Anda di halaman 1dari 9

Latar Belakang

Permasalahan epistemologi tidak pernah berhenti sampai kapan pun,


dikarenakan manusia hidup senantiasa berhajat kepada ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan memberikan kita kemudahan dalam menghadapi semua tantangan di
alam semesta, dan sampai hari ini telah banyak penemuan dalam berbagai bidang
ilmu yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Sebut saja di bidang
ilmu-ilmu social, kedokteran, biologi, farmasi, psikologi dan lain sebagainya.
Penemuan dan lahirnya displin ilmu diperuntukkan bagi kelangsungan hidup
manusia itu sendiri1.
Akan tetapi sadarkah manusia bagaimana merancang bangunan dari
pemikiran dan ilmu pengetahuan tersebut. Bagaimana berkesinambungan satu
teori lainnya sehingga menjadikan ilmu pengetahuan yang lebih utuh, setidaknya
persoalan ini bisa mewarnai kajian filsafat ilmu baik didunia barat maupun dunia
islam itu sendiri, sehingga pemikiran-pemikiran epistemologis telah membentuk
tata cara berpikir dan melahirkan ilmu pengetahuan. Sehingga epistemology yang
menjadi titik tolak maju mundurnya suatu ilmu pengetahuan.
Pada abad ke-20, pengaruh positivisme dan neo-positivisme telah
mempengaruhi secara luas metode ilmu pengetahuan (epistemology), sehingga
menjadikan ilmu objek pragmatis, berorientasi pada manfaat semu semata dan
mengabaikan tingkatan-tingkatan yang dicapai oleh daya imajinatif dan rasio
manusia (metafisika bahkan agama). Akan tetapi diawal abad ini muncul seorang
filosof karl Raimund popper yang mengajukan kritik terhadap arus neo-
positivisme yang bercorak deduktif-verifikasi. Dia mengemukakan solusi ilmu
dengan epistemology yang dikenal dengan konjektur dan flasifikasi.
Salah satu peristiwa yang mempengaruhi perkembangan intelektual
Popper dalam filsafatnya adalah dengan tumbangnya teaori Newton dengan
munculnya Teori tentang gaya berat dan kosmologi baru yang gikemukakan oleh
Einstein. Dimana Popper terkesan dengan ungkapan Einstein yang mengatakan
bahwa teorinya tak dapat dipertahankan kalau gagal dalm tes tertentu, dan ini

1
Mohammad muslih, filsafat ilmu:kajian atas asumsi dasar, paradigma dan kerangka teori ilmu
pengetahuan, cet. Ke-2 (yogyakarta: Belukar, 2005), h.15

1
sangat berlainan sekali dengan sikap kaum Marxis yang dogmatis dan selalu
mencari verifikasi terhadap teoriteori kesayangannya.

A.Biografi

Nama lengkapnya Karl raimund popper lahir di wina pada tanggal 28 juli
1902. Ayahnya dr simond sigmund carl popper seorang pengacara yang minat
pada filsafat. Ia memiliki sebuah perpusatakaan yang luas mencakup kumpulan-
kumpulan karya para filusuf besar dan karya-karya mengenai problem sosial. Ia
mewarisi minat pada filsafat dari ayahnya, Orang tuanya keturunan yahudi. Dan
ayahnya seorang sarjana hukum dan pengacara yang mencintai buku, dan musik
pada umur 16 tahun popper meninggalkan sekolahnya “realgymnasium” dan pada
tahun 1922 ia diterima sebagai mahasiswa di universitas wina. Dan pada usia 17
tahun ia sempat menganut komunisme, tetapi tidak lama ia meninggalkan aliran
politik ini.

Pada tahun 1928 ia meraih gelar Doktor Filsafat dengan suatu disertasi
tentang Zur Methodenfrage der Denkp Psychologei (Masalah Metode dalam
Psikologi Pemikiran), suatu karangan yang tidak diterbitkan. Pada tahun
berikutnya Popper memperoleh gelar Diploma pada bidang Matematika dan ilmu
pengetahuan Alam. Dalam catatan sejarah, Popper tidak pernah menjadi anggota
Lingkaran Wina, tetapi ia mengenal anggota Lingkaran Wina yang bekerja di
universitas dan pada beberapa di antara mereka.

Popper sendiri mempunyai hubungan khusus dengan anggota Lingkaran


Wina di antaranya Viktor Kraft, Herert Feigl. Dalam usaha studinya, Popper
belajar banyak dari Karl Buhler, Profesor Psychologi di Universitas Wina yang
paling penting dalam perkembangannya di masa mendatang ialah teori Buhler
tentang tiga tingkatan bahasa yaitu fungsi ekspresi, fungsi stimulasi dan fungsi
deskriptif. Menurut Buhler fungsi pertama selalu hadir pada bahasa manusia
maupun binatang, sementara fungsi yang ketiga khas pada bahasa manusia.2

2
Alfons Taryadi, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl Popper (Jakarta:
Gramedia, 1991), h. 16

2
Sesudah perang dunia II selesai, Popper diangkat sebagai dosen di London
School of Economics, sebuah institut di bawah naungan Universitas London. Di
sini ia mempersiapkan suatu buku yang menguraikan perkembangan
pemikirannya sejak buku The Logic of Scientific Discovery, di antara buku yang
diterbitkan antara lain Realism and Aim of Science: Quantum Theory and the
Schism in Physics The Open Sociaty and Its Enemies, dan The Poverty of
Historicism yang memberi analisis dan kritik Popper atas pemikiran tiga tokoh
yang menurut dia termasuk historisisme, yaitu Plato, Hegel, dan Marx.
Pada tahun 1977 Popper banyak memberikan ceramah dan kuliah tamu di
Eropa, Amerika, Jepang dan Australia. Ia banyak mengenali secara pribadi ahli-
ahli kimia modern yang besar seperti, Albert Einstein, Neil Bohr, Edwin
Schrodinger. Popper meninggal dunia pada tanggal 17 September 1994 di
Croydon, London Selatan, dalam usia 92 tahun akibat komplikasi penyakit
kanker. Menjelang akhir hayatnya beberapa karyanya diterbitkan dengan bantuan
orang lain. Buku yang paling penting dari periode terakhir ini adalah A World of
Propensities (1999) di mana ia menguraikan pemikiran definitifnya tentang
probabilitas dalam logika dan Ilmu Pengetahuan.

B. Teori dan pemikiran

Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran popper oleh


beberapa penulis sering dikelompokkan dalam tiga tema, yaitu persoalan induksi,
persoalan demarkasi, dna persoaln dunia ketiga. Ia memang tidak sependapat
dengan keyakinan tradisional tentang induksi dan menyatakan bahwa tak ada
sejumlah contoh contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga
soal “verifikasi” sebagaimana diyakini lingkaran wina, bagi dia falsifikasi atau
disebut falsibilatasi adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat, antara ilmu
dengan yang bukan ilmu.3

1. Induksi dan Hipotesa

3
Mohammad muslih, filsafat ilmu (solo: lesfi, 2016), hal 124

3
Menurut Popper, metode induktif meninggalkan banyak masalah dalam
ilmu pengetahuan, masalah itu apakah menyangkut proses cara memperoleh
pengetahuan, ukuran validitas kebenaran, hasil pengetahuannya bersifat subyektif
dan lain sebagainya. Pertama, dalam proses penyelidikan misalnya, kaum
induktivis menggunakan observasi dan pengalaman sebagai dasar satu-satunya
dalam membuat pernyataan tunggal (singular statemen) dan kemudian hasil
pengamatan dan pengalaman pribadi yang belum teruji dapat ditarik sebuah
kesimpulan berupa teori, ironinya kebenarannya bersiftat general (berlaku secara
umum).
Teori-teori ilmiah ditarik dengan cara ketat dari fakta-fakta pengalaman
yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen. Ilmu didasarkan atas apa yang
dapat dilihat, didengar, diraba, dan sebagainya. Pengetahuan akan diterima bila
berasal dari sense, expretion, (sensasional impresion, perseptian visual or
auditory. Prinsip di atas dipertanyakan oleh Popper terutama volume eksperimen,
berapa banyak observasi yang diperlukan untuk memenuhi? Haruslah sebatang
logam tertentu dipanasi 10 kali, 100 kali atau seberapa banyak kali sebelum kita
dapat menyimpulkan logam selalu memuai bila dipanaskan.
Disini sebenarnya tingkat kesulitan yang dihadapi oleh kelompok
induktifis, bila mereka mensyaratkan observasi dan eksperimen jadi acuan ilmu
pengetahuan. Sanggahnya, penarikan kesimpulan ini sangat berbahaya,
sebagaimana karl maxs telah membuat teori sejarah dengan ramalan
ramalan/prediksi yang salah tentang masyarakat kelas. Juga contoh lain mereka
punya anggapan bahwa semua angsa berwarna putih tanpa memperdulikan angsa
yang berwarna lain, kertas litmus berubah menjadi merah bila dicelupkan kedalam
cairan tanpa merinci cairan apa yang dapat merubah. Atau berdasarkan penelitian,
bahwa emas dipanaskan akan memuai, tembaga dipanaskan akan memuai, lalu
disimpulkan bahwa semua logam dipanaskan akan memuai. Diantara para filusuf
yang mempersoalkan proses generalisasi dengan cara induksi adalah francis
bacon.
John S Mill juga melakukan hal yang sama konsep yang diajukanya ialah
metode kesesuaian, ketidaksesuaian, dan metode residue4. Secara khusus popper

4
Ibid, hal 125

4
mengkritik pandangan neopositivisme (vienna circle), yang menerapkan
pemberlakuan hukum umum dan menganggapnya sebagai teori ilmiah. Seperti
telah diketahui, mereka memperkenalkannya dengan sebuah ungkapan bermakna
(meaningful) untuk dibedakannya dari ungkapan yang tidak bermakna
meaningless berdasarkan kriteria dapat atau tidaknya dibenarkan secara empiris.
Popper berbeda anggapan bahwa suatu teori umum dapat dirumuskan dan
dibuktikan kebenarannya melalui prinsip verifikasi. Bagi popper suatu teori tidak
bersifat ilmiahhanya karena bisa dibuktikan kebenarannya, melainkan karena
diuji, dalam arti di uji secara sistematis untuk menyangkalkannya.
Apabila suatu hipotesa atau teori tersebut di perkokoh (corroboration),
makin besar kemungkinan untuk menyangkal suatu teori dan jika teori itu terus
bisa bertahan, maka semakin kokoh pula kebenarannya. Menurut popper teori
ilmiah selalu dan hanyalah bersifat hipotetis (dugaan sementara), tak ada
kebenaran terakhir. Setiap teori selalu terbuka untuk digantikan oleh teori yang
lebih tepat, untuk itu popper lebih suka menggunakan istilah hipotessa. Atas dasar
kesementaraanya.bahkan popper sangat menghargai sebuah masukkan dan kritik
sebab hanya melalui jalan kritik ilmu pengetahuan mengalami kemajuan.
Begitulah, bagi popper sebuah hipotessa, hukum, atau teori, kebenarannya
hanya bersifat sementara, yakni sejauh belum ditemukan kesalahan-kesalahan
yang ada didalamnya. Jika ada pertanyaan angsa itu semua berbulu putih melalu
prinsip reputasi tersebut hanya ditemukan seekor angsa itu berbulu selain putih,
maka runtuhlah pertanyaan semula. Bagi popper, ilmu pengetahuan dapat
berkembang maju, jika sebuah hipotesa dibuktikan salah, sehingga dapat diganti
dengan hipotesa yang baru. Namun ada kemungkinan lain, yaitu hanya salah satu
unsur hipotesa yang dibuktikan salah untuk digantikan dengan unsur baru yang
lain, sehingga hipotesa telah disempurnakan.
Jadi penyimpulan induktif awal yang jelas valid karena memenuhi kriteria
yang telah dispesifikasi oleh prinsip induksi, dapat membawa ke satu kesimpulan
yang salah, sekalipun fakta menunjukkan bahwa semua premisnya benar. Prinsip
Probabilitas dipinjam oleh induktif untuk mencari alternatif jawaban jika
kebenaran atas bukti tunggal dipersalahkan. Mereka menyatakan bahwa
pengetahuan bukanlah pengetahuan yang telah dibuktikan, melainkan

5
pengetahuan yang probabel benar, semakin besar jumlah observasi yang
membentuk dasar suatu induksi dan semakin variasi kondisi dimana observasi
dilakukan, maka semakin besar pula probalilitas hasil generalisasi itu benar.
Mungkin dapat diterima secara intuitif bahwa waktu dukungan observasi
terhadap hukum universal meningkat, maka probabilitas kebenaran hukum itupun
meningkat, namun intuisi ini tidak akan dapat diuji. Berbeda dengan cara induktif,
falsifikasi menggunakan cara kerja ilmu pengetahuan tidak hanya menggunakan
observasi dan pengalaman sebagai dasar di dalam menentukan hukum-hukum
ilmu pengetahuan (generalisasi), akan tetapi masih ada prasyarat lain yaitu uji
kesalahan (Falsifiable) melalui uji kesahihan (testable).

2. Demarkasi dan falsifikasi.

Seperti telah disinggung, problem demarkasi popper ini berkaitan dengan


upayanya menggoreksi gagasan dasar lingkaran wina, dalam hal ini pembedaan
antara ungkapan yang disebut bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat
atau tidaknya dibenarkan secara empiris (verifikasi konfirmasi). Pembedaan itu
digantinya dengan apa yang disebut demarkasi atau garis batas. Dalam hal ini
antara ungkapan ilmiah atau tidak ilmiah. Karena menurut popper ungkapan yang
tidak ilmiah mungkin sekali sangat bermakna (meaningfull) bagitu juga
sebaliknya.

Menurutnya falsifikasi adalah mematahkan sesuatu keadaan yang salah,


tidak benar. Suatu teori dapat dikatakan salah, jika meminta bantuan kepada hasil
observasi dan eksperimen tanpa percobaan dan kesalahan (trial and error) melalui
dugaan dan penolakan hanya teori yang paling cocok dapat dipertahankan untuk
menghindarkan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan oleh neopositivisme,
popper membuat sistem kerja ilmu dengan teori falsifikasi. Karna Falsifikasi
menggunakan cara kerja ilmu pengetahuan tidak hanya menggunakan observasi
dan pengalaman sebagai dasar didalam menentukan ilmu
pengetahuan(generalisasi).

6
Secara Metodologi Falsifikasi harus meragukan suatu pengetahuan yang
mungkin ada kesalahan dalam mengamati misalnya, bukan angsa yang diamati,
melainkan seekor burung. Maka untuk refutasi (penyangkalan) secara sistematis,
maka teori harus dirumuskan secara jelas sehingga membuka kemungkinan untuk
penyangkalan yang mungkin diajukan. Sebaliknya suatu teori tidak ditinggal
dengan gampang, sebab ini mengidentikkan sikap yang tidak kritis terhadap tes,
dan dengan begitu berarti teori sendiri tidak diuji sekeras seperti seharusnya5.
Ia mengajukan prinsip falsifikasi sebagai ciri utama metode ilmiah.
Namun, Selain prasyarat kriteria Falsifikasi Popper juga menggagas suatu metode
praktis untuk memecahkan masalah antara lain: Pertama, teori Varian Trial and
Error. Yaitu suatu metode percobaan dan pembuangan kesalahan. Metode ini kata
Popper dipakai dalam perkembangan pikiran manusia dan terutama
perkembangan filsafat, bisa digambarkan sebagai varian istimewa. Cara kerjanya
teori diajukan secara tentatif dan dicobakan. Bila hasil suatu tes menunjukkan
bahwa teori itu salah maka teori itu dibuang. Metode percobaan dan pembuangan
kesalahan pada hakekatnya adalah metoda penyingkiran. Keberhasilan terutama
tergantung pada tiga syarat: yaitu bahwa banyak teori yang diajukan bervariasi
serta dilakukan tes yang serius.
Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan dari waktu
kewaktu tidak bersifat akumulatif. Pertumbuhan dan perkembangan ilmu ilmu
terjadi akibat dari eliminasi yang semakin ketat terhadap kemungkinan salah,
pengembangan ilmu itu dilakukan dengan uji hipotesis sehingga bila disalahkan
dan dibuang bila memang salah. Maka metode yang cocok untuk upaya ini adalah
falsifikasi.dengan demikian aktifitas keilmuwan hanya bersifat mengurangi
kesalahan sampai sejauh mungkin mendekati kebenaran yang objektif. Maka
penggembangan ilmu dilakukan dengan cara merontokkanteori karena terbukti
salah, untuk mendapatkan teori yang baru.
Untuk itu falsifikasi menjadi metode atau alat untuk membedakan genuine
science (ilmu tiruan), popper mengatakan “scince is revolution in permanence and
cricitism is the heart of the scientific enterprise”, pendapat popper ini yang
menggantarkannnya dikenal sebagai epistemologi rasionalisme-kritis dan

5
Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 118

7
empirisis modern. Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper
berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori
sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni
berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu.
Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk
membangun teori dalam positivisme logis tidak pernah bisa dikatakab benar
secara mutlak.

3. Dunia tiga

Untuk melihat ketuhanan pemikiran filsafat ilmu popper, perlu sedikit


diuraikan konsepnya yang lain, yaitu dunia tiga. Popper membedakan realitas
menjadi apa yang dia sebut dunia satu, yakni kenyataan fisis dunia, dunia dua,
yakni segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dunia tiga
yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama
antara dunia stau, dan dunia dua serta seluruh bidang kebudayaan, seni,
metafisika, agama dan lain lain.
Menurut popper, dunia tiga hanya ada selama dihayati, dalam artiberupa
karya dan penelitian ilmiah, dalam study yang berlangsung, membaca buku,
dalam ilham yang sedang mengalir dalam diri para seniman dan penggemar seni
yang mengandaikan suatu kerangka. Setelah penghayatan itu semuanya
mengendap dalam bentuk fisik, alat-alat ilmiahbuku-buku, karya seni, dan
seterusnya. Dengan mengendapnya itu semua maka mereka telah menjadi bagian
dari dunia satu, namun bisa bangkit menjadi dunia tiga kembali, berkat perhatian
dunia dua. Dalam pandangan popper dunia tiga mempunyai kedudukannya
sendiri, mempunyai ottoritas dna tidak terikat baik pada dunia satu maupun dunia
dua.
Pemikiran popper ini akan terlihat signifikansinya, terutama untuk
memahami konsepnya : falsifikasi, jika suatu teori mengalami gugur setelah
dilakukan kritik, sudah tentu kenyataan fisis objektif tidak mengalami perubahan.
Popper memang ingin menghindari dua ekstrim, yaitu objektivisme yang hukum
alam ada pada kenyataan fisis dan objektivisme yang memandang hukum alam

8
ada pada kenyataan fisis dan subjektivisme yang berpandangan bahwa hukum
alam adalah dimiliki dan dikuasai manusia. Bagi popper, manusia terus bergerak
semakin mendekati kebenaran6.

KESIMPULAN
Cara kerja yang begitu teliti dan cermatnya popper, serta sikap
keterbukaannya (open anded) terhadap dunia keilmuwan, maka hal yang patut di
tarik benang merahnya ialah bahwa ilmu pengetahuan tidak bersifat mutlak
(close) tidak kebal kritik (Truth Claim) tetapi bersifat relatif dan partikularis
dengan asumsi akan ada pemikiran baru yang akan merevisi atau megklasifikasi
setiap hasil pernyataan serta simpulan pemikiran ilmu pengetahuan. Salah satu
karakter ilmu pengetahuan adalah menerima pengetahuan lain sebagai alat penguji
atas kelemahan prosedur, metode atau hasil temuan manusia.
Istilah Arkoun “on going`proces serta on going formation), termasuk juga
produk pemikiran Islam (teks klasik) tidak bebas kritik, tidak berlaku sepanjang
zaman dan terbuka untuk dikaji (condition sine qua non) bila memungkinkan
dilakukan dekontruksi terhadap pemikiran-pemikiran yang dianggap mapan.
Bahwa ilmu pengetahuan merupakan produk manusia dari hasil trial and error
(percobaan dan salah) yang mengikuti perkembangan peradaban manusia, maka
tidak ada istilah statis, jumud, stagnan atau pintu ijtihad telah tertutup. Pintu
ijtihad pemikiran terbuka lebar, senyampang para ilmuan bersemangat untuk
melaksanakan riset, maka akan terlahir dinamika baru yang bersifat konstruktif.
Tidak ada otoritas dalam ilmu pengetahuan, sebagai konsekuensinya ilmu
pengetahuan terbebas dari kepentingan, terbebas dari nilai, ramalan, pretensi dari
manapun yang dapat merusak independensi imajinasi dan ekspresi para ilmuan
atau lembaga keilmuan. Apalagi upaya untuk mencampuradukkan antara Preudo
Sience ke dalam science.

6
Mohammad muslih, filsafat ilmu (solo: lesfi, 2016), hal 130

Anda mungkin juga menyukai