIV secara global terutama disebabkan oleh HIV-1, sedangkan
HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya, hanya terdapat di Afrika Barat dan
beberapa negara Eropa yang mempunyai hubungan erat dengan Afrika Barat.
HIV-1 dan HIV-2 mempunyai struktur yang hampir sama tetapi mempunyai
perbedaan struktur genom. HIV-1 punya gen vpu tapi tidak punya vpx, sedangkan
HIV-2 sebaliknya. Perbedaan struktur genom ini walaupun sedikit, diperkirakan
mempunyai peranan dalam menentukan patogenitas dan perbedaan perjalanan
penyakit diantara kedua tipe HIV. Karena HIV-1 yang lebih sering ditemukan,
maka penelitian – penelitian klinis dan laboratoris lebih sering sering dilakukan
terhadap HIV-1. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresifitas
penyakit infeksi HIV ke AIDS. Sel T yang terinfeksi tidak akan berfungsi lagi dan
akhirnya mati. Infeksi HIV ditandai dengan adanya penurunan drastis sel T dari
darah tepi.3
4.1.5 Patogenesis

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang hanya dikendalikan


sebagian oleh respon imun spesifik dan berlanjut menjadi infeksi kronis progresif
pada jaringan limfoid perifer. Perjalanan penyakit dapat dipantau dengan
mengukur jumlah virus dalam serum pasien dan menghitung jumlah CD4 dalam
darah tepi. Sel T CD4, monosit yang ada di dalam darah, sel CD4 dan makrofag
yang ada dalam jaringan merupakan sel yang pertama kali di infeksi. Virus HIV
akan dikenali oleh sel denritik yang berperan sebagai APC, kemudian menyebar
ke jaringan limfoid menuju nodus limfatik. Setelah itu nanti virus HIV akan
dikenalkan pada sel T melalui kontak antar sel. Dalam beberapa hari saja jumlah
virus dalam kelenjar limfoid berlipat ganda dan mengakibatkan viremia sehingga
virus menyebar diseluruh tubuh dan menginfeksi sel T, monosit, maupun
makrofag dalam jaringan limfoid perifer. Kemudian sistem imun spesifik akan
berupaya mengendalikan infeksi yang tampak dengan adanya penurunan kadar
viremia, walaupun masih tetap dapat terdeteksi. Infeksi akut awal ditandai oleh
infeksi sel CD4 memori yang mengekspresikan reseptor CCR5 dalam jaringan
limpoid mukosa dan kematian banyak sel yang terinfeksi. Setelah infeksi akut
selanjutnya berlangsunglah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limfa
merupakan tempat replikasi virus dan destruksi jaringan secara terus menerus.
Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan jumlah sel T-CD4
menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, gatal – gatal. Selama periode
ini sistem imun dapat mengendalikan sebagian besar infeksi, karena itu fase ini
disebut fase laten. Pada fase laten atau pada fase yang kedua ini merupakan
infeksi HIV yang asimptomatik atau pasien yang terinfeksi HIV tidak
menunjukkan gejala atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang. Di
fase ini juga hanya sedikit virus yang diproduksi dan sebagian besar sel T dalam
darah tidak mengandung virus. Walaupun demikian, destruksi sel T dalam
jaringan limfoid terus berlangsung sehingga jumlah sel T makin lama makin
menurun hingga 500-200 sel/mm3. Jumlah sel T dalam jaringan limfoid adalah
90% dari jumlah sel T diseluruh tubuh. Pada awalnya sel T dalam darah perifer
yang rusak oleh virus HIV dengan cepat diganti oleh sel baru tetapi destruksi sel
oleh virus HIV yang terus bereplikasi dan menginfeksi sel baru selama masa laten
akan menurunkan jumlah sel T dalam darah tepi. Selama masa kronik progresif,
respon imun terhadap infeksi lain akan merangsang produksi HIV dan
mempercepat destruksi sel T. Selanjutnya penyakit menjadi progresif dan
mencapai fase letal yang disebut AIDS, pada saat destruksi sel T dalam jaringan
limfoid perifer lengkap dan jumlah sel T dalam darah tepi menurun hingga
dibawah 200/mm3. Viremia meningkat drastis karena replikasi virus di bagian lain
dalam tubuh meningkat. Pasien menderita infeksi opportunistik, cachexia,
keganasan dan degenerasi susunan saraf pusat. Kehilangan limfosit Th
menyebabkan pasien peka terhadap berbagai jenis infeksi dan menunjukkan
respon imun yang infektif terhadap virus onkogenik. Selain tiga fase tersebut ada
masa jendela yaitu periode di mana pemeriksaan tes antibodi HIV masih
menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah ada dalam darah pasien dengan
jumlah yang cukup banyak. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6
minggu hingga 12 minggu setelah infeksi primer. Periode jendela sangat penting
diperhatikan karena pada perode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial
menularkan HIV kepada orang lain.3
4.1.6 Cara Penularan HIV/AIDS
Cara Penularan HIV/AIDS Menurut Departemen kesehatan RI (2008)
penularan HIV/AIDS melalui 3 cara yaitu:
1. Penularan seksual secara umum dapat dikatakan, hubungan seksual
adalah cara penularan HIV/AIDS yang paling sering terjadi. Virus dapat
ditularkan dari seseorang yang terinfeksi kepada pasangan seksualnya, baik itu
sesama jenis (Homoseks) kelamin atau sebaliknya berbeda jenis kelamin
(Heteroseks), atau ada yang mendonorkan semennya kepada orang lain.
Hubungan seksual tersebut adalah hubungan seksual dengan penetrasi penis-
vagina, penis-anus atau kontak mulut. Resiko terinfeksi HIV/AIDS melalui
hubungan seksual tergantung kepada beberapa hal:
a. Kemungkinan bahwa pasangan seksual terinfeksi HIV. Angka kejadian
infeksi HIV pada penduduk seksual aktif sangat bervariasi antara satu daerah
dengan daerah lainnya, juga berbeda antara satu kelompok penduduk dengan
kelompok penduduk lainnya dalam satu daerah. Kemungkinan proporsi seseorang
terinfeksi HIV terbanyak melalui hubungan heteroseksual maka kelompok
masyarakat yang beresiko untuk terinfeksi HIV adalah PSK dan laki-laki yang
sering kali melakukan hubungan seks dengan PSK.
b. Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual berganti-ganti
pasangan. Semua hubungan seksual yang dilakukan dengan cara berganti-ganti
pasang mempunyai resiko penularan infeksi HIV. Namun, resiko tertinggi
terjadinya infeksi HIV pada pria dan wanita ialah mereka yang berlaku sebagai
penerima dari hubungan seksual anal dengan pasangan seksual yang terinfeksi
HIV. Hubungan cara vaginal kemungkinan membawa resiko tinggi bagi pria dan
wanita heteroseksual dari pada oral-genital. Kontak oral-genital memungkinkan
penularan HIV.
2. Penularan parental ini terjadi melalui transfusi dengan darah yang
terinfeksi HIV atau produk darah atau penggunaan jarum yang terkontaminasi
dengan HIV atau peralatan lain yang melukai kulit.
3. Penularan perinatal dari seorang wanita kepada janin yang
dikandungnya atau bayinya. Penularan ini dapat terjadi sebelum, selama, atau
beberapa saat setelah bayi dilahirkan. Resiko penularan HIV dalam rahim ibu atau
selama proses kelahiran sebesar 20-40%.
HIV Tidak akan menular jika :
 Berjabat tangan
 Berangkulan
 Berpelukan
 Digigit nyamuk atau Serangga
 Bersentuhan
 Berenang bersama
 Tinggal serumah dengan ODHA
 Menggunakan toilet yang sama
 Memakai alat makan & minum yang sama.

4.1.7 Manifestasi klinis


Sindroma HIV akut adalah istilah untuk tahap awal infeksi HIV. Gejalanya
meliputi demam, lemas, nafsu makan turun, sakit tenggorokan (nyeri saat
menelan), batuk, nyeri persendian, diare, pembengkakkan kelenjar getah bening,
bercak kemerahan pada kulit (makula/ruam). Adapun gejala dan tanda kecurigaan
terhadap AIDS adalah sebagai berikut:
4.1.8 Diagnosis HIV/AIDS
 Indikasi tes HIV menurut Permenkes No. 21 tahun 2013:
1. Setiap orang dewasa, anak, dan remaja dengan kondisi medis yang
diduga terjadi infeksi HIV terutama dengan riwayat tuberkulosis dan IMS
2. Asuhan antenatal pada ibu hamil dan ibu bersalin
3. Laki-laki dewasa yang meminta sirkumsisi sebagai tindakan pencegahan
HIV
4.1.9 Penatalaksanaan HIV/AIDS
Tujuan terapi HIV antara lain:
 Menurunkan jumlah virus dalam darah sampai tidak terdeteksi dan
mempertahankannya
 Memperbaiki kualitas hidup
 Mencegah infeksi oportunistik
 Mencegah progresi penyakit
 Mengurangi transmisi kepada yg lain

Rekomendasi inisiasi pemberian ART menurut permenkes No 87 tahun 2014


Bukti ilmiah tingkat global menunjukkan bahwa ODHA yang mendapat ART
sangat kecil kemungkinannya untuk menularkan HIV dibanding mereka yang
tidak diobati (hasil uji HPTN 052). Jika viral load dapat ditekan dan tidak ada
IMS, mereka yang mendapat ART hampir tidak menularkan HIV. ART tidak
hanya menguntungkan seseorang dalam pengobatan, tapi juga menurunkan
epidemi HIV di masyarakat.
Golongan obat ARV

Panduan obat ARV lini pertama


Pengobatan ARV lini kedua

TDF 300mg 1x sehari


3TC 1x 300 mg atau 2x 150 mg
FTC 1x 200 mg
EFV 1x 600 mg
AZT 2 x 300 mg
NVP lead dose untuk 14 hari = 1x 200 mg, setelah 14 hari dan tidak ada ruam
kulit 2x 200 mg.
Pengobatan ARV lini ketiga

Efek samping obat ARV


4.1.10 Koinfeksi pada Pasien HIV/AIDS
Infeksi sekunder merupakan komplikasi infeksi HIV yang timbul pada
stadium lanjut, biasanya terjadi pada pasien dengan jumlah sel T CD4 < 200µL.
Sekitar 80 persen pasien HIV/AIDS meninggal karena infeksi oportunistik
sebagai penyebab utamanya. Penyebab infeksi oportunistik pada HIV/AIDS bisa
berupa infeksi protozoa, bakteri, virus, maupun jamur. Infeksi yang tersering
antara lain tuberkulosis, toxoplasmosis dan cytomegalovirus. Infeksi sekunder
merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada pasien HIV/AIDS.

4.1.11 Tuberkulosis pada pasien HIV/AIDS


Tuberkulosis (TB) adalah penyakit penanda timbulnya Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS) serta penyebab kematian yang utama dari
infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)/AIDS. Mycobacterium
tuberculosis adalah agen menular yang dapat muncul sebagai reaktivasi infeksi
laten pada pasien imunokompromais atau sebagai infeksi primer setelah penularan
dari orang ke orang pada berbagai stadium HIV.
Laporan WHO memperkirakan sebanyak 1,2 juta penderita HIV/ AIDS
terjangkit TB baru (insiden) pada tahun 2015. Insiden keseluruhan TB sendiri,
baik HIV maupun non HIV, di dunia diperkirakan mencapai 10,4 juta orang.
Kematian penderita TB pada pasien HIV (TB-HIV) di dunia diperkirakan
mencapai 360.000 pertahunnya. Kematian tersebut melebihi seperempat dari total
kematian akibat TB. Data ini menunjukkan bahwa TB pada pasien HIV 2,5 kali
lebih mematikan daripada non HIV. Dengan melihat laporan WHO tahun 2012,
bahwa di Indonesia terdapat 15.000 kasus tuberkulosis pada pasien HIV baru,
maka Indonesia menyumbang hampir 1,5% pertambahan kasus TB-HIV di dunia.
Data di klinik Unit Pelayanan Terpadu (UPT) HIV di Rumah Sakit dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) menunjukkkan lebih dari sepertiga pasien HIV/AIDS
menderita TB. TB juga dapat menimbulkan reaksi akibat kembalinya konstitusi
imun bila pasien terinfeksi HIV mendapat anti retro viral (ARV).
Tuberkulosis akan memperberat kondisi pasien dengan infeksi HIV
sehingga mempersulit penatalaksanaannya dan dapat menyebabkan kematian
tetapi penyakit ini dapat disembuhkan bila ditemukan lebih awal dan diberikan
pengobatan dengan tepat. Penegakan diagnosis baik dengan orang pada HIV
negative maupun dengan HIV positif pada dasarnya sama. Pada umumnya
didasarkan pada pemeriksaan mikroskopik dahak namun pada ODHA dengan TB
sering kali diperoleh sputum BTA yang negatif.
 Manifestasi klinis TB paru pada ODHA dewasa
Gejala klinis TB paru pada ODHA sering kali tidak spesifik. Gejala klinis yang
sering ditemukan ada 5 gejala utama, yaitu:
- Batuk (berapapun lamanya)
- Berat badan menurun (lebih dari 10 dalam 4 bulan)
- Demam
- Keringat malam
- Gejala TB ekstra paru
 Diagnosis TB paru pada ODHA
- Pemeriksaan mikroskopik langsung
Melalui pemeriksaan dahak sewaktu pagi sewaktu
- Pemeriksaan tes cepat TB (Xpert MTB/Rif)
- Pemeriksaan biakan dahak
- Pemberian antibiotic sebagai alat bantu diagnosis pada ODHA
tidak direkomendasikan lagi
- Pemeriksaan poto toraks

 Pengobatan TB pada ODHA


Semua pasien TB (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah
diobati harus diberi panduan OAT lini pertama katagori satu
 Pemberian ARV pada pasien koinfeksi TB-HIV

Prinsip pengobatan ODHA dengan TB adalah mendahulukan awal pemberian


pengobatan TB, dan pengobatan ARV dimulai sesegera mungkin dalam waktu 2-8
minggu setelah kondisi baik, tidak timbul efek samping dari OAT, diberikan
berapapun nilai CD4 yang dimilikinya, tetapi apabila jumlah CD4 kurang dari 50
sel/mm3 maka ARV diberikan dalam 2 minggu pertama pengobatan OAT,
sedangkan pada TB meningitis pemberian ARV diberikan setelah fase intensif
selesai.

Efavirenz (EFV) merupakan golongan NNRTI yang baik digunakan untuk


panduan ARV pada ODHA dalam terapi OAT. Efavirenz direkomendasikan
karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih ringan dibandingkan
nevirapin.

1. Pengobatan TB pada ODHA yang belum dalam pengobatan ARV


Pada prinsipnya pengobatan TB pada pasien koinfeksi TB-HIV harus
diberikan segera dan pengobatan ARV dimulai setelah pengobatan TB
ditoleransi tanpa menilai stadium atau nilai CD4, ditandai dengan kondisi
klinis dan fungsi hati baik, dianjurkan diberikan paling cepat 2 minggu dan
paling lambat 8 minggu.

2. Pengobatan TB pada ODHA sedang dalam pengobatan ARV


Bila pasien sedang dalam pengobatan ARV lini pertama, pengobatan TB
dapat langsung diberikan. Jika pasien menggunakan nevirapin, sebaiknya di
substitusi dengan efavirenz selama pemberian rifampicin. Jika pasien dalam
pengobatan ARV lini kedua sebaiknya dirujuk ke PDP untuk diatur rencana
pengobatan TB bersama dengan pengobatan ARV (pengobatan koinfeksi TB-
HIV).
Terapi HIV kemudian TB muncul
Untuk pemantauan, direkomendasikan untuk dilakukan pemeriksaan CD4
pada awal terapi dengan ARV. Selanjutnya, pemeriksaan diulang setelah 6 bulan.
Jika memungkinkan dapat diperiksa viral load HIV pada 6 bulan pertama setelah
inisiasi ARV. Pemeriksaan viral load selanjutnya cukup dilakukan setiap 12 bulan
(WHO, 2013).4

 Efek samping pemberian obat TB


Diare pada HIV dapat terjadi pada semua stadium klinis, baik stadium dini
maupun lanjut. Pada tahap awal HIV biasanya diare ringan, intermiten dan dapat
sembuh sendiri tanpa pengobatan. Pada tahap lanjut, bersamaan dengan fungsi
imun tubuh yang semakin menurun, diare menjadi kronik, terjadi penurunan berat
badan serta malnutrisi. Derajat supresi imun pada HIV selama ini dikaitkan
dengan peningkatan resiko terjadinya manifestasi diare yang kronis atau persisten
(Yogev, 2004; Miller, 2011). Cryptosporidium sp merupakan pathogen oprtunistik
karena paling sering menyebabkan penyakit nila status imun hospes menurun.
Gejala klinis dan berat penyakit kriptosporidiosis berkaitan erat dengan status
kekebalan tubuh hospes dengan diare merupakan manifestasi klinis utama. Pada
individu imunokompeten, diare yang disebabkan oleh kriptosporidium sp bersifat
self limiting sedangkan pada individu imunokompromais diare bersifat kronis.
Kriptosporidium sp dapat menyebar ke organ lain seperti saluran pernapasan
karena memiliki kemampuan autoinfeksi internal sehingga harus dilakukan
deteksi sedini mungkin.

Antibiotik golongan quinolon diberikan sebagai terapi empirik pada diare


kronik dengan feses tanpa darah pada pasien dengan infeksi HIV (Elfstrand et al,
2010; Kemenkes RI, 2011). Obat kumur amphotericin B 0.1 mg/ml diberikan
untuk kandidiasis oral. Obat topikal untuk kandidiasis oral lebih disukai karena
mengurangi resiko efek samping. Penggunaan nystatin tidak disarankan karena
tidak bisa ditahan dalam mulut cukup lama. Obat kumur anti fungi yang diberikan
hendaknya ditahan didalam mulut selama 20-30 menit.
4.1.12 Koinfeksi HIV-Hepatitis B

Koinfeksi HIV dengan HBV secara bermakna dapat mempengaruhi


perjalanan alamiah virus hepatitis B. ODHA dengan infeksi hepatitis B kronik
memiliki jumlah HBV DNA yang lebih tinggi. Adanya HIV berperan dalam
meningkatkan risiko terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler, sehingga
penyakit hati berperan sebagai penyebab terbesar kematian ODHA. Tingginya
angka morbiditas dan mortalitas terkait penyakit hati pada ODHA dengan
koinfeksi HBV disebabkan oleh beberapa hal, yaitu peningkatan replikasi virus
hepatitis B, penurunan kejadian bersihan spontan HBeAg, peningkatan risiko
infeksi hepatitis B kronik, dan peningkatan progresivitas penyakit hati. Skrining
antibodi virus hepatitis C (HCV) dan hepatitis A (IgG antibodi hepatitis A)
sebaiknya dilakukan pada setiap ODHA dengan koinfeksi hepatitis B. Bila tidak
ditemukan infeksi lama, maka dapat diberikan vaksin virus hepatitis A (HAV).

Semua ODHA dilakukan pemeriksaan HBsAg. Bila HBsAg positif


dianjurkan melakukan pemeriksaan HBeAg, jumlah HBV DNA, pemeriksaan
fungsi hati, waktu protrombin dan trombosit. Pemeriksaan tersebut digunakan
untuk menilai kondisi hati. ODHA dengan HBeAg negatif dianjurkan untuk
menjalani pemeriksaan antibodi HBc dan antibodi HBs untuk menilai ada atau
tidaknya infeksi di masa lampau. Bila antibodi HBc positif, maka ODHA
memiliki risiko mengalami reaktivasi, khususnya pada keadaan imunosupresi.
Koinfeksi HBV pada ODHA berapapun jumlah CD4-nya mempunyai indikasi
untuk memulai pengobatan ARV. Pilihan pengobatan ODHA dengan koinfeksi
HBV adalah pemberian paduan ARV yang terdiri dari dua obat yang aktif
terhadap HIV dan HBV, tanpa memandang jumlah HBV DNA. Pilihannya adalah
kombinasi Tenofovir dengan salah satu dari Lamivudin atau Emtricitabin, dengan
tujuan menghindari kejadian HBV IRIS. Pemantauan selama pengobatan
bertujuan untuk menilai keamanan penggunaan obat, ketaatan minum obat dan
respons terapi. Respons terapi HBV yang baik bila ditandai dengan: Serum SGPT
normal, Kadar HBV DNA terus menurun (menurun < 1 log DNA HBV setelah 3
bulan terapi dan jumlah virus < 200 IU/ml dalam waktu jangka panjang)
Penghentian terapi kombinasi ARV pada koinfeksi HIV-HBV harus
dihindari karena dapat menyebabkan gangguan fungsi hati yang berat hingga
gagal hati akut (hepatic flare). Pada kejadian efek samping obat, misalnya alergi
EFV atau NVP, terapi Tenofovir dan Lamudin/Emtricitabin tetap dilanjutkan.
Demikian juga ketika switch paduan ARV ke lini kedua, terapi HBV tetap
dilanjutkan. Target pengobatan HBV adalah kadar HBV DNA < 60 IU/ml (< 300
kopi/ml) setelah pengobatan 24 minggu dan selama monitor selama 6 bulan
kemudian HBV DNA tidak terdeteksi.

Klasifikasi respons terapi hepatitis B pada ODHA koinfeksi HBV sama


dengan monoinfeksi HBV. Namun, mengingat terapi kombinasi antivirus pada
koinfeksi HIV-HBV tidak dihentikan seperti pada monoinfeksi hepatitis B serta
proporsi ODHA yang mencapai target terapi terus bertambah setiap tahun,
penentuan kegagalan terapi HBV sebaiknya tidak dilakukan dalam sekali
pemeriksaan. Bila tenofovir tidak dapat diberikan karena terdapat kontraindikasi
atau kegagalan terapi HBV, maka alternatif obat yang direkomendasikan adalah
penambahan Entecavir pada regimen ARV yang efektif untk menekan virus HIV.
Pilihan lain adalah penambahan pegylated Interferon (Peg-IFN) atau Adefovir
atau Telbivudin pada regimen ARV yang efektif menekan virus HIV.
Gagal Terapi ARV

1. Kegagalan klinis Munculnya IO dari kelompok stadium 4 setelah minimal 6


bulan dalam terapi ARV, yaitu TB paru dan infeksi bakteri berat

2. Kegagalan Imunologis Gagal mencapai & mempertahankan jumlah CD4 yang


adekuat, walaupun telah terjadi penurunan jumlah virus.

3. Kegagalan Virologis Jika viral load tetap > 5.000 copies/ml atau viral load
menjadi terdeteksi lagi setelah sebelumnya tidak terdeteksi.

Kriteria klinis untuk gagal terapi yang timbul dalam 6 bulan pertama
pengobatan tidak dapat dijadikan dasar untuk mengatakan gagal terapi. Perlu
dilihat kemungkinan penyebab lain timbulnya keadaan klinis tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. In 2016. p. 2.


Kementrian Kesehatan RI.Jakarta;2016
2. Kathryn L. McCance, Sue E. Huether; section editors, Valentina L.
Brashers NSR. The Biologic Basic For Disease In Adult And Children.
sixth edit. United States of America; 2010. 1452-3 p.
3. Kumar, Vinay, Abul K. Abbas JCA. Robbins and Cotran Pathologic Basic
of Dosease. ninth. Canada: elsevier; 2015.
4. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Tentang Pedoman
Antiretroviral. Jakarta; 2014.

Anda mungkin juga menyukai