Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

USUS BUNTU (APENDISITIS)

Disusun Oleh :
Dwi Ananti, S.Tr.Kep
P27220019 200

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKKES KEMENKES SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN

APENDISITIS

A. Pengertian
Apendisitis merupakan suatu kondisi dimana infeksi terjadi di umbai
cacing. Dalam kasus ringan dapat sembuh tanpa perawatan, tetapi banyak
kasus memerlukan laparotomi dengan penyingkiran umbai cacing yang
terinfeksi. Sebagai penyakit yang paling sering memerlukan tindakan bedah
kedaruratan, apendisitis merupakan keadaan inflamasi dan obstruksi pada
apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis yang disebut pula umbai cacing
atau lebih dikenal dengan nama usus buntu, merupakan kantung kecil yang
buntu dan melekat pada sekum. Apendisitis dapat terjadi pada segala usia dan
megenai laki – laki serta perempuan sama banyak. Akan tetapi pada usia
antara pubertas dan 25 tahun, prevalensi apendisitis lebih tinggi pada laki –
laki. Sejak terdapat kemajuan dalam terapi antibiotik, insidensi dan angka
kematian karena apendisitis mengalami penurunan. Apabila tidak ditangani
dengan benar, penyakit ini hampir selalu berkibat fatal (Kowalak, 2011).
Apendisitis merupakan inflamasi apendiks vermiformis, karena
struktur yang terpuntir, appendiks merupakan tempat ideal bagi bakteri untuk
berkumpul dan multiplikasi (Chang, 2010).
Apendisitis merupakan inflamasi di apendiks yang dapat terjadi tanpa
penyebab yang jelas, setelah obstruksi apendiks oleh feses atau akibat
terpuntirnya apendiks atau pembuluh darahya (Corwin, 2011).

B. Etiologi
Menurut Nuzulul (2011) apendisitis belum ada penyebab yang pasti
atau spesifik tetapi ada factor prediposisi yaitu:
1. Faktor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya
obstruksi ini terjadi karena:
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab
terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c. Adanya benda asing seperti biji-bijian
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan
sebelumnya.
2. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
3. Laki-laki lebih banyak terjadi apendisitis daripada wanita. Yang
terbanyak pada umur 15-30 tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh
karena peningkatan jaringan limpoid pada masa tersebut.
4. Tergantung pada bentuk apendiks:
a. Appendik yang terlalu panjang
b. Massa appendik yang pendek
c. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks
d. Kelainan katup di pangkal appendiks

C. Klasifikasi
1. Apendisitis akut
Apendisitis akut adalah radang pada jaringan apendiks.
Apendisitis akut pada dasarnya adalah obstruksi lumen yang selanjutnya
akan diikuti oleh proses infeksi dari apendiks.
Penyebab obstruksi dapat berupa :
a. Hiperplasi limfonodi sub mukosa dinding apendiks.
b. Fekalit
c. Benda asing
d. Tumor.
Adanya obstruksi mengakibatkan mucin/ cairan mukosa yang
diproduksi tidak dapat keluar dari apendiks, hal ini semakin
meningkatkan tekanan intra luminer sehingga menyebabkan tekanan intra
mukosa juga semakin tinggi. Tekanan yang tinggi akan menyebabkan
infiltrasi kuman ke dinding apendiks sehingga terjadi peradangan
supuratif yang menghasilkan pus/ nanah pada dinding apendiks. Selain
obstruksi, apendisitis juga dapat disebabkan oleh penyebaran infeksi dari
organ lain yang kemudian menyebar secara hematogen ke apendiks.
2. Apendisitis Purulenta (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema
menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan
menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema
pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke
dalam dinding appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat
eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal
seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan
nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi
pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
3. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika dipenuhi
semua syarat : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari dua minggu,
radang kronik apendiks secara makroskopikdan mikroskopik, dan
keluhan menghilang satelah apendektomi.
Kriteria mikroskopik apendiksitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen
apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama dimukosa, dan infiltrasi
sel inflamasi kronik. Insidens apendisitis kronik antara 1-5 persen.
4. Apendisitis rekurens
Diagnosis rekuren baru dapat dipikirkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut kanan bawah yang mendorong dilakukan apeomi
dan hasil patologi menunjukan peradangan akut. Kelainan ini terjadi bila
serangan apendisitis akut pertama kali sembuh spontan. Namun,
apendisitis tidak perna kembali ke bentuk aslinya karena terjadi fribosis
dan jaringan parut. Resiko untuk terjadinya serangn lagi sekitar 50
persen. Insidens apendisitis rekurens biasanya dilakukan apendektomi
yang diperiksa secara patologik. Pada apendiktitis rekurensi biasanya
dilakukan apendektomi karena sering penderita datang dalam serangan
akut.
5. Mukokel Apendiks
Mukokel apendiks adalah dilatasi kistik dari apendiks yang berisi
musin akibat adanya obstruksi kronik pangkal apendiks, yang biasanya
berupa jaringan fibrosa. Jika isi lumen steril, musin akan tertimbun tanpa
infeksi. Walaupun jarang, mukokel dapat disebabkan oleh suatu
kistadenoma yang dicurigai bisa menjadi ganas.
Penderita sering datang dengan keluhan ringan berupa rasa tidak
enak di perut kanan bawah. Kadang teraba massa memanjang di regio
iliaka kanan. Suatu saat bila terjadi infeksi, akan timbul tanda apendisitis
akut. Pengobatannya adalah apendiktomi.
6. Tumor Apendiks/ Adenokarsinoma apendiks
Penyakit ini jarang ditemukan, biasa ditemukan kebetulan
sewaktu apendektomi atas indikasi apendisitis akut. Karena bisa
metastasis ke limfonodi regional, dianjurkan hemikolektomi kanan yang
akan memberi harapan hidup yang jauh lebih baik dibanding hanya
apendektomi.
7. Karsinoid Apendiks
Ini merupakan tumor sel argentafin apendiks. Kelainan ini jarang
didiagnosis prabedah,tetapi ditemukan secara kebetulan pada
pemeriksaan patologi atas spesimen apendiks dengan diagnosis prabedah
apendisitis akut. Sindrom karsinoid berupa rangsangan kemerahan
(flushing) pada muka, sesak napas karena spasme bronkus, dan diare
ynag hanya ditemukan pada sekitar 6% kasus tumor karsinoid perut. Sel
tumor memproduksi serotonin yang menyebabkan gejala tersebut di atas.
Meskipun diragukan sebagai keganasan, karsinoid ternyata bisa
memberikan residif dan adanya metastasis sehingga diperlukan operasi
radikal. Bila spesimen patologik apendiks menunjukkan karsinoid dan
pangkal tidak bebas tumor, dilakukan operasi ulang reseksi ileosekal atau
hemikolektomi kanan

D. Manifestasi Klinik
1. Nyeri kuadran bawah terasa dan biasanya disertai dengan demam
ringan, mual, muntah dan hilangnya nafsu makan.
2. Nyeri tekan local pada titik McBurney bila dilakukan tekanan.
3. Nyeri tekan lepas dijumpai.
4. Terdapat konstipasi atau diare.
5. Nyeri lumbal, bila appendiks melingkar di belakang sekum.
6. Nyeri defekasi, bila appendiks berada dekat rektal.
7. Nyeri kemih, jika ujung appendiks berada di dekat kandung kemih
atau ureter.
8. Pemeriksaan rektal positif jika ujung appendiks berada di ujung
pelvis.
9. Tanda Rovsing dengan melakukan palpasi kuadran kiri bawah yang
secara paradoksial menyebabkan nyeri kuadran kanan.
10. Apabila appendiks sudah ruptur, nyeri menjadi menyebar, disertai
abdomen terjadi akibat ileus paralitik.
11. Pada pasien lansia tanda dan gejala appendiks sangat bervariasi.
Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai terjadi ruptur appendiks.
E. Patofisiologi dan Pathway
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada
saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah,
keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding 12 apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding
yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer,
2010).

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.
b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau
terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang
meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit
meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh
terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan
perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb
(hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat
pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat
apakah terdapat infeksi pada ginjal.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Apendikogram
Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04
serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara
peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam
untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram
dibaca oleh dokter spesialis radiologi.

b. Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses
subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal,
atau efusi pleura (Penfold, 2008)

G. Diagnosis Banding
Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis
karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama
dengan apendisitis, diantaranya :
1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare
mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis
kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.
2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau
gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan
perasaan mual dan nyeri tekan perut.
3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan
diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan
hematokrit yang meningkat.
4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan
apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan
nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita
biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.
5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah
dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus
menstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu
24 jam.
6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid
dengan keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus.
Kehamilan di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri
mendadak difus di pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.
7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan
apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip
pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan
bedah yang sama.
8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi
gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.
9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan
menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum,
penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
penanggulangan konservatif dan operatif.
1. Penanggulangan konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
2. Operatif
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan
yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan
appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses
dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainase.
3. Pencegahan Tersier
Tujuan utama dari pencegahan tersier yaitu mencegah terjadinya
komplikasi yang lebih berat seperti komplikasi intra-abdomen.
Komplikasi utama adalah infeksi luka dan abses intraperitonium. Bila
diperkirakan terjadi perforasi maka abdomen dicuci dengan garam
fisiologis atau antibiotik. Pasca appendektomi diperlukan perawatan
intensif dan pemberian antibiotik dengan lama terapi disesuaikan dengan
besar infeksi intra-abdomen.

I. Konsep Dasar Keperawatan


1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas
Meliputi data klien yang mencangkup nama, umur, pendidikan, jenis
kelamin, nomor register, diagnosa, pekerjaan, agama dan suku
bangsa, tanggal atau jam masuk rumah sakit,
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Klien dengan pre dan post op apendisitis biasanya memiliki keluhan
adanya nyeri.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Untuk mengetahui penyakit apa yg pernah diderita oleh klien seperti
memiliki hipertensi, atau memiliki riwayat tindakan operasi
abdomen yang lalu,
d. Riwayat penyakit keluarga
Adakah dalam keluarga yg pernah menderita penyakit diabetes
mellitus dan hipertensi, serta penyakit kronis lainnya.
e. Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi Hidup Sehat
Apakah memiliki kebiasaan buruk seperti merokok, penggunaan
obat- obatan, dan riwayat mengkonsumsi alcohol
2) Pola Tidur dan Istirahat
Adanya rasa nyeri pre dan post op apendisitis dapat
mengganggu kenyamanan pola istirahat tidur klien.
3) Pola aktifitas
Umumnya klien mengalami keterbatasan dalam beraktivitas/
bergerak karena rasa nyeri pre dan post op apendisitis.

4) Pola hubungan dan peran


Dengan adanya keterbatasan dalam beraktivitas/ bergerak
kemungkinan penderita tidak bisa melakukan perannya secara
baik dalam keluarganya serta dalam komunitas masyarakat.
5) Pola penanggulangan stress
Kebiasaan/ koping klien yang biasa digunakan dalam
menghadapi suatu masalah.
6) Pola tata nilai dan kepercayaan
Mengenai keyakinan klien pada agama yg dianutnya.
7) Pemeriksaan fisik
a) Status Kesehatan
Tingkat kesadaran umumnya klien sadar penuh/
composmentis, ekspresi wajah tampak menahan sakit.
b) Integumen
Apakah terdapat oedema, sianosis, kulit terlihat pucat.
c) Torax dan Paru
Inspeksi bentuknya simetris atau tidak, apakah ada tidaknya
sumbatan jalan nafas, gerakan cuping hidung, apakah
menggunakan alat bantu dalam bernafas.
d) Abdomen apakah ada pristaltik pada usus ditandai
dengan distensi abdomen, nyeri tekan atau adanya nyeri
lepas, kekakuan, adanya penurunan bising usus.
e) Ekstremitas
Apakah ada keterbatasan dalam beraktivitas/ bergerak
lantaran adanya nyeri yg dirasakan, juga apakah ada
kekakuan.

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


a. Pre operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri biologi
(distensi jaringan intestinal oleh inflamasi)
2) Perubahan pola eliminasi (konstipasi) berhubungan dengan
penurunan peristaltik.
3) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual
muntah.
4) Cemas berhubungan dengan akan dilaksanakan operasi.
b. Post operasi
1) Nyeri berhubungan dengan agen injuri fisik (luka insisi post
operasi appenditomi).
2) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif (insisi
post pembedahan).
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Outcome Intervensi
Nyeri akut b/d Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji
agen injuri biologi keperawatan selama 3 x tingkat nyeri,
(distensi jaringan 24 jam, diharapkan nyeri lokasi dan
intestinal oleh klien berkurang dengan karasteristik
inflamasi) kriteria hasil : nyeri
2. Jelaskan
1. Klien mampu
pada pasien
mengontrol nyeri.
2. Melaporkan bahwa tentang penyebab
nyeri berkurang nyeri
3. Tanda vital dalam 3. Ajarkan
rentang normal : tehnik untuk
TD (systole 110-130
pernafasan
mmHg, diastole 70-90
diafragmatik
mmHg), HR (60-100
lambat / napas
x/menit), RR (16-24
dalam
x/menit), suhu (36,5- 4. Berikan
37,50C) aktivitas hiburan
4. Klien tampak
(ngobrol dengan
rileks mampu tidur/
anggota
istirahat
keluarga)
5. Observa
si tanda-tanda
vital
6. Kolabor
asi dengan tim
medis dalam
pemberian
analgetik
Perubahan pola Setelah dilakukan asuhan 1. Pastikan
eliminasi keperawatan selama 3 x kebiasaan
(konstipasi) b/d 24 jam, diharapkan defekasi klien d
penurunan konstipasi klien teratasi an gaya hidup
peristaltik. dengan kriteria hasil: sebelumnya.
2. Auskulta
1. BAB 1-2 kali/hari
2. Feses lunak si bising usus
3. Bising usus 5-30 3. Tinjau
kali/menit ulang pola diet
dan jumlah /
tipe masukan
cairan.
4. Berikan
makanan tinggi
serat.
5. Berikan
obat sesuai
indikasi, contoh
: pelunak feses
Kekurangan Setelah dilakukan asuhan 1. Monitor
volume cairan b/d keperawatan selama 3 x tanda-tanda
mual muntah. 24 jam, diharapkan vital
2. Kaji me
keseimbangan cairan
mbrane
dapat dipertahankan
mukosa, kaji
dengan kriteria hasil:
tugor kulit dan
1. Kelembaban
pengisian
membrane mukosa
2. Turgor kulit baik kapiler.
3. Haluaran urin 3. Awasi
adekuat: 1 cc/kg masukan dan
BB/jam haluaran, catat
4. Tanda-tanda vital
warna
dalam batas normal :
urine/konsentra
TD (systole 110-130
si, berat jenis.
mmHg, diastole 70-90 4. Auskulta
mmHg), HR (60-100 si bising usus,
x/menit), RR (16-24 catat
x/menit), suhu (36,5- kelancaran
37,50C) flatus, gerakan
usus.
5. Berikan
perawatan
mulut sering
dengan
perhatian
khusus pada
perlindungan
bibir.
6. Pertahan
kan
penghisapan
gaster/usus.
7. Kolabor
asi
pemberian caira
n IV dan
elektrolit
Cemas b/d akan Setelah dilakukan asuhan 1. Evaluasi
dilaksanakan keperawatan selama 3 x tingkat
operasi. 24 jam, diharapkan ansietas, catat
kecemasan klien verbal dan
berkurang dengan kriteria non verbal
hasil : pasien.
2. Jelaskan
1. Melaporkan
dan
ansietas menurun
persiapkan
sampai tingkat teratasi
2. Tampak rileks untuk
tindakan
prosedur
sebelum
dilakukan
3. Jadwalk
an istirahat
adekuat dan
periode
menghentikan
tidur.

DAFTAR PUSTAKA

Almi, N. 2010. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC

Elizabeth, J, Corwin. 2011. Buku saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

Kowalak. 2011. Keperawatan Appendisitis. Bandung: Indonesia Publishing House

NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan NANDA : Definisi dan Klasifikasi.

Naulibaza. 2011. Latar Belakang Appendik. Jakarta: Salemba Medika

Reksoprodjo. 2010. Patofisiologi Apendicitis. Jakarta: PT. Rineka Cipta

RI, Depkes. 2010. Hubungan Perilaku Makan Dengan Kejadian Apendisitis.


Bandung: Indonesia Publishing House

Sjamsuhida at. 2010. Klasifikasi Appendisitis. Jakarta: EGC

Stefanus, S. 2009. Hubungan Perubahan Letak Serabut Saraf Dengan Tipe


Radang Pada Pasien Yang Di Diagnosis Secara Hispatologis
Appendisits Di RSCM Tahun 2005. Jakarta: Rineka Cipta

WHO. 2010. Prevalensi Penyakit Apendiktomi. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai