Anda di halaman 1dari 3

B.

Teori Bahasa kedua dapat didefinisikan berdasarkan urutan, yakni bahasa yang
diperoleh atau dipelajari setelah anak menguasai bahasa pertama (B1) atau bahasa ibu.
Pemerolehan bahasa, sebagaimana pembelajaran bahasa, pun dapat dilihat dari beberapa
teori, yakni teori akulturasi, teori akomodasi, teori wacana, teori monitor, teori kompetensi,
teori hipotesis universal, dan teori neurofungsional.

1. Teori Akulturasi Akulturasi adalah proses penyesuaian diri terhadap kebudayaan yang
baru (Brown, 1987:129). Teori ini memandang bahasa sebagai ekspresi budaya yang paling
nyata dan dapat diamati dan bahwa proses pemerolehan baru akan terlihat dari cara saling
memandang antara masyarakat B1 dan masyarakat B2. Walaupun mungkin tidak begitu tepat,
teori ini dapat dipergunakan untuk menjelaskan bahwa proses pemerolehan B2 telah dimulai
ketika anak mulai dapat menyesuaikan dirinya terhadap kebudayaan B2, seperti penggunakan
kata sapaan, nada suara, pilihan kata, dan aturan-aturan yang lain. Dalam teori ini, jarak
sosial dan jarak psikologis anak sangat menentukan keberhasilan pemerolehan.

2. Teori Akomodasi Teori memandang B1 dan B2 misalnya, sebagai dua kelompok yang
berbeda. Teori ini berusaha menjelaskan bahwa hubungan antara dua kelompok itu dinamis.

3. Teori Wacana Teori ini sangat sesuai untuk diterapkan dalam konteks pembicaraan
ini. Pemerolehan bahasa dilihat dari segi bagaimana cara anak menemukan makna potensial
bahasa melalui keikutsertaannya dalam komunikasi. Cherry (via Ellis, 1986:259)
menekankan pentingnya komunikasi sebagai upaya pengembangan kaidah struktur bahasa.

4. Teori Monitor Teori dari Krashen (1977) ini memandang pemerolehan bahasa sebagai
proses konstruktif kreatif. Monitor adalah alat yang digunakan anak untuk menyunting
performansi (penampilan verbal) berbahasanya. Monitor ini bekerja menggunakan
kompetensi yang”dipelajari”.

5. Teori Kompetensi Variabel Teori ini melihat bahwa pemerolehan B2 dapat


direfleksikan dan bagaimana bahasa itu digunakan. Produk bahasa terdiri atas produk
terencana (seperti menirukan cerita atau dialog) dan tidak terencana (seperti percakapan
sehari-hari).

6. Teori Hipotesis Universal Teori ini berkeyakinan bahwa terdapat kesemestaan


linguistik yang menentukan jalannya pemerolehan B2.

7. Teori Neurofungsional Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan sistem syaraf,


terutama area Broca (area ekspresif verbal) dan Wernicke (area komprehensi). Meskipun
demikian, area asosiasi, visualisasi, dan nada tuturan juga berperan. Dengan demikian,
pemerolehan bahasa sebenarnya juga melibatkan otak kanak dan kiri. Kesimpulannya adalah
bahasa merupakan sumber ekspresi budaya yang paling nyata dan dapat diamati dalam proses
pemerolehan bahasa. Proses pemerolehan bahasa telah dimulai ketika anak mulai dapat
menyesuaikan dirinya terhadap kebudayaan bahasa, seperti penggunakan kata sapaan, nada
suara, pilihan kata, dan aturan-aturan yang lain.
C. Praktek Praktek dalam pemerolehan bahasa kedua, dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan yang ada, diantaranya: a. The Grammar Translation Approach Pendekatan ini
dulunya dilakukan untuk mengajarkan bahasa latin, namun berikutnya digunakan untuk
mengajarkan berbagai macam bahasa. Guru yang menggunakan pendekatan ini mengajarkan
bahasa kedua dengan bahasa pertama (mother tongue). Bahasa target hanya digunakan
beberapa kali saja. Daftar kosakata menjadi menu utama yang harus dihafal oleh peserta
didik, lalu guru mengelaborasinya dengan grammar. Biasanya bahan yang diambil untuk
pembahasan grammar adalah dari teks-teks yang sulit. Peserta didik lebih memfokuskan diri
kepada analisis kalimat dibandingkan kepada arti dalam teks tersebut.Cara melatih
pemahaman peserta dalam menggunakan bahasa kedua adalah melalui penerjemahan
(translation) per-kalimat. Pronounciation dalam pendekatan ini tidak begitu ditekankan. b.
The Direct Approach Kemunculan pendekatan ini sebagai respon dari The Grammar
Translation Approach yang dipandang kurang lengkap dalam proses pengajaran bahasa
kedua. Dalam The Direct Approach, guru hanya menggunakan bahasa kedua yang diajarkan
saja sebagai pengantar. Bahasa pertama tidak digunakan di dalam kelas. Guru biasanya
mengawali pembelajaran dengan melakukan percakapan dan memperlihatkan gambar.
Disamping itu, grammar diajarkan secara terintegral diambil dari ekspresi bahasa yang
sedang dibicarakan. Teks tidak dianalisis secara grammar, melainkan secara arti. Pemahaman
budaya diperkenalkan pula sebagai bagian yang sangat penting dalam pembelajaran bahasa
kedua. c. The Reading Approach Pendekatan ini lebih ditujukan untuk kepentingan
akademis, atau dengan kata lain untuk tujuan tertentu. Selain itu, The Reading Approach
lebih menekankan kepada pemberdayaan kemampuan reading para peserta didik. Di samping,
untuk melacak sejarah bagaimana bahasa tersebut digunakan. Grammar diajarkan saat
memang berhubungan dan diperlukan untuk memahami isi teks yang sedang di baca, selain
itu kefasihan (fluency) dalam membaca menjadi salah satu faktor penting yang diajarkan.
Kemampuan pronounciation dan speaking khususnya dalam percakapan tidak ditekankan.
Sebaliknya, daftar kosakata berdasarkan level dan gradasi kesulitannya diberikan kepada
peserta didik untuk dihapalkan. Tujuannya agar peserta didik dengan waktu tertentu dapat
memiliki pembendaharaan kata yang banyak, sehingga ia dapat dengan mudah memahami
segala macam jenis teks. d. The Audiolingual Method Jenis pendekatan ini digunakan
berdasarkan prinsip-prinsip teori behavioristik. Selain itu, pendekatan ini banyak
mengadaptasi direct approach dan sebagai respon atas kurangnya pengajaran speaking dalam
reading approach. Guru menyampaikan materi baru dengan cara berdialog. Pengingatan
(memorization), dan bermain mimik (mimicry) menjadi salah satu teknik utama dalam
pendekatan ini. Grammar diajarkan secara bertahap dan berulang, sebagai proses penguatan,
di samping itu pengajaran grammar diajarkan secara terintegral berdasarkan topik yang
sedang dibahas. e. Community Language Learning Pendekatan jenis ini agak berbeda
dengan pendekatan-pendekatan sebelumnya. Community language learning lebih ditujukan
untuk menghilangkan kecemasan atau ketakutan (anxiety) peserta didik saat mempelajari
bahasa kedua. Konsekuensinya, pendekatan tersebut lebih menekankan ke arah bimbingan
konseling daripada pengajaran biasa. Oleh karena itu, guru lebih berposisi sebagai
pembimbing yang melatih peserta didiknya. f. The Silent Way Pendekatan jenis ini
digunakan agar peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran di dalam kelas. Guru lebih
terkonsentrasi dalam mencermati bagaimana peserta didik berucap dan bagaimana mereka
mengucapkan ekspresiekspresi tersebut. Guru pun berupaya agar peserta didik mampu
mengucapkan berbagai macam kata dengan cara memproduksi kata yang benar, di samping
itu untuk melatih spontanitas penggunaan bahasa kedua dalam situasi apapun. g.
Functional-Notional Approach Metode ini merupakan bagian dari payung pendekatan
komunikatif. Namun, functional-notional approach ini menekankan pada pengorganisasian
silabus bahasa. Penekanannya adalah untuk membagi konsep global bahasa ke dalam unit-
unit analisis menurut situasi komunikasi yang biasa digunakan oleh penutur bahasa.
Pengajaran dibagi ke dalam beberapa elemen seperti kata benda, kata ganti, kata kerja,
preposisi, konjungsi, kata ganti atau kata sifat. Situasi berpengaruh pula terhadap variasi
bahasa seperti dialek, formal dan informal. h. Total Physical Response James J. Asher
mendefinisikan Total Physical Response (TPR) sebagai satu pendekatan yang
mengombinasikan informasi dan keahlian melalui kegunaan sistem sensor kinestatis.
Kombinasi keahlian ini memperbolehkan peserta didik untuk mengasimilasikan informasi
secara cepat. Hasilnya adalah membawa kepada tingkat motivasi peserta didik.
Kesimpulannya adalah pemahaman bahasa lisan sebelum mengembangkan keahlian
berbicara, menekankan terhadap transfer informasi komunikasi. Peserta didik tidak dipaksa
untuk berkata, namun dikondisikan untuk siap berbicara saat peserta didik merasakan nyaman
dan percaya diri dalam memahami dan memproduksi bahasa. Beberapa teknik dapat
dilakukan oleh guru, seperti guru memperagakan sendiri beberapa ekspresi yang diajarkan.
Guru meminta peserta didik untuk mengikutinya. Guru meminta peserta didik yang
memeragakan sendiri. Guru dan siswa bermain peran secara bergantian. Guru dan peserta
didik dapat memperluas produksi kalimat yang baru.

Make Money at : http://bit.ly/best_tips

Anda mungkin juga menyukai