Perspektif ke Depan
Anne W.M. Lee, Brigette B.Y. Ma, Wai Tong Ng, and Anthony T.C. Chan
INTRODUCTION
Stadium TNM masih menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan
prognosis karsinoma nasofaring. Berdasarkan American Joint Committee on
Cancer (AJCC)/International Union Against Cancer (UICC), penetapan stadium
kanker dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kemajuan diagnostik dan terapi
radiologi. AJCC/UICC mengenai stadium karsinoma nasofaring, menyatakan
bahwa ada tiga area dalam edisi ketujuh yang mungkin akan mengalami revisi
pada edisi ke delapan. Pertama, kriteria stadium N3b saat ini didefinisikan sebagai
perluasan tumor ke fossa supraklavikula sebuah area triangular yang ditandai
dengan margo superior sternum sampai klavikula, margo superior lateral sampai
klavikula, dan titik dimana leher bertemu dengan bahu. Namun, definisi yang
dikenalkan oleh Ho ini, hanya berdasarkan pemeriksaan fisik. Saat ini banyak data
yang menambahkan bahwa area dapat meluas dari fossa supraklavikula sampai
area bawah leher, termasuk level IV dan IVb. Definisi yang lebih luas ini
memungkinkan penilaian radiologis tanpa mempengaruhi prognosis N3b secara
keseluruhan. Area kedua mempertimbangkan definisi penyakit T4 yang
menginvasi ruang masater yang merupakan sinonim dari fossa infratemporal
seperti yang tertulis dalam kriteria AJCC/UICC edisi ke enam. Klarifikasi dan
redefinisi diperlukan dalam kriteria ini, karena pasien dengan perluasan tumor
terbatas pada otot pterygoid umumnya memiliki prognosis lebih baik pada pasien
dengan T2 dibandingkan pada pasien dengan T4. Area ketiga mempertimbangkan
bahwa perbedaan prognosis antara derajat T1 dan T3 menyempit dengan
pengobatan modern, karena itu pengelompokan ulang dibutuhkan untuk
pengobatan yang lebih baik.
KEUNTUNGAN RADIOTERAPI
Meskipun IMRT dapat mencapai tingkat kontrol lesi lokal yang sangat baik dalam
5 tahun (> 90% untuk stage T3), tetapi stage T4 masih berkisar dari 74% hingga
80% (Tabel 1). Toksisitas lanjut, terutama kerusakan neurologis, juga lebih sering
terjadi setelah radioterapi pada karsinoma nasofaring stage T3 hingga T4. Prinsip
umumnya adalah untuk mengelola dosis maksimum dengan dosis yang dapat
ditoleransi organ yang berisiko. Untuk mengoptimalkan keseimbangan antara
kontrol lokal dan komplikasi, diperlukan batasan dosis pengobatan dan data dosis
maksimum yang dapat ditoleransi organ yang berisiko. Volume dosis dibawah
target (< 65 unit) adalah salah satu faktor yang paling signifikan yang
mempengaruhi kontrol tumor dan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Oleh
karena itu, modifikasi batasan dosis dengan dimasukkannya ukuran volume tumor
(GTV) sebagai salah satu parameter utama dan penerimaan dosis yang lebih tinggi
pada organ yang berisiko (misalnya, lobus temporal dan saraf optik unilateral)
sekarang sedang diuji dengan hati-hati.
Untuk tumor primer yang berbatasan atau mengenai organ penting, salah satu
praktik yang umum adalah menambahkan induksi kemoterapi (cisplatin) untuk
menyusutkan jumlah tumor. Strategi baru lainnya yang memerlukan penelitian
lebih lanjut adalah penggunaan terapi proton atau partikel berat, dan penggunaan
radiosensitisasi selektif dan radio protektan organ-organ beresiko. Saat ini praktek
yang dilakukan adalah meresepkan dosis standar (sekitar 70 unit) untuk seluruh
jumlah volume tumor. Perspektif masa depan lainnya adalah untuk menyesuaikan
dosis radiasi. Dengan munculnya Tomografi Emisi Positron dan MRI, hal tersebut
memungkinkan untuk dapat memberikan tingkat dosis paling tepat untuk volume
target yang berbeda dengan IMRT, sehingga mengoptimalkan rasio terapeutik
untuk setiap pasien.
Dengan hampir setengah dari semua pasien datang pada stadium lanjut dan
sepertiga dari mereka kemudian meninggal akibat kanker ini dalam 5 tahun
diagnosis, pengobatan karsinoma nasofaring stage III hingga IVB telah menjadi
fokus utama penelitian selama 1 dekade ini. Peningkatan hasil pengobatan dengan
penggunaan CRT adalah hal penting dalam upaya ini. Setidaknya sampai saat ini
sembilan penelitian acak telah membandingkan CRT (adjuvant kemoterapi)
versus radioterapi saja. Penelitian ini melaporkan bahwa terdapat peningkatan
kelangsungan hidup yang signifikan, dan di beberapa penelitian dilaporkan bahwa
nilai kematian berkisar 0,51-0,71 setelah 3-5 tahun follow up. Manfaat ini telah
diamati terlepas dari beragam jenis kemoterapi yang digunakan. Namun, dalam
beberapa analisa, cisplatin yang diberikan selama fase konkuren telah terbukti
mempengaruhi kontrol lesi locoregional dan kelangsungan hidup (survival rate).
Analisis dari beberapa penelitian acak juga mengatakan bahwa kelangsungan
hidup mungkin lebih besar pada pasien dengan stage T3 dan T4.
Manfaat induksi kemoterapi untuk CRT pada karsinoma nasofaring stadium III
hingga IVB adalah subjek penelitan yang sering dilakukan. Penelitian oleh Hui et
al pada tahun 2009 adalah penelitian yang pertama melaporkan manfaat
kelangsungan hidup yang baik pada pasien dengan karsinoma nasofaring stadium
III hingga IVB yang mendapatkan kemoterpi dan CRT. Penelitian ini juga
menemukan hasil yang signifikan yaitu meningkatnya kelangsungan hidup
sebanyak 26,5% selama 3 tahun pada pasien yang diberikan cisplatin dan
docetaxel untuk CRT. Sekarang, setidaknya enam penelitian acak telah dimulai
atau dilaporkan di center-center di Hong Kong, Singapura, Taiwan, Eropa dan
Cina.
Penelitian yang dilakukan oleh Tan dkk dan Fountzilas dkk, meneliti tentang
penggunaan kemoterapi rejimen triplet sebelum CRT, gagal mencapai
kelangsungan hidup pada 3 tahun. Penelitian Asix-arm dari Hong Kong meneliti
803 pasien karsinoma nasofaring stage III hingga IVB untuk untuk menjawab
pertanyaan tentang urutan obat, fraksinasi RT, dan penggantian fluorouracil (FU)
dengan capecitabine. Penelitian tersebut menggunakan rejimen konkuren cisplatin
dan ciplastatin dan fluoroacil secara bersamaan dan didapatkan hasil gagal
memenuhi tujuan utama penelitian. Mereka menyarankan capecitabine oral
mungkin merupakan alternatif yang aman untuk fluoroacil, dan peningkatan RT
tidak dianjurkan untuk pasien yang menjalani CRT pada karsinoma nasofaring
stadium lanjut. Perlu dicatat bahwa durasi follow up dari penelitian tersebut
hanya sekitar 3 tahun; jadi, follow up yang lebih lama diperlukan sebelum
menarik kesimpulan penggunaan tambahan kemoterapi untuk CRT. Orang
berpendapat besarnya peluang pengobatan karsinoma nasofaring ini kecil. Ini
menyiratkan bahwa penelitian pada stage III sangat diperlukan. Hanya beberapa
kelompok tertentu yang mendapatkan manfaat pengobatan seperti pada pasien
yang respon lebih awal terhadap kemoterapi. Banyak bukti yang memberikan
hasil bahwa kemoterapi pada penyakit stadium III hingga IVB tetap tidak cukup
untuk hasil yang maksimal, dan hasil penelitian stage III masih ditunggu-tunggu.
Baru-baru ini yang menjadi sorotan penelitian adalah peran kemoterapi pada
karsinoma nasofaring stage III hingga IVB dan penggunaan CRT pada stadium II
karena sampai saat ini, tidak ada penelitian acak pada stage III yang telah
menunjukkan keuntungan bertahan hidup dengan kemoterapi ajuvan.
Penelitian stage III terbesar yang dilaporkan sampai saat ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Chen dkk, mereka menemukan bahwa penambahan cisplatin
dan fluoroacil tidak meningkatkan kelangsungan hidup setelah di follow up
selama 2 tahun, dengan HR 0,74 (95% CI, 0,49-1,10;P=13). Selain itu, kepatuhan
menjadi masalah; hanya 63% dari pasien dapat menyelesaikan kemoterapi hingga
akhir.
Data dari literatur saat ini tidak memungkinkan untuk merekomendasikan
penggunaan kemoterapi adjuvant setelah CRT secara locoregional pada karsinoma
nasofaring tingkat lanjut. Fokus penelitian saat ini adalah mengidentifikasi pasien
yang mungkin mendapat manfaat yang maksimal dari kemoterapi adjuvan. Karena
peningkatan DNA virus Epstein-Barr di dalam darah pada 6 hingga 8 minggu
setelah radioterapi dapat meningkatkan risiko kekambuhan kanker hamper 12 kali,
12 peneliti dari kelompok karsinoma nasofaring Hong Kong dan NRG Oncology
sedang menyelidiki kegunaan plasma EBV pasca perawatan kemoterapi ajuvan.
Atas dasar wawasan ini, pengembangan terapi baru sebagian besar mengikuti tiga
pendekatan: yaitu penargetan transduksi sinyal dan angiogenesis, modulasi
ekspresi gen, dan imunoterapi kanker (Gambar 1). Kemajuan ilmiah dalam
bidang-bidang ini agak tertinggal dari pencapaian penelitian dasar, dan bukti
terbaik dalam literatur kontemporer adalah sebagian besar terbatas pada penelitian
stage II saja. Dalam segi pengobatan yang menggunakan inhibitor epidermal
growth factor receptor (misalnya, gefitinib dan cetuximab) dan angiogenesis
inhibitor (misalnya, pazopanib dan sunitinib) telah dilaporkan terdapat kegagalan.
Misalnya, dalam penelitian pazopanib dan sunitinib, waktu untuk tumor berhenti
berkembang mencapai 4,4 bulan, ternyata penggunaan cetuximab plus carboplatin
lebih baik yaitu mencapai 2,7 bulan. Waktu untuk tumor berhenti berkembang
pada penggunaan gemcitabine atau capecitabine pada populasi yang sama adalah
5 hingga 7,5 bulan.
Sampai saat ini, hanya garis sel C666-1 dan beberapa xenografts yang terbukti
diturunkan pasien secara stabil pada tahun 1990 yang menunjukkan bahwa
terdapat genom virus Epstein-Barr dalam kultur. Dalam sebuah studi baru-baru ini
menggunakan analisis RNA, ditemukan beberapa garis sel yang biasa digunakan
dalam studi karsinoma nasofaring bisa saja terkontaminasi oleh human papilloma
virus- membawa sel HeLa. Kekurangan jenis-jenis karsinoma nasofaring yang
bisa diekspresikan secara stabil melalui penyimpangan genetik tertentu,
menyebakan sulitnya menentukan keefektifan obat kanker. Masalah ini
menyebabkan hambatan ketika merancang percobaan klinis untuk obat-obatan
terhadap pensinyalan ERBB-PI3K pada karsinoma nasofaring. Karena pada
kanker lain, seperti kanker sel skuamosa kepala dan leher, tumor yang
mengandung mutasi PIK3CA lebih sensitif terhadap PI3K inhibitor dibandingkan
yang tidak. Prevalensi mutasi PIK3CA pada karsinoma nasofaring cukup rendah
yaitu 6% dari 65 pasien. Namun, dalam literatur mengatakan mutasi PIK3CA bisa
memprediksi respons PI3K terhadap mamalia target dengan menggunakan
rapamycin. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistematis untuk
pengembangan obat baru.
Imunoterapi kanker merupakan pilar terapeutik lainnya dalam mengobati
karsinoma nasofaring. Yang terdiri dari berbagai strategi yaitu imunoterapi aktif
dan antibodi untuk virus Epstein-Barr, Induksi untuk mematikan siklus hidup
virus Epstein-Barr, dan pemeriksaan imun.
Sifat utama dari infeksi virus Epstein-Barr pada karsinoma nasofaring adalah
virus tersebut mengekspresikan antigen virus laten tipe II yang buruk. Nuklir EB
antigen-1 (EBNA1) sering diekspresikan pada karsinoma nasofaring dan menjadi
target dominan untuk CD4+ Sel T. Membran protein laten-1 (LMP1) dan LMP2
diekspresikan sekitar 50% pada karsinoma nasofaring, dan keduanya menjadi
target CD8+ cytotoxic T lymphocytes (CTLs). Karena LMP1 merupakan
imunogenik yang buruk dan LMP2 dianggap sebagai target bagi CD8+.
Studi terapi sel-T telah menunjukkan bahwa strategi seperti itu umumnya aman
dan efektif dalam menginduksi respons imun spesifik LMP2. Studi terbaru telah
berfokus terapi sel-T dengan kemoterapi pada karsinoma nasofaring lanjut dan
mengoptimalkan sel T menggunakan vektor adenovirus. Hui dkk melaporkan
pengalaman mereka dengan vaksin virus recombinant, vaksin tersebut ampuh
untuk menginduksi respons sel-T > 80% pasien, dalam beberapa kasus dapat
meningkatkan respon imun CD4+ dan CD8+ terhadap EBNA1 dan / atau LMP2.
Vaksin ini sedang dievaluasi dalam uji coba fase II yang melibatkan pasien yang
terdeteksi DNA virus Epstein-Barr di dalam darahnya setelah radioterapi atau
yang mengalami respons optimal terhadap kemoterapi.
Tinjauan umum saat ini telah menyoroti pencapaian dan tantangan dalam
pengobatan kontemporer karsinoma nasofaring, dan masalah ini akan menjadi
tujuan dan arah untuk penelitian masa depan. Tujuan-tujuan ini mungkin secara
tematik disimpulkan sebagai berikut: peningkatan terapi individual melalui
ketepatan yang lebih baik dalam memilih pengobata, peningkatan integrasi terapi
multimodal, dan kerja sama antar disiplin dan kolaborasi antar institusi.
Diperlukan lebih banyak lagi penelitia multi-institusi yang dirancang dengan baik,
untuk menyelaraskan prosedur dan standardisasi seperti analisis biomarker,
pementasan penyakit, dan perencanaan pengobatan.