Anda di halaman 1dari 17

TUGAS I : BERFIKIR SYSTEM

DOSEN : DR. ALFINA BAHARUDDIN, SKM, M.Kes

“MENERAPKAN PERSPEKTIF SISTEM DALAM DESAIN DAN


EVALUASI INTERVENSI PADA PENYAKIT HIV AIDS”

OLEH:

ANDI ANGGERAENY MAPPAMADENG

000410112019

PROGRAM MAGISTER KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, bimbingan, dan Hidayah Nya. Makalah yang berjudul “Sepuluh Langkah Untuk
Berfikir Sistem: Menerapkan Perspektif Sistem Dalam Desain Dan Evaluasi Intervensi”
ini dapat diselesaikan dengan baik.

Melalui makalah ini saya berharap para pembaca dapat mengetahui isi dan ilmu dari
makalah ini, kami juga berterima kasih kepada Dosen pembimbing yang telah memberikan tugas
makalah ini

Saya merasa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Kami juga sangat berharap
saran dan kritik yang sangat membangun dari para pembaca untuk memperbaiki kualitas
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan bagi yang
membutuhkan.

Makassar, 12 Desember 2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi yang melekat pada setiap manusia, baik dalam
lingkup kesehatan individual maupun kelompok (keluarga). Tanpa kesehatan yang baik,
setiap orang tidak akan dapat menjalankan aktivitas dengan baik.
Salah satu penyakit yang hingga kini menjadi permasalahan besar dan
mendapat perhatian khusus dari pemerintah adalah penyakit HIV & AIDS. HIV & AIDS
merupakan isu kesehatan yang cukup sensitif dan penting untuk dibicarakan. Fenomena
Gunung es yang menjadi ciri khas dari perkembangan kasus HIV & AIDS, ditandai
dengan persebaran kasus HIV & AIDS yang tidak dapat diprediksi saat fase awal namun
baru akan terlihat dan teridentifikasi ketika telah terjadi infeksi serta telah dinyatakan
positif terkena HIV & AIDS. Selain itu, stigma dan diskriminasi di masyarakat yang
masih banyak dialami penderita dan keluarga menjadi persoalan tersendiri. Semakin
tinggi stigma oleh masyarakat dan lingkungan menyebabkan timbul banyak perlakuan
diskriminatif di beberapa bidang, dimulai dalam hal perawatan, pengobatan, pendidikan,
serta pekerjaan. Penyakit yang menyerang system kekebalan tubuh ini diperkirakan telah
menginfeksi lebih dari 3040 juta penduduk yang tersebar hampir di seluruh negara di
dunia dan sekitar 80% terjadi di beberapa negara berkembang terutama negara bagian
Asia (Mynarwati, 2000). Di Indonesia kasus HIV & AIDS masih menjadi masalah yang
menakutkan, hal ini terbukti di setiap tahun trend kasus HIV & AIDS semakin
meningkat, baik jumlah maupun persebaran. Penyakit HIV & AIDS tidak lagi hanya
menyerang kelompok rentan remaja dan dewasa namun juga telah menyerang kelompok
usia anak dan bayi yang ditemukan meninggal karena AIDS. Komisi Penanggulangan
AIDS (KPA) dalam Strategi Nasional (STRANAS) Penanggulangan HIV & AIDS 2007–
2010 menyebutkan bahwa sekitar 2000 anak di bawah 15 tahun telah tertular virus HIV,
terutama berasal dari penularan Bayi ke Ibu, menewaskan 1400 Anak di bawah 15 tahun,
dan menginfeksi lebih dari 6000 orang dalam usia produktif yaitu antara 15–24 tahun
yang juga mayoritas dari orang-orang yang hidup dengan HIV & AIDS (ODHA) (KPA,
2015). Sedangkan dari laporan Ditjen PP dan PL Kemerdekaan RI pada tahun 2014
jumlah kumulatif kasus HIV & AIDS yang terlapor hingga september 2014 adalah
150,926 kasus HIV dan 55,799 kasus AIDS dengan jumlah kematian yaitu 9,796
kematian.
Memahami permasalahan HIV & AIDS tidak lagi hanya bisa dipandang
sebagai masalah kesehatan semata, akan tetapi juga harus dipandang sebagai
permasalahan sosial yang sangat kompleks (Ananda, 2014). Upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV & AIDS membutuhkan berbagai pendekatan yang diselenggarakan
oleh Stake holder yang saling terintegrasi. Masyarakat ditempatkan sebagai pemegang
peran utama dengan pembinaan dan arahan dari berbagai sektor pemerintah terkait.
Peran menurut Soekamto (2010) merupakan sebuah aspek yang dinamis dari
kedudukan (status). Apabila hak dan kewajiban telah dilaksanakan oleh sesorang sesuai
dengan kedudukannya, maka seseorang tersebut dapat dikatakan telah menjalankan
sebuah peran. Lebih lanjut dijelaskan peran mencakup tiga hal yaitu
: Pertama, peran meliputi berbagai norma yang dihubungkan dengan posisi
atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam pengertian ini merupakan
rangkaian dari sebuah sistem atau peraturan yang menjadi pedoman dan membimbing
seseorang dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, peran merupakan suatu konsep
tentang hal apa yang dapat dilakukan oleh seseorang dalam kehidupan bermasyarakat
sebagai bagian organisasi. Terakhir, peran adalah perilaku seseorang yang menjadi
bagian penting dalam struktur sosial masyarakat.
Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) No. 75 Tahun 2006 yang memuat
aturan tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, penanggulangan HIV & AIDS
merupakan upaya yang dilaksanakan KPA untuk mencegah, menghadapi, dan mengatasi
suatu keadaan yang mengancam kesehatan masyarakat terhadap dampak akibat orang
yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom,
dan pengguna narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara bersama. KPA
dalam menjalankan fungsinya harus berdasar pada beberapa prinsip dasar
penanggulangan HIV & AIDS, yaitu : Pertama, upaya penanggulangan HIV & AIDS
dilaksanakan secara bersama dari dan oleh masyarakat beserta pemerintah.
Wacana global epidemi AIDS akan berakhir pada tahun 2030
sehingga AIDS tidak lagi menjadi ancaman kesehatan masyarakat karena penyebaran
HIV dapat dikendalikan. Dampak HIV dalam kehidupan masyarakat berkurang dan
dapat diatasi, harapan hidup dan produktivitas ODHA meningkat, serta biaya yang
dikeluarkan karena dampak HIV pun berkurang. Suatu pendekatan untuk pencapaian
target ambisius ini dikenalkan dengan strategi Fast Track: End AIDS by 2030 oleh
UNAIDS. Strategi ini sudah direspon ditingkat regional seperti workshop internasional
di Mumbai, pada tanggal 23 – 29 Mei 2015 yang lalu. Dalam workshop tersebut Provinsi
DKI Jakarta telah dicanangkan sebagai salah satu pilot project Program Nasional dalam
penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia melalui program Fast Track Jakarta City
ending AIDS epidemic 2020.[1] Wacana ini penting untuk dikaji karena hal ini akan
berimplikasi besar terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS dan dampaknya
terhadap kualitas hidup ODHA. Tulisan ini akan melihat tantangan dan upaya Indonesia
untuk mencapai target ambisius ini dari sisi komitmen politik, peningkatan layanan
terkait AIDS, dan inovasi interverensi penanggulangan AIDS.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Menerapkan Perspektif Sistem Dalam Desain Dan Evaluasi Intervensi pada
Penyakit HIV AIDS?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut Untuk Mengetahui 10 Langkah
Berfikir System Menerapkan Perspektif Sistem Dalam Desain Dan Evaluasi Intervensi
pada Penyakit HIV AIDS
D. Manfaaat
Adapun Manfaat dari Makalah ini sebagai berikut :
1. Diharapkan hasil penulisan ini dapat menjadi sumber informasi dalam memperkaya
wawasan ilmu pengetahuan dan sebagai acuan penulisan selanjutnya
2. Menambah pengetahuan dan memperluas wawasan setiap dalam pendalaman materi
Menerapkan Perspektif Sistem Dalam Desain Dan Evaluasi Intervensi pada Penyakit
HIV AIDS
BAB II

PEMBAHASAN

SEPULUH LANGKAH UNTUK BERFIKIR SISTEM: MENERAPKAN PERSPEKTIF


SISTEM DALAM DESAIN DAN EVALUASI INTERVENSI

MASALAH KESEHATAN : PENYAKIT HIV- AIDS

1. TEMU PEMANGKU KEPENTINGAN /KEBIJAKAN


Kementrian Kesehatan dalam Hal ini Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kepala Dinas Kesehatan dan Puskesmas
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam menangani masalah HIV AIDS pada
Anak.
Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Dalam Penanggulangan HIV Dan AIDS
Permendagri No. 20/2007 tentang Pedoman Umum Pembentukan Komisi
Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat dalam rangka Penanggulangan
HIV dan AIDS di daerah merupakan salah satu bentuk komitmen Kementerian Dalam
Negeri untuk mengatasi permasalah HIV melalui kepemimpinan daerah.
Lembaga/Yayasan pendamping komunitas dan juga penyedia layanan kesehatan.
Lembaga Swadaya Masyarakat yang menangani masalah AIDS
Tokoh- tokoh Masyarakat, Perangkat daerah , tokoh Agama dan tokoh Adat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang
Penanggulangan HIV Dan AIDS

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN


Pasal 57
(1) Menteri, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan dan pengawasan kegiatan
Penanggulangan HIV dan AIDS.
(2) Mekanisme pembinaan dan pengawasan penanggulangan HIV dan AIDS dilakukan
dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
(3) Dalam rangka melaksanakan pembinaan dan pengawasan, Menteri, Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat mengenakan sanksi sesuai dengan kewenangannya masing-
masing.
2. MELAKUKAN BRAINSTORMING SECARA KOLEKTIF/ BERFIKIR
BERSAMA
Pada Layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) HIV dan AIDS , semua
unsur terkait bersama. Unsur-unsur ini terdiri dari unsur utama layanan kesehatan
(primer, sekunder dan tersier), termasuk layanan swasta maupun pemerintah. Selain itu
unsur koordinasi melalui Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD), Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) terkait dan unsur masyarakat (LSM, Organisasi masyarakat,
Organisasi keagamaan dan dukungan sebaya) merupakan jejaring yang harus terkait
bersama. Dengan demikian diharapkan Continuum of Care mulai dari preventif, kuratif,
rehabilitatif dapat terlaksana yang pada akhirnya diharapkan akan menurunkan prevalensi
HIV. Layanan HIV dan AIDS, serta Infeksi Menular Seksual (IMS) di fasilitas kesehatan
tingkat pertama (FKTP) adalah: Pembiayaan kasus HIV dan AIDS, serta IMS dimana
untuk pelayanan rawat jalan pada FKTP sudah masuk dalam kapitasi Puskesmas. Yang
tidak diperhitungkan dalam kapitasi di Puskesmas adalah penyediaan obat Pelayanan
Kesehatan Dasar ( PKD) dan obat untuk program AIDS, TB, dan malaria.
Modus penularan HIV di Indonesia belakangan ini mengalami perubahan dari
dominasi penyuntikan menjadi dominasi penularan heteroseksual. Epidemi HIV dengan
penularan heteroseksual ini bergerak lambat, tetapi mengkhawaitrkan karena berpotensi
menyebar lebih luas. Indikasi peningkatan epidemi dapat kita lihat melalui trend
peningkatan proporsi AIDS pada kelompok anak balita dan perempuan, dan angka HIV
pada darah donor yang mewakili populasi umum risiko rendah,” Sehubungan dengan itu,
Pernas AIDS V merumuskan 12 butir rekomendasi untuk menghadapi perkembangan laju
kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Di antara 12 rekomendasi itu adalah menjamin
komitmen dukungan sosial politik dari pemerintah, baik pusat maupun daerah dan
masyarakat
Melalui regulasi dan pembiayaan, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk
upaya penanggulangan HIV/AIDS melalui serangkaian program destigmatisasi dan
dekriminalisasi populasi kunci (kelompok yang menentukan keberhasilan program
pencegahan HIV/AIDS) dan orang dengan HIV/AIDS termasuk di lingkungan sekolah,
dan pelibatan tokoh agama dan masyarakat yang mendukung aktif program
penanggulangan HIV dan AIDS.
Hal lain yang termasuk dalam rekomendasi ini adalah membangun infrastruktur
layanan informasi HIV/AIDS dan pengobatan ARV (Antiretroviral) agar mampu
menjangkau populasi sasaran agar sampai ke tingkat kelurahan dan desa, memastikan
sistem Jaminan Kesehatan Nasional yang sensitif terhadap kebutuhan layanan HIV, serta
mengupayakan integrasi layanan kesehatan reproduksi dan seksual, dan kekerasan
berbasis gender dengan program HIV.
Pemerintah bekerja sama dengan Pihak- pihak terkait melakukan upaya dalam hal
Pengetahuan Komprehensif Upaya komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) perubahan
perilaku mencakup hak memperoleh informasi HIV/AIDS, meningkatkan jangkauan
pelayanan berkualitas dan kualitas hidup ODHA. Pesan KIE disesuaikan dengan sasaran
massal, kelompok atau individual
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang
Penanggulangan HIV Dan AIDS

KERJASAMA
Pasal 49
(1) Upaya penanggulangan HIV dan AIDS dapat diselenggarakan oleh masing-
masing instansi dan/atau melalui kerjasama dua atau lebih pihak berupa kegiatan
khusus Penanggulangan HIV dan AIDS atau terintegrasi dengan kegiatan lain.
(2) Lembaga swadaya masyarakat, perguruaan tinggi, organisasi profesi bidang
kesehatan, komunitas populasi kunci, dan dunia usaha dapat bermitra aktif dengan
instansi/lembaga pemerintah dalam Penanggulangan HIV dan AIDS.
(3) Mitra Pembangunan Internasional (International Development Partners) dapat
berkontribusi dalam Penanggulangan HIV dan AIDS sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Kerjasama dan kemitraan khusus Penganggulangan HIV dan AIDS sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) , ayat (2) dan ayat (3) dipimpin dan dikoordinasikan oleh
Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi
dan Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota.

3. KONSEPTUALISASI EFEK

a. Banyaknya orang yang memiliki faktor resiko menghindar atau lari pada saat akan
dilakukan tes HIV bahkan terdapat temuan alamat palsu dari pasien yang telah
melakukan tes HIV, selain itu juga sulitnya menggali informasi pribadi terkait
dengan penyebab status HIV positifnya.
b. Adanya efek samping dari terapi ARV menyebabkan ODHA berhenti terapi. Efek
samping tersebut seperti mual, muntah dan diare.
c. Kurangnya partisipasi masyarakat dalam sosialisasi tentang HIV dan AIDS bahkan
harus memakai uang agar orang mau datang untuk mengikuti sosialisasi.
d. Belum ada data yang menunjukkan pemisahan data pemeriksaan HIV baik
berdasarkan faktor risiko maupun pekerjaan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang
Penanggulangan HIV Dan AIDS

MITIGASI DAMPAK

Pasal 40
(1) Mitigasi dampak merupakan upaya untuk mengurangi dampak kesehatan dan sosial
ekonomi.
(2) Pemerintah, pemerintah daerah, swasta dan masyarakat secara sendiri dan/atau
bersama-sama melaksanakan mitigasi dampak sosial ekonomi ODHA dan keluarga
dengan cara:
a) memberikan jaminan kesehatan;
b) menghilangkan diskriminasi dalam memberikan layanan dan dalam kehidupan
bermasyarakat;
c) menyelenggarakan program-program bantuan untuk meningkatkan pendapatan
keluarga; dan
d) mengikutsertakan ODHA dan keluarga dalam upaya Penanggulangan HIV dan
AIDS sebagai sarana untuk pemberdayaan ekonomi dan sosial ODHA.
(3) Kegiatan mitigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. PEMBIASAN DAN MENGATUR ULANG


Pemerintah Indonesia telah melakukan fast track (percepatan) buat
penanggulangan HIV dengan target 90 persen treatment. Sudah ada lebih dari 5 ribu
lokasi masyarakat tes HIV dan 600 tempat pengobatan. Namun hal tersebut tidak bisa
mengantisipasi stigma masyarakat terhadap PLHIV karena pengidap HIV menjadi takut
mengakses.masih banyak mitos dan informasi yang salah beredar di masyarakat.
Misalnya, orang bisa kena HIV dari kolam renang, toilet, atau ciuman. Ada juga yang
beranggapan HIV berarti kematian karena tidak ada obatnya.
Di luar itu ada pemikiran pada masyarakat yang menganggap sosialisasi mengenai
HIV dan seks aman untuk anak muda dinilai sebagai tujuan mengajak melakukan
hubungan seks. dari petugas kesehatan sendiri terkesan tidak bersahabat dan tidak
membantu. Hal ini yang membuat PLHIV merasa malas untuk mengakses pengobatan.
"Bahkan terkadang mereka melakukan judgement terhadap para pengidap HIV itu
sendiri,"
Oleh karena itu e peanggulangan HIV dan AIDS merupakan arena persaingan antar
pelaku yang membawa prioritas, kepentingan dan pendekatan yang berbeda-beda. Di
dalam arena tersebut terdapat dua isu persaingan yang teridentifkasi yaitu: (1) Isu antara
pendekatan vertikal yang bertumpu pada pengendalian teknis dari pusat, dengan
pendekatan horizontal yang bertumpu pada cara pikir multi sektoral dan terdesentralisasi;
dan (2) isu yang terkait dengan pelaksanaan program dimana pihak-pihak yang memiliki
sumberdaya besar bekerja berdasarkan pendekatan masing-masing. Kedua isu tersebut
merupakan tantangan tersendiri terhadap integrasi penanganan HIV dan AIDS kedalam
sistem kesehatan karena pihak-pihak tersebut memiliki pendekatannya masing-masing
yang mungkin tidak sejalan dengan hasil dari integrasi.
Pada akhirnya diperlukan kerjasama lintas sektoral dan penguatan lembaga
pemerintah maupun non-pemerintah yang ada untuk menentukan keberlanjutan program
– program penanganan HIV dan AIDS di Indonesia. Semua keterbatasan dan solusi yang
telah dianalisa dan ditawarkan dalam laporan ini dapat bermanfaat jika kemauan antara
satu pemangku kepentingan dengan pemangku kepentingan lainnya dapat berkolaboraasi
dan seluruh kegiatannya terfokus pada penanganan HIV dan AIDS yang lebih baik lagi
setiap saat.

5. MENENTUKAN INDIKATOR
a. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS
melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal, organisasi,
pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya manusia
b. memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;
c. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
d. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau,
bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada upaya
preventif dan promotif;
e. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko tinggi,
daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah kesehatan;
f. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
g. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang merata
dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
h. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan penunjang
HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu sediaan obat dan
bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan AIDS; dan
i. meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel,
transparan, berdayaguna dan berhasilguna.

6. MEMILIH METODE
Menggunakan metode yang efektif seperti life skill education, peer group, dan
konseling melalui berbagai media. Upaya promosi dilakukan melalui strategi primer,
sekunder, dan tertier. Strategi primer meliputi komunikasi perubahan perilaku, life skill
education, dan peer education.Strategi sekunder meliputi peningkatan kesadaran, partner
notification, penyuluhan personal/kelompok. Strategi tertier meliputi advokasi,
sosialisasi, dan aspek legal .

Metode lainnya berupa PTRM (Pelayanan Terapi Rumatan Methadon), LASS


(Layanan Alat Suntik Steril), Layanan Konseling dan Tes HIV, Klinik IMS, PMTCT
(Prevention Mother To Child Transmission) dan CST (Care Support Treatment).

7. MEMILIH TUJUAN
a. “Tujuan program ini adalah, untuk menurunkan jumlah kasus baru HIV; menurunya
tingkat diskriminasi dan menurunnya angka kematian akibat AIDS serendah
mungkin”
b. Memastikan bahwa orang-orang mampu melindungi diri mereka sendiri dari infeksi
HIV dan menghindari penularan kepada orang lain.
c. Mengurangi penderitaan yang disebabkan HIV/AIDS, mencegah terrjadinya
penularan HIV lebih lanjut, meningkatkan kualitas hidup ODHA
d. Menggali informasi mengenai besaran, sebagan, dan kecenderungan dari penularan
HIV.AIDS, dan IMS, yang nantinya bisa digunakan dalam merumuskan kegiatan dan
kebijakan pencegahan HIV/AIDS
e. Menjamin berlangsungnya tanggapan yang berkelanjutan terhadap HIV.AIDS pada
semua tingkat pemerintahan melalui kepemimpinan yagn kuat dan komitmen
mendalam, serta didukung oleh informasi dan sumberdaya yang memadai.

8. MENGEMBANGKAN RENCANA
Indonesia secara legal formal telah berkomitmen untuk mencapai target ambisius ini
dengan adanya berbagai produk kebijakan seperti arah pembangunan kesehatan dalam
Rencana Pembangunan Menengah Nasional dan Rencana Aksi Nasional Pengendalian
HIV di sektor Kesehatan 2015-2019 dengan startegi;
a. meningkatkan cakupan layanan HIV- AIDS dan IMS melalui LKB (Layanan
Komprehensif HIV dan IMS yang Berkesinambungan)
b. memperkuat sistem kesehatan nasional dalam pelaksanaan Layanan Komprehensif
Berkesinambungan (LKB) HIV-AIDS dan IMS.

Demikian juga di tingkat lokal, dalam bentuk produk perda AIDS dan
pembentukan lembaga KPA Daerah. Namun, komitmen ini belum solid dan konsisten
seperti yang ditunjukkan oleh hasil penelitian PKMK-FK UGM 2014, bahwa komitmen
politik dalam upaya penanggulangan AIDS masih seadanya dan belum sampai pada
tingkat implementasi. Sebagai contoh, belum ada dana APBD yang diperuntukkan untuk
upaya penanggulangan AIDS yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Sementara dalam di
dalam berbagai peraturan daerah penanggulangan AIDS, menyebutkan tentang perlunya
partisipasi masyarakat. Dana penanggulangan HIV dan AIDS untuk masyarakat sipil
masih berasal dari donor yang secara global pun dana ini sangat terbatas. Alokasi dana
untuk masyarakat sipil hanya 1 % dari dana AIDS global.
Dari sisi layanan, untuk meningkatkan cakupan program perlu penambahan
layanan dan perbaikan sistem. Pemerintah dalam hal ini kementerian kesehatan membuat
rencana peningkatan berbagai layanan terkait AIDS dan IMS, mulai dari pencegahan
berupa; peningkatan jumlah layanan test HIV dan konseling, pengembangan layanan
PPIA, LASS dan PTRM secara bertahap, pengembangan layanan PDP, pengembangan
layanan IMS, TB-HIV dan rencana pengembangan UPTD. Selain itu, Kementerian
Kesehatan RI merencanakan penguatan sistem kesehatan berupa penguatan pembiayaan
program dan subsistem lainnya dalam sistem kesehatan, semisal pembagian proporsi
alokasi pembiayaan pusat dan daerah untuk obat dan komoditas lain untuk program HIV
dan AIDS. Rencana ini adalah hal yang baik, tetapi perlu disadari bahwa pada era
desentralisasi saat ini secara politik dan ekonomi pemerintah daerah yang mempunyai
kepentingan dan kekuasan yang tinggi dalam implementasi kebijakan termasuk berbagai
rencana pengembangan layanan.
Selanjutnya inovasi, adopsi dan penyesuaian strategi menjadi penting agar dalam
pelaksanaannya strategi ini dapat mencapai target. Selama ini, program intervensi AIDS
cenderung sama dalam artian perencanaannya dibuat dari pusat atau penyandang dana
sehingga seringkali daerah hanya menjalankan program saja dan dalam pelaksanaannya
sering mendapat hambatan dan resitensi. Oleh karena itu, pengalaman intevensi selama
ini dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan inovasi dengan melakukan berbagai
perubahan dan penyesuaian, seperti; penentuan target wilayah, penyediaan dan akses
layanan, pelibatan komunitas agar terjadi kepemilikan program, serta memperhatikan
isu stigma, diskriminasi dan hak asasi manusia.
Gambaran di atas menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi untuk mencapai
AIDS berakhir 2030 sehingga perlu upaya agar tercapainya target AIDS berakhir 2030.
Dari sisi komitmen politik adalah bagaimana mendorong pemerintah agar berkomitmen
untuk mengimplementasikan kebijakan, yakni dengan penguatan fungsi regulasi melalui
pengembangan kebijakan operasional di tingkat daerah terkait dengan peraturan daerah
atau peraturan di tingkat pusat. Penguatan fungsi regulasi ini dapat dilakukan dengan
mendorong pemangku kepentingan utama di daerah seperti kepala daerah (gubernur dan
bupati/walikota) mengeluarkan aturan pelaksanaan dari perda yang ada.
Dari sisi peningkatan layanan dan penguatan sistem kesehatan, di era
desentralisasi saat ini perlu perencanaan bersama dan pemberian kewenangan secara
politik dan administratif ke daerah dalam pengembangan berbagai layanan agar terjadi
kepemilikan pemerintah daerah terhadap program dan layanan yang dikembangkan.
Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan penilaian kebutuhan, ketersedian dan
kesenjangan sumberdaya, layanan dan pendanaaan sehingga punya posisi tawar terhadap
berbagai program dan pendanaan yang ditawarkan oleh pihak lain di daerahnya.
Pada akhirnya, strategi ini juga menuntut adanya berbagai inovasi dan adopsi
terhadap strategi intervensi yang sudah dilakukan selama ini dengan mempertimbangkan
situasi konteks pemerintahan saat ini, satus epidemis, layanan kesehatan di daerah.

9. MENENTUKAN ANGGARAN
Perkembangan alokasi pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS dari
sisi kebijakan dan hubungan dengan sistem kesehatan daerah digambarkan oleh Dr.
Silwanus Sumule yang membahas persoalan kesehatan di Papua dalam perspektif
kesehatan dan pelaksanaan kebijakan otonomi khusus yang dimandatkan melalui UU no.
21 tahun 2001. UU ini memberikan kewenangan untuk mengatur alokasi pembiayaan
sesuai dengan karakteristik lokal. Otonomi Khusus telah berhasil meningkatkan alokasi
pendanaan kesehatan di Papua sebesar 15%. Kebijakan pembiayaan kesehatan ini cukup
besar. Yang menjadi persoalah bagaimana dana besar ini dimanfaatkan dengan benar
untuk kesehatan masyarakat Provinsi Papua secara adil dan tidak menimbulkan masalah
baru.
Kondisi terkini HIV dan AIDS di Papua memperlihatkan bahwa Provinsi Papua
menduduki Prevalensi HIV tertinggi di Indonesia, dimana prevalensi orang asli Papua
adalah 2,9% (Studi STBP 2013). Sementara pelayanan kesehatan dasar dikampung-
kampung masih sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, program kesehatan di Provinsi
Papua difokuskan pada Papua Sehat untuk Bangkit Mandiri Sejahtera 2013 – 2018.
Berdasarkan Peraturan Presiden No:72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
maka disusunlah 15 program prioritas, diantaranya program Pengendalian Penyakit
Menular terfokus ATM. Dalam hal pembiayaan layanan kesehatan , saat ini sedang
dilakukan Sinkronisasi Jaminan Pembiayaan dan Kartu Papua Sehat (KPS).
Pertimbangan sinkronisasi tersebut adalah : Sesuai Perda / Perdasus Kesehatan No 7
Tahun 2014, Orang Asli Papua (OAP) berhak mendapat 2 Jaminan Pembiayaan baik
sebagai warga negara RI dan OAP, KPS digunakan sebagai "Cost Sharing" pada
komponen yang tidak ditanggung atau kurang dalam jaminan Pembiayaan tersebut. KPS
menopang pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini dianggap memungkinkan
karena 15% Dana Otonomi Khusus dialokasikan untuk Bidang Kesehatan terutama untuk
Layanan Kesehatan Dasar
Sumber-sumber pembiayaan untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia
digambarkan oleh peneliti Mardiati Nadjib dari Universitas Indonesia. Peningkatan
respon International terhadap HIV dan AIDS terutama pemberian bantuan finansial terus
meningkat sejak 2006–2012. Pengelolaan pembiayaan tersebut perlu mekanisme
pemantauan dengan tracking pemanfaatannya secara rinci untuk memastikan
akuntabilitas dari penggunaan sumber-sumber dana upaya penanggulangan HIV dan
AIDS. Sumber pendanaan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu,
dana yang bersumber dari :
1. Publik melalui APBN dan APBD (minus Jamkesmas dan Jamkesda) yang
menyangkut 17 Sektor dan 12 Provinsi;
2. Donor internasional yaitu: multilateral (Global Fund, UN Agencies, dan EU), dan
donor Bilateral (Pemerintah Australia melalui DFAT dan Pemerintah Amerika
melalui USAID); dan
3. Private (Swasta) contohnya Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA ).

Terkait pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, seorang


peneliti independen dan penggiat AIDS, Aang Sutrisna mengemukakan bahwa di antara
Negara ASEAN, pertumbuhan infeksi baru HIV di Indonesia adalah yang tertinggi.
Namun demikian sebagian besar program pengendalian HIV masih didominasi oleh
pendanaan mitra internasional. Perkembangan terakhir menunjukkan dana lokal
cenderung meningkat dan terbesar sebagai sumber dana belanja program HIV dan AIDS
sepanjang tahun 2006-2012, di ikuti Global Fund (GF) dan DFAT Australia. Distribusi
dana dari donor sebagian besar adalah untuk Pencegahan dan Penelitian sedangkan dana
lokal digunakan untuk pengobatan dan perlindungan sosial. Pertanyaannnya kemudian
adalah bagaimana keberlanjutan komposisi pendanaan ini bila dana sumber donor luar
negeri dihentikan? Indonesia yang sudah masuk dalam kategori negara lower middle
income country wajib hukumnya mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih besar
untuk mengatasi kekurangan sumber dana kesehatan penanggulangan HIV da AIDS
pasca GF. Alokasi untuk pembiayaan HIV dan AIDS di Indonesia masih terbilang lebih
rendah, yaitu 42 %, dibandingkan dengan negara lain Philipina (52%) atau Malaysia
(97%) (Gap Report, UNAIDS 2014).

Dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2015-2019 Penanggulangan HIV dan
AIDS Di Indonesia, mencatat kebutuhan pendanaan terkait HIV/AIDS tahun 2019
sebesar US$ 184,71 juta. Namun, anggaran yang tersedia hanya US$ 75,59 juta, sehingga
ada kekurangan US$ 109,12 juta. Kesenjangan dana terus meningkat sejak tahun 2015
yang hanya US$ 22,45 juta.

Meski belum menjadi fokus utama, Kementerian Kesehatan (Kemkes)


memastikan anggaran dari APBN untuk mengatasi HIV/AIDS juga meningkat seiring
penambahan anggaran kesehatan. "Tahun ini (anggaran penanganan HIV/AIDS) sekitar
Rp 2,5 triliun. jumlah ini sebenarnya sudah cukup besar untuk dimanfaatkan para
penderita HIV/AIDS,"

10. MENENTUKAN SUMBER PENDANAAN


Beberapa kebijakan yang mengatur tentang pendanaan adalah Perpres No 75 tahun 2006,
Permendagri No 20 tahun 2007, dan Stranas 2010- 2014. Dalam Pasal 15, Perpres No 75
tahun 2006 disebutkan bahwa:

1. Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan Komisi Penanggulangan AIDS


Nasional dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan sumber
dana lainnya yang sifatnya tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggulangan AIDS
Provinsi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.
3. Semua biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Komisi Penanggulangan AIDS
Kabupaten/Kota dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota.

Pada Bab VII, Pasal 13, Permendagri No 20 tahun 2007 dengan jelas disebutkan bahwa:

1. Belanja Program dan kegiatan Penanggulangan HIV dan AIDS bersumber dari
APBN, APBD, APBDes, dan sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
2. Belanja Program dan kegiatan yang bersumber dari APBD dianggarkan pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang terkait dengan penanggulangan HIV dan
AIDS, sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah
3. Untuk menunjang belanja operasional Komisi Penanggulangan AIDS dialokasikan
anggaran pada Bantuan Sosial
4. Besarnya belanja operasioanal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan pada
rencana pembiayaan kegiatan sekretariat KPA yang diusulkan oleh Ketua KPA,
sesuai kebutuhan dan kemampuan keuangan daerah
5. Pemerintah Desa mengalokasikan anggaran untuk menunjang pelaksanaan program
dan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS pada APBDes (alokasi Dana
Desa/ADD)
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang
Penanggulangan HIV Dan AIDS

Pendanaan
Pasal 46
Perawatan dan pengobatan bagi orang terinfeksi HIV yang miskin dan tidak mampu
ditanggung oleh negara.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Epidemi HIV/AIDS muncul dan menyebar melalui perilaku, menyimpang seks
bebas homoseks atau heteroseks dengan pasangan berganti dan penyalah-gunaan narkoba
suntik. Proporsi penderita AIDS perempuan di Indonesia meningkat sangat pesat
kebanyakan ibu rumah tangga dan penularan terbesar terjadi melalui hubungan seksual.
Obat anti retroviral telah tersedia dan mampu menurunkan kematian dan risiko penularan
HIV/AIDS dari ibu pada bayi. Pemerintah menyediakan pelayanan, pengobatan,
perawatan, dan dukungan tanpa diskriminasi yang diberikan secara penuh dan sinambung
pada penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia. PT Kimia Farma memproduksi dan
menyalurkan obat antiretroviral ke rumah sakit yang melayani penderita HIV/AIDS.
Tersedia 148 rumah sakit pemerintah dan 135 rumah sakit swasta di Indonesia yang
menangani HIV/AIDS.
Pengendalian penularan paling ampuh adalah meningkatkan pengetahuan
komprehensif tentang penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Mengingat jumlah remaja
dan tingkat penularan yang tinggi dan target MDGs meningkatkan pengetahuan remaja
tentang HIV/AIDS tinggi. Untuk mempercepat pencapaian MDGs, ditetapkan Inpres No.
1 Tahun 2010 dan Inpres No. 3 tahun 2010 dengan pemantauan ketat.
Dari sisi peningkatan layanan dan penguatan sistem kesehatan, di era
desentralisasi saat ini perlu perencanaan bersama dan pemberian kewenangan secara
politik dan administratif ke daerah dalam pengembangan berbagai layanan agar
terjadi kepemilikan pemerintah daerah terhadap program dan layanan yang
dikembangkan. Untuk itu, pemerintah daerah perlu melakukan penilaian kebutuhan,
ketersedian dan kesenjangan sumberdaya, layanan dan pendanaaan sehingga punya
posisi tawar terhadap berbagai program dan pendanaan yang ditawarkan oleh pihak lain
di daerahnya.
Pada akhirnya, strategi ini juga menuntut adanya berbagai inovasi dan adopsi
terhadap strategi intervensi yang sudah dilakukan selama ini dengan mempertimbangkan
situasi konteks pemerintahan saat ini, satus epidemis, layanan kesehatan di daerah.

Anda mungkin juga menyukai