Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Garam merupakan salah satu komoditi strategis Indonesia dimana
penggunaannya tidak hanya untuk konsumsi manusia melainkan juga sebagai
bahan baku industri serta untuk pengasinan dan aneka pangan. Selain itu garam
juga merupakan salah satu sumber sodium dan chloride dimana kedua unsur
tersebut diperlukan untuk metabolisme tubuh manusia. Kebutuhan akan natrium
klorida didasarkan pada konsumsi air, disarankan satu gram natrium klorida untuk
setiap liter air yang diminum. Seorang dewasa diperkirakan memerlukan satu
milliliter air per kilokalori per hari. Oleh karena itu kebutuhan akan komoditi
garam sangat penting untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Sebagai negara kepulauan yang dikelililingi laut dan samudera, Indonesia
dikenal sebagai penghasil garam yang cukup besar dengan kualitas yang baik.
Wilayah Indonesia terdiri dari 1/3 daratan dan 2/3 lautan, dimana dalam kondisi
normal setiap tahunnya mengalami iklim kemarau sekitar 6 (enam) bulan dan
secara geografis kondisi tersebut merupakan salah satu yang menjadi faktor
pendukung produksi garam. Menurut Kementerian Perikanan dan Kelautan tahun
2011, luas lahan garam mencapai 25.064 ha dimanfaatkan untuk memproduksi
garam. Lahan tersebut tersebar di sembilan propinsi yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam (75 ha), Jawa Barat (3.700 ha), Jawa Tengah (6.148 ha), Jawa Timur
(10.314 ha), Bali (114 ha), Nusa Tenggara Timur (221 ha), Nusa Tenggara Barat
(2.290 ha), Sulawesi Tengah (18 ha), dan Sulawesi Selatan (1.513 ha). Produsen
garam dalam negeri tersebar di sembilan provinsi potensial tersebut dengan
produksi total 1.113.118 ton pada tahun 2011. Dengan potensi ini maka sangat
memungkinkan bagi Indonesia untuk bisa secara mandiri menyediakan komoditi
garam untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Berdasarkan data yang ada, kebutuhan garam di Indonesia pada 2014
sebanyak 3,33 juta ton. Kebutuhan garam itu meliputi antara lain garam konsumsi
756.000 ton dan garam industri 2,57 juta ton. Impor garam industri pada 2014
sebanyak 2,16 juta ton. Sebagai gambaran, berdasarkan data AIPGI, garam
konsumsi adalah garam yang dapat diolah menjadi garam rumah tangga atau
garam meja dan garam diet yang khusus dikonsumsi penderita hipertensi. Garam
industri digunakan sebagai bahan baku produksi industri kimia, industri aneka
pangan, industri farmasi, industri perminyakan, industri penyamakan kulit, dan
pengolahan air.
Di Sulawesi Selatan tepatnya di Kabupaten Jeneponto adalah salah satu
sentra penghasil garam di Indonesia. Kabupaten yang terletak 90 km sebelah
selatan Kota Makassar ini sejak dulu terkenal sebagai salah satu daerah dengan
tambak garam yang luas yang tersebar di empat kecamatan yakni Kecamatan
Bangkala Barat, Bangkala, Tamalatea dan Arungkeke. Berdasarkan analisis citra
satelit Quickbird (2014), menunjukan luas tambak di wilayah Kabupaten
Jeneponto sebesar 519,89 ha, dimana Kecamatan Bangkala memiliki luas tambak
terbesar yakni 479,43 ha (31.54%), Tamalatea 454,86 ha (29.93%), Kecamatan
Arungkeke sebesar 328,61 ha (21.62%) dan Kecamatan Bangkala Barat 256,98 ha
(16.91%).
Berdasarkan data yang diperoleh, di Kecamatan Bangkala, luas lahan
tambak garam setiap tahunnya berkurang. Pada tahun 2012, luas tambak garam
536,82 Ha, sedangkan pada tahun 2015, luas tambak garam 479,43 Ha. Dari
tahun 2012 sampai tahun 2015, luas tambak garam telah berkurang sebesar 57,39
Ha. Jumlah produksi garam yang dihasilkan setiap tahunnya juga mengalami
penurunan. Pada tahun 2012 jumlah produksi garam mencapai 48.022,63 Ton,
sedangkan pada tahun 2015 jumlah produksi sebesar 34.930,13 Ton. Sejak tahun
2012 sampai tahun 2015 terjadi penurunan jumlah produksi garam sebesar
13.092,5 Ton.
Potensi garam yang ada di Kabupaten Jeneponto bisa menjadi salah satu
pemasok besar dalam menunjang swasembada garam. Namun masalah yang
dihadapi para petani tambak garam di Kabupaten Jeneponto tidak jauh berbeda
dengan masalah yang dihadapi daerah lain seperti penurunan produksi yang
diakibatkan karena faktor cuaca yang tidak menentu, status pemilikan lahan,
struktur pemasaran, proses produksi garam yang masih sangat tradisional karena
kurangnya teknologi produksi sehingga menyebabkan kualitas garam rendah
(Wahyudi 2013). Rendahnya kualitas garam tersebut mengakibatkan rendahnya
harga yang diterima petambak garam, kondisi tersebut jelas mempengaruhi
kesejahteraan petambak garam (Rindayani 2013).
Dari data di atas maka perlu di adakan sebuah teknologi yang cukup
canggih walaupun di saat musim hujan tidak terjadi penurunan produksi garam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana memanfaatkan potensi alam menjadi sebuah energy?
2. Teknologi apa yang bias membantu masyarakat tertutama petani tambak
garam?

Anda mungkin juga menyukai