Anda di halaman 1dari 41

ASUHAN KEPERAWATAN PADA TN.

A
DENGAN DIAGNOSA MEDIS: CLOSE FRAKTUR DEXTRA
TIBIAL PLATEU DI RUANG KEMUNING 5B RSUP. HASAN
SADIKIN BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah


Comprehensive Medical Surgical Analisys Nursing

Dosen :
Dosen :
Kusman Ibrahim, S.Kp., MNS., Ph.D
Bambang Aditya, S.Kep., Ners., M.Kep
Ners., M.Kep
Hesty Platini, S.Kep.,Ners, M.Kep
Sri Hartati, S.Kep., Ners., M.Kep

Disusun oleh

Ade Iwan Mutiudin 220120180009

PEMINATAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2019
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Identitas
Tanggal Pengkajian : Kamis, 14 November 2019
Tanggal masuk : Sabtu, 9 November 2019
Ruang/Kelas : Kemuning 5B
No. Register : 0001800720
Diagnosa Medis : Close fraktur dextra Tibial Plateu
1. Identitas Klien
Nama : Tn. A (L)
Tanggal lahir : 17 Januari 1988
Umur : 31 Tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Agama : Islam
Suku / bangsa : Sunda / WNI
Alamat : Kp. Rajamandala Kec. Pinang Kota Tangerang
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama : Tn. G (L)
Umur : 40 Tahun
Hub. dgn klien : Kakak Klien

B. Riwayat Kesehatan
1. Keluhan utama
Nyeri kaki fraktur sebelah kanan
2. Riwayat kesehatan sekarang
Klien mengatakan 3 jam SMRS pada saat sedang mengendarai motor
beserta teman-teman kompoinya, pasien tertabrak sebuah truk yang
mengambil arah yang berlawanan, sehingga mengakibatkan kecelakaan
beruntun, kemudian klien jatuh dari motor dengan posisi lutut kanan
tertimpa motor. Kemudian klien dibawa ke RSHS bandung untuk

29
mendapatkan pengobatan dan perawatan lebih lanjut. Setelah dilakukan
tindakan x-ray thorax AP+Pelpis AP+Femur sebelah kanan dengan hasil
positif fraktur intraartikular, maka pasien harus menjalani rawat inap dan
menunggu untuk jadwal operasi di ruang kemuning 5.
Pada saat dilakukan pengkajian tanggal 13 November 2019 pukul 12.00
WIB. Klien saat ini mengeluh nyeri kaki sebelah kanan, nyeri bertambah
pada saat klien bergerak dan berkurang pada saat klien merasa relaks, nyeri
seperti di tusuk-tusuk, skala 5 (0-10), nyeri dirasakan menetap secara terus
menerus. Ekspresi wajah meringis, pasien tidak dapat istirahat/tidur,
pasien juga cemas menunggu penjadwalan operasi yang menurutnya
terlalu lama karna sudah 5 hari setelah masuk RS penjadwalan operasi
belum ada kepastian. Klien ingin menjalani operasi lebih cepat agar bisa
cepat sembuh.
3. Riwayat kesehatan dahulu
Klien tidak pernah mengalami patah tulang, klien juga tidak mempunyai
riwayat alergi makanan maupun obat, dan sering memeriksakan keadaanya
ke pelayanan kesehatan terdekat jika merasa sakit.
4. Riwayat kesehatan keluarga
Menurut keterangan klien, didalam anggota keluarganya tidak ada yang
mempunyai riwayat penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi, jantung
atau penyakit lainya.
5. Riwayat psikososial dan spiritual
a. Riwayat psikososial
1) Pola konsep diri
 Ideal diri : Klien mengatakan ingin cepat sembuh dan
berkumpul dengan keluarga besarnya
 Identitas diri : Klien adalah seorang ayah dari istri dan ke dua
anaknya
 Harga diri : Klien merasa pasrah dengan keadanya
 Gambaran diri : Klien mengatakan keadaan yang dideritanya
saat ini ialah cobaan dari Allah dan yakin akan diberi
kesembuhan atau kesehatan kembali
2) Pola koping : Klien nampak menerima dan pasrah dengan
keadaanya
3) Pola kognitif : Daya pikir dan daya ingat klien baik, klien
memahami keadaanya
4) Pola interaksi : Selama interaksi klien menunjukkan sikap
kooperatif dan perilaku bersahabat baik dengan perawat ataupun
orang sekitar yang ada diruangan
b. Riwayat spiritual
Klien beragama islam, meskipun adanya keterbatasan gerak, selama
dirawat klien masih bisa menjalankan ibadah seperti bisanya.

6. Riwayat ADL
Activity daily living
No Jenis Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
1. Pola Nutrisi dan
Cairan
Makan
 Jenis  Lauk-pauk-sayur  Bubur sumsum
 Frekuensi  3 x sehari  3 x 1 hari
 Pantangan  porsi habis  Tidak ada
 Keluhan  Tidak ada  Tidak ada

Minum
 Jenis  Air putih  Air putih
 Jumlah cairan  ±10 gelas/hari  4-5 gelas/hari
 Tidak ada  Tidak ada
 Keluhan
2. Pola Eliminasi
BAK
 Frekuensi  5-7 x sehari  3-4 x sehai
 Warna  Kuning jernih  Kuning jernih

BAB
 Frekuensi
 2 x sehari  1 x sehari
 Warna  Kuninga
 Konsistensi  Kuning
 Lembek  Lembek
3. Pola istirahat tidur
Siang
No Jenis Kegiatan Sebelum sakit Saat sakit
 Kuantitas  Jarang tidur siang  Tidak teratur
 Kualitas  Nyenyak  Kurang nyenyak

Malam
 Kuantitas  Teratur  Tidak teratur
 Kualitas  Baik  Kurang baik
4. Personal Hygiene
Kebersihan
 Kulit  Bersih tidak ada  Ada fraktur bagian
lesi ekstremitas bawah
kanan
 Gigi  2x/hari  Menyikat gigi 2 x
sehari
 Rambut  Keramas tiap hari  Keramas setiap
 Bersih 2x/hari
 Kuku  Bersih  kuku sedikit panjang
dan kotor
Activity Daily Living klien selama di rs dengan tingkat ketergantungan
sebagian (Skor 98) sesuai tabel dibawah ini:
No Kriteria Dengan Mandiri
bantuan
1. Makan 5 10
2. Minum 5 10
3. Berpindah dari kursi roda ke 5-10 10
tempat
tidur dan sebaliknya
4. Personal toilet ( cuci muka, 5 10
menyisir
rambut, gosok gigi)
5. Keluar masuk toilet ( mencuci 5 5
pakaian, menyeka tubuh,
menyiram)
6. Mandi 5 5
7. Jalan dipermukaan datar 5 10
8. Naik turun tangga 5 5
9. Mengenakan pakaian 5 10
10. Kontrol BAB 5 10
11. Kontrol BAK 5 5
12. Olah raga/latihan 5 5
13. Rekreasi/pemanfaatan waktu 5 5
luang
Keterangan:
 Skor 130 : Mandiri
 Skor 65-125 : Ketergantungan sebagian
 Skor 60 : Ketergantungan Total

C. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis, GCS 15 (E4 V5 M6)
Tanda – tanda vital : T : 120/90 mmHg
P : 90 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,7º C
2. Review of system
a. System respirasi
Inspeksi : Hidung tampak bersih, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, pergerakan dada
simetris, tidak ada retraksi dinding dada, tidak ada
batuk, tidak ada sesak nafas, frekuensi nafas 20
x/menit
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, dan tidak ada benjolan
hidung & dada
Perkusi : Bunyi paru resonan
Auskultasi : Suara nafas vesikuler
b. System cardiovaskuler
Inspeksi : Konjungtiva merah muda, tidak sianosis, dan tidak
ada peningkatan vena jugularis
Palpasi : CRT < 2 detik, Frekuensi Nadi 90x/ menit, irama
nadi reguler
Perkusi : Pekak
Auskultasi : Bunyi jantung normal, tidak ada bunyi tambahan
seperti gallop dan murmur, TD 120/90 mmHg
c. System gastrointestinal
Inspeksi : Keadaan mulut bersih, mukosa bibir lembab, gigi
lengkap, reflek mengunyah dan menelan dan
mengunyah baik, abdomen datar, tidak ada lesi atau
pun benjolan
Auskultasi : Bising usus 8x/ menit
Palpasi : Tidak ada pembesaran hepar
Perkusi : Suara abdomen tympani
d. System muskuloskeletal
Inspeksi : Ke-dua ekstremitas simetris, terdapat close fraktur
tibial dextra, tangan terpasang infus Nacl 20 tpm di
tangan sebelah kanan, kuku panjang, kekuatan otot
5 5
3 5
Palpasi : ada lesi dan fraktur di kaki kanan
e. System urinaria
Inspeksi : Klien tidak terpasang, tidak ada pembesaran
kandung kemih,
Palpasi : Tidak ada distensi kandung kemih dan tidak ada
nyeri tekan pada kandung kemih
f. System Integumen
Inspeksi : Warna kulit sawo matang, tidak ada ikterik, kulit
kepala tampak bersih, distribusi rambut merata,
warna rambut hitam dan tidak ada benjolan, adanya
edema di kaki dan abdomen
Palpasi : Akral hangat, tidak ada nyeri tekan, turgor kulit < 2
detik, suhu 36,7º C
g. System Neurologi
Inspeksi : GCS 15 (E4 V5 M6), pupil isokor, reflek cahaya
positif
Palpasi : Reflek patella, bicep & tricep normal
D. Pemeriksaan penunjang
Minggu, 09 November 2019
Pukul 14.04 WIB
Thorax AP Femur kanan AP/LAT

Kesan : Kesan :
- Tidak tampak traumatic wet lung - Foto femur saat ini tidak jelas tanda-
/contusion paru tanda fraktur
- Tidak tampak fraktur os clavicula
- Tidak tampak cardiomegaly

Pelvis AP Tibia Fibula Dextra

Kesan : Kesan :
- Foto pelvis saat ini tidak jelas tanda- - Cruris, genu kanan AP/LAT
tanda fraktur - Fraktur condyles lateral sampai
tibia plateu (fraktur intraartikular os
tibia kanan

E. Terapi
Nama Terapi Aturan pakai Cara pemberian
Ringer laktat 20 tpm Intravena
Ketorolak 2x1 Intravena
Omeprazole 2x1 Intravena
F. Analisa data

No Data Etiologi Masalah


1. DS : Fraktur Nyeri akut
 Klien mengatakan nyeri
kaki sebelah kanan Pergeseran fragmen tulang
 P : nyeri bertambah pada
saat klien bergerak dan Nyeri akut
berkurang pada saat
klien merasa relaks
 Q : nyeri seperti di tusuk-
tusuk
 R : menetap, di lutut
kanan
 S : 5 (0-10)
 T : nyeri dirasakan
secara terus menerus

DO :
 Tanda-tanda vital
TD : 120/90 mmHg
P : 90 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,7º C
 Wajah meringis
 Fraktur tibia dextra
2. DS : Diskontinuitas tulang Gangguan
 Klien mengatakan susah mobilitas
untuk mengubah posisi Perubahan jaringan sekitar fisik
karena nyeri
 Klien mengatakan hanya
bisa beraktivitas ditempat Pergeseran fragmen tulang
tidur
 Klien mengatakan Deformitas
aktivitasnya dibantu
keluarganya Ggg fungsi ekstremitas
DO :
 Hasil x-ray : Fraktur Kerusakan mobilitas fisik
condyles lateral sampai
tibia plateu (fraktur
intraartikular os tibia
kanan
 Pasien terbaring di
tempat tidur
No Data Etiologi Masalah
 Terlihat pasien bergerak
pelan-pelan pada saat
merubah posisi
 Kaki kanan terpasang
spalk dan balutan perban
elastis
 ADL : Tingkat
ketergantungan skor 98
 Kekuatan otot
5 5
3 5
3. DS : Pergeseran fragmen tulang Kecemasan
 Pasien sering menayakan
kondisi nya Nyeri akut
 Pasien sering bertanya
jadwal oprasi Kecemasan
DO :
 Tanda-tanda vital
TD : 120/90 mmHg
P : 90 x/menit
R : 20 x/menit
S : 36,7º C
 Terlihat gelisah
 Wajah tegang
4. DS : Pergeseran fragmen tulang Gangguan
 Pasien mengatakan susah pola tidur
tidur karena merasakan Nyeri akut
nyeri
Kecemasan
DO :
 Terlihat adanya kantung
mata Gangguan pola tidur
 gelisah

G. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen injuri fisik/kerusakan jaringan muskuloskeletal
2. Kerusakan mobilitas fisik b.d kerusakan kerangka muskuloskeletal
3. Ansietas b.d adanya perubahan status kesehatan
4. Gangguan pola tidur b.d ketidaknyamanan fisik : nyeri
H. Perencanaan keperawatan
Diagnosa
No Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
keperawatan
1. Nyeri akut b.d agen Setelah dilakukan asuhan Pain management
injuri fisik/ keperawatan selama 3 x 1. Lakukan pengkajian nyeri
kerusakan jaringan 24 jam klien mampu secara komprehensif (P, Q, R,
muskuloskeletal beradaptasi dengan nyeri S, T)
yang dialami 2. Observasi reaksi nonverbal
dari ketidaknyamanan
Dengan kriteria hasil :
 Mampu mengontrol 3. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
nyeri (tahu penyebab
menemukan dukungan
nyeri, mampu
4. Kaji tipe dan sumber nyeri
menggunakan tehnik
untuk menentukan intervensi
nonfarmakologi)
5. Ajarkan tentang teknik non
 Melaporkan bahwa
farmakologi: napas dalam,
nyeri berkurang (skala
relaksasi
5 ke 3
6. Tingkatkan istirahat
 Mampu mengenali
7. Berikan informasi tentang
nyeri
nyeri seperti penyebab nyeri,
 Menyatakan rasa
berapa lama nyeri akan
nyaman setelah nyeri
berkurang dan antisipasi
berkurang
ketidaknyamanan dari
 TD dan HR dalam
prosedur
batas normal
8. Kolaborasi dengan dokter jika
ada keluhan dan tindakan nyei
tidak behasil
Analgesic administration
9. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas dan derajat nyeri
10. Cek riwayat alergi obat
11. Pilih rute pemberian secara IV.
IM untuk pengobatan nyeri
secara teratur
12. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik
pertama kali
2. Gangguan Setelah dilakukan asuhan Exercise therapy : ambulation
mobilitas fisik b.d keperawatan selama 3 x 1. Kaji kemampuan pasien
kerusakan 24 jam klien mampu dalam mobilisasi
kerangka menunjukan tingkat 2. Latih pasien dalam
muskuloskeletal mobilitas optimal pemenuhan kebutuhan ADLs
secara mandiri sesuai
Dengan kriteria hasil :
kemampuan
 Klien mampu
melakukan
Diagnosa
No Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
keperawatan
pergerakan dan 3. Dampingi dan bantu pasien
perpindahan, saat mobilisasi dan bantu
mempertahankan penuhi kebutuhan ADLs ps.
mobilitas optimal 4. Ajarkan pasien bagaimana
 Tidak terjadi merubah posisi dan berikan
kontraktur bantuan jika diperlukan
3. Kecemasan b.d Setelah dilakukan asuhan Anxiety Reduction (penurunan
adanya perubahan keperawatan selama 1 x kecemasan)
status kesehatan 24 jam tingkat 1. Gunakan pendekatan yang
kecemasan menurun menenangkan
2. Jelaskan semua prosedur dan
Dengan kriteria hasil :
apa yang dirasakan selama
 Klien mampu
prosedur
mengidentifikasi dan
3. Berikan informasi faktual
mengungkapkan
mengenai diagnosis, tindakan
gejala cemas
prognosis
 Mengidentifikasi,
4. Libatkan keluarga untuk
mengungkapkan dan
mendampingi klien
menunjukkan tehnik
5. Instruksikan pada pasien
untuk mengontol
untuk menggunakan tehnik
cemas
relaksasi
 Vital sign dalam batas
6. Identifikasi tingkat
normal
kecemasan
 Postur tubuh, ekspresi
7. Bantu pasien mengenal situasi
wajah, bahasa tubuh
yang menimbulkan
dan tingkat aktivitas
kecemasan
menunjukkan
8. Dorong pasien untuk
berkurangnya
mengungkapkan perasaan,
kecemasan
ketakutan, persepsi
4. Gangguan pola Setelah dilakukan asuhan Sleep Enhancement
tidur b.d keperawatan selama 1 x 1. Determinasi efek-efek
ketidaknyamanan 24 jam Gangguan pola medikasi terhadap pola tidur
fisik : nyeri tidur pasien terpenuhi 2. Jelaskan pentingnya tidur
yang adekuat
Dengan kriteria hasil :
3. Ciptakan lingkungan yang
 Jumlah jam tidur
nyaman
dalam batas normal 6-
8jam/hari
 Pola tidur, kualitas
dalam batas normal
 Perasaan fresh
sesudah tidur/istirahat
 Mampu
mengidentifikasi hal-
Diagnosa
No Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
keperawatan
hal yang
meningkatkan tidur

I. Implementasi keperawatan
No. Waktu
Implementasi Respon Paraf
Dx Tgl/jam
1. Kamis, 14 Pain management
November 1. Melakukan pengkajian nyeri 1. Skala nyeri 5 (0-10), Ade
2019 secara komprehensif (P, Q, R, menetap secara terus
(Shift S, T) menerus
Siang) 2. Mengobservasi reaksi 2. Wajah meringis
16.00 nonverbal dari
WIB ketidaknyamanan
3. Mengajarkan tentang teknik 3. Pasien dapat
non farmakologi: napas melakukan teknik
dalam, relaksasi relaksasi saat nyeri
timbul
4. Meningkatkan istirahat 4. Pasien terbaing di
5. Memberikan informasi tempat tidur
tentang nyeri seperti 5. Pasien mengetahui
penyebab nyeri, berapa lama penyebab nyeri dan
nyeri akan berkurang dan cara mengatasinya
antisipasi ketidaknyamanan
dari prosedur
6. Berkolaborasi dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan 6. Nyeri belum
nyei tidak behasil berkurang

Analgesic administration
7. Mengecek riwayat alergi obat 7. Tidak ada rw alergi
thdp obat
8. Memilih rute pemberian 8. Terapi pemberian
secara IV. IM untuk ketorolac melalui IV
pengobatan nyeri secara
teratur
2. Kamis, 14 Exercise therapy : ambulation
November 1. Mengkaji kemampuan pasien 1. Pasien sakit pada saat Ade
2019 dalam mobilisasi berpindah posisi
(Shift 2. Melatih pasien dalam 2. Aktivitas pasien
Siang) pemenuhan kebutuhan ADLs sebagian dibantu oleh
16.30 secara mandiri sesuai keluarga
WIB kemampuan
No. Waktu
Implementasi Respon Paraf
Dx Tgl/jam
3. Mendampingi dan Bantu 3. Aktivitas dibantu
pasien saat mobilisasi dan
bantu penuhi kebutuhan
ADLs ps.
4. Mengajarkan pasien 4. Pasien mengetahui
bagaimana merubah posisi cara merubah posisi
dan berikan bantuan jika
diperlukan
3. Kamis, 14 Anxiety Reduction
November 1. Menggunakan pendekatan 1. Komunikasi terpeutik Ade
2019 yang menenangkan dengan pasien
(Shift 2. Menjelaskan semua prosedur 2. Pasien sudah
Siang) dan apa yang dirasakan mengetahui prosedur
16.40 selama prosedur yang akan diberikan
WIB 3. Mengidentifikasi tingkat 3. Pasien cemas
kecemasan menunggu jadwal
oprasi yang tidak tentu
4. Mendorong pasien untuk 4. Pasien ingin segera
mengungkapkan perasaan, dilakukan oprasi pada
ketakutan, persepsi kakinya
4. Kamis, 14 Sleep Enhancement
November 1. Mendeterminasi efek-efek 1. Tidak ada efek obat Ade
2019 medikasi terhadap pola tidur thdp pola tidur
(Shift 2. Menjelaskan pentingnya tidur 2. Pasien mengetahui
Siang) yang adekuat pentingnya tidur
16.50 3. Menciptakan lingkungan 3. Pasien merasa tenang
WIB yang nyaman

J. Catatan Perkembangan : SOAP


Jum’at, 15 Nov 2019
No
Tgl/Jam SOAP Paraf
DX
1. Jum’at, 15 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Klien mengatakan masih merasakan Ade
nyeri
Pukul 09.30 WIB
P = nyeri bertambah saat bergerak
Q = nyeri seperti ditusuk-tusuk
R = nyeri menjalar dari lutut sampai ke
telapak kaki
S = Skala 5 (0-10)
T = Sering
No
Tgl/Jam SOAP Paraf
DX
O:
 Klien mendemonstrasikan tekhnik
relaksasi nafas dalam
 Tanda-tanda vital
T = 120/80
P = 88 x/mnt
R = 21 x/mnt
S = 36.7oC
A : Nyeri akut belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi (1, 2, 4, & 6)
2. Jum’at, 15 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Klien mengeluhkan nyeri saat bergerak Ade
miring Kenan ataupun kekiri selama
Pukul 09.40 WIB
ditempat tidur
O:
 Hasil rontgen Fraktur intraartikular os
tibia kanan
 Kaki sebelah kanan terpasang spalk dan
dibalut perban
 ADL : Tingkat ketergantungan sebagian
skor 98
 Kekuatan otot
5 5
3 5
A : Kerusakan mobilitas fisik belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi (1, 2, 3 & 4)
3. Jum’at, 15 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Pasien sering bertanya jadwal kapan bisa Ade
di oprasi
Pukul 09.50 WIB
O:
 Tanda-tanda vital
T = 120/80
P = 88 x/mnt
R = 21 x/mnt
S = 36.7oC
 Terlihat gelisah
 Wajah tegang
A : Ansietas belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi (1, 3, & 4)
4. Jum’at, 15 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Pasien mengatakan masih nyeri dan tidak Ade
bisa istirahat tidur dengan baik
Pukul 10.00 WIB
O:
No
Tgl/Jam SOAP Paraf
DX
 Adanya kantung mata
 Mata merah
A : Masalah gangguan pola tidur teratasi
sebagian
P : Lanjutkan intervensi (3)

Sabtu, 16 Nov 2019


No
Tgl/Jam SOAP Paraf
DX
1. Sabtu, 16 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Klien mengatakan nyeri berkurang Ade
P = nyeri bertambah saat bergerak
Pukul 09.00 WIB
Q = nyeri seperti ditusuk-tusuk
R = nyeri menetap
S = Skala 4 (0-10)
T = mendadak
O:
 Klien mendemonstrasikan tekhnik relaksasi nafas
dalam pada saat merasakan nyeri
 Tanda-tanda vital
T = 120/80
P = 80 x/mnt
R = 20 x/mnt
S = 36.7oC
A : Nyeri akut teratasi ssebagian
P : Lanjutkan intervensi (1, 2, 4, & 6)
2. Sabtu, 16 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Klien mengeluhkan nyeri saat merubah posisi Ade
kaki
Pukul 09.30 WIB
O:
 Kaki kanan terpasang spalk dan dibalut perban
 ADL : Tingkat ketergantungan sebagian skor 98
 Kekuatan otot
5 5
3 5
A : Kerusakan mobilitas fisik belum teratasi
P : Lanjutkan intervensi (1, 2, 3 & 4)
3. Sabtu, 16 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Pasien mengatakan sudah tidak terlalu cemas Ade
O:
Pukul 09.40 WIB
 Pasien tampak tenang
No
Tgl/Jam SOAP Paraf
DX
 Wajah tegang
A : Ansietas teratasi
P : Hentikan intervensi
4. Sabtu, 16 Nov 2019 S:
(Shift Pagi)  Pasien bisa tidur dimalam hari Ade
 Lama tidur sekitar 4-5 jam
Pukul 09.50 WIB
O:
 Pasien tampak lebih segar

A : Masalah gangguan pola tidur teratasi
P : Hentikan intervensi

K. Evidence Based Practice


1. Pengkajian nyeri pada Sindrom Kompartement: Neurovascular
assessment (Judge, 2007)
Perawat memainkan peran penting dalam meminimalkan risiko
defisit dan mendeteksi tanda-tanda awal sindrom kompartemen sehingga
pengobatan yang cepat dapat dilakukan. Langkah-langkah dalam
mendeteksi neurovaskular untuk mencegah sindrom kompartemen adalah:
1. Nilai tingkat nyeri pasien dengan menggunakan skala nyeri yang
sesuai
2. Palpasi denyut nadi perifer ke arah cedera dan / atau pembatasan pada
sisi yang tidak terpengaruh, ulangi pada sisi yang terkena dan catat
adanya denyut nadi dan setiap ketidakkonsistenan antara sisi dalam
laju dan kualitas denyut nadi.
3. Jika denyut nadi tidak dapat dirasakan, lakukan tes isi ulang kapiler
dan catat kecepatan pengembalian dalam hitungan detik pada grafik.
4. Penilaian sensasi harus dilakukan dengan terlebih dahulu bertanya
kepada pasien apakah ia merasakan sensasi yang berubah pada
anggota tubuh yang terkena - pertimbangkan adanya blok saraf atau
epidural. Dengan menggunakan sentuhan, nilai sensasi di setiap area
kaki atau tangan untuk memastikan semua area distribusi saraf
tertutup. Catat sensasi yang berubah pada grafik.
5. Minta pasien untuk melenturkan dan rentangkan setiap jari kaki dan /
atau jari tangan dan pergelangan kaki dan / atau pergelangan tangan,
jika memungkinkan. Jika pasien tidak dapat bergerak aktif, lakukan
gerakan pasif. Catat rasa sakit yang dilaporkan oleh pasien saat
bergerak atau saat istirahat.
6. Amati warna anggota tubuh dibandingkan dengan sisi yang terkena,
perhatikan adanya warna pucat, sianotik atau belang-belang.
7. Rasakan kehangatan anggota badan di atas dan di bawah lokasi cedera
menggunakan punggung tangan dan bandingkan dengan sisi lainnya.
8. Periksa ekstremitas untuk pembengkakan dan bandingkan dengan sisi
yang tidak terpengaruh

2. Latihan autogenik (aji et al, 2015)


Penelitian yang dilakukan Aji et al (2015) dengan judul penelitian
“Efektifitas Antara Relaksasi Autogenik Dan Slow Deep Breathing
Relaxation Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Orif Di Rsud
Ambarawa. Relaksasi autogenik merupakan teknik relaksasi yang
berdasarkan konsentrasi menggunakan persepsi tubuh yang memiliki
manfaat bagi kesehatan yang memungkinkan tubuh dapat merasakan
perubahan pada respon fisiologis tubuh yang bersifat emosional, sensori
dan subjektif seperti penurunan nyeri post operasi, nyeri merupakan
masalah yang sangat mengganggu pada pasien apabila nyeri tidak segera
diatasi akan berdampak buruk bagi tubuh. Metode penelitian yang
dilakukan adalah penelitian pretest dan postest pada kedua kelompok
eksperimen, bertujuan untuk mengetahui efektivitas relaksasi autogenk
dan slow deep breathing relaxasion terhadap perubahan nyeri pada pasien
post ORIF di RSUD Ambarawa. Jumlah sampel 22 responden.
Hasil penelitian menunjukan penurunan intensitas nyeri responden
pada kelompok terapi relaksasi autogenik sebanyak 2,83 sedangkan
penurunan intensitas nyeri pada kelompok slow deep breathing relaxation
sebanyak 1,65. Hasil uji Mann Whitney Test menunjukan p value 0,002
(p<0,05), relaksasi autogenic lebih efektif dibandingkan slow deep
breathing relaxation terhadap penurunan nyeri pada pasien post ORIF di
RSUD Ambarawa

3. Pemberian analgesik ketorolac (Meilissa, 2007)


Penelitian yang dilakukan oleh meilissa (2017) dengan Pola
Penggunaan Analgesik pada Pasien Closed dan Opened Fraktur yang
Menjalani Bedah Ortopedi dan Rawat Inap di Rumah Sakit Pertamina
Balikpapan Periode Januari 2006-Januari 2007
Menjelaskan bahwa pemberian analgesik tunggal berupa NSAID
post operasi seperti Parasetamol kurang tepat, karena tidak mampu
mengatasi nyeri yang muncul post operasi dimana nyeri yang muncul
adalah sedang sampai berat. Kecuali NSAID generasi terbaru, seperti
Ketorolac Tromethamin yang memiliki efek analgesik yang hampir sama
dengan Opioid. Namun, analgesik (NSAID) yang diberikan tetap mengacu
pada tingkat nyeri yang dialami pasien

4. Perawatan luka dengan chlorexidine 4%


Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efektifitas
chlorhexidine gluconate 4% dibandingkan dengan povidone iodine 10%
dalam menurunkan hitung koloni bakteri pada perawatan luka patah tulang
ekstremitas bawah terbuka derajat III. Metode RCT menjelaskan bahwa
Antara kelompok chlorhexidine gluconate 4% dan povidone iodine
10%, tidak didapatkan perbedaan bermakna untuk karakteristik umur
(p=0,603), jenis kelamin (p=0,651), tingkat pendidikan (p=0,630) dan
pekerjan (p=0,898). Tidak didapatkan perbedaan bermakna untuk jumlah
bakteri awal (p=0,584) dan jumlah bakteri akhir (p=0,699) pada kedua
kelompok perlakuan.
Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok perlakuan
povidone iodine 10% dan chlorhexidine gluconate 4% dengan nilai
p=0,699, meskipun ekftifitas chlorhexidine gluconate 4% (p=0,023) lebih
baik dibandingkan povidone iodine 10% (p=0,558) terhadap hitung koloni
bakteri.

L. Pembahasan
Fraktur adalah patah tulang atau terganggunya kesinambungan jaringan
tulang yang disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung.
Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat jumlah kejadian fraktur pada tahun
2011-2012 terdapat 1,3 juta orang yang menderita fraktur. Menurut DEPKES
RI tahun 2011 di Indonesia sendiri juga banyak yang mengalami fraktur,
fraktur di Indonesia terdapat 45.987 orang yang mengalami fraktur, prevalensi
kejadian fraktur yang paling tinggi adalah fraktur femur yaitu terdapat 19.729
orang yang mengalami fraktur, sedangkan ada 14.037 orang yang mengalami
fraktur cluris dan terdapat 3.776 orang mengalami fraktur tibia.
Fraktur yang terjadi pada Tn. AS (31 Th) disebabkan oleh adanya
benturan trauma secara langsung yang diakibatkan dari terjadinya kecelakaan
lalu lintas. Hasil pemeriksaaan rontgen Tn. AS di diagnosis close fraktur dextra
tibial flateu. Permasalahan prioritas yang termasuk dalam fraktur yaitu nyeri
akut, kerusakan mobilitas fisik, kecemasan serta mengakibatkan terganggunya
pola tidur pasien.
Saat ini kondisi pasien sedang menunggu penjadwalan operasi, Pasien
masih dalam kondisi bedrest dengan keterbatasan mobilitas akibat kondisi
fraktur dan nyeri. Untuk mengatasi nyeri perawat memberikan intervensi
secara komprehensif dalam management pain dan kolaborasi pemberian
analgesik, pasien juga diajarkan tehnik management pain non-farmakologis
dengan relaksasi nafas dalam.
Masalah keperawatan Gangguan mobilitas fisik yang harus ditangani
oleh perawat adalah dengan cara mengkaji kemampuan mobilitas pasien dan
melatih pasien dalam pemenuhan kebuuhan ADL secar amandiris sesuai
kebutuhan. Pasien tampak cemas sehingga perawat memberikan informasi
terkait kondisi kesehatannya dan membuat pasien lebih tenang. Perawat
memberikan edukasi tentang makanan yang berprotein tinggi untuk
meningkatkan percepatan penyembuhan luka. Sementara sehingga tindakan
latihan melatih kemampuan otot belum bisa dilakukan.

M. Referensi
Aji, S. B., Armiyati, Y., & Sn, S. A. (2015). Efektifitas Antara Relaksasi
Autogenik dan Slow Deep Breathing Relaxation Terhadap Penurunan
Nyeri pada RSUD Ambarawa. Jurnal Ilmu Keperawatan dan
Kebidanan, 002.
Judge, N. (2007). Neurovascular assessment. Nursing Standart, 21(45), 39–
44.
Meilissa, G. (2007) Pola Penggunaan Analgesik pada Pasien Closed dan
Opened Fraktur yang Menjalani Bedah Ortopedi dan Rawat Inap di
Rumah Sakit Pertamina Balikpapan Periode Januari 2006-Januari 2007
Nanda (2015). Diagnosis Keperawatan Defenisi & Klasifikasi 2015 -2017.
EGC. Jakarta.
p39-44w45 13/7/07 10:44 am Page 39

&
art & science clinical skills: 8

Neurovascular assessment
Judge NL (2007) Neurovascular assessment. Nursing Standard. 21, 45, 39-44.
Date of acceptance: April 20 2007.

Summary Compartment syndrome


The ability to carry out a neurovascular assessment on a patient’s The muscles of the limbs are grouped in
limb is an important skill for all registered nurses. All nurses, compartments divided by thick inelastic tissue
whether working in primary or acute care environments, are (fascia). Each compartment contains the nerves
exposed to patients who have sustained injury or trauma to a limb and vessels supplying the limb (Middleton 2003).
or have a cast or restrictive bandages in place. The ability to detect Both the arm and the leg have four
a compromised limb through careful observation enables prompt compartments. If the pressure in any
referral and subsequent treatment, which may otherwise result in a compartment rises, capillary blood flow is
permanent deficit. This article discusses the importance of compromised resulting in inadequate perfusion
undertaking neurovascular observations providing a step-by-step and oxygenation of the tissue (Goldie 1998,
guide for the reader. Bongiovanni et al 2005). If pressure is not relieved
within hours, irreversible damage to the tissues
Author and nerves may result in contractures, paralysis,
Nicola L Judge is lecturer in adult nursing, St Bartholomew School loss of sensation and, in some cases, amputation
of Nursing and Midwifery, London. Email: Nicola.judge.1@city.ac.uk (Bongiovanni et al 2005, Judge 2005).
Patients who have sustained fractures to the
Keywords tibia, particularly the proximal third and
Compartment syndrome; Documentation; Observations supracondylar fractures of the humerus, are most
These keywords are based on the subject headings from the British at risk of developing compartment syndrome
Nursing Index. This article has been subject to double-blind review. (Solomon et al 2005). Any injured tissue will
For author and research article guidelines visit the Nursing Standard swell (Dandy and Edwards 2004), and patients
home page at www.nursing-standard.co.uk. For related articles who have undergone orthopaedic surgery,
visit our online archive and search using the keywords. sustained crush injuries or have their movement
restricted by casts or bandages are at risk.
Symptom onset occurs from as little as two hours
INDIVIDUALS MAY have their movement to as long as six days after the trauma or surgery
restricted through the application of a plaster cast (Schoen 2000). Thus, the nurse plays a vital role
or bandages or they may have undergone internal in minimising the risk of deficit and detecting
or external fixation (Lucas and Davis 2005). early signs of compartment syndrome so that
Restricting movement can cause damage to prompt treatment can be instigated (Lucas and
nerves and blood vessels. This damage causes a Davis 2005).
deficit in function, referred to as a neurovascular
deficit, which may be temporary or permanent.
Neurovascular observations
Such deficits can have a significant effect on the
patient’s functional ability and overall outcome, Neurovascular assessment involves the
with severe cases at risk of amputation of the evaluation of the neurological and vascular
affected limb. integrity of a limb. Through a systematic
Acute compartment syndrome is of particular assessment the recognition of any neurovascular
concern and is the focus of this article. The deficit can lead to appropriate treatment and
syndrome occurs when there is a progressive minimise delays which may lead to amputation of
build up of pressure in a confined space – muscle the limb and even death.
compartment – which compromises circulation Assessment for the signs and symptoms of
and diminishes oxygen supply and therefore the neurovascular deficit should take into
functioning of the muscles in that area (Judge consideration the classic ‘five Ps’; pain, paralysis,
2005). To detect compartment syndrome the paraesthesia, pulses and pallor (Dykes 1993,
nurse should carry out simple but regular Brinker and Miller 1999, Crowther 1999, Judge
neurovascular observations, documenting 2005, Solomon et al 2005). In addition,
findings and acting to minimise further damage. assessment should take into account the warmth

NURSING STANDARD july 18 :: vol 21 no 45 :: 2007 39


p39-44w45 13/7/07 10:44 am Page 40

&
art & science clinical skills: 8 affected muscles and touch (Duckworth 1995,
Goldie 1998, Middleton 2003, Lucas and
Davis 2005). There is much controversy
about the management of pain in patients at risk
of the limb and evidence of swelling. Box 1 of developing compartment syndrome
demonstrates a step-by-step guide to (Whitesides 2001). Patients who have undergone
undertaking neurovascular observations. orthopaedic surgery should be given pain relief
Pain Pain considered out of proportion to the for their own welfare and comfort as well as to
injury is usually the earliest and most important prevent other physiological mechanisms being
presenting symptom of compartment syndrome affected, for example, the maintenance of
(Duckworth 1995, Lucas and Davis 2005). respiratory rate, pulse rate and blood pressure
However, it is frequently overlooked because to within normal limits. However, there are
nurses are unable to differentiate between poorly concerns that the use of analgesia to alleviate
controlled post-operative pain and pain that may pain may mask the symptoms of compartment
indicate something more serious (Crowther syndrome (Middleton 2003).
1999). Pain associated with compartment Nurses should ensure that patients at risk of
syndrome tends to be poorly localised, persistent, developing compartment syndrome receive
progressive, often not relieved by analgesia and appropriate pain management. It is also
often enhanced on passive extension of the important that nursing staff are able to identify
BOX 1 unusual patterns of pain (Middleton 2003). The
first part of neurovascular observation should
Step-by-step guide to neurovascular observations involve a thorough assessment of the patient’s
Preparation level of pain. However, research has highlighted
inconsistencies in the way that these assessments
1. Explain the procedure to the patient and gain his or her consent.
are made (Harrison 1991, Scott 1992, Closs et al
2. Ensure the patient’s privacy and dignity are maintained. 1993, Woodward 1995, Colley and Crouch
3. Ensure that your hands are clean and dry. 2000, Pasero and McCaffery 2005).
Pain assessment tools should be used to obtain
Procedure accurate pain scores, which can then be used as
1. Assess the patient’s level of pain using an appropriate pain scale; consider a direct measure of the patient’s condition
the location, radiation and characteristics of the pain. (Colley and Crouch 2000). A variety of pain
2. Palpate the peripheral pulse distal to the injury and/or restriction on the assessment tools are available, each with their
unaffected side, repeat on the affected side and note the presence of the own advantages and disadvantages, the
pulse and any inconsistencies between sides in rate and quality of the pulse. discussion of which is beyond the scope of this
article. It is, however, important that the same
3. If the pulse is inaccessible or cannot be felt, perform a capillary refill test
and note the speed of return in seconds on the chart.
pain assessment tool is used by all members of
the nursing team treating the patient. This will
4. An assessment of sensation should be made by first asking the patient if improve the reliability of the results and
he or she feels any altered sensation on the affected limb – consider any decrease the subjectivity of the assessment. The
nerve blocks or epidurals. Using touch, assess sensation in each of the
numerical rating scale where the patient is asked
areas of the foot or hand ensuring all nerve distribution areas are
covered. Note any altered sensation on the chart.
to rate the severity of pain from one to ten is
useful. The nurse should suspect that a problem
5. Ask the patient to flex and extend each toe and/or finger and the ankle such as compartment syndrome is developing if
and/or wrist, where possible. If the patient is unable to move actively, the pain experienced is disproportionate to the
perform a passive movement. Note any pain reported by the patient
injury or increasing in severity despite the
either on movement or at rest.
administration of analgesia. In addition to the
6. Observe the colour of the limb in comparison with the affected side score, attention should be paid to the location,
noting any pale, cyanotic or mottled appearance. radiation and characteristics of the pain (Dykes
7. Feel the warmth of the limb above and below the site of injury using the 1993). Non-verbal cues of pain such as
back of the hand and compare with the other side. Note any excess guarding, grimacing and sweating are
warmth, coldness or coolness of the limb. particularly important in patients who are
8. Inspect the limb for swelling and compare with the unaffected side. Note unable to verbalise pain severity.
whether swelling is moderate or marked, particularly noting any increase Paralysis (movement) Neurovascular deficit
since the last set of observations was taken. can cause muscles in the affected compartment
to become paralysed as a result of nerve damage
Post-procedure
or necrosis. Therefore, the nurse should
1. Ensure that all documentation is complete including any actions taken. undertake an active or passive range of
Where deficit is suspected, report to a member of the medical team. movement of both limbs, first the unaffected and
2. Ensure that the patient is left comfortable. then the affected side, noting any reduced range
of movement, while taking into consideration

40 july 18 :: vol 21 no 45 :: 2007 NURSING STANDARD


p39-44w45 13/7/07 10:44 am Page 41

the extent of the injury and/or surgery. Ischaemic be asked to report any changes in sensation to
muscles are sensitive to stretching and therefore the affected limb, which may result from
extension of the joint(s) may result in extreme pressure on the relevant nerve(s) (Mourad
pain in the forearm or calf (Duckworth 1995, 1995). Reported changes may include
Middleton 2003, Solomon et al 2005). The decreased sensation, hypersensation, tingling,
patient may experience pain on movement as a ‘pins and needles’, numbness or loss of
result of the injury or surgery. If this pain sensation (Lucas and Davis 2005). Findings
remains once the fingers or toes are held in should be compared bilaterally.
extension and the movement has stopped, the Because a number of different nerves serve the
nurse should be alerted (Goldie 1998). limb all areas of the limb should be assessed,
Paraesthesia (sensation) Paraesthesia of an including between web spaces (Nicol et al 2002).
area supplied by a specific nerve is a reliable Documentation should note where the patient
finding in the patient who is awake and able to reports altered sensation and what this
co-operate (Crowther 1999). The nurse should alteration is so that medical staff can identify
lightly touch the skin both proximally and which nerve is affected (Goldie 1998). If the
distally to the affected site. The patient should patient has had a nerve block, spinal anaesthesia

FIGURE 1
Location of peripheral pulses

Temporal

Carotid

Radial

Brachial
Posterior tibial

Femoral

Popliteal

Dorsalis
pedis

NURSING STANDARD july 18 :: vol 21 no 45 :: 2007 41


p39-44w45 13/7/07 10:44 am Page 42

&
art & science clinical skills: 8 impaired limb will be pale or dusky in
appearance (Mourad 1995, Middleton 2003).
The limb also tends to have a glossy exterior as a
result of swelling (McRae 1999). Temperature of
or an epidural, findings must be considered in the limb proximally and distally to the injury
relation to the normal effects of such should be assessed using the back of the hand
procedures. (Dykes 1993, Judge 2004). Any alterations in
Pulses and/or capillary refill An absence of pulse temperature and colour should be noted. A cold
may indicate a lack of arterial flow (Mourad and pale limb below the level of injury and/or
1995). Pulses should be assessed distal to the restriction may indicate arterial insufficiency. A
injury and/or cast to assess whether blood flow is warm limb with a bluish tinge could indicate
reaching past the area of injury/surgery and venous stasis (Dykes 1993, Crowther 1999,
perfusing the remaining limb effectively. On the Lucas and Davis 2005). It is important that
lower limb the dorsalis pedis pulse is usually nursing staff always check findings against the
assessed and on the upper limb the radial pulse unaffected limb.
(Figure 1). If possible, pulses should be assessed Swelling Swelling of the affected limb is not
as soon as the patient is admitted so that a necessarily a feature of neurovascular
baseline can be established. This is particularly impairment (Duckworth 1995). It is important
important with lower limb injuries because the to remember that the limb, having undergone
dorsalis pedis pulse is congenitally absent in up to trauma, is likely to be swollen as part of its
12% of the population (Barnhurst and Barner natural physiology (Mourad 1995).
1968, Dykes 1993). If the dorsalis pedis pulse is The presence of casts or bandages may also cause
not felt then the posterior tibial pulse should be the limb to swell, resulting in altered sensation.
palpated (Morison et al 1997). Thus, by releasing the constriction through
Any differences in rate and quality of loosening bandages or splitting casts, swelling
palpating pulses with the other limb should be and subsequent altered sensation and pain may
noted (Dykes 1993). The absence of a pulse is diminish (Hughes and Porter 1997).
rarely noted as an early symptom of Before surgery or following injury, consideration
compartment syndrome (Edwards 2004) and should also be given to any tight-fitting jewellery
often pulses are still present because swelling (Lucas and Davis 2005). Although swelling
may not necessarily affect the major vessels is not necessarily characteristic of neurovascular
(Goldie 1998, Crowther 1999, Middleton 2003). deficit, any notable increase should still be
A clinical diagnosis should not be based on the documented and reported.
absence or presence of a pulse (Duckworth 1995,
Solomon et al 2005).
Nursing actions and documentation
Assessment of peripheral pulses remains
subjective and should therefore be considered in Documentation of neurovascular observations is
combination with other findings such as pain, important to identify symptom patterns.
pallor, swelling, paralysis, temperature and A neurovascular chart should be used to assess
altered sensation (Morison et al 1997). every patient and results should be documented
Documentation must note which pulses have along with any action taken by the nurse.
been assessed so that consistency can be Figure 2 illustrates an example of a chart that can
maintained between nursing staff. Nurses may be used to document findings. As with any
find it helpful to mark the pulse area once found nursing procedure, neurovascular observations
on the patient’s limb. should be documented when they are conducted.
Documentation must be clear as to whether a If a problem arises and documentation has not
pulse is accessible but not palpable or whether taken place, it will be assumed that the
the pulse cannot be accessed because of casts or observations were not acted on.
bandages (Nicol et al 2002). Capillary refill If a neurovascular deficit is suspected the
should be used to measure arterial perfusion in nurse should report it to a member of the medical
patients who present with an inaccessible pulse team as a matter of urgency so that it can be
as a result of restriction from a plaster cast or reviewed. The instigation of ice and elevation in
bandage. Normal capillary refill of two seconds the post-operative period is helpful to reduce
indicates good perfusion. However, as with the swelling. However, elevation should be reduced
presence or absence of pedal pulses, a delayed to below heart level and ice removed if a deficit is
capillary refill can also be a late sign. Gradual suspected so as not to impede circulation further
slowing may be seen as the pressure increases. (Love 1998, Bongiovanni et al 2005). Any
Capillary refill that slows to more than four constricting bandages should be loosened and
seconds must be reported (Mourad 1995). casts bi-valved to decrease constriction of the
Pallor and temperature A neurovascularly limb (Lucas and Davis 2005).

42 july 18 :: vol 21 no 45 :: 2007 NURSING STANDARD


p39-44w45 13/7/07 10:44 am Page 43

FIGURE 2
Neurovascular chart
Name: Ward: Hospital no:
Consultant: Procedure/injury:
Area for observation: Frequency of observations:

Date
Time
Pain score (1-10)
Colour Normal
Pale*
Cyanotic*
Mottled*
Warmth Hot*
Warm
Cold*
Cool*
Pulses Name of pulse:
Strong
Weak*
Absent*
Capillary refill greater than two seconds (yes/no)
Movement
Dorsi No movement*
Flexion Movement no pain
Movement with pain*
Plantar No movement*
Flexion Movement no pain
Movement with pain*
Toe No movement*
Extension Movement no pain
Movement with pain*
Toe flexion No movement*
Movement no pain
Movement with pain*
Sensation
Web space No sensation*
First and second toe Tingling/numbness*
Full sensation
Web space No sensation*
Third and fourth toe Tingling/numbness*
Full sensation
Sole of foot/toes No sensation*
Tingling/numbness*
Full sensation
Arch of foot (medial) No sensation*
Tingling/numbness*
Full sensation
Initials

Always compare with the unaffected limb. If both limbs are affected use a separate chart for each limb.
*These may be signs of abnormalities, take appropriate action, document and inform a member of the medical team.
Document all actions taken in the space below.

NURSING STANDARD july 18 :: vol 21 no 45 :: 2007 43


p39-44w45 13/7/07 10:44 am Page 44

&
art & science clinical skills: 8 Edwards 2004). Early detection of any
neurovascular deficit is vital to avoid long-term
disability (Middleton 2003). Nursing staff
should be aware that it is not only patients who
have sustained high impact trauma who are at
Conclusion
risk of developing a neurovascular deficit, but
Compartment syndrome can be devastating for also those who have undergone routine elective
patients because of the symptoms experienced surgery, have a cast in situ or bandaging.
and loss in functional ability, whether The ‘five Ps’ approach to neurovascular
temporary or permanent. Length of stay in observations should enable nursing staff to
hospital will be increased and any decrease in carry out efficient assessments, noting any
functional ability may affect patients’ ability to deterioration and taking appropriate action
continue in their employment (Dandy and where necessary NS

References
Barnhurst DA, Barner HB (1968) Goldie BS (1998) Orthopaedic Diagnosis syndrome: the importance of early
Prevalence of congenitally absent pedal and Management, a Guide to the Care of diagnosis. Nursing Times. 99, 21, 30-32.
pulses. New England Journal of Medicine. Orthopaedic Patients. Second edition.
Morison M, Moffatt C, Bridel-Nixon J,
278, 5, 264-265. ISIS Medical Media, Oxford.
Bale S (1997) A Colour Guide to the
Bongiovanni MS, Bradley SL, Harrison A (1991) Assessing patients’ Nursing Management of Chronic Wounds.
Kelley DM (2005) Orthopedic trauma: pain: identifying reasons for error. Journal Second edition. Mosby, London.
critical care nursing issues. Critical Care of Advanced Nursing. 16, 9, 1018-1025.
Mourad L (1995) Orthopaedic Nursing.
Nursing Quarterly. 28, 1, 60-71. Hughes SPF, Porter RW (1997) Delmar, London.
Brinker M, Miller M (1999) Textbook of Orthopaedics and Fractures. Nicol M, Bavin C, Bedford-Turner S,
Fundamentals of Orthopaedics. WB Arnold, London. Cronin P, Rawlings-Anderson K (2002)
Saunders, Philadelphia PA. Judge N (2004) Examination of the Essential Nursing Skills. Second edition.
Closs SJ, Fairtlough HL, Tierney AJ, musculoskeletal system. In Cox C (Ed) Mosby, Edinburgh.
Currie CT (1993) Pain in elderly Physical Assessment for Nurses. Pasero C, McCaffery M (2005) No
orthopaedic patients. Journal of Clinical Blackwell, Oxford, 153-178. self-report means no pain-intensity rating.
Nursing. 2, 1, 41-45. Judge N (2005) Patients requiring American Journal of Nursing. 105, 10,
orthopaedic surgery. In Pudner R (Ed) 50-53.
Colley R, Crouch R (2000) Pain
assessment tools. Emergency Nurse. 8, 6, Nursing the Surgical Patient. Second Schoen DC (2000) Adult Orthopaedic
16-21. edition. Elsevier, Edinburgh, 467-495. Nursing. Lippincott, Philadelphia PA.

Crowther CL (1999) Primary Love C (1998) A discussion and analysis Scott I (1992) Nurses’ attitudes to pain
Orthopaedic Care. Mosby, St Louis MO. of nurse-led pain assessment for the early control and the use of pain assessment
detection of compartment syndrome. scales. British Journal of Nursing. 2, 1,
Dandy DJ, Edwards DJ (2004) Essential Journal of Orthopaedic Nursing. 2, 3, 11-16.
Orthopaedics and Trauma. Fourth edition. 160-167.
Churchill Livingstone, Edinburgh. Solomon L, Warwick D, Nayagam S
Lucas B, Davis P (2005) Why restricting (2005) Apley’s Concise System of
Duckworth T (1995) Lecture Notes on movement is important. In Kneale J, Davis Orthopaedics and Fractures. Third edition.
Orthopaedics and Fractures. Third edition. P (Eds) Orthopaedic and Trauma Nursing. Hodder Arnold, London.
Blackwell Science, Oxford. Second edition. Churchill Livingstone,
Whitesides TE Jr (2001) Pain: friend or
Edinburgh, 105-139.
Dykes PC (1993) Minding the five Ps of foe? Journal of Bone and Joint Surgery.
neurovascular assessment. American McRae R (1999) Pocketbook of American Volume. 83-A, 9, 1424-1425.
Journal of Nursing. 93, 6, 38-39. Orthopaedics and Fractures. Churchill
Woodward S (1995) Nurse and patient
Livingstone, Edinburgh.
Edwards S (2004) Acute compartment perceptions of pain. Professional Nurse.
syndrome. Emergency Nurse. 12, 3, 32-38. Middleton C (2003) Compartment 10, 7, 415-416.

44 july 18 :: vol 21 no 45 :: 2007 NURSING STANDARD


EFEKTIFITAS ANTARA RELAKSASI AUTOGENIK
DAN SLOW DEEP BREATHING RELAXATION
TERHADAP PENURUNAN NYERI PADA
PASIEN POST ORIF DI
RSUD AMBARAWA

Setyo Bayu Aji*), Yunie Armiyati **), Syamsul Arif. SN***)

*Mahasiswa Program Studi S.1 Ilmu Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang


** Dosen Program Studi Ners Universitas Muhammadiyah Semarang
*** Dosen Program Studi S.1 Keperawatan Poltekes Kemenkes Semarang

ABSTRAK
Fraktur adalah suatu keadaan terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang bisa diatasi dengan
pembedahan ORIF. Nyeri merupakan suatu keluhan yang sering dialami oleh pasien setelah
pembedahan ORIF. Dampak nyeri dapat mengganggu proses fisiologis, himodinamis, menimbulkan
stresor, cemas, mengganggu istirahat dan proses penyembuhan penyakit. Nyeri post ORIF dapat
diatasi perawat dengan metode non farmakologi misalnya terapi relaksasi autogenik dan slow deep
breating relaxaion. Tujuan penelitian untuk menganalisa perbedaan efektifitas antara relaksasi
autogenik dan slow deep breathing relaxation terhadap penurunan nyeri pada pasien post ORIF di
RSUD Ambarawa. Desain penelitian menggunakan pre test and post test nonequivalent control group
dengan jumlah sampel sebanyak 22 responden dengan teknik kuota sampling. Hasil penelitian
menunjukan penurunan intensitas nyeri responden pada kelompok terapi relaksasi autogenik sebanyak
2,83 sedangkan penurunan intensitas nyeri pada kelompok slow deep breathing relaxation sebanyak
1,65. Hasil uji Mann Whitney Test menunjukan p value 0,002 (p<0,05), relaksasi autogenik lebih
efektifitas dibandingkan slow deep breathing relaxation terhadap penurunan nyeri pada pasien post
ORIF di RSUD Ambarawa. Hasil penelitian ini merekomendasikan relaksasi autogenik dan slow deep
breathing relaxation dapat dijadikan tindakan mandiri keperawatan non farmakologi yang dilakukan
perawat untuk menurunkan nyeri post ORIF.

Kata kunci: fraktur, ORIF, nyeri, relaksasi autogenik, slow deep breathing relaxation.

ABSTRACT
Fracture is a condition where the bone tissue continuity is broken, which can be overcome by ORIF
surgery. Pain is the complaint most patients encounter with after the ORIF surgery. The pain effect can
interfere the physiological process, hemodynamic, trigger stressor, anxiety, distract the rest, and
recovery process. Post ORIF pain can be handled by the nurse by non-pharmacological method for
example autogenic relaxation, and Slow Deep Breathing Relaxation. The objective of this study is to
analyze the difference of the effectiveness of the autogenic relaxation and Slow Deep Breathing
Relaxation to the Post ORIF pain decrease at the District General Hospital of Ambarawa. The design
of this study was using pre test and post test nonequivalent control group with 22 respondents as the
samples with quota sampling technique. The result of the study is showing that there is a respondents’
decrease of pain intensity at autogenic relaxation group as much as 2,83. While the decrease of pain
intensity at slow deep breathing relaxation group is as much as 1,65. The Mann Whitney Testshows p
value 0,002 (p<0,05), the autogenic relaxation is more effective than slow deep breathing relaxation to
ward the pain decrease of post ORIF patients at the District General Hospital of Ambarawa. The result
of this study recommends that the autogenic relaxation and slow deep breathing relaxation can be

Efektivitas antara relaksasi autogenik dan slow deep breathing....... (S. B. AJI, 2015) 1
referred as a non-pharmacological self-care nursing action that is carried out by nurses to reduce post
ORIF pain.

Keywords: Fracture, post ORIF, pain, autogenic relaxation, slow deep breathing relaxation

LATAR BELAKANG pada pasien. Pasien fraktur akan mengalami


Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, berbagai problem, problem yang sering
tulang rawan, baik yang bersifat total atau dialami pasien fraktur terutama yaitu nyeri,
sebagian Rasjad (1998, dalam Muttaqin 2008, nyeri dapat terjadi karena trauma mekanik
hlm.69). Fraktur dikenal dengan istilah patah yang terjadi akibat benturan, gesekan atau
tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau luka. Nyeri akan bertambah dengan adanya
tenaga fisik. Kekuatan, sudut, keadaan tulang, prosedur pembedahan seperti ORIF. Nyeri
dan jaringan lunak disekitar tulang akan pada pasien fraktur apabila tidak segera di atasi
menentukan apakah fraktur yang terjadi dapat mengganggu proses fisiologis, nyeri
lengkap atau tidak lengkap Muttaqin (2008, merupakan tanda vital yang ke lima, nyeri
hlm.69). mengganggu hemodinamis, nyeri bisa
menimbulkan stresor, menyebabkan cemas
Prevalensi fraktur atau patah tulang menurut yang pada akhirnya dapat mengganggu
Riset Kesehatan Dasar (riskesdas) pada tahun istirahat dan proses penyembuhan penyakit.
2013 di Indonesia sabanyak 5,8 persen, Oleh karena itu, nyeri perlu di atasi agar tidak
sedangkan prevalensi di Jawa Tengah terjadi komplikasi lebih lanjut serta dapat
mengalami peningkatan mengenai kejadian mengganggu pasien dan dapat membantu
fraktur atau patah tulang yaitu 6,2 persen. proses penyembuhan pasien.
Menurut Riskesdas Jawa Tengah tahun 2007
prevalensi fraktur atau patah tulang di kota Tindakan yang dapat dilakukan untuk
Semarang adalah 6,7 persen. Adapun data mengatasi nyeri pada pasien ORIF seperti
yang diperoleh dari catatan Rekam Medik terapi farmakologi dan non farmakologi.
RSUD Ambarawa pada tahun 2014, jumlah Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat
penderita pasien fraktur yang mendapatkan dilakukan untuk mengatasi nyeri yaitu
terapi ORIF tercatat sebanyak 259 orang, pembidaian, kompres dingin dan elevasi untuk
berdasarkan fenomena yang saya dapatkan di mengurangi rasa nyeri dan edema, relaksasi
RSUD Ambarawa pasien post ORIF autogenik, relaksasi nafas dalam, distraksi,
merasakan nyeri. serta imobilisasi (Kowalak et al.,2011, hlm.
405). Metode penanganan non farmakologi
Penatalaksanaan pada pasien fraktur, untuk yang dapat dilakukan perawat adalah dengan
mempercepat proses penyembuhan dapat terapi es dan panas, stimulasi saraf listrik
dilakukan dengan meliputi rekognisi, reposisi, transkutaneus (TENS), Akupuntur, Pemberian
reduksi dapat berupa ORIF, rekondisi, Informasi, Distraksi, Imajinasi terbimbing,
imobilisasi, kompres dingin dan elevasi untuk Terapi kognitif, Relaksasi Autogenik, Slow
mengurangi rasa nyeri dan edema, relaksasi, Deep breating Relaxation dan Hipnotis.
(Kowalak et al.,2011, hlm.405). Umumnya Teknik relaksasi yang sering digunakan
pasien fraktur dilakukan tindakan pembedahan perawat dan mudah dilakukan antara lain
untuk mempercepat proses penyembuhan relaksasi autogenik dan slow deep breathing
tulang. Tindakan pembedahan yang sering relaxation untuk menurunkan nyeri post ORIF.
dilakukan seperti ORIF (open reduction and Relaksasi autogenik merupakan teknik
internal fixation). ORIF tidak hanya relaksasi yang berdasarkan konsentrasi
menyebabkan proses penyembuhan akan tetapi menggunakan persepsi tubuh yang memiliki
juga meninggalkan efek samping yaitu nyeri manfaat bagi kesehatan yang memungkinkan

2 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)


tubuh dapat merasakan perubahan pada respon berbeda. Kesimpulan mengenai efek
fisiologis tubuh yang bersifat emosional, perbedaan antara perlakuan satu dengan
sensori dan subjektif seperti penurunan nyeri lainnya dapat dicapai tanpa menggunakan
post operasi, nyeri merupakan masalah yang kelompok kontrol (Riyanto, 2011, hlm.60-
sangat mengganggu pada pasien apabila nyeri
61). Jenis penelitian ini dilakukan pretest
tidak segera diatasi akan berdampak buruk
pada kedua kelompok eksperimen tersebut
bagi tubuh. Menurut penelitian Kristiarini
(2013), relaksasi autogenik dapat menurunkan
dan diberikan perlakuan, setelah beberapa
nyeri pada ibu post Secio Cecaria dengan p waktu dilakukan postest pada kedua
value =0,000. kelompok eksperimen tersebut (Riyanto,
Slow deep breathing relaxation atau relaksasi 2011, hlm.60). Metode penelitian yang
nafas dalam merupakan teknik relaksasi yang dilakukan adalah penelitian pretest dan postest
dapat menurunkan nyeri dengan cara pada kedua kelompok eksperimen, bertujuan
merangsang susunan saraf pusat yaitu otak dan untuk mengetahui efektivitas relaksasi
sumsum tulang belakang untuk memproduksi autogenk dan slow deep breathing relaxasion
endorfrin yang berfungsi sebagai penghambat terhadap perubahan nyeri pada pasien post
nyeri. Menurut penelitian Suseno (2014), ada ORIF di RSUD Ambarawa. Pada penelitian ini
pengaruh sebelum dan sesudah diberikan dengan teknik accidental sampling dengan
relaksasi nafas dalam dan counter pressure jumlah total sampel adalah 22 responden tanpa
pada ibu nyeri persalinan kala I fase aktif kelompok control.
dengan p=0,00 atau > 0,05.
1. Distribusi frekuensi responden
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan berdasarkan karakteristik
di RSUD Ambarawa didapatkan data tahun Tabel 1
2014 terdapat pasien fraktur yang Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan
mendapatkan terapi sebanyak 259 orang. Karakteristik Responden di RSUD Ambarawa
Pasien yang menjalani ORIF semua merasakan pada bulan maret 2015
(n = 22)
nyeri. Ditandai dengan pasien sering gelisah,
tidur tidak nyenyak, tampak menahan rasa Variabel F (%)
sakit. Berdasarkan fenomena, intervensi untuk Jenis kelamin
penurunan nyeri di RSUD Ambarawa Laki-laki 15 68,2
menggunakan relaksasi nafas dalam, sehingga Perempuan 7 31,8
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Pekerjaan
Bekerja 16 72,7
mengenai efektifitas antara relaksasi autogenik
Tidak bekerja 6 27,7
dan slow deep breathing relaxation terhadap Pendidikan
penurunan nyeri pada pasien post ORIF di SD 3 13,6
RSUD Ambarawa. SMP 5 22,7
SMA 13 59,1
METODE PENELITIAN Perguruan tinggi 1 4,5
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif Usia
Remaja 3 13,6
menggunakan desain penelitian quasi Dewasa awal 12 54,5
exsperiment (eksperimen semu) dengan Dewasa menengah 4 18,2
desain yang digunakan adalah pre test and Dewasa akhir 3 13,6
post test nonequivalent control group.
Perbedaan hasil postest pada kedua Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian
kelompok disebut sebagai pengaruh besar responden berjenis kelamin laki-laki
perlakuan lebih dari satu kelompok yang berjumlah 15 orang (68,2%). Pada tingkat

Efektivitas antara relaksasi autogenik dan slow deep breathing....... (S. B. AJI, 2015) 3
pekerjaan paling banyak adalah katagero Tabel 3
bekerja yaitu 16 orang (72,7%). Pada Distribusi frekuensi responden berdasarkan
tingkat pendidikan paling banyak adalah tingkat nyeri post ORIF sebelum dan sesudah
SMA yaitu 13 (59,1%), untuk usia paling perlakuan teknik relaksasi nafas dalam.
Kemampuan Sebelum Sesudah
banyak responden usua dewasa awal
mengontrol f % f %
berjumlah 12 orang (54,5%). Tidak nyeri 0 0 0 0
Nyeri ringan 3 27,3 8 72,7
2. Gambara skala nyeri post ORIF sedelum Nyeri sedang 8 72,7 3 27,3
dan sesudah intervensi relaksasi Nyeri berat 0 0 0 0
autogenik dan relaksasi nafas dalam. Nyeri berat tidak 0 0 0 0
a. Gambaran nyeri post ORIF sebelum terkontrol
Total 11 100 11 100
dan sesudah intervensi relaksasi
autogenik.
Berdasarkan hasil tabel 3 diketahui bahwa
Tabel 2
sebelum diberikan perlakuan teknik relaksasi
Distribusi frekuensi responden berdasarkan
nafas dalam responden sebagian besar
tingkat nyeri post ORIF sebelum dan
mengalami nyeri sedang sebanyak 8 (72,7%)
sesudah pemberian teknik
orang. Setelah perlakuan teknik relaksasi nafas
relaksasi autogenik
sebagian besar responden yang mengalami
Kemampuan Sebelum Sesudah nyeri ringan sebanyak 8 (72,7%) orang.
mengontrol f % f % Gambaran katagorik kelompok relaksasi nafas
Tidak nyeri 0 0 0 0 dalam didapakan nilai mean sebelum sebesar
Nyeri ringan 2 18,2 10 90,9 4,54 dan standar deviasi 1,21. Mean sesudah
Nyeri sedang 9 81,8 1 9,1
Nyeri berat 0 0 0 0 intervensi relaksasi nafas dalam sebesar 2,90
Nyeri berat 0 0 0 0 dan setandar deviasi 0,94.
tidak
terkontrol
c. Gambaran penurunan skala nyeri sebelum
Total 11 100 11 100
dan sesudah diberikan intervensi.
Tabel 4
Berdasarkan hasil tabel 2 diketahui bahwa
sebelum diberikan perlakuan teknik relaksasi Gambaran responden berdasarkan
autogenik sebagian besar mengalami nyeri penurunan skala nyeri intervensi
sedang sebanyak 9 (81,8%) orang. Setelah pada pasien post ORIF di
diberikan intervensi teknik relaksasi autogenik RSUD Ambarawa
sebagian besar responden mengalami nyeri Relaksasi Relaksasi
ringan sebanyak 10 (90,9%) orang. Gambaran Variabel autogenik nafas dalam
̅ ± SD ̅ ± SD
kelompok intervensi relaksasi autogenik
didapakan nilai mean sebelum intervensi penurunan
2,81 ± 0,75 1,63 ± 0,67
sebesar 4,63 dan standar deviasi 1,12. skala nyeri

Mean sesudah intervensi relaksasi


autogenik sebesar 1,81, dan standar deviasi Berdasarkan tabel 4 menunjukan bahwa
0,98. selisih skala nyeri sebelum dan sesudah
b. Gambaran nyeri post ORIF sebelum dan intervensi. Terapi relaksasi autogenik
sesudah intervensi relaksasi nafas meliputi mean 2,81 dan standar deviasi
dalam. 0,75. Sedangkan relaksasi nafas dalam nilai
mean 1,63 dan setandar deviasi 0,67.

4 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)


3. Analisa perbedaan nyeri post ORIF Berdasarkan tabel 7 hasil Mann-
sebelum dan sesudah relaksasi autogeni Whitney-Test menunjukan adanya
Tabel 5 perbedaan antara relaksasi autogenik dan
Perbedaan tingkat nyeri sebelum dan sesudah relaksasi nafas dalam terlihat dari nilai p
diberikan teknik relaksasi autogenik pada = 0,002 (p<0,05). Didapatkan hasil
pasien post ORIF dengan uji statistik Mann-Whitney Test
sebelum sesudah yaitu -3,044, nilai negatif menunjukan
variabel N p t
̅ ± SD ̅ ± SD kemampuan mengontrol nyeri post
Skala 11 4,64 ± 1,81 ± 0,000 12,45 ORIF. Relaksasi autogenik lebih efektif
nyeri 1,12 0,98
dibandingkan dengan relaksasi nafas
dalam dapat dilihat dari nilai mean.
Berdasarkan tabel 5 didapatkan hasil signifikan
dengan nilai p value= 0,000 (p<0,05) dan nilai
1. Karakteristik responden
t: 12,45 artinya ada perbedaan nyeri post ORIF
a. Jenis kelamin
sebelum dan sesudah intervensi relaksasi
Hasil data karakteristik responden
autogenik.
menunjukan 15 responden (68,2%) berjenis
4. Analisa perbedaan nyeri post ORIF kelamin laki-laki dan yang berjenis kelamin
sebelum dan sesudah relaksasi nafas dalam.
perempuan 7 responden (31,8%). Jenis
Tabel 6
kelamin laki-laki pada penelitian ini
Perbedaan tingkat nyeri sebelum dan sesudah
cenderung mengalami intensitas nyeri
diberikan teknik relaksasi nafas dalam pada
sedang sebelum intervensi. Adanya
pasien post ORIF
perubahan setelah intervensi relaksasi
sebelum sesudah autogenik dari intenstas nyeri sedang ke
variabel N p t
̅ ± SD ̅ ± SD intensitas nyeri ringan, tetapi pada kelompok
Skala 1 4,54 ± 2,90 ± 0,000 8,05 terapi relaksasi nafas dalam terjadi
nyeri 1 1,21 0,94 penurunan intensitas nyeri sedang menjadi
Berdasarkan tabel 6 didapatkanhasil intensitas nyeri ringan, sejalan dengan
signifikan dengan nilai p value= 0,000 (p < penelitian yang dilakukan oleh Nurdin
0,05) dan nilai t : 8,05 yang menunjukan (2013), pengaruh teknik relaksasi nafas
bahwa ada perbedaan nyeri post ORIF dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien
post operasi fraktur di ruang Irnina A BLU
sebelum dan sesudah intervensi relaksasi
RSUP Prov Dr. R.D. Kandou Manado
nafas dalam.
dengan sampel 20 responden, didapatkan
5. Perbedaan efektifitas penurunan skala nyeri data karakteristik responden untuk jenis
relaksasi autogenik dan nafas dalam.
kelamin laki-laki terbanyak dibandingkan
Tabel 7
dengan perempuan dengan jumlah 18
Perbedaan efektifitas teknik relaksasi
responden (90%).
autogenik dan relaksasi nafas dalam terhadap
b. Pekerjaan
tingkat nyeri pada pasien post ORIF
Data karakteristik responden menunjukan
Penurunan pekerjaan memiliki presentase terbesar yaitu
Post Test skala nyeri p z 16 reponden (72,7%) dibandingkan yang
N ̅ ± SD
tidak bekerja sebesar 6 responden (27,3%).
kelompok
intervensi Jenis pekerjaan dapat mempengaruhi tingkat
autogenik nyeri seseorang. Penyakit yang berhubungan
11 2,81 ± 0,75 0,0
kelompok -3,044 dengan kerja dapat disebabkan oleh fakor
11 1,63 ± 0,67 02
intervensi
resiko kondisi tempat kerja, material yang
nafas
dalam

Efektivitas antara relaksasi autogenik dan slow deep breathing....... (S. B. AJI, 2015) 5
dipakai, peralatan kerja, proses produksi, memberi respon yang lebih rasional terhadap
dan cara kerja (Buchari. 2007. hlm.8). informasi yang datang dan akan berfikir
sejauh mana keuntungan yang mungkin
Bentuk tubuh serta tenaga yang dimiliki mereka peroleh dari gagasan tersebut.
seseorang dipengaruhi oleh aktifitas atau Semakin tinggi tingkat pendidikan membuat
pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang. pemikiran seseorang menjadi rasional dalam
Pekerjaan yang menggunakan fisik dan non mengatasi nyeri. Penelitian ini didukung
fisik dapat membentuk masa otot dan dapat oleh penelitian Oktavia, (2014), tentang
mempengaruhi sensasi nyeri. Pekerjaan pengaruh latihan teknik relaksai nafas dalam
yang sifatnya fisik membiasakan otot-otot menggunakan aromaterapi lavender dan
tubuh menjadi kencang dan kurang peka relaksasi nafas dalam terhadap intensitas
terhadap intensitas nyeri yang dirasakan, nyeri pada pasien post operasi mayor
sedangkan pekerjaan yang sifatnya non abdomen di RSUD Salatiga dengan tingkat
fisik lebih peka terhadap nyeri yang pendidikan SMA paling tinggi mencapai 7
dirasakan (Christie, 2009, hlm.9). responden (41,2%).

Hasil ini sejalan dengan penelitian yang d. Usia


dilakukan oleh Nurdin (2013) pengaruh Berdasarkan hasil penelitian pada bulan
teknik relaksasi nafas dalam terhadap Maret-April 2015 di RSUD Ambarawa
intensitas nyeri pada pasien post operasi didapatkan sebanyak 22 responden
fraktur di ruang Irnina A BLU RSUP Prov meunjukan bahwa sebagian besar responden
Dr. R.D. Kandou Manado dengan sample pada penelitian ini berada pada rentang usia
20 responden, menunjukan bahwa data dewasa awal (25-34 tahun) dengan jumlah
karakteristik responden terbanyak pada 12 orang (54,5%), selanjutnya responden
pekerjaan wiraswasta yang mengalami dengan rentang usia dewasa menengah (35-
nyeri yaitu sebanyak 8 orang (40%). 44 tahun) dengan jumlah 4 (18,2%)
c. Pendidikan menempati urutan ke dua, responden dengan
Hasil data karakteristik responden rentang usia remaja (15-24 tahun) dengan
menunjukan untuk pendidikan terbanyak jumlah 3 orang (13,6%) dan responden
adalah pendidikan SMA yaitu sebanyak 13 dengan rentang usia dewasa akhir (45-54
responden (59,1%), pada responden yang tahun) menempati urutan terakhir dengan
berlatar pendidikan SMA cenderung jumlah 3 orang (13,6%). Penelitian ini
mengalami intensitas nyeri sedang sebelum sebelum intervensi nyeri pada usia dewasa
intervensi kedua kelompok, pada kelompok awal mengalami intensitas nyeri paling
terapi relaksasi autogenik jumlah responden banyak dikedua kelompok. Terjadi
yang berpendidikan SMA setelah intervensi perubahan intensitas nyeri setelah intervensi
terjadi penurunan intensitas nyeri dari kedua kelompok, untuk kelompok relaksasi
intensitas nyeri sedang menjadi intensitas autogenik terjadi penurunan dari intensitas
nyeri ringan. Sedangkan setelah intervensi nyeri sedang menjadi nyeri ringan, pada
relaksasi nafas dalam terjadi penurunan dari kelompok intervensi relaksasi nafas dalam
intensitas nyeri sedang menjadi ringan dan terjadi penurunan dari intensitas nyeri
sedang. sedang menjadi intensitas nyeri ringan dan
nyeri sedang.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu
faktor prediposisi untuk terbentuknya Perasaan nyeri kualitas dan intensitasnya
tingkat pengetahuan. Ini didukung oleh berbeda dari setiap individu, tergantung dari
teori menurut Sukmadinata (2003, hlm.61) tempat nyeri, waktu, makna nyeri dan
orang yang berpendidikan SMA akan penyebabnya. Pada seorang lansia nyeri

6 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)


dirasakan sudah menurun, sehingga keluhan dari sebelum ke sesudah dilakukan terapi
nyeri akan berkurang karena kepekaan relaksasi autogenik.
sarafnya sudah mulai berkurang, bahkan bisa
sampai hilang (Martono & Pranaka, 2009, Berdasarkan hasil uji paired t test didapatkan p
hlm.645). lansia cenderung memendam nyeri value 0,000 (p value < 0,05) artinya ada
yang dialami, karena mereka menganggap perbedaan yang signifikan intensitas nyeri
nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani sebelum dan sesudah intervensi relaksasi
dan mereka takut kalau mengalami penyakit autogenik pada pasien post ORIF. Terapi
berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan relaksasi autogenik efektif terhadap penurunan
(Singh, 2008, dalam Novita, 2012, hlm.23). nyeri post ORIF. Hasil penelitian ini didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Supina
Toleransi nyeri terlihat meningkat sejalan (2013) yaitu relaksasi autogenik merupakan
bertambahnya umur. Umur merupakan terapi modalitas keperawatan untuk
variabel penting yang mempengaruhi menurunkan nyeri terhadap perubahan nyeri
reaksi maupun ekspresi pasien terhadap rheumatoid arthritis pada lansia di Posyandu
Lansia Desa Rempoah, Kecamatan Baturraden,
nyeri, dimana perbedaan perkembangan
Kabupaten Banyumas dengan taraf signifikan p
yang ditentukan akan kelompok umur
value = 0,000 (p value < 0,05).
dapat mempengaruhi bagaimana bereaksi
terhadap nyeri. Ini menunjukan bahwa Hal ini menunjukan bahwa relaksasi autogenik
umur mempengaruhi seseorang terhadap dapat mengatasi nyeri berdasarkan teori Gate
nyeri yang dialaminya (Koezier & Erb, Control saat neuron nyeri perifer dan neuron
2009, hlm.416). Hal ini sejalan dengan yang menuju keotak seharusnya supstansi P
penelitian yang dilakukan oleh (Risqi, akan menghantarkan implus, endorphin yang
2010, hlm.36) di RS Ortopedi Surakarta diproduksi otak dan sumsum tulang belakang
diketahui bahwa dalam 27 responden akan memblok lepasnya substansi P dari neuro
menunjukan mayoritas kelompok umur 21- sensorik, sehingga transmisi inpuls nyeri di
medulla spinalis menjadi terhambat, sehingga
30 tahun sebanyak 12 responden (44,4%).
nyeri menjadi berkurang (Potter & Perry, 2010,
hlm. 1507).
1. Intensitas nyeri sebelum dan sesudah
pemberian teknik relaksasi autogenik pada
2. Intensitas nyeri sebelum dan sesudah pemberian
pasien post ORIF.
teknik relaksasi nafas dalam pada pasien post
ORIF.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui mean
intensitas nyeri sebelum dilakukan intervensi
Hasil penelitian dapat diketahui mean intensitas
relaksasi autogenik sebesar 4,64. Setelah
nyeri sebelum relaksasi nafas dalam adalah
diberikan terapi relaksasi autogenik nilai mean
4,55. Setelah diberikan terapi relaksasi nafas
1,81. Gambaran nyeri sebelum pemberian
dalam nyeri menjadi 2,90. Gambaran nyeri
intervensi relaksasi autogenik menunjukan
sebelum pemberian terapi relaksasi nafas dalam
rata-rata intensitas nyeri sedang. Intensitas
menunjukan rata-rata intensitas nyeri ringan.
nyeri sedang yang tidak diatasi akan
Intensitas nyeri ringan apabila tidak segera
mengakibatkan bertambahnya tingkat nyeri
diatasi akan menjadi meningkat intensitas
menjadi nyeri berat kemudian juga dapat
nyerinya yaitu menjadi nyeri berat dan juga
mengganggu hemodinamika pada pasien post
dapat mengganggu himodinamika pasien post
ORIF. Terjadi penurunan intensitas nyeri
ORIF. Sebelum intervensi intensitas nyeri yaitu
setelah intervensi rata-rata menjadi nyeri
nyeri sedang setelah diberikan intervensi
ringan, dengan penurunan selisih mean 2,83
relaksasi nafas dalam intensitas nyeri post

Efektivitas antara relaksasi autogenik dan slow deep breathing....... (S. B. AJI, 2015) 7
ORIF menjadi nyeri ringan dan sedang. Terjadi signifikan dengan nilai p value= 0,000
penurunan intensitas nyeri setelah intervensi (p<0,05) dan nilai t= 12,45 yang
rata-rata menjadi nyeri ringan dan sedang, menunjukan bahwa ada perbedaan nyeri post
dengan penurunan selisih mean 1,65 dari ORIF sebelum dan sesudah intervensi
sebelum ke sesudah dilakukan terapi relaksasi relaksasi autogenik. Relaksasi autogenik
napas dalam. didapatkan mean rerate sebesar 2,83.

Berdasarkan hasil uji paired t test didapatkan p Hasil penelitian efektifitas sebelum relaksasi
value 0,000 (<0,05) artinya ada perbedaan nafas dalam didapatkan mean 4,54,
yang signifikan intensitas nyeri sebelum dan sedangkan sesudah dilakukan relaksasi nafas
sesudah intervensi relaksasi nafas dalam pada dalam didapatkan mean 2,91. Hasil
pasien post ORIF. Terapi relaksasi nafas dalam signifikan dengan nilai p value= 0,000
efektif terhadap penurunan nyeri post ORIF. (p<0,05) dan nilai t= 8,05 yang menunjukan
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian bahwa ada perbedaan nyeri post ORIF
yang dilakukan oleh Arfa, (2013) diperoleh sebelum dan sesudah intervensi relaksasi
bahwa p value = 0,000 dengan taraf nafas dalam. Relaksasi nafas dalam
signifikansi (< 0,05), yang berarti terdapat didapakan mean rerate sebesar 1,63.
perbedaan yang signifikan antara intensitas
nyeri sebelum dan setelah perlakuan teknik 4. Efektifitas pemberian teknik relaksasi
relaksasi nafas dalam. autogenik dan relaksasi nafas dalam pada
pasien post ORIF
Hal ini menunjukan bahwa relaksasi nafas
dalam dapat digunakan untuk menurunkan Hasil penelitian menunjukan mean
tingkat nyeri dengan cara menarik nafas penurunan skala nyeri setelah intervensi
melalui hidung dan dikeluarkan secara pada kelompok intevensi relaksasi autogenik
perlahan melalui mulut dengan irama yang adalah 2,81, sedangkan pada kelompok
berlahan sehingga merangsang otak dan relaksasi nafas dalam adalah 1,63 skor
sumsum tulang belakang untuk memproduksi penurunan intensitas nyeri relaksasi nafas
endorphin (substasi seperti morfin yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan
diproduksi tubuh untuk menghambat transmisi relaksasi autogenik. Berdasarkan hasil uji
inpuls nyeri). Pelepasan endorphin ini mann-whitney didapatkan data p value 0,002
menghambat transmisi neurotransmitter (p value < 0,05) sehingga dapat disimpulkan
tertentu (substansi P) sehingga terjadi bahwa ada perbedaan yang signifikan rerate
penurunan intensitas nyeri (Perry & Potter, intensitas nyeri setelah dilakukan intervensi
2006 hlm. 1529). Efek relaksasi nafas dalam antara kelompok relaksasi autogenik dan
pada nyeri memberikan efek rileks dengan cara relaksasi nafas dalam di RSUD Ambarawa.
menurunkan ketegangan otot sehingga nyeri
akan berkurang (Tamsuri, 2007, hlm.11). Penelitian menggunakan prosedur relaksasi
autogenik menurut Mariyam (2011 hlm 82-
3. Perbedaan tingkat nyeri pada pasien post 83) dengan alokasi waktu 15 menit dan
ORIF sebelum dan sesudah pemberian prosedur relaksasi nafas dalam menurut
teknik relaksasi autogenik dan relaksasi Ayudianningsih (2012) dengan alokasi
nafas dalam. waktu yang sama 15 menit. Penelitian
melakukan intervensi 6 jam setelah
Hasil penelitian efektifitas sebelum pemberian analgesik ketorolac atau 2 jam
relaksasi autogenik didapatkan mean 4,64, sebelum pemberian analgesik ketorolac
sedangkan sesudah dilakukan relaksasi berikutnya, pada hari ke 2 dan ke 3 setelah
autogenik didapatkan mean 1,81. Hasil operasi post ORIF. Analgesik ketorolac

8 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)


mulai timbul efek analgesik setelah belakang. Seperti yang diketahui bahwa
pemberian intra vena atau intra muskuler, endofrin memiliki efek relaksasi pada tubuh.
kira-kira 30 menit, dengan maksimum Endofrin juga disebut sebagai ejektor masa
analgesik tercapai dalam 1 hingga 2 jam, rileks dan ketenangan yang timbul
durasi median analgesik umumnya 4 mengeluarkan Gama Amino Butyric Acid
sampai 6 jam (Anonim, 2013, ¶1). (GABA) yang berfungsi menghambat
Penurunan intensitas nyeri pada kelompok hantaran impuls listrik dari satu nefron
relaksasi autogenik dan relaksasi nafas lainnya oleh neurotransmitter di dalam
dalam terjadi bukan akibat pengaruh sinaps. Selain itu, juga mengeluarkan
anastesi dan analgesik yang diberikan enkefaline dan beta endofrin. Sel tersebut
karena dilakukan pada waktu paruh dapat menimulkan efek analgesik yang
terminal.Penurunan rata-rata mean akhirnya mengeliminasi neurotransmitter
intensitas nyeri pada kelompok terapi rasa nyeri pada pusat persepsi dan
relaksasi autogenik 2,83 dan untuk terapi intrepretasi sensorik somatik diotak
relaksasi nafas dalam 1,65. Terapi relaksasi suhingga nyeri berkurang (Guyton & Hall.
autogenik terbukti efektif menurunkan 2008. Hlm.289).
intensitas nyeri paling banyak dibandingkan Keterbatasan Penelitian
dengan relaksasi nafas dalam pada pasien 1. Penelitian ini tidak menggunakan kelompok
post ORIF. Perbedaan penurunan ini terjadi kontrol untuk membandingkan kelompok
karena kemampuan konsentrasi dan jenis perlakuan, oleh karena itu penelitian ini
fraktur yang dialami responden atau lokasi tidak dapat membandingkan tingkat
operasi post ORIF. efektifan antara kelompok kontrol dan
kelompok intervensi
Kelompok terapi relaksasi autogenik 2. Penelitian ini tidak mengendalikan variabel
dibutuhkan waktu 15 menit sehingga pasien lain yang mungkin dapat mempengaruhi
mudah berkonsentrasi. Relaksasi autogenik hasil penelitian meliputi faktor-faktor
harus dilakukan dengan konsentrasi dengan pengalaman nyeri sebelumnya, makna nyeri
kata-kata saya tenang saya nyaman sebagai dan suport sistem.
mantra dan disertai tarik nafas melalui Simpulan
hidung dan dikeluarkan melalui mulut 1. Karakteristik responden pasien paska post
secara perlahan, dalam hal ini responden ORIF jenis kelamin paling banyak (68,2%)
harus lebih fokus berkonsentrasi untuk adalah laki-laki, usia paling banyak (54,5%)
menurunkan intensitas nyeri. Teknik adalah kelompok dewasa awal (25-34),
relaksasi memiliki manfaat untuk tingkat pendidikan terbanyak (59,1%) adalah
peningkatan konsentrasi serta peningkatan pendidikan SMA dan pekerjaan paling
rasa bugar dalam tubuh dan memberikan banyak (72,7%) adalah kelompok bekerja.
rasa nyaman, disamping itu relaksasi 2. Intensitas nyeri sebelum terapi relaksasi
autogenik dapat menurunan denyut jantung, autogenik dengan sebagian besar (81,8%)
tekanan darah, dan kecepatan pernapasan, dalam kategori nyeri sedang. Setelah
dan menurunkan kebutuhan oksigen, dilakukan terapi relaksasi autogenik rata-rata
perasaan damai, serta menurunkan nyeri menjadi 1,82 sebagian besar (90,9%)
ketegangan otot dan kecepatan metabolisme mengalami nyeri dengan intensitas ringan.
(Smeltzer & Bare, 2013, hlm.233). 3. Intensitas nyeri sebelum terapi relaksasi
napas dalam sebagian besar (72,7%) dalam
Relaksasi autogenik dapat merangsang kategori nyeri sedang. Setelah dilakukan
peningkatan hormone endofrin yang terapi relaksasi napas dalam rata-rata nyeri
merupakan substansi sejenis morfin yang menjadi 2,91 sebagian besar (72,7%)
dihasilkan oleh otak dan sumsum tulang mengalami nyeri ringan.

Efektivitas antara relaksasi autogenik dan slow deep breathing....... (S. B. AJI, 2015) 9
4. Relaksasi autogenik lebih efektif dalam kebutuhan dasar klien. Jakarta:Salemba
menurunkan nyeri post ORIF dibandingkan medika
dengan terapi relaksasi nafas dalam dari Athba. 3013. Pekerjaan yang sangat beresiko.
hasil uji Mann-Whitney yaitu p value 0,002. http://www.athba.net/2013/08/jenis-
Saran pekerjaan-yang-sangat-beresiko.html
1. Bagi layanan kesehatan diperoleh Selasa 12 mei 2015
Diharapkan hasil penelitian ini pemilihan Ayudianningsih. (2012).Pengaruh teknik
relaksasi autogenik sebagai sebuah metode relaksasi nafas dalam terhadap penurunan
terapi non farmakologi dalam intervensi tingkat nyeri pada pasien pasca operasi
mandiri keperawatan untuk mengatasi nyeri fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama
paska post operasi atau dalam managemen Surakarta.
nyeri dan menjadi salah satu standart http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handle/1234
prosedur operasional (SPO) dalam 56789/3607 Diperoleh sabtu 6 desember
keperawatan paska post ORIF. 2014
2. Bagi institusi pendidikan Buchari. (2007). Penyakit akibat kerja dan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat penyakit terkait kerja.
menjadi intervensi dan tambahan sebagai http://respiratory.usu.ac.id/bitstream/123456
bahan masukan ilmiah dan teoritis untuk 789/1432/1/07002746.pdf diperoleh Rabu
kepentingan pendidikan khususnya asuhan 13 Mei 2015
keperawatan dalam managemen nyeri post Brunelli. C, Zaecca. E, Martint. C, Campa. T,
ORIF. Fagnoni. E, Bangnasco. M, Lanata. L,
3. Bagi peneliti selanjutnya Caraceni, A. (2010). Comparation of
Peneliti selanjutnya yang akan melakukan numerical and verbal rithing scale to
penelitian sejenis diharapkan dapat measure pain. Biomet sentral, 42, 1-8.
mengendalikan karakteristik responden http://www.nebi.nim.nih.gov/pubmed/20412
yang dapat mempengaruhi intensitas nyeri 579. diperoleh Rabu 18 februari 2015
meliputi: lokasi dan konfigurasi fraktur, Christie. P., Y. (2009). Pengaruh teknik
pengalaman nyeri sebelumnya, makna hipnosis terhadap penurunan intensitas
nyeri, kecemasan dan faktor pendukung. nyeri pada pasien post operasi fraktur di
Rumah Sakit Polpus R.S Sukanto dan
DAFTAR PUSTAKA RSPAD Gatot Soebroto. Jakarta:UPN
Andarmoyo, S. (2013). Konsep dan proses Veteran Jakarta.
keperawatan nyeri. Yogyakarta:Ar-Ruzz http://www.library.upnvj.ac.id/pdf,
Anonim. (2013). Ketorolac. diperoleh tanggal 21 Juni 2015
http://www.hexpharmjaya.com/page/Profil- Dahlan. M., S. (2009). Statistik untuk
Pabrik.aspx#/pics/Pabrik/plant.jpg keperawatan dan kesehatan. Edisi. 4.
diperoleh pada Selasa 12 Mei 2015. Jakarta: Salemba Medika.
Arfa, M. (2013). Pengaruh teknik relaksasi Dharma. K., K., (2011). Metodologi penelitian
nafas dalam terhadap penurunan nyeri keperawatan panduan melaksanakan dan
pada pasien post operasi appendisitis di menerapkan hasil penelitian. Jakarta:TIM
Ruangan Bedah RSUD Prof. Dr. Hi. Aloei Dinkes.(2013). Profil kesehatan indonesia
Saboe Kota Gorontalo 2013.
http://eprints.ung.ac.id/1927/2/2012-2- dinkesjatengprov.go.id/dokumen/2013/SDK/
14201-841408019-abstraksi- Mibangkes/profil2012/BAB_I-
26012013065623.pdf diperoleh pada VI_2012_fix.pdf diperoleh pada, Selasa 09
Selasa 12 Mei 2015. Desember 2014
Asmadi. (2008). Teknik prosedural Frada, R., A (2011). Pengaruh teknik relaksasi
keperawatan: konsep dan aplikasi autogenik terhadap tingkat kecemasan pada

10 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)


ibu primigrafida trimester III di wilayah gangguan sistem muskoloskeletal.
kerja puskesmas Kotakulon Kabupaten Jakarta:Salemba Medika.
Bondowoso. Martono. H dan Pranaka. K (2009). Geriatri
http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle (ilmu kesehatan lanjut). Jakarta:Fakultas
/123456789/1556/Skripsi_Rizka%20A.%20 Kedokteran Universitas Indonesia
Farada_001.pdf?sequence=1. diperoleh Maryam, R. S., Prio, A. Z., Rita, H. W.,
Selasa, 27 Januari 2015 Hamdianan, A. B., Asep, I., & Akhmadi.
Guyton. A., C dan Hall. J.,E (2008). Fisiologi (2010). Buku panduan kader posbindu
kedokteran. Edisi 11. Alih bahasa: Erawati lansia. Jakarta:TIM
et al. Jakarta:EGC Muttaqin, A. (2008). Buku ajar asuhan
Helmi, Z., N. (2013). Buku ajar gangguan keperawatan klien gangguan sisitem
muskuloskeletal. Jakarta:Salemba Medika muskuloskeletal. Jakarta:EGC
Hidayat A. A. (2009). Metode penelitian Notoatmodjo, S. (2005). Metodologi penelitian
kebidanan teknik analisa data. Edisi 3. kesehatan edisi revisi. Jakarta:Renika Cipta
Jakarta:Salemba Medika (2010). Metodologi penelitian kesehatan.
Hoppenfeld, S., & Murthy, V., L. (2011). Jakarta:Rineka Cipta
Therapy and rehabilitas fraktur or (2012). Metodologi penelitian kesehatan.
treatment & rehabilitation of fractures. Jakarta:Rineka Cipta.
Jakarta:EGC Novita. D. (2012). Pengaruh terapi musik
Kneale. J., & Davis. P. (2011). Keperawatan terhadap nyeri post operasi open reduction
ortopedik & trauma. Jakarta:EGC and internal fixtation (ORIF) di RSUD Dr.
Kozier. B., & Erb. G. (2009). Buku ajar H. Abdul Moeloek. Prof. Lampung.
keperawatan kliniks. Edisi 5 alih bahasa: http://www.digital_20328120_T30673_peng
Eni. N, Esty. W, Devi. Y. Jakarta:EGC aruhterapi_5.pdf. Diperoleh Sabtu 23 mei
Kozier. B., Erb. G, Berman. A, & Snyder. S., 2015.
J. (2011). Buku ajar keperawatan kliniks. Nursalam (2013). Metodelogi penelitian ilmu
Alih bahasa:Karyuni yulianti, yuningsih, keperawaran pendekatan praktik edisi 3.
lusyuna dan eka. Edisi 7, volume 2 Jakarta: Medika Salemba
Jakarta:EGC Nurdin (2013). Pengaruh teknik relaksasi nafas
Kowalak, J.P., Welsh,W., & Mayer, B. (2011). dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien
Buku ajar patofisiologi. Jakarta:EGC post operasi fraktur di ruang Imina A BLU
Kristiarini .(2013). Pengaruh teknik relaksasi RSUP Prov Dr. R.D. Kandau Manado.
autogenik terhadap skala nyeri pada ibu http://ejurnal.unsrat.ac.id/index.php/jkp/artic
post operasi sectio caesaria (SC) di RSUD le/viewFile/2243/1800 diperoleh Rabu 13
BANYUMAS Mei 2015
http://keperawatan.unsoed.ac.id/content/pen Oktavia, C., H (2014). Pengaruh latihan teknik
garuh-teknik-relaksasi-autogenik-terhadap- relaksai nafas dalam menggunakan
skala-nyeri-pada-ibu-post-operasi- aromaterapi lavender dan relaksasi nafas
sectio?language=en diperoleh Sabtu, 6 dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien
Desember 2014 post operasi mayor abdomen di RSUD
Kriyanto, R. (2012). Teknis peraktis riset Salatiga.
komunikasi. Potter, P., A. & Perry, A., G., (2005). Buku
http://rachmatkriyantono.lecture.ub.ac.id/fil ajar fundamental keperawatan: konsep,
es/2013/02/SAMPLING.pdf. diperoleh rabu proses dan praktik. Vol 1. Edisi 4.
10 juni 2015 Jakarta:EGC
Lukman & Ningsih, N, (2009). Asuhan (2006). Fundemental of nursing fundemental
keperawatan pada pasien dengan keperawatan. Jakarta:Salemba Medika

Efektivitas antara relaksasi autogenik dan slow deep breathing....... (S. B. AJI, 2015) 11
(2010). Fundemental of nursing posyandu lansia desa, Rempoah, Kecamatan
fundemental keperawatan. Edisi 7. Baturraden, Kabupaten Banyumas.
Jakarta:Salemba Medika http://digilib.shb.ac.id/gdl.php?mod=browse
Prasetyo, S., N. (2010). Konsep dan proses &op=read&id=shb--supinahnim-145.
keperawatan nyeri. Yogyakarta:Graha Ilmu diperoleh Selasa, 27 Januari 2015
Risqi. Y., A (2010). Pengaruh hipnoterapi Suseno. Y., A. (2014). Pengaruh teknik
terhadap penurunan nyeri pada post relaksasi nafas dalam dan counter pressure
operasi fraktur diruang rawat inap bedah terhadap penurunan nyeri kala I fase aktif
RS. Ortopedi Surakarta. pada ibu persalinan normal di RSUD
http://www.publikasiIlmiah.UMS.ac.id/ban Ungaran Semarang
dle/23456789/3643. diperoleh Sabtu 23 mei Suyanto dan Salamah, U. (2009). Riset
2015 kebidanan metodologi dan aplikasi.
Riyanto, A (2011). Aplikasi metodelogi Yogyakarta: Mitra Cendikia
penelitian kesehatan dilengkapi contoh Stevans. P, Schade. A., Chalk.B.,& Slevin. O.
koesioner dan laporan penelitian. (2005). Pengantar riset pendekatan ilmiah
Yogyakarta: Nuha Medika untuk provesi kesehatan. Alih bahasa: Palupi
Saragih, S., D. (2010). Efektivitas terapi music Widyastuti, SKM Jakarta: EGC
terhadap intensitas nyeri pada pasien Tajuddin, I. (2011). Pelatihan relaksasi
kanker nyeri kronis di RSUP H. Adam autogenik untuk menurunkan tingkat stres
Malik Medan. http://respiratory.usu.id/.pdf. pada penderita hipertensi.
Diperoleh Selasa 12 mei 2015. http://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=peneliti
Saryono. (2009). Metodologi penelitian an_detail&sub=PenelitianDetail&act=view
kesehatan penuntun praktis bagi pemula. &typ=html&buku_id=51796. diperoleh
Yogyakarta:Mitra Cendikia Press Selasa, 27 Januari 2015
Setiawan, A & Saryono (2011). Metodologi Tamsuri, A. (2007). Konsep dan
penelitian kebidanan DIII, DIV, S1 dan S2. penatalaksanaan nyeri. Jakarta:EGC
Yogyakarta:Moha Medika Tiana, Y. ( 2014). Pengaruh intervensi
Setyoadi & Kushariayadi. (2011). Terapi keperawatan teknik relaksasi autogenik
modalitas keperawatan pada klien terhadap tingkat kecemasan pada pasien pre
psikogeriatrik. Jakarta:Salemba Medika operasi di RSUD Ungaran.
Sjamsuhidajat, R & Jong. D., W. (2005). Buku http://perpusnwu.web.id/karyailmiah/docum
ajar ilmu bedah. Jakarta:EGC ents/3831.pdf diperoleh Selasa, 27 Januari
Sjamsuhidajat, R. Karnadihardja, W. 2015
Prasetyono. T., O., H. Rudiman. R. (2011). Wahid. A. (2013). Asuhan keperawatan dengan
Buku ajar ilmu bedah. Edisi 3. Jakarta:EGC gangguan sistem muskuloskeletal.
Smeltzer, S., C., J & Bare, B., G. (2008) . Buku Jakarta:CV Sagung Seto
ajar keperawatan medikal bedah. Alih Wasis. (2008). Pedoman riset praktis untuk
bahasa: Agung Waluyo. Jakarta:EGC profesi perawat. Jakarta
(2013) . Buku ajar keperawatan medikal EGC.https://books.google.co.id/books?id=u
bedah. Alih bahasa: Agung Waluyo. Vol 1. VQetJXybEYC&pg=PA94&dq=kegunaan+r
Edisi 8. Jakarta:EGC elaksasi+autogenik&hl=id&sa=X&ei=OTjH
Sugiyono. (2012). Setatistik untuk penelitian. VKb2O4KhmgWiu4LoBA&redir_esc=y#v=
Bandung:Alfabeta onepage&q=kegunaan%20relaksasi%20auto
Sukmadinata. (2013). Landasan pendidikan. genik&f=false. diperoleh Selasa, 27
Jakarta:Raja Grafindo Persada Januari 2015
Supina. (2013). Pengaruh terapi relaksasi
autogenik terhadap perubahan nyeri
rheumatoid arthritir pada lansia di

12 Jurnal Ilmu Keperawatan dan Kebidanan (JIKK)


ABSTRAK

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada pasien bedah ortopedi


yang menjalani tindakan operasi berupa ORIF di Instalasi Rawat Inap Rumah
Sakit Pertamina Balikpapan bulan Januari 2006-Januari 2007 sebanyak 60 data
rekam medis yang telah memenuhi kriteria inklusi, dapat diketahui pola
penggunaan analgesik pada pasien bedah ortopedi yang menjalani tindakan
operasi berupa ORIF.
Berdasarkan jenis analgesik, yang sering digunakan pada pasien sebagai
premedikasi tindakan ORIF adalah golongan Fentanyl(Opioid) yaitu sebanyak 11
pasien (18,33%).
Sedangkan jenis analgesik yang sering digunakan pada pasien yang telah
menjalani ORIF adalah Tramadol HCl(Opioid) sebanyak 42 pasien (38,53%).
Setelah pasien menjalani ORIF, perlu diberikan analgesik untuk mengatasi
nyeri post operasi dan berdasarkan jenis pengobatan, dapat dilihat bahwa jenis
analgesik tunggal yang sering diberikan pasien setelah menjalani ORIF adalah
Tramadol HCl (Opioid) sebanyak 18 pasien (30,521%).
Pada pemberian analgesik kombinasi, dapat dilihat bahwa jenis analgesik
kombinasi yang sering digunakan pada pasien setelah menjalani ORIF untuk
mengatasi nyeri yaitu Ketorolac tromethamine (NSAID) + Tramadol HCl
(Opioid) sebanyak 5 pasien (8,47%).
Pada premedikasi, analgesik yang banyak diberikan adalah analgesik yang
hanya bekerja di sentral (Opioid), sedangkan analgesik yang banyak diberikan
setelah operasi (berupa analgesik tunggal) adalah analgesik yang bekerja di sentral
(Opioid). Pada pemberian analgesik kombinasi, yang sering diberikan adalah

ix
analgesik yang bekerja di sentral dan di perifer (kombinasi) yaitu NSAID +
Opioid.
Lama perawatan/pengobatan pada pasien sebelum dan sesudah menjalani
ORIF dan manjalani rawat inap yang paling banyak adalah 1-5 hari sebanyak 44
pasien (73,33%). Yaitu hampir sebagian besar pasien.
Berdasarkan pengamatan secara umum, rute pemberian yang paling banyak
diberikan baik pada premedikasi (sebelum operasi) maupun setelah menjalani
ORIF adalah intravena dengan bentuk sediaan injeksi.
Jenis kelamin yang paling banyak menjalani ORIF adalah laki-laki yaitu
sebanyak 40 pasien (66,67%) sedangkan perempuan sebanyak 20 pasien
(33,33%).
ORIF sering dilakukan pada Close Fraktur yaitu sebanyak 45 pasien (75%)
sedangkan Open Fraktur sebanyak 15 pasien (25%).
Secara keseluruhan, kelompok usia yang paling banyak menjalani ORIF
baik untuk Closed maupun Opened Fraktur adalah kelompok dewasa dengan usia
>18-65 tahun sebayak 39 pasien (65%).
Pemberian analgesik berdasarkan dari pengalaman dokter dan tingkat
nyeri yang dialami pasien. Pemberian analgesik tunggal berupa NSAID post
operasi seperti Parasetamol kurang tepat, karena tidak mampu mengatasi nyeri
yang muncul post operasi dimana nyeri yang muncul adalah sedang sampai berat.
Kecuali NSAID generasi terbaru, seperti Keterolac Tromethamin yang memiliki
efek analgesik yang hampir sama dengan Opioid. Namun, analgesik (NSAID)
yang diberikan tetap mengacu pada tingkat nyeri yang dialami pasien.

Anda mungkin juga menyukai