Anda di halaman 1dari 10

Manajemen Karsinoma nasofaring: Praktik Saat Ini dan

Perspektif ke Depan
Anne W.M. Lee, Brigette B.Y. Ma, Wai Tong Ng, and Anthony T.C. Chan

INTRODUCTION

Karsinoma nasofaring (NPC) subtipe undifferentiated masih menjadi endemik di


China selatan dengan insidensi setiap tahunnya mencapai 30 dari 100.000
penduduk. Secara umum, prognosis karsinoma nasofaring semakin meningkat
dalam tiga dekade terakhir seiring dengan kemajuan pengobatan seperti, kemajuan
teknologi radioterapi (RT), penggunaan kemoterapi yang semakin luas, dan
penentuan stadium kanker penyakit yang semakin akurat. Pilihan terapi utama saat
ini diambil berdasarkan stadium penyakit. Secara umum, konsensus menyatakan
bahwa terapi stadium I dengan RT, stadium II menggunakan RT dengan atau
tanpa kemoterapi (CRT), dan stadium III sampai IVB dengan CRT. Meskipun lesi
lokal dapat dikontrol, namun prognosis pada terapi metastasis masih
mengecewakan. Tantangan lainnya adalah untuk mencapai keberhasilan pada
pengobatan tumor lokal dengan dampak toksisitas minimal, khususnya tumor
yang meluas ke intrakranial. Artikel ini akan meninjau tantangan saat ini dan
perspektif ke depan dalam manajemen kanker ini.

FAKTOR STAGING DAN PROGNOSIS

Stadium TNM masih menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan
prognosis karsinoma nasofaring. Berdasarkan American Joint Committee on
Cancer (AJCC)/International Union Against Cancer (UICC), penetapan stadium
kanker dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kemajuan diagnostik dan terapi
radiologi. AJCC/UICC mengenai stadium karsinoma nasofaring, menyatakan
bahwa ada tiga area dalam edisi ketujuh yang mungkin akan mengalami revisi
pada edisi ke delapan. Pertama, kriteria stadium N3b saat ini didefinisikan sebagai
perluasan tumor ke fossa supraklavikula sebuah area triangular yang ditandai
dengan margo superior sternum sampai klavikula, margo superior lateral sampai
klavikula, dan titik dimana leher bertemu dengan bahu. Namun, definisi yang
dikenalkan oleh Ho ini, hanya berdasarkan pemeriksaan fisik. Saat ini banyak data
yang menambahkan bahwa area dapat meluas dari fossa supraklavikula sampai
area bawah leher, termasuk level IV dan IVb. Definisi yang lebih luas ini
memungkinkan penilaian radiologis tanpa mempengaruhi prognosis N3b secara
keseluruhan. Area kedua mempertimbangkan definisi penyakit T4 yang
menginvasi ruang masater yang merupakan sinonim dari fossa infratemporal
seperti yang tertulis dalam kriteria AJCC/UICC edisi ke enam. Klarifikasi dan
redefinisi diperlukan dalam kriteria ini, karena pasien dengan perluasan tumor
terbatas pada otot pterygoid umumnya memiliki prognosis lebih baik pada pasien
dengan T2 dibandingkan pada pasien dengan T4. Area ketiga mempertimbangkan
bahwa perbedaan prognosis antara derajat T1 dan T3 menyempit dengan
pengobatan modern, karena itu pengelompokan ulang dibutuhkan untuk
pengobatan yang lebih baik.

Selain menggunakan anatomi dalam menentukan derajat karsinoma nasofaring,


terdapat semakin banyak bukti bahwa volume tumor primer bisa menjadi faktor
yang signifikan untuk mengontrol staging T, dan dehidrogenase laktat bisa
menjadi factor yang signifikan untuk mengontrol staging untuk jangka lama. Di
antara marker molekuler, yang paling banyak dipelajari adalah DNA plasma
Epstein-Barr virus (EBV), yang secara universal terkait dengan subtipe karsinoma
nasofaring nonkeratinizing. Selain menjadi alat prognosis yang baik, ini juga
berguna untuk menilai respon pengobatan dan mendeteksi kekambuhan penyakit.
Marker prognostik baru yang menggunakan genetic dan micro RNA juga
menunjukkan hasil yang menjanjikan.

KEUNTUNGAN RADIOTERAPI

Intensity-modulated Radiation Therapy (IMRT) adalah pengobatan standar untuk


karsinoma nasofaring saat ini. (Tabel 1). Penelitian RCT (Randomize Controlled
Trial) membandingkan IMRT dengan dua radioterapi konvensional dua dimensi
dan menunjukkan hasil berkurangnya risiko xerostomia (gejala mulut kering)
secara permanen yang signifikan, terutama pada pasien dengan stadium dini. Di
masa lalu, RT elektif direkomendasikan untuk seluruh leher bilateral. Semakin
banyak bukti yang menyatakan bahwa penyebaran karsinoma nasofaring secara
limfatik diprediksikan paling sering terkena pada nodus retropharyngeal dan
nodus leher level II dan metastasis jarang terjadi. Penelitian Retrospektif
menunjukkan bahwa iradiasi selektif pada leher dengan stage II, III, dan Va aman
dan tidak membahayakan nodus atau kelangsungan hidup. Sedangkan pada level
yg lebih rendah dan level IB iradiasi selektif juga berguna, karena mengurangi
risiko xerostomia.

Untuk meminimalkan risiko kesalaha paparan akibat tingginya dosis paparan


IMRT, keakuratan gambaran volume tumor, klinis tumor target, dan ketepatan
dalam paparan RT adalah standard yang penting saat meresepkan IMRT.
Pemeriksaan yang dilakukan sebelum radioterapi adalah endoskopi, MRI, dan CT
Scan. Protokol internasional, seperti Radiation Therapy Oncology Group
memberikan referensi yang berguna dan praktis. Evaluasi pengobatan secara
teratur serta kegagalan pengobatan harus dilakukan di pusat-pusat yang
menggunakan IMRT untuk mengoptimalkan pengobatan.

Pengembangan radioterapi yang dipandu gambar dari film konvensional dapat


meningkatkan ketelitian pengobatan karena tulang dan jaringan lunak dapat dilihat
melalui gambar onboard dan pemantauan infra-fraksi secara real-time. Penyusutan
tumor dan kelenjar parotis serta perubahan kontur tubuh dapat terjadi selama
radioterapi, sehingga menyebabkan pergeseran distribusi radioterapi ke jaringan
yang normal. Perbaikan control lesi local-regional dan kualitas hidup terbukti
dengan pengobatan ini tetapi waktu yang dibutuhkan untuk pengobatan ulang
masih menjadi pertanyaan. Selanjutnya, efektivitas biaya dan dampak jangka
panjang pada terapi dengan rasio tetap harus ditentukan.

Meskipun IMRT dapat mencapai tingkat kontrol lesi lokal yang sangat baik dalam
5 tahun (> 90% untuk stage T3), tetapi stage T4 masih berkisar dari 74% hingga
80% (Tabel 1). Toksisitas lanjut, terutama kerusakan neurologis, juga lebih sering
terjadi setelah radioterapi pada karsinoma nasofaring stage T3 hingga T4. Prinsip
umumnya adalah untuk mengelola dosis maksimum dengan dosis yang dapat
ditoleransi organ yang berisiko. Untuk mengoptimalkan keseimbangan antara
kontrol lokal dan komplikasi, diperlukan batasan dosis pengobatan dan data dosis
maksimum yang dapat ditoleransi organ yang berisiko. Volume dosis dibawah
target (< 65 unit) adalah salah satu faktor yang paling signifikan yang
mempengaruhi kontrol tumor dan kelangsungan hidup secara keseluruhan. Oleh
karena itu, modifikasi batasan dosis dengan dimasukkannya ukuran volume tumor
(GTV) sebagai salah satu parameter utama dan penerimaan dosis yang lebih tinggi
pada organ yang berisiko (misalnya, lobus temporal dan saraf optik unilateral)
sekarang sedang diuji dengan hati-hati.

Untuk tumor primer yang berbatasan atau mengenai organ penting, salah satu
praktik yang umum adalah menambahkan induksi kemoterapi (cisplatin) untuk
menyusutkan jumlah tumor. Strategi baru lainnya yang memerlukan penelitian
lebih lanjut adalah penggunaan terapi proton atau partikel berat, dan penggunaan
radiosensitisasi selektif dan radio protektan organ-organ beresiko. Saat ini praktek
yang dilakukan adalah meresepkan dosis standar (sekitar 70 unit) untuk seluruh
jumlah volume tumor. Perspektif masa depan lainnya adalah untuk menyesuaikan
dosis radiasi. Dengan munculnya Tomografi Emisi Positron dan MRI, hal tersebut
memungkinkan untuk dapat memberikan tingkat dosis paling tepat untuk volume
target yang berbeda dengan IMRT, sehingga mengoptimalkan rasio terapeutik
untuk setiap pasien.

KEMOTERAPI KONKUREN (CRT) UNTUK PENYAKIT LOKAL-


REGIONAL LANJUTAN

Dengan hampir setengah dari semua pasien datang pada stadium lanjut dan
sepertiga dari mereka kemudian meninggal akibat kanker ini dalam 5 tahun
diagnosis, pengobatan karsinoma nasofaring stage III hingga IVB telah menjadi
fokus utama penelitian selama 1 dekade ini. Peningkatan hasil pengobatan dengan
penggunaan CRT adalah hal penting dalam upaya ini. Setidaknya sampai saat ini
sembilan penelitian acak telah membandingkan CRT (adjuvant kemoterapi)
versus radioterapi saja. Penelitian ini melaporkan bahwa terdapat peningkatan
kelangsungan hidup yang signifikan, dan di beberapa penelitian dilaporkan bahwa
nilai kematian berkisar 0,51-0,71 setelah 3-5 tahun follow up. Manfaat ini telah
diamati terlepas dari beragam jenis kemoterapi yang digunakan. Namun, dalam
beberapa analisa, cisplatin yang diberikan selama fase konkuren telah terbukti
mempengaruhi kontrol lesi locoregional dan kelangsungan hidup (survival rate).
Analisis dari beberapa penelitian acak juga mengatakan bahwa kelangsungan
hidup mungkin lebih besar pada pasien dengan stage T3 dan T4.

Penelitian meta-analisis baru-baru ini, meneliti 4.798 pasien karsinoma nasofaring


dengan sebagian besar stadium III hingga IVB dan didapatkan hasil bahwa
pemberian kemoterapi dapat memberikan manfaat kelangsungan hidup 6% dalam
5 tahun dan 8% dalam 10 tahun. Manfaat yang menunjukkan hasil signifikan
adalah kelangsungan hidup (HR, 0,79; 95% CI, 0,72-0,86), progression free
survival (HR, 0,76; 95% CI, 0,70-0,82), kontrol locoregional (HR, 0,74; 95%CI,
0,65 hingga 0,85), dan kontrol jangka lama (HR, 0,68; 95% CI, 0,60 hingga 0,76).
Meskipun CRT diterima sebagai terapi baru untuk karsinoma nasofaring stage III
hingga IVB, masih ada beberapa pertanyaan yang belum terjawab. Yaitu
penambahan induksi, atau kemoterapi tambahan untuk pada pasien karsinoma
nasofaring stadium II, penggunaan biomarker untuk prediksi, dan evaluasi
keberhasilan kemoterapi serta keamanan penggunaan kemoterapi dengan IMRT
secara bersamaan.

Manfaat induksi kemoterapi untuk CRT pada karsinoma nasofaring stadium III
hingga IVB adalah subjek penelitan yang sering dilakukan. Penelitian oleh Hui et
al pada tahun 2009 adalah penelitian yang pertama melaporkan manfaat
kelangsungan hidup yang baik pada pasien dengan karsinoma nasofaring stadium
III hingga IVB yang mendapatkan kemoterpi dan CRT. Penelitian ini juga
menemukan hasil yang signifikan yaitu meningkatnya kelangsungan hidup
sebanyak 26,5% selama 3 tahun pada pasien yang diberikan cisplatin dan
docetaxel untuk CRT. Sekarang, setidaknya enam penelitian acak telah dimulai
atau dilaporkan di center-center di Hong Kong, Singapura, Taiwan, Eropa dan
Cina.

Penelitian yang dilakukan oleh Tan dkk dan Fountzilas dkk, meneliti tentang
penggunaan kemoterapi rejimen triplet sebelum CRT, gagal mencapai
kelangsungan hidup pada 3 tahun. Penelitian Asix-arm dari Hong Kong meneliti
803 pasien karsinoma nasofaring stage III hingga IVB untuk untuk menjawab
pertanyaan tentang urutan obat, fraksinasi RT, dan penggantian fluorouracil (FU)
dengan capecitabine. Penelitian tersebut menggunakan rejimen konkuren cisplatin
dan ciplastatin dan fluoroacil secara bersamaan dan didapatkan hasil gagal
memenuhi tujuan utama penelitian. Mereka menyarankan capecitabine oral
mungkin merupakan alternatif yang aman untuk fluoroacil, dan peningkatan RT
tidak dianjurkan untuk pasien yang menjalani CRT pada karsinoma nasofaring
stadium lanjut. Perlu dicatat bahwa durasi follow up dari penelitian tersebut
hanya sekitar 3 tahun; jadi, follow up yang lebih lama diperlukan sebelum
menarik kesimpulan penggunaan tambahan kemoterapi untuk CRT. Orang
berpendapat besarnya peluang pengobatan karsinoma nasofaring ini kecil. Ini
menyiratkan bahwa penelitian pada stage III sangat diperlukan. Hanya beberapa
kelompok tertentu yang mendapatkan manfaat pengobatan seperti pada pasien
yang respon lebih awal terhadap kemoterapi. Banyak bukti yang memberikan
hasil bahwa kemoterapi pada penyakit stadium III hingga IVB tetap tidak cukup
untuk hasil yang maksimal, dan hasil penelitian stage III masih ditunggu-tunggu.
Baru-baru ini yang menjadi sorotan penelitian adalah peran kemoterapi pada
karsinoma nasofaring stage III hingga IVB dan penggunaan CRT pada stadium II
karena sampai saat ini, tidak ada penelitian acak pada stage III yang telah
menunjukkan keuntungan bertahan hidup dengan kemoterapi ajuvan.

Penelitian meta-analisis oleh Blanchard dkk, menunjukkan hasil bahwa besarnya


angka kelangsungan hidup pada pasien yang menerima pengobatan dengan CRT
dan kemoterapi adjuvant (n = 1.267 pasien; HR, 0,65; 95% CI, 0,56 hingga 0,76)
tampaknya lebih besar daripada pasien yang diberikan CRT saja (n= 1.834 pasien;
HR, 0,80; 95% CI, 0,70-0,93).

Penelitian stage III terbesar yang dilaporkan sampai saat ini adalah penelitian
yang dilakukan oleh Chen dkk, mereka menemukan bahwa penambahan cisplatin
dan fluoroacil tidak meningkatkan kelangsungan hidup setelah di follow up
selama 2 tahun, dengan HR 0,74 (95% CI, 0,49-1,10;P=13). Selain itu, kepatuhan
menjadi masalah; hanya 63% dari pasien dapat menyelesaikan kemoterapi hingga
akhir.
Data dari literatur saat ini tidak memungkinkan untuk merekomendasikan
penggunaan kemoterapi adjuvant setelah CRT secara locoregional pada karsinoma
nasofaring tingkat lanjut. Fokus penelitian saat ini adalah mengidentifikasi pasien
yang mungkin mendapat manfaat yang maksimal dari kemoterapi adjuvan. Karena
peningkatan DNA virus Epstein-Barr di dalam darah pada 6 hingga 8 minggu
setelah radioterapi dapat meningkatkan risiko kekambuhan kanker hamper 12 kali,
12 peneliti dari kelompok karsinoma nasofaring Hong Kong dan NRG Oncology
sedang menyelidiki kegunaan plasma EBV pasca perawatan kemoterapi ajuvan.

Data mengenai peran kemoterapi untuk karsinoma nasofaring stage II relatif


terbatas. Chen dkk secara acak meneliti 230 pasien karsinoma nasofaring (87%
stage II dan 13% stage III ) berdasarkan kriteria AJCC/IUCC (edisi ketujuh),
untuk membandingkan radioterapi dan CRT. Mereka melaporkan bahwa dalam 5
tahun, terdapat peningkatan kelangsungan hidup yang signifikan pada pasien
yang menerima CRT lebih besar (95%) daripada radioterapi saja (86%) HR 0,30
(95% CI, 0,12 hingga 0,76; P< .007). Namun, fakta bahwa radioterapi dua
dimensi yang digunakan dalam penelitian tersebut menunjukkan bahwa data ini
harus diinterpretasikan menggunakan IMRT yang lebih luas. Kelangsungan hidup
selama 5 tahun pada karsinoma nasofaring stage II diharapkan menjadi 94%
hingga 97% hanya dengan terapi IMRT saja dalam beberapa penelitian
retrospektif. Penelitian yang dilakukan oleh Su dkk, di mana 198 pasien dengan
karsinoma nasofaring stage I hingga II diterapi dengan IMRT saja, didapatkan
bahwa setelah 5 tahun, tidak terjadi metastasis jauh, yaitu masing-masing hasilnya
adalah T2N0 (98,8%), T1N1 (100%) dan T2N1 (93,8%). Mengingat hasil yang
sangat baik hanya dengan IMRT saja dan ditambah toksisitas kemoterapi, seperti
penurunan pendengaran, CRT masih diperdebatkan Apakah harus diberikan
ditawarkan secara rutin kepada pasien yang menjalani IMRT untuk karsinoma
nasofaring stage II. Kemoterapi seharusnya dibatasi pada pasien dengan penyakit
stage II yang berisiko tinggi dengan klasifikasi N1 dan / atau dengan tumor
parapharyngeal. Penelitian yang menyelidiki faktor risiko lain, seperti ukuran
tumor dan tingkat DNA virus Epstein-Barr di dalam darah, juga dijamin di masa
depan. Karena, hampir sepertiga dari pasien dengan karsinoma nasofaring stage
IIB dengan tingkat DNA virus Epstein-Barr yang tinggi di dalam darah yang
tinggi dapat terjadi kegagalan pengobatan yang besar.

PENGELOLAAN REKURENSI DAN PENGEMBANGAN TERAPI


SISTEMATIS BARU

Bahkan dengan perawatan terbaik yang tersedia sekarang, laporan retrospektif


menunjukkan bahwa pasien yang diobati dengan IMRT selama dekade terakhir,
akan gagal dan tumor berkembang secara lokal sebanyak 5% hingga 15% dan
akan mengalami metastasis jauh sebanyak 15% hingga 30%. Meskipun angka
keberhasilan operasi bervariasi atau radiasi ulang bisa dilakukan pada pasien yang
mengalami kekambuhan, kasus rekuren hanya dapat dilakukan kemoterapi
paliatif.

Data penelitian pada karsinoma nasofaring stage II yang menggunakan regimen


first line yaitu paclitaxel, fluorouracil, gemcitabine, atau capecitabine didapatkan
bahwa tingkat kelangsungan hidup pasien berkisar minimal 11 hingga 28 bulan.
Angka-angka ini perlu ditafsirkan dengan hati-hati, karena bias seleksi dan standar
perawatan suportif yang berubah seiring waktu. Sebaliknya, rata-rata waktu
berkembangnya tumor hingga menjadi statis berkisar 7,3 hingga 10 bulan.
Kelangsungan hidup yang lama melebihi 5 tahun telah dijelaskan hanya untuk
sedikit pasien yang lebih muda dengan oligometastases. Oleh karena itu,
penggunaan kemoterapi telah mencapai batas tertinggi terapeutik pada karsinoma
nasofaring.

Telah lama diusulkan bahwa patogenesis molekul virus Epstein-Barr terkait


karsinoma nasofaring memiliki beberapa tahapan. Yaitu dimulai infeksi virus
Epstein-Barr latent kemudian akan menyebabkan reaksi pertahanan oleh imunitas
tubuh, kemudian akan terjadi hilangnya heterogenitas di daerah kromosom
tertentu, dan mutasi genetik sehingga memicu pertumbuhan tumor menekan gen
untuk melawan kanker.

Lin dkk, mengungkapkan bahwa karsinoma nasofaring memiliki tingkat mutasi


yang relatif rendah dibandingkan dengan sel skuamosa kepala dan leher dan
kanker lainnya. Sembilan gen yang bermutasi secara signifikan pada karsinoma
nasofaring adalah TP53 dan PIK3CA, serta mutasi gen yang terlibat dalam
transkripsi kromatin (BAP1, MLL2, TSHZ3) dan proliferasi sel (ERBB3, ERBB2,
KRAS, NRAS). Tingkat prevalensi mutasi ini adalah ≤ 10%.

Jalur pensinyalan ERBB – phosphatidylinositol 3-kinase (PI3K) mewakili salah


satu proses yang paling dapat ditelusuri dalam pengembangan obat kanker, dan
perubahan genetik pada karsinoma nasofaring (baik mutasi maupun amplifikasi)
pada jalur ini dapat ditemukan sebanyak 23,4%. Infeksi latent virus Epstein-Barr
fase II pada karsinoma nasofaring non-keratinisasi juga diarahkan untuk
pengobatan virus Epstein-Barr, karena sel T CD8 yang diaktifkan mampu
menyerang sel tumor dan menginduksi regresi tumor.

Atas dasar wawasan ini, pengembangan terapi baru sebagian besar mengikuti tiga
pendekatan: yaitu penargetan transduksi sinyal dan angiogenesis, modulasi
ekspresi gen, dan imunoterapi kanker (Gambar 1). Kemajuan ilmiah dalam
bidang-bidang ini agak tertinggal dari pencapaian penelitian dasar, dan bukti
terbaik dalam literatur kontemporer adalah sebagian besar terbatas pada penelitian
stage II saja. Dalam segi pengobatan yang menggunakan inhibitor epidermal
growth factor receptor (misalnya, gefitinib dan cetuximab) dan angiogenesis
inhibitor (misalnya, pazopanib dan sunitinib) telah dilaporkan terdapat kegagalan.
Misalnya, dalam penelitian pazopanib dan sunitinib, waktu untuk tumor berhenti
berkembang mencapai 4,4 bulan, ternyata penggunaan cetuximab plus carboplatin
lebih baik yaitu mencapai 2,7 bulan. Waktu untuk tumor berhenti berkembang
pada penggunaan gemcitabine atau capecitabine pada populasi yang sama adalah
5 hingga 7,5 bulan.

Demikian juga, pada karsinoma nasofaring lokoregional stadium lanjut,


penambahan cetuximab atau bevacizumab pada CRT terhadap kelangsungan
hidup didapatkan hasil yang mirip atau sedikit lebih baik daripada penggunaan
CRT saja. Alasan lainnya yang kurang umum untuk kegagalan pengobatan pada
stage II adalah meningkatnya kejadian toksisitas pada pemberian sunitib, yaitu
terjadinya pendarahan tumor dan dapat terjadi peningkatan toksisitas mukokutan
akut terkait radioterapi dan cetuximab. Mungkin salah satu hambatan yang paling
mendasar untuk pengembangan terapi karsinoma nasofaring adalah sedikitnya
kasus kanker nasofarin non-keratinisasi yang dapat diteliti untuk menunjukkan
bukti terapi baru.

Sampai saat ini, hanya garis sel C666-1 dan beberapa xenografts yang terbukti
diturunkan pasien secara stabil pada tahun 1990 yang menunjukkan bahwa
terdapat genom virus Epstein-Barr dalam kultur. Dalam sebuah studi baru-baru ini
menggunakan analisis RNA, ditemukan beberapa garis sel yang biasa digunakan
dalam studi karsinoma nasofaring bisa saja terkontaminasi oleh human papilloma
virus- membawa sel HeLa. Kekurangan jenis-jenis karsinoma nasofaring yang
bisa diekspresikan secara stabil melalui penyimpangan genetik tertentu,
menyebakan sulitnya menentukan keefektifan obat kanker. Masalah ini
menyebabkan hambatan ketika merancang percobaan klinis untuk obat-obatan
terhadap pensinyalan ERBB-PI3K pada karsinoma nasofaring. Karena pada
kanker lain, seperti kanker sel skuamosa kepala dan leher, tumor yang
mengandung mutasi PIK3CA lebih sensitif terhadap PI3K inhibitor dibandingkan
yang tidak. Prevalensi mutasi PIK3CA pada karsinoma nasofaring cukup rendah
yaitu 6% dari 65 pasien. Namun, dalam literatur mengatakan mutasi PIK3CA bisa
memprediksi respons PI3K terhadap mamalia target dengan menggunakan
rapamycin. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan sistematis untuk
pengembangan obat baru.
Imunoterapi kanker merupakan pilar terapeutik lainnya dalam mengobati
karsinoma nasofaring. Yang terdiri dari berbagai strategi yaitu imunoterapi aktif
dan antibodi untuk virus Epstein-Barr, Induksi untuk mematikan siklus hidup
virus Epstein-Barr, dan pemeriksaan imun.

Sifat utama dari infeksi virus Epstein-Barr pada karsinoma nasofaring adalah
virus tersebut mengekspresikan antigen virus laten tipe II yang buruk. Nuklir EB
antigen-1 (EBNA1) sering diekspresikan pada karsinoma nasofaring dan menjadi
target dominan untuk CD4+ Sel T. Membran protein laten-1 (LMP1) dan LMP2
diekspresikan sekitar 50% pada karsinoma nasofaring, dan keduanya menjadi
target CD8+ cytotoxic T lymphocytes (CTLs). Karena LMP1 merupakan
imunogenik yang buruk dan LMP2 dianggap sebagai target bagi CD8+.

Penelitian telah sukses mencoba untuk meningkatkan respon anti-virus Epstein-


Barr dalam sirkulasi pasien dengan karsinoma nasofaring melalui sel T atau
vaksinasi dengan sel dendritik atau peptida.

Studi terapi sel-T telah menunjukkan bahwa strategi seperti itu umumnya aman
dan efektif dalam menginduksi respons imun spesifik LMP2. Studi terbaru telah
berfokus terapi sel-T dengan kemoterapi pada karsinoma nasofaring lanjut dan
mengoptimalkan sel T menggunakan vektor adenovirus. Hui dkk melaporkan
pengalaman mereka dengan vaksin virus recombinant, vaksin tersebut ampuh
untuk menginduksi respons sel-T > 80% pasien, dalam beberapa kasus dapat
meningkatkan respon imun CD4+ dan CD8+ terhadap EBNA1 dan / atau LMP2.
Vaksin ini sedang dievaluasi dalam uji coba fase II yang melibatkan pasien yang
terdeteksi DNA virus Epstein-Barr di dalam darahnya setelah radioterapi atau
yang mengalami respons optimal terhadap kemoterapi.

Meskipun sudah terdapat kemajuan penelitian imunoterapi untuk karsinoma


nasofaring, tetapi strategi ini tetap eksperimental, dan sulit untuk di
implementasikan karena biaya dan ketergantungan pada center khusus. Terobosan
terbaru dalam pengobatan melanoma dan kanker lain dengan inhibitor imun telah
memacu munculnya imunoterapi untuk karsinoma nasofaring. Programmed cell
death ligand-1 (PD-L1) diekspresikan sangat tinggi oleh sel-sel kanker dan
makrofag yang menginfiltrasi tumor pada keganasan terkait virus karsinoma
nasofaring. PD-L1 diekspresikan hingga 90% pada karsinoma nasofaring, dan
karenasekarang ada bukti yang menunjukkan bahwa ekspresi PD-L1 dapat
memprediksi respon antibodi PD-L1 pada beberapa kanker, ada cukup alasan
untuk memulai studi inhibitor PD-L1 dan agen terkait pada karsinoma nasofaring.
DISKUSI

Tinjauan umum saat ini telah menyoroti pencapaian dan tantangan dalam
pengobatan kontemporer karsinoma nasofaring, dan masalah ini akan menjadi
tujuan dan arah untuk penelitian masa depan. Tujuan-tujuan ini mungkin secara
tematik disimpulkan sebagai berikut: peningkatan terapi individual melalui
ketepatan yang lebih baik dalam memilih pengobata, peningkatan integrasi terapi
multimodal, dan kerja sama antar disiplin dan kolaborasi antar institusi.

Ketepatan perencanaan dan pelaksanaan radioterapi dapat berpotensi pada


individu yang menggunakan radioterapi adaptif, dipandu gambar radioterapi dan
terapi proton. Begitu juga dengan penemuan baru tentang mutasi, penekan gen
tumor dan dan immunecheckpoint pada karsinoma nasofaring. Sekarang saatnya
untuk mengadopsi pendekatan yang lebih sistematis untuk pengembangan obat
baru. Penekanan harus diberikan pada promosi antardisiplin dan di seluruh
lembaga dalam pengembangan karsinoma nasofaring melalui keterlibatan
perusahaan farmasi, dan rasionalisasi desain uji klinis berdasarkan kebutuhan
klinis yang tidak terpenuhi. Konsep terapi individual juga berlaku untuk
pemilihan tambahan kemoterapi selama radioterapi, dan studi multinasional
sekarang membahas peran kemoterapi ajuvan dalam subpopulasi tentang
peningkatan DNA virus Epstein-Barr didalam darah setelah radioterapi. Dengan
terapi yang berkembang beragam saat ini, itu hanya masalah waktu sebelum
peneliti dihadapkan pada dilema bagaimana cara optimal agen-agen ini ke dalam
algoritma terapi konvensional.

Diperlukan lebih banyak lagi penelitia multi-institusi yang dirancang dengan baik,
untuk menyelaraskan prosedur dan standardisasi seperti analisis biomarker,
pementasan penyakit, dan perencanaan pengobatan.

Anda mungkin juga menyukai