Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Penanggulangan dan Penanganan Bencana


Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Bencana
Dosen pembimbing :

Ns. Nanang Bagus M.Kes

Nama :
Susanti
Siska kusumawati
Mirnawati
Musyfiqul Ibad

PROGRAM STUDI S1 KEPERWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BAHRUL ULUM
TAMBAKBERAS JOMBANG
2020

1
KATA PENGANTAR
Dengan ini kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
memberinya rahmat dan hidayahNya sehingga tugas makalah kami ini yang berjudul
“Penanggulangan dan Penanganan Bencana “.
Adapun maksud dan tujuan makalah ini untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menempuh mata kuliah keperawatan Bencana disamping itu, juga untuk menambah
wawasan dalam ilmu pengetahuan.
Penulis menyadari bahwa penyusun makalah ini masih jauh dari sempurna dan
masih banyak kekurangannya atau karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi para pembaca.

JOMBANG

Penulis

2
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN......................................................................................................................... 6
Pengungsi Sebagai Korban bencana ............................................................................................. 7
Pengungsi dan Pemenuhan Kebutuhan Hidup .............................................................................. 8
Dampak Sosial Psikologis Korban bencana .................................................................................. 9
Penanganan Korban bencana ...................................................................................................... 10
Metode Penelitian........................................................................................................................ 13
PEMbAHASAN .......................................................................................................................... 13
Penanganan Dampak Sosial Psikologis....................................................................................... 14
Pemenuhan kebutuhan fisik ........................................................................................................ 15
Pemenuhan kebutuhan psikis ...................................................................................................... 15
Pemenuhan kebutuhan sosial ...................................................................................................... 16
KESIMPULAN ........................................................................................................................... 17
Saran yang dapat diberikan antara lain: ...................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. 18

3
PENANGANAN DAMPAK SOSIAL PSIKOLOGIS KORBAN
BENCANA MERAPI
(Sosial Impact of Psychological Treatment Merapi Disaster Victims)

Chatarina Rusmiyati
dan
Enny Hikmawati

Abstrak
Hidup di tempat pengungsian yang penuh dengan keterbatasan sering
menimbulkan ketidakpastian sampai kapan mereka akan tinggal. Hal
ini berkaitan pada kemampuan pemerintah dalam menyediakan
pengganti tempat tinggal yang permanen, di samping kemampuan dari
korban bencana itu sendiri. Lokasi pengungsian kurang memadai
ditinjau dari kepadatan hunian, asupan gizi, sarana MCK, sanitasi
lingkungan, fasilitas sosial dan fasilitas umum. Kondisi ini dapat
menyebabkan pengungsi terutama anak- anak dan lansia rawan
terhadap penyakit. Ketersediaan tenaga kesehatan, obat-obatan
seringkali tidak seimbang dengan jumlah korban bencana yang
membutuhkan penanganan kesehatan. Penanganannya harus dilakukan
secara terkoordinir dan terpadu dengan melibatkan seluruh lapisan
masyarakat, LSM, dunia usaha dan pemerintah terkait. Pada intinya
dari hasil wawancara dan observasi pada informan dapat disimpulkan
bahwa para pengungsi telah ditangani secara fisik, psikis dan sosial.
Pemenuhan kebutuhan fisik meliputi pemenuhan kebutuhan makan,
pakaian, tempat tinggal, pelayanan kesehatan, air bersih dan sarana
MCK. Pemenuhan kebutuhan psikis dengan menghilangkan trauma
(trauma healing) seperti menghibur, memberikan pembinaan mental
psikologis agar tidak jenuh, pelayanan penguatan mental keagamaan,
pendidikan dan informasi. Pemenuhan kebutuhan sosial dengan
menerima kunjungan tamu, advokasi dan fasilitasi kegiatan.
Pemenuhan kebutuhan sosial psikologis di pengungsian dapat
dikatakan terpenuhi meskipun serba terbatas. Oleh karena itu
disarankan kepada pemerintah khususnya Kementerian Sosial dan
lembaga terkait, dalam memberikan bantuan kepada korban perlu
melakukan analisis kebutuhan agar tepat sasaran. Kepada masyarakat
di daerah rawan bencana perlu peningkatan kesadaran tentang risiko
bencana melalui sosialisasi dan simulasi siaga bencana, agar
masyarakat berdaya menghadapi bencana dan risikonya.

4
Kata Kunci: Penanganan, Pengungsi, Korban Bencana Merapi

Abstract
Living in refugee camps filled with limitations often lead to uncertainty
for how long they will stay. This relates to the ability of the government
to provide a permanent replacement dwelling, in addition to the ability
of victims of the disaster itself. Inadequate evacuation in terms of
residential density, nutrition, sanitary facilities, sanitation, sosial
facilities and public facilities. This condition can lead to refugees,
especially children and the elderly prone to disease. Availability of
health personnel, drugs are often not balanced by the number of victims
requiring medical treatment. Handling should be done in a coordinated
and integrated with the involvement of the whole society, NGOs,
businesses and government agencies. In essence, from interviews and
observations of informants can be concluded that the refugees had been
handled sosial needs food, clothing, shelter, health care, clean water
and sanitary facilities, and services, including capital and attempted
reintegration. Psychologically form of mental strengthening religious
services, education and information. Fulfillment of sosial needs in the
camps can be said psychological fulfilled despite limited. It is therefore
recommended to the government especially the Ministry of Sosial
Affairs and related agencies, in providing assistance to victims should
conduct a needs analysis to be right on target. To communities in
disaster prone areas need to increase awareness of disaster risks
through awareness and disaster preparedness simulations, so that
empowered communities for disasters and risks.
Keywords: Management, Refugees, Disaster Victims Merapi

5
PENDAHULUAN mengalami trauma karena kehilangan orang
yang dicintai, harta benda, hancurnya rumah
Indonesia memiliki wilayah yang luas
dan sawah yang menjadi mata pencaharian
dengan banyak pulau, terletak pada jalur gempa
mereka selama ini. Kondisi di pengungsian
bumi dan gunung berapi. Kondisi tersebut
yang tak layak menambah tekanan jiwa semakin
menyebabkan Indonesia rawan terhadap
berat. Semakin lama waktu yang dihabiskan di
berbagai bencana alam. Di Indonesia terdapat
pengungsian, berdampak pada jumlah pengungsi
129 gunung berapi aktif, 70 diantaranya
yang mengalami gangguan psikologis. Hasil
digolongkan sangat berbahaya. Keberadaan
observasi dan pendampingan yang dilakukan
gunung berapi membawa dampak kesuburan
relawan menyimpulkan bahwa sebagian besar
bagi tanah di sekitar, sehingga banyak penduduk
pengungsi mengalami tekanan psikologis
yang bermukim. Namun dibalik itu terdapat
akibat bencana gunung Merapi. Dari sampel 50
bahaya yang dapat mengancam keselamatan
orang pengungsi yang diklasifikasi berdasarkan
jiwa, kerusakan alam dan kehancuran lingkungan
kelompok umur, 60 persen memerlukan terapi
apabila terjadi bencana gunung meletus.
psikologi. (Harian Kedaulatan Rakyat, 3 Januari
Peristiwa bencana alam merupakan kejadian
2011). Menurut Deputi Bidang Penanganan
yang sulit dihindari dan diperkirakan secara
Darurat BNPB, sebagian kondisi pengungsi labil
tepat. Dampak bencana dapat berupa korban
dan tertekan di tempat pengungsian. Bahkan,
jiwa, harta benda, kerusakan infrastruktur,
belum genap dua minggu tinggal di pengungsian,
lingkungan sosial, dan gangguan terhadap tata
sebanyak 27 pengungsi sudah dirujuk ke Rumah
kehidupan serta penghidupan masyarakat yang
Sakit Jiwa (RSJ) Prof. Dr. Soerodjo Kota
telah mapan sebelumnya.
Magelang. Mereka diindikasikan mengalami
Merapi merupakan salah satu gunung stres dan trauma berat pasca erupsi eksplosif
berapi paling aktif di dunia. Sejak meletus pada Merapi. Harta benda mereka habis, bahkan
tanggal 26 Oktober 2010, menurut data Pusat banyak keluarga meninggal dunia karena tidak
Pengendalian dan Operasi Badan Nasional sempat menyelamatkan diri. Sementara data
Penanggulangan Bencana yang dirilis pada yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Daerah
tanggal 11 Nopember 2010 jumlah korban (RSJD) Soejarwadi, Klaten, tercatat 19 orang
tewas mencapai 194 orang. Aliran awan panas pengungsi masuk dalam kategori gangguan jiwa
yang dimuntahkan lava/material Merapi pada berat. Jadi total pengungsi yang “gila” sementara
hari Jumat malam 5 Nopember 2010 dengan ini ada 46 orang (dari Magelang dan Klaten).
kecepatan mencapai 100 km per jam, dan panas
Korban bencana alam menghadapi
mencapai kisaran 450-600 derajat celsius,
situasi dan kondisi yang sangat kompleks,
membakar pepohonan dan rumah-rumah
baik secara fisik, psikis maupun sosial.
sehingga dilakukan evakuasi penduduk secara
Problema paling mendasar adalah persoalan
besar-besaran. Kondisi tersebut memaksa
fisik, seperti gangguan pemenuhan kebutuhan
pemerintah memperlebar zona bahaya hingga
makan, minum, tempat tinggal, kesehatan,
berjarak 20 km dari puncak Merapi, yang
dan pendidikan. Hal ini berawal dari, tidak
sebelumnya ditetapkan dengan radius 15 km.
tersedia atau terbatasnya fasilitas umum, sosial
Letusan Merapi memicu evakuasi massa dan sanitasi lingkungan yang buruk sehingga
di wilayah DI Yogyakarta (Sleman, Yogyakarta, menimbulkan ketidaknyamanan bahkan dapat
Bantul) dan Jawa Tengah (Magelang, Klaten, menjadi sumber penyakit. Kehilangan harta
Boyolali). Tempat-tempat pengungsian dipenuhi benda menyebabkan korban menjadi jatuh
lebih dari 370.000 jiwa. Korban Merapi miskin, apalagi sumber matapencaharian

6
berupa lahan pertanian dan perkebunan juga yang menimpa. Mereka menolak direlokasi
mengalami kerusakan. Kehilangan anggota ke tempat baru, padahal tempat asalnya tidak
keluarga, khususnya sumber pencari nafkah memungkinkan lagi untuk dihuni.
keluarga, seringkali menyebabkan timbulnya
Dalam situasi yang demikian maka
perasaan khawatir, ketakutan bahkan trauma
diperlukan upaya penanganan dampak sosial
yang berkepanjangan. Bantuan dari berbagai
psikologis terhadap korban agar terhindar dari
sumber yang berbentuk materi mungkin dapat
gangguan psikologis dan permasalahan sosial
memenuhi kebutuhan fisik para korban bencana,
yang lebih luas. Penelitian ini dimaksudkan
tetapi belum tentu dapat menyelesaikan masalah
untuk mengetahui upaya penanganan dampak
yang dihadapi. Kehilangan orang yang dicintai,
sosial psikologis korban bencana Merapi yang
rumah, harta benda, sawah, atau ternak yang
telah dilakukan. Oleh karena itu rumusan
menjadi mata pencarian, dapat menyebabkan
masalah yang diajukan adalah bagaimana
guncangan jiwa dan trauma hebat.
penanganan dampak sosial psikologis korban
Keterpurukan lain yang dihadapi bencana Merapi di tempat pengungsian?
menyangkut masalah psikososial, seperti Tujuan penelitian ini adalah mengetahui upaya
kekhawatiran akan terjadi letusan susulan, rasa penanganan dampak sosial psikologis korban
kehilangan yang mendalam atas meninggalnya bencana Merapi.
anggota keluarga, harta benda dan sumber
mata pencaharian seringkali menimbulkan Pengungsi Sebagai Korban bencana
kesedihan berkepanjangan. Selain itu, dengan Pengungsi akibat bencana alam adalah
terpaksa harus tinggal di pengungsian dalam orang-orang yang terpaksa melarikan diri atau
kondisi yang serba terbatas menambah rasa meninggalkan rumah mereka sebagai akibat atau
cemas para pengungsi. Hal yang memperparah dalam rangka menghindarkan diri dari bencana
kondisi para pengungsi adalah mereka mudah alam dan berpindah ke daerah yang lebih aman.
tersulut api konflik dengan sesama pengungsi Definisi dari United Nation Hight Commission
akibat jenuh. Sebagian besar pengungsi for Refugees (UNHCR) menyebutkan bahwa
bermatapencaharian sebagai petani yang setiap pengungsi adalah orang yang meninggalkan
hari terbiasa bekerja keras, sementara yang tempat tinggalnya karena adanya unsur
terjadi di tempat pengungsian mereka hanya pemaksa seperti bencana alam berupa banjir,
diam saja tanpa berkegiatan, membuat mereka kekeringan, kebakaran, gunung meletus, tanah
bosan. Kurang terpenuhinya kebutuhan hidup, longsor, gelombang pasang air laut, tsunami,
tidak optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran wabah penyakit dan peperangan. Tujuan orang
keluarga serta kemungkinan-kemungkinan mengungsi adalah untuk mencari tempat yang
hilangnya pengendalian diri, kekecewaan lebih aman demi keselamatan diri dan keluarga.
terhadap pelayanan yang diberikan oleh Pengungsi jika dilihat dari kelompok umur
Pemerintah dapat berpotensi menjadi aksi sosial. dapat dibedakan menjadi pengungsi anak-anak,
Pengungsi pun kehilangan harga diri dan rasa pengungsi dewasa dan pengungsi lanjut usia.
percaya diri, sehingga terkesan pasrah, putus Pengungsian bisa dilakukan secara individu,
asa, tidak berdaya dalam menghadapi masa bersama-sama atau dalam kelompok dengan
depan, cenderung menyalahkan orang/pihak lain persiapan ataupun tanpa persiapan sama sekali.
yang dianggap menambah beban hidup mereka, Pengungsian bisa untuk sementara waktu ketika
bergantung pada bantuan pemerintah dan pihak kondisi masih dalam bahaya dan dapat kembali
lain, serta menyalahkan Tuhan atas musibah ke tempat asal ketika keadaan sudah aman

7
dan kehidupan sudah nornal kembali. Akan a. Rasa aman (security) dari ancaman
tetapi pengungsian bisa terjadi dalam kurun lingkungan manusia dan alam serta rasa
waktu yang lama bahkan tidak menentu karena aman dari gangguan penyakit.
terjadinya perubahan kondisi tempat asal, b. Kasih sayang (affection) baik dari keluarga
misalnya daerahnya menjadi tidak layak huni maupun masyarakat lingkungannya.
dan termasuk zona merah, sehingga mereka c. Mencapai cita-cita (achievment) dalam
tidak mungkin bisa kembali. Dari pengertian kondisi kehidupan sesuai yang diinginkan.
di atas maka pengungsi dapat dikategorikan d. Penerimaan (acceptance) eksistensi diri
sebagai korban bencana. ditengah masyarakat sekitarnya.
Status pengungsi sering diidentikkan LP Getubig dan Sonke Schmidt (1992)
dengan seseorang atau sekelompok orang mengemukakan bahwa individu dan kelompok
yang perlu dikasihani dan dibantu karena orang atau masyarakat dapat dikatakan aman
ketidakberdayaannya, meskipun demikian secara sosial (sosially secured) apabila terpenuhi
pengungsi tetap mempunyai hak asasi sebagai kebutuhan hidupnya dalam aspek:
manusia. Hak asasi manusia (HAM) pengungsi
a. Pendapatan yang tetap dan cukup (adequate
sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal
and stable income)
Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi
b. Kesehatan (health care)
Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya, serta Konvensi Internasional c. Makan cukup gizi (good nutrion)
tentang Hak Sipil dan Politik, adalah hak d. Rumah tempat tinggal (shelter)
untuk memeluk agama, bebas dari perbudakan, e. Pendidikan (education)
bebas dari penyiksaan, meminta dan menerima
f. Air bersih (clean water)
perlindungan bantuan humaniter, kebebasan
berpindah, rasa aman, pendidikan serta g. Sanitasi (sanitation)
memperoleh informasi tentang keberadaan sanak h. Penyantunan anak dan lanjut usia (child and
saudara. Dalam penelitian ini yang dimaksud old age care)
pengungsi adalah mereka yang menjadi korban Sementara Laird dan Laird (dalam
letusan Gunung Merapi dan terpaksa tinggal di Sumarnonugroho, 1984: 6) mengemukakan
pengungsian. kebutuhan dasar hidup manusia meliputi:
a. Hidup
Pengungsi dan Pemenuhan Kebutuhan
Hidup b. Merasa aman
Pengungsi sebagai manusia, baik sebagai c. Penghargaan atas eksistensi dirinya
individu maupun sebagai kelompok masyarakat d. Melakukan pekerjaan yang disenangi.
yang sedang menghadapi masalah, mempunyai Selanjutnya aspek kebutuhan dasar hidup
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Apabila manusia menurut Maslow adalah:
kebutuhan hidup itu tidak dapat terpenuhi
dalam kurun waktu yang lama maka akan a. Kebutuhan fisik seperti makan, minum, dan
menjadi masalah sosial, sehingga manusia dan udara untuk bernafas.
masyarakat tidak dapat melaksanakan fungsi b. Rasa aman.
sosialnya. Kebutuhan dasar manusia menurut c. Menyayangi dan disayangi
Elizabeth Nicolds (1965: 59) meliputi: d. Penghargaan diri
e. Aktualisasi diri.

8
Kebutuhan dasar manusia tersebut di d. Bantuan kemanusiaan berupa makanan,
atas dalam kondisi yang normal dapat dengan pakaian, kesehatan atau obat-obatan,
mudah terpenuhi apabila alam dan lingkungan pendidikan, hiburan, dan pelayanan
manusia mendukung, dalam arti sedang tidak administrasi kependudukan. Pemerintah dan
terjadi bencana. Sebaliknya apabila alam dan pihak swasta harus menjamin kelancaran
lingkungan tidak mendukung karena sedang dan keamanan dalam menyalurkan bantuan
terjadi bencana maka kebutuhan dasar manusia kemanusiaan tersebut sehingga terhindar
dari gangguan pihak-pihak yang tidak
itu kadang-kadang sulit terpenuhi, maka untuk
bertanggungjawab dan berbagai hambatan
dapat terpenuhinya kebutuhan dasar hidup,
birokrasi.
manusia tersebut memerlukan intervensi dari
e. Bantuan pemulangan, relokasi dan integrasi
pihak lain. Dalam hal ini manusia sebagai
dengan masyarakat tempat pengungsi
pengungsi memerlukan bantuan orang lain
berada. (Gunanto Surjono, dkk. 2004: 7).
agar tetap dapat bertahan hidup di tempat
pengungsian. Lima prinsip di atas telah mencakup
kebutuhan dasar manusia baik fisik, psikis
Dalam panduan pengungsi internal yang maupun sosial.
dikeluarkan oleh PBB Koordinator Urusan
Kemanusiaan (OCHA), kebutuhan perlindungan Dampak Sosial Psikologis Korban bencana
bagi pengungsi meliputi lima prinsip yaitu:
Peristiwa bencana membawa dampak bagi
a. Perlindungan umum meliputi hak warga masyarakat khususnya yang menjadi
memperoleh persamaan perlakuan hukum, korban. Beberapa permasalahan yang dihadapi
kebebasan bersuara, perlindungan dari korban bencana meletusnya Gunung Merapi
tindak diskriminasi, dan perlindungan yaitu:
khusus terutama untuk pengungsi anak-
anak, ibu hamil, perempuan kepala rumah a. Kehilangan tempat tinggal untuk sementara
tangga, lanjut usia serta orang cacat. waktu atau bisa terjadi untuk seterusnya,
karena merupakan kawasan rawan bencana
b. Perlindungan terhadap kemungkinan
(termasuk dalam zona merah).
paksaan jadi pengungsi karena diskriminasi
warna kulit, pembersihan etnis, agama dan b. Kehilangan mata pencaharian karena
politik. kerusakan lahan pertanian dan hancurnya
tempat usaha.
c. Perlindungan selama masa pengungsian
internal dari tindak genoside, pembunuhan, c. Berpisah dengan kepala keluarga karena
penculikan, penahanan, kekerasan, ayah atau suami banyak yang memilih untuk
perampokan, penyanderaan, pemerkosaan, tetap tinggal di rumah dengan alasan menjaga
penghukuman kerja, penyiksaan, pencacatan, rumah, harta benda dan tetap bekerja sebagai
perbudakan, eksploitasi, pelecehan seksual, petani, berkebun atau peternak.
pengekangan gerak, pemaksaan ikut bertikai, d. Pemenuhan kebutuhan dasar berupa makan,
penurunan martabat, moral dan mental. minum, tempat tinggal sementara atau
Pengungsi juga memperoleh hak untuk penampungan, pendidikan, kesehatan dan
mengetahui tentang keberadaan keluarganya sarana air bersih yang tidak memadai. Tidak
dan dipertemukan kembali, pemakaman tersedia atau terbatasnya fasilitas umum dan
yang layak apabila meninggal, memperoleh fasilitas sosial.
informasi tentang pilihan hidup yang lebih e. Terganggunya pendidikan anak-anak yang
baik, pergi ke negara lain yang dipandang tidak bisa sekolah karena kerusakan sarana
aman dan mencari suaka ke negara lain. dan prasarana sekolah.

9
f. Risiko timbulnya penyakit-penyakit ringan pada Tuhan karena diberi ujian atau hukuman
(batuk, flu) ataupun penyakit menular bahkan cobaan kepada orang-orang yang
(misalnya diare) karena kondisi lingkungan merasa dirinya sudah melaksanakan ibadah
dan tempat penampungan yang kurang bersih sesuai ajaran agama. (Marjono, 2010).
dan tidak kondusif serta sarana pelayanan
kesehatan yang kurang memadai. Penanganan Korban bencana
g. Terganggunya fungsi dan peran keluarga Pelayanan sosial pengungsi merupakan
karena dalam satu tempat penampungan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah,
tinggal beberapa keluarga sekaligus. Tidak pihak swasta dalam skala internasional,
optimalnya pelaksanaan fungsi dan peran nasional ataupun tingkat lokal untuk memberi
keluarga serta kemungkinan-kemungkinan perlindungan hukum, keamanan, pemenuhan
hilangnya pengendalian diri dapat kebutuhan pangan, pakaian, shelter, obat-
menimbulkan potensi konflik dengan sesama obatan, pelayanan administratif kependudukan,
pengungsi akibat jenuh, tidak terpenuhinya reintegrasidengankeluargadanrelokasi.Menurut
kebutuhan hidup.
Allen Pansus dan Anne Minahan (dalam Gunanto
h. Hilangnya harga diri dan kemampuan baik Surjono, dkk., 2004), pelayanan sosial ditujukan
sebagai individu maupun sebagai keluarga untuk menolong orang-orang yang mengalami
karena di tempat pengungsian mereka permasalahan sehari-hari dalam keluarga, anak-
menerima belas kasihan dari pihak lain dan
anak yang mengalami hambatan belajar di
bahkan seringkali menjadi tontonan. Kecewa
sekolah, orang yang mengalami kesulitan dalam
pada pemerintah atau pihak-pihak lain yang
mencari pekerjaan guna menghidupi dirinya
tidak dapat meminimalisir kerusakan yang
ditimbulkan oleh letusan gunung berapi dan dan beberapa kondisi kehidupan traumatis
kecewa terhadap pelayanan yang diberikan seperti kedukaan, perpisahan dengan keluarga,
oleh pemerintah yang berpotensi menjadi menderita suatu penyakit dan masalah keuangan
aksi sosial. sebagai penopang hidup.
i. Terhambatnya pelaksanaan fungsi dan Demikian juga Sukamdi (dalam Gunanto
peran sosial dalam kekerabatan serta Surjono, 2004) mengemukakan bahwa tindakan
pelaksanaan tugas-tugas kehidupan dalam pelayanan kepada pengungsi adalah untuk:
kemasyarakatan, misalnya: kegiatan arisan,
kegiatan adat atau budaya yang tidak dapat a. Proteksi, khususnya terhadap perempuan,
dilaksanakan di lokasi pengungsian. anak-anak dan lanjut usia.
j. Kejenuhan akibat ketidakpastian berapa b. Pemberian fasilitas untuk kembali ke
lama harus mengungsi, perasaan tidak pemukiman asal perantauan atau lokasi baru.
berdaya, ketakutan dan bahkan perasaan c. Menyelesaikan akar permasalahan penyebab
putus asa menghadapi kemungkinan pengungsian agar dikemudian hari tidak
bencana yang tidak mungkin dihindari (tidak terjadi masalah pengungsian yang sama.
dapat melawan kehendak Tuhan). Akibatnya Selanjutnya Eddy Ch Papilaya (2003)
timbul perasaan marah, stres atau frustrasi mengemukakan bahwa pemberdayaan
dengan situasi dan kondisi yang serba tidak
pengungsi meliputi tiga hal pokok, yaitu:
menentu, trauma, putus asa, merasa tidak
berdaya dan ketidakpastian terhadap masa a. Pendidikan dan pembangkitan kesadaran.
depannya. Pendidikan dan pembangkitan kesadaran
k. Berfikir tidak realistis dan mencari kekuatan mencakup tiga unsur yaitu: 1) Pendidikan
supra natural untuk mencegah terjadinya formal terutama bagi pengungsi anak-
bencana. Kekecewaan spiritual yaitu kecewa anak agar tidak terlalu tertinggal dengan

10
pendidikan anak-anak lain yang bukan apabila memungkinkan atau di tempat baru
pengungsi, 2) Pendidikan informal yang lebih aman. Pemberdayaan masyarakat
untuk pengungsi dewasa yang bisa pengungsi tidak cukup dilakukan pemerintah
berlangsung setiap waktu dengan tujuan saja, tetapi harus melibatkan pihak lain seperti
untuk menanamkan nilai, pengetahuan, swasta, LSM, masyarakat lingkungan di mana
keterampilan, akses informasi usaha pengungsi berada, baik secara perorangan
ekonomis produktif dengan memanfaatkan maupun terorganisir yang bekerja sama atas
sumber alam, manusia dan sosial sekitarnya.
nama kemanusiaan (for the sake of humanisme).
Pendidikan informal dapat dilakukan melalui
(Eddy Ch. Papilaya, 2003). Menurut panduan
pendampingan, bimbingan dan konsultasi,
pengungsi yang dikeluarkan oleh PBB (OCHA)
3) Pendidikan non-formal yang berorientasi
pada pemberdayaan hukum, demokrasi, intervensi kepada pengungsi mengandung
ekonomi produktif, advokasi pemenuhan prinsip tidak ada larangan secara formal bagi
hak azasi kehidupan dan kekerasan gender. lembaga manapun yang akan memberikan
b. Pelibatan Kebijakan dan Perencanaan Elitis bantuan kemanusiaan kepada pengungsi.
Dalam hal ini untuk mempengaruhi Fancois J. Tunner (dalam Gunanto Surjono,
kebijakan elit pengambil keputusan dkk., 2004:10) mengemukakan bahwa dalam
mempunyai kompetensi dalam sektor penanganan pengungsi tidak ada satu aspek
keamanan, sistem ekonomi, penyediaan penanganan yang ditekankan dan didominasikan
akses lembaga keuangan, fasilitas informasi, (overstressed and dominated) tetapi semua
kesehatan, kesejahteraan sosial, layanan unsur harus bekerja sama saling mengisi
administrasi kependudukan, dan penyediaan kompleksitas kebutuhan pengungsi. Unsur
sarana sekolah formal. Kebijakan dan pelayanan sosial pokok yang harus dilakukan
perencanaan elitis digunakan untuk
bersama seperti pemenuhan kebutuhan makan,
menghindari permasalah lanjut, seperti stres
kesehatan, pakaian, keamanan/pendidikan,
berkepanjangan, kekecewaan, frustrasi,
relokasi dan perlindungan hukum. Sedangkan
tindak negatif, pemiskinan, pembodohan,
dan ketertinggalan sebagai akibat lama unsur penunjang meliputi publikasi, simpati
mengungsi tanpa intervensi dari pihak masyarakat lingkungan dan semangat hidup dari
pengambil kebijakan pemerintah. Hal pengungsi sendiri.
ini dimaksudkan untuk menghindari Langkah yang dilakukan dalam upaya
kemungkinan terjadinya masyarakat yang penanganan dampak sosial psikologis korban
dimarginalkan, sosial cost atau generation
bencana Merapi antara lain:
lost.
c. Aksi Sosial Politik a. Advokasi, yaitu melindungi dan
mengupayakan kepastian mengenai
Aksi sosial politik dilakukan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi
menjunjung tinggi prinsip partisipatif dalam
secara layak dan memadai.
masyarakat pengungsi sendiri, mulai dari
perencanaan, identifikasi masalah, penentuan b. Intervensi keluarga.
skala prioritas, tujuan, implementasi dan Keluarga-keluarga pengungsi yang
pemantauan, serta evaluasi akhir dalam kehilangan kepala keluarganya perlu
proses rehabilitasi pengungsi. mendapatkan pelayanan khusus karena
Program pemberdayaan bagi pengungsi (barangkali) seorang istri atau ibu harus
mengambil alih tanggung jawab sebagai
tidak dapat tercapai secara maksimal apabila
kepala keluarga sekaligus pencari nafkah.
dilaksanakan di tempat pengungsian, akan
Pengertian, dukungan dan partisipasi
lebih baik apabila dilaksanakan di tempat asal

11
semua anggota keluarga sangat dibutuhkan. dialami saat ini. Pengungsi yang mengalami
Agar masa transisi peran tersebut dapat gangguan penyesuaian diri biasanya mengalami
dilaksanakan dengan baik diperlukan insomnia, hipertensi dan psikosomatis. Hal ini
dukungan dari berbagai pihak sehingga ditunjukkan dengan keinginan untuk segera
fungsi keluarga dapat pulih kembali dan pulang ke rumah, tidak betah tinggal di pos
stabilisasi peran keluarga dapat dicapai. pengungsian, tidak mau makan dan tidak mau
c. Terapi kritis. bicara. Untuk kasus yang berat, biasanya mereka
Tidak sedikit masyarakat yang menolak mengalami ketakutan secara terus menerus,
untuk direlokasi, tidak puas dan merasa sering menangis, dan mengalami halusinasi.
tidak berdaya dengan situasi dan kondisi Mereka kebanyakan juga mengalami insomnia,
baru yang berbeda dengan keseharian tidak tenang dan cemas secara berlebihan.
mereka sebelumnya. Perasaan-perasaan
tersebut seringkali menimbulkan gangguan Penanganan masalah sosial psikologis
psikis, seperti kecemasan dan insomnia, pengungsi pada dasarnya untuk membantu
stres, frustrasi dan selalu ada kemungkinan manusia yang sedang mengalami kesulitan
timbul aksi sosial atau konflik. Layanan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri dan
ini diberikan kepada individu-individu keluarganya, karena adanya faktor penghambat
yang mengalami stress atau trauma karena seperti terjadinya bencana sehingga harus
kejadian bencana itu sendiri, karena mengungsi di tempat yang dianggap aman. Oleh
kehilangan harta benda atau karena karena itu dalam memberikan pelayanan sosial
kehilangan anggota keluarganya. Terapi atau intervensi harus menggunakan pendekatan
yang dilakukan antara lain pengungkapan kemanusiaan agar tidak menyinggung perasaan
perasaan-perasaan negatif yang dilanjutkan orang-orang yang diberi pelayanan. Allen
dengan pembelajaran sederhana mengenai
Pancus dan Anne Minahan yang dikutip Gunanto
cara membangun perasaan-perasaan yang
Surjono, dkk., 2004 mengemukakan bahwa
positif dan bekerja bersama-sama dengan
untuk dapat melakukan penyelesaian masalah
kelompok untuk menginventarisasi hal-hal
positif yang dapat dilakukan di daerah yang sosial dengan baik harus melibatkan sistem
baru dan menyusun rencana kegiatannya. sumber (resources system) yang meliputi:
d. Membangun partisipasi a. Sumber informal, berasal dari keluarga,
Pengungsi perlu dilibatkan dalam berbagai teman, tetangga dan masyarakat sekitar yang
kegiatan di barak-barak pengungsian (dapur diberikan secara spontan.
umum, latihan keterampilan dan kegiatan b. Sumber formal, berasal dari organisasi
lain) untuk mengalihkan perasaan-perasaan (pemerintah atau swasta) baik yang
kontra produktif, dan dalam menyusun menyandang masalah sebagai anggota
rencana recovery. organisasi bersangkutan maupun bukan
e. Mediasi dan fasilitasi relokasi dengan anggota (di luar) organisasi.
penyuluhan terhadap masyarakat di daerah c. Sumber sosial, berasal dari organisasi yang
tujuan yang baru agar dapat menerima dibentuk secara khusus untuk memberikan
kehadiran para pengungsi yang direlokasi ke intervensi pertolongan pada saat khusus dan
daerah mereka. (Marjono, 2010). tertentu (given situation).
Selain langkah-langkah tersebut Dalam praktek penggalian sumber tersebut
dukungan sosial dari keluarga atau sesama di atas diperlukan kerjasama secara terpadu
pengungsi sangat membantu korban untuk untuk saling melengkapi agar misi pelayanan
bisa menyesuaikan diri terhadap kondisi yang sosial dapat dilaksanakan tepat sasaran, tercapai

12
tujuan dan sesuai harapan. Kementerian Sosial pada permasalahan yang diteliti.
dalam penanganan korban bencana alam 3. Display data, menunjukkan data yang telah
membedakan empat tahapan kegiatan yaitu diklasifikasikan atau dikelompokkan sesuai
tahap pencegahan dan kesiapsiagaan, tanggap dengan permasalahan yang diteliti.
darurat, rehabilitasi sosial serta sosialisasi dan 4. Penarikan kesimpulan (verifikasi) yaitu
rujukan. Dalam setiap tahapan menekankan menelusuri makna atau interpretasi terhadap
pada adanya koordinasi antar instansi terkait hasil temuan penelitian, bila kesimpulan
(Dinas Sosial, BNPB, Dinas Kesehatan) dengan masih meragukan data dapat ditambah.
unsur masyarakat, LSM dan dunia usaha dalam (Moleong, 2002).
satu komando. Tanggap darurat adalah kegiatan Keabsahan data kualitatif untuk
memobilisasi dan meningkatkan kemampuan mendapatkan data yang absah dan kredibel,
masyarakat dalam mengkonsolidasikan diri maka peneliti melakukan:
melalui penyediaan sarana dan prasarana
penanganan korban bencana alam. Dalam 1. Memperpanjang waktu penelitian, bila data
dianggap belum cukup.
penelitian ini yang menjadi fokus bahasan adalah
upaya penanganan dampak sosial psikologis 2. Trianggulasi, mengkonfirmasikan data dari
dalam hal pemenuhan kebutuhan fisik, psikis beberapa sumber/informan yang berbeda
dan sosial ketika korban bencana masih berada peran, status dan jabatannya.
di tempat pengungsian atau dibatasi pada tahap 3. Diskusi teman sejawat, data dan temuan
tanggap darurat. lapangan didiskusikan pada teman sejawat
untuk mendapatkan masukan yang benar.
Metode Penelitian
PEMbAHASAN
Penelitian ini bersifat deskriptif
kualitatif, dilaksanakan di tempat pengungsian Penanganan Dampak Sosial Psikologis
Hargobinangun, Kepuharjo, Girikerto, dan Korban bencana Gunung Merapi
Wonokerto Kabupaten Sleman. Sumber
Wilayah bencana di Sleman
data penelitian adalah korban Merapi baik
anak maupun orangtua dan relawan baik Sleman merupakan salah satu kabupaten
secara individu maupun terorganisir (LSM). di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dengan
Pengumpulan data dilakukan dengan luas wilayah 7574,82 km2 atau 18% dari luas
wawancara menggunakan pedoman wawancara wilayah DIY. Di sebelah utara, berbatasan
untuk mengungkap berbagai upaya yang telah dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten
dilakukan dalam penanganan dampak sosial Boyolali, sebelah timur berbatasan dengan
psikologis korban bencana Merapi. Observasi Kabupaten Klaten, sebelah barat berbatasan
tentang kondisi pengungsi di tempat pengungsian dengan Kabupaten Kuloprogo dan Kabupaten
dan telaah dokumen yang terkait dengan kondisi Magelang, dan sebelah selatan berbatasan
wilayah dan jumlah korban. Selanjutnya data dengan kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul dan
yang terkumpul dianalisis secara deskriptif Kabupaten Gunungkidul. Kabupaten Sleman
kualitatif. Langkah dalam analisis kualitatif secara administratif, terbagi atas 17 kecamatan,
dilakukan melalui: 86 desa, dan 1.212 pedukuhan.

1. Pengumpulan data, dilakukan dengan Wilayah Kabupaten Sleman merupakan


wawancara, observasi dan dokumentasi. kawasan Lereng Gunung Merapi, di mulai dari
2. Reduksi data, data yang diperoleh difokuskan jalan yang menghubungkan Kota Yogyakarta

13
dengan Tempel, Turi, Pakem, dan Cangkringan dan Wukirsari. Kecamatan Pakem di Posko
(rightbelt) sampai dengan Puncak Gunung Purwobinangun dan Hargobinangun, sementara
Merapi. Wilayah ini kaya sumberdaya air dan Kecamatan Turi di Posko Girikerto dan
potensi ekowisata yang beorientasi pada aktivitas Wonokerto.
Gunung Merapi dan ekosistemnya. Daerah yang
Meletusnya Gunung Merapi melumpuhkan
terkena erupsi Merapi pada tanggal 26 Oktober
berbagai sektor, baik pariwisata, perhotelan,
2010 adalah Kabupaten Sleman, Magelang,
pertanian, peternakan, maupun perikanan.
Boyolali dan Klaten. Kabupaten Sleman
Kerugian diperkirakan mencapai ratusan milliar
merupakan wilayah yang paling parah terkena
rupiah, bahkan triliunan rupiah. Berdasar
dampak letusan Gunung Merapi. Kerusakan
pendataan yang telah dilakukan, erupsi Merapi
akibat letusan Gunung Merapi tersebut mencapai
di wilayah Kabupaten Sleman, mengakibatkan
sekitar 2.300 kepala keluarga yang kehilangan
kerusakan senilai Rp 894,35 miliar dan kerugian
rumah dan ratusan orang meninggal. Badan
senilai Rp 4,51 triliun atau total perkiraan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
kerusakan dan kerugian mencapai Rp 5,405
merilis data yang dilaporkan pada tanggal 6
triliun. Angka kerugian dan kerusakan tersebut
Nopember 2010 mencapai 116 orang, jumlah
meliputi sektor permukiman, infrastruktur,
korban meninggal, di Sleman tercatat sebanyak
sosial, ekonomi dan lintas sektor. (Pemkab
104 orang. Sementara jumlah total pengungsi
Sleman, 2011)
Merapi hingga saat itu sebanyak 198 ribu, 56
ribu orang diantaranya di Kabupaten Sleman. Penanganan Dampak Sosial Psikologis
Data yang dihimpun oleh Dinas Kesehatan Kejadian bencana membawa dampak
Kabupaten Sleman menyebutkan jumlah korban bagi warga masyarakat khususnya yang
bencana erupsi Gunung Merapi bertambah menjadi korban. Permasalahan nyata yang
menjadi 277 orang sampai dengan tanggal 2 dialami korban bencana antara lain kondisi
Desember 2010. Bertambahnya data korban dalam penampungan atau pengungsian,
meninggal ini diantaranya merupakan hasil terceraiberainya tatanan keluarga baik
evakuasi di lokasi bencana dan dari barak selama proses pelarian maupun pengungsian,
pengungsian, baik yang meninggal karena sakit melemahnya semangat kemasyarakatan karena
maupun karena usia lanjut. padatnya kampung-kampung pengungsian,
deprivasi dan keterbatasan akses karena
Beberapa kecamatan yang ada di
pengungsi datang tanpa bekal yang memadai,
Kabupaten Sleman yang terkena dampak erupsi
sementara sumber fasilitas pelayanan setempat
Gunung Merapi terparah adalah di Kecamatan
terbatas. Jika pengungsi tinggal relatif lama
Cangkringan, Pakem, Turi dan Tempel, yang
berpotensi untuk bersaing dalam mendapatkan
masih berada dalam radius 15 km dari Merapi.
akses dengan masyarakat setempat sehingga
Warga masyarakat meninggalkan desa dan
memicu terjadinya konflik. Adanya trauma
mengungsi ke tempat-tempat yang lebih aman
sosial psikologis karena ketidakberdayaan
seperti posko pengungsian maupun ke rumah
secara fisik, ekonomi maupun sosial yang
sanak saudara yang berada dalam radius
dialami sendiri maupun orang-orang terdekat
aman, karena abu vulkanik yang sangat tebal
selama di pengungsian. Penanganan dampak
sehingga mengganggu aktivitas keseharian
sosial psikologis korban bencana erupsi Merapi
mereka. Posko pengungsian yang ada di Sleman
akan dilihat dari aspek pemenuhan kebutuhan
tersebar di Kecamatan Cangkringan yaitu
fisik, psikis dan sosial.
Posko Umbulharjo, Kepuharjo, Glagaharjo,

14
Pemenuhan kebutuhan fisik marinir membuka dapur umum untuk membantu
Masalah mendasar yang dihadapi oleh memenuhi kebutuhan makan pengungsi.
korban bencana termasuk korban meletusnya Kegiatan seperti ini sudah sering dilakukan oleh
Gunung Merapi adalah pemenuhan kebutuhan marinir sehingga mereka dapat dengan cepat
fisik, seperti makan, minum dan tempat tinggal dan sigap menyediakan makan bagi pengungsi
yang aman. Pemenuhan kebutuhan fisik ini yang jumlahnya ribuan. Demikian juga di posko
penting karena penduduk yang tinggal d daerah pengungsian Hargobinangun, dapur umum
rawan bencana ketika Merapi meletus harus melibatkan tentara, relawan dan Tagana yang
segera menyelamatkan diri menuju ke tempat secara bahu membahu menyiapkan kebutuhan
aman atau barak pengungsian yang sudah logistik pengungsi.
disediakan pemerintah seperti di balai desa Selain kebutuhan makan, minum dan
yang letaknya memang lebih aman. Dalam tempat tinggal, kebutuhan mendesak lainnya
kondisi panik dan tergesa-gesa mereka pergi adalah kebutuhan pelayanan kesehatan,
meninggalkan rumah tanpa membawa bekal pendidikan, air bersih dan sanitasi. Pelayanan
apapun guna menyelamatkan diri. Menghadapi kesehatan diberikan oleh dinas kesehatan dengan
situasi demikian pemenuhan kebutuhan fisik melibatkan relawan dari perguruan tinggi yang
menjadi kebutuhan yang mendesak untuk memiliki fakultas kedokteran dengan kegiatan
segera disediakan. Kebutuhan dasar manusia pemeriksaan rutin bagi pengungsi terutama
dengan mudah dapat terpenuhi apabila alam dan anak-anak dan lansia. Hidup di pengungsian
lingkungan manusia mendukung. Sebaliknya rentan terserang gangguan penyakit seperti
apabila alam dan lingkungan tidak mendukung flu, batuk, pilek (ISPA) dan diare. Hal tersebut
karena sedang terjadi bencana maka kebutuhan dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak
dasar manusia kadang-kadang sulit terpenuhi. nyaman, kurang bersih dan serba terbatas, selain
Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan itu juga karena kurang tersedianya air bersih
tersebut diperlukan intervensi pihak lain. dan sarana MCK. Untuk mencukupi kebutuhan
Hasil pengamatan di beberapa tempat air bersih dan MCK, pemerintah melalui dinas
pengungsian terlihat bahwa bantuan dari pekerjaan umum menyediakan toilet umum
masyarakat khususnya pangan dan sandang yang bisa dipindahkan dan mendrop air bersih
cukup banyak, bahkan bisa dikatakan melimpah, ke lokasi pengungsian.
seperti beras, mie instan, makanan ringan,
makanan bayi, air mineral dan pakaian pantas Pemenuhan kebutuhan psikis
pakai. Hal tersebut didukung hasil wawancara Selain kebutuhan fisik, hal yang tidak
dengan petugas di posko bencana yang kalah penting adalah pemenuhan kebutuhan
menyatakan bahwa bantuan untuk pemenuhan psikis sebagai dampak terjadinya gangguan
kebutuhan fisik banyak mengalir baik secara psikologis pengungsi. Gangguan psikologis
perorangan maupun dari kelompok pengusaha, yang dialami pengungsi antara lain perasaan
organisasi sosial, dan instansi pemerintah. sedih akibat kehilangan keluarga yang mereka
Penyediaan pemenuhan kebutuhan makan dan sayangi, kehilangan harta benda, rumah,
minum bagi pengungsi didirikan dapur umum matapencaharian, dan merasa asing di tempat
di tempat pengungsian baik oleh relawan, pengungsian. Kondisi pengungsian atau tempat
korps marinir, korps angkatan darat, taruna berlindung yang tidak memadai, berdesak-
siaga bencana (Tagana) maupun masyarakat. desakan dan tidak adanya pemisahan antara
Di posko pengungsian Girikerto Sleman, korps laki-laki dan perempuan, anak-anak dan

15
lansia membuat mereka stress. Keamanan atas menghilangkan kebosanan pada anak-
kepemilikan ternak, rumah dan harta benda anak selama dipengungsian. Selain itu juga
lain yang ditinggalkan menjadikan perasaan mendengarkan cerita dari anak–anak sebagai
khawatir bagi sebagian pengungsi. upaya untuk meluapkan ekspresinya. Pada saat
peneliti melakukan observasi terlihat anak-anak
Berbagai permasalahan tersebut memicu
yang berada di pengungsian Hargobinangun
timbulnya gangguan psikologis dikalangan
sedang dikunjungi oleh beberapa Polisi Wanita
pengungsi. Penanganan yang dibutuhkan untuk
(Polwan) dari Polres Sleman. Kedatangan
mengurangi gangguan psikologis tersebut
mereka bertujuan untuk menghibur dan mengajak
adalah menghilangkan trauma bagi para korban
bermain anak-anak guna menghilangkan trauma
dengan menghibur mereka, memberi pelatihan
atas kejadian yang baru saja mereka alami
dan pembinaan serta aktivitas lain agar mereka
sekaligus untuk menghilangkan kejenuhan
tidak jenuh. Para pengungsi yang sebagian besar
selama berada di pengungsian.
bermatapencaharian sebagai petani/peternak
dengan rutinitas pekerjaannya membuat mereka
Pemenuhan kebutuhan sosial
sibuk, sementara di tempat pengungsian rutinitas
Pengungsi yang berada di pengungsian
pekerjaannya tidak bisa dilakukan. Mereka
harus rela tinggal bersama di barak pengungsian
tidak terbiasa tanpa aktivitas sehingga bosan,
dengan berbagai macam karakter orang. Situasi
jenuh dan stress berada di pengungsian. Kondisi
dan kondisi kehidupan yang mereka alami di
tersebut menjadikan pengungsian kehilangan
pengungsian sering memunculkan perasaan
ekologi sosial yaitu kehilangan rutinitas harian
kecewa dan putus asa bahkan frusterasi karena
yang biasa dijalani. Untuk menghilangkan
ketidakjelasan dengan nasib mereka. Hal
kejenuhan tersebut mereka diberi hiburan dan
tersebut diperparah dengan kondisi yang mudah
pencerahan, walaupun hiburan hanya sementara
tersulut api konflik antar sesama pengungsi
sifatnya paling tidak mereka mendapatkan
akibat jenuh (burnout). Sebagian besar korban
ketenangan dan melupakan sejenak beban
bermatapencaharian sebagai petani dengan
mental mereka. Mereka diberi konseling
rutinitas aktivitas keseharian, sementara di
ringan untuk mengurangi stress atau depresi.
tempat pengungsian mereka hanya diam saja
Melibatkan pengungsi khususnya para ibu dan
sehingga mereka bosan. Tidak terpenuhinya
remaja putri dalam kegiatan dapur umum sangat
kebutuhan hidup, tidak optimalnya pelaksanaan
membantu untuk mengisi waktu sehingga tidak
fungsi dan peran keluarga serta kemungkinan-
jenuh. Demikian juga bagi bapak-bapak dan
kemungkinan hilangnya pengendalian diri,
pemuda dilibatkan sebagai relawan membantu
kekecewaan terhadap pelayanan yang diberikan
evakuasi korban yang masih berada di lokasi
oleh pemerintah berpotensi menjadi pemicu
bencana. Kesibukan tersebut akan mengurangi
timbulnya aksi sosial.
kesedihan dan memperkuat mental mereka
karena berguna bagi orang lain. Penanganan kebutuhan sosial dapat
dilakukan dengan memberikan hiburan
Penanganan trauma juga dilakukan
bagi pengungsi untuk sejenak melupakan
bagi anak-anak karena mereka belum tahu
permasalahan yang dihadapi dan menghilangan
cara mengontrol emosi dan mungkin belum
kejenuhan selama di pengungsian. Kunjungan
paham apa yang sebenarnya terjadi. Relawan
para tamu yang memberi pelayanan sosial
mengadakan aktivitas bermain seperti
membuat para pengungsi merasa diperhatikan,
menggambar, mewarnai, dan permainan
diringankan penderitaannya, dan diakui
kelompok serta menyanyi, tujuannya untuk

16
keberadaannya. Hiburan juga dimaksudkan KESIMPULAN
untuk mengatasi mereka yang mengalami
Korban bencana, khususnya pengungsi
kesulitan bersosialisasi akibat keterpisahan
memerlukan berbagai kebutuhan agar dirinya
keluarga, keterasingan dan keterlantaran,
dapat bertahan hidup dan bangkit kembali
diperlukan adanya penelusuran (tracing) dan
semangatnya untuk hidup bermasyarakat.
penyatuan (reunifikasi) kembali keluarga yang
Kebutuhan tersebut antara lain makan, pakaian,
terpisah. Pelayanan konseling, bimbingan
tempat tinggal, pelayanan kesehatan, air bersih
sosial, advokasi dan fasilitasi kegiatan bertujuan
dan sarana MCK. Pengungsi juga membutuhkan
untuk mengembalikan rasa percaya diri dan
pelayanan psikososial, keagamaan, pendidikan,
fungsi sosial agar mereka dapat hidup normal
kependudukan, informasi, reintegrasi dan
dalam masyarakat. Pembinaan dan penyuluhan
pelayanan untuk berusaha atau bekerja termasuk
diberikan bagi masyarakat pengungsi yang
permodalan. Berbagai kebutuhan tersebut
kehilangan tempat tinggal dan wilayahnya
merupakan permasalahan pengungsi. Untuk
merupakan daerah rawan (zona merah) yang
itu diperlukan penanganan agar permasalahan
tidak mungkin untuk bisa ditempati kembali
kebutuhan dasar pengungsi dapat terpenuhi.
sehingga mereka harus direlokasi di tempat yang
Pemenuhan kebutuhan korban bencana
lebih aman. Korban Merapi diberi penyuluhan
tidak mungkin dilakukan oleh satu lembaga
berkaitan tempat tinggal sementara agar mereka
atau satu organisasi saja, tetapi diperlukan
dapat menerima keadaan di tempat tinggal yang
koordinasi dan keterpaduan program baik dari
baru serta dapat beradaptasi di lingkungan yang
pemerintah, LSM, organisasi sosial, organisasi
baru. Hal tersebut penting dilakukan karena
kemasyarakatan, dunia usaha dan pihak-pihak
keberadaan rumah sebagai tempat perlindungan
yang peduli terhadap masalah korban bencana.
agar keluarga merasa nyaman dan aman dalam
menjalankan kehidupan. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa
banyaknya bantuan seringkali tidak sebanding
Diketahuinya berbagai kebutuhan
dengan jumlah orang yang membutuhkan
pengungsi secara empirik selanjutnya dapat
sehingga sulit didistribusikan dan bantuan
digunakan sebagai dasar dalam upaya
kurang sesuai dengan kebutuhan pengungsi. Di
penanganan dampak sosial psikologis korban
samping itu kurang maksimalnya koordinasi
Merapi. Penanganan masalah sosial psikologis
antar lembaga pemberi bantuan dapat memicu
pengungsi pada dasarnya untuk membantu
timbulnya konflik ditingkat akar rumput. Dalam
manusia yang sedang mengalami kesulitan
hal pemenuhan kebutuhan pengungsi korban
untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi diri
Merapi di pengungsian dapat dikatakan terpenuhi
dan keluarganya. Oleh karena itu dalam
meskipun serba terbatas, seperti kebutuhan air
memberikan pelayanan sosial atau intervensi
bersih dan sarana MCK masih dirasa sangat
harus menggunakan pendekatan kemanusiaan
kurang. Kapasitas shelter yang kurang sesuai
agar tidak menyinggung perasaan orang-orang
dengan jumlah pengungsi dan bercampurnya
yang diberi pelayanan. Berkaitan dengan itu
pengungsi laki-laki dan perempuan, anak-anak
maka dalam penanganan pengungsi tidak
dan lansia memicu timbulnya stres dan rawan
cukup dilakukan pemerintah saja, tetapi harus
penyakit. Selanjutnya untuk menghilangkan
melibatkan pihak lain seperti LSM, masyarakat
trauma sosial psikologis dan kejenuhan di
lingkungan di mana pengungsi berada, baik
tempat pengungsian telah dilakukan berbagai
secara perorangan maupun terorganisir yang
aktivitas seperti hiburan, konseling, advokasi,
bekerja sama atas nama kemanusiaan.
tracing dan reunifikasi, informasi, penyuluhan

17
dan bimbingan sosial serta pelatihan-pelatihan DAFTAR PUSTAKA
sebagai bekal hidup di kemudian hari.
Eddy Ch. (2003). Strategi Pemberdayaan
Masyarakat Pengungsi, www. Google.
Saran yang dapat diberikan antara lain:
com
(a) Dalam memberikan bantuan kepada
korban bencana (pengungsi) perlu, melakukan Elizabeth, N.. (1965). A Primer of Sosial Case
analisa kebutuhan agar tepat sasaran yaitu Work, New York, Columbia University
sesuai dengan kebutuhan, baik jenis maupun Press
jumlahnya, (b). Peningkatan koordinasi antar
Gunanto dkk. (2004). Uji Coba Konsep
lembaga terkait dan keterpaduan program
Model Penyelesaian Masalah Pengungsi
dalam satu komando supaya efektif dan
Perantau Di Tempat Penampungan
efisien, (c). Penguatan lembaga-lembaga yang
Sementara Daerah Asal, Yogyakarta,
berfungsi sebagai mekanisme penanggulangan
bencana melalui pendidikan dan latihan di B2P3KS
bidang kebencanaan (Tagana), (d). Melakukan Harian Kedaulatan Rakyat, Program Trauma
pemberdayaan agar masyarakat siaga akan Healing Dibutuhkan Pengungsi Barak, 3
bencana yang mungkin terjadi setiap waktu, Januari 2011
sehingga dapat meminimalisir resiko bencana.
Heru (2006). Bencana dan Penanganannya,
Bagi masyarakat, khususnya di daerah Jurnal Pusdiklat Kesos, Vol. 1 No 2, Juni
rawan bencana saran yang dapat diberikan 2006, Departemen Sosial
anatara lain: (a). Penyuluhan kesadaran
masyarakat tentang resiko bencana, melalui LP. Getubig dan Sonke S. (1992). Rethinking
sosialisasi, demonstrasi (pemutaran film, CD) Sosial Security-Reaching Out to The Poor,
dan simulasi siaga bencana agar masyarakat Frankfurt, APDC
sadar dan berdaya menghadapi bencana dan
Marjono.(2010). Penanganan Dampak Sosial
resikonya. (b). Penyediaan sistem peringatan
Psikologis Korban Merapi, http://www.
bahaya, sistem komunikasi darurat dan informasi
bencana. (c). Penyiapan tindakan darurat, jatengprov.go.id/?mid = wartadaera &
seperti evakuasi penduduk ke tempat yang listStyle = gallery & category = 4254 &
lebih aman dan penyimpanan bahan (logistik) document_srl = 11905
apabila sewaktu-waktu diperlukan, penyiapan Moleong. (2002). Metodologi Penelitian
barak pengungsian untuk menyelamatkan jiwa Kualitatif, Bandung: Remaja Rusdakarya
dan melindungi harta benda serta mengurangi
resiko bencana. (d). Pemasangan rambu-rambu Sumarnonugroho. (1984). Sistem Intervensi
peringatan dan jalur evakuasi. (e). Menjalin Kesejahteraan Sosial, Yogyakarta,
hubungan kerjasama dengan pihak-pihak terkait Hanindita.
seperti puskesmas, kepolisian, PMI, lembaga
Suroso. (2006). Kebijakan dan Strategi
donasi, relawan, aparat desa/kecamatan, LSM,
Tim SAR, ORARI dan RAPI. (f). Perlu dibentuk Penanggulangan Bencana dan
tim penanggulangan resiko bencana berbasis Penanganan Pengungsi, Jurnal Pusdiklat
masyarakat pada tingkat desa, kecamatan di Kesos, Vol. 1 No. 2 Juni 2006
daerah-daerah rawan bencana.

***

110 Informasi, Vol. 17, No. 02 Tahun 2012

Anda mungkin juga menyukai