Anda di halaman 1dari 42

BAB I

LAPORAN KASUS

I. Identifikasi
Nama : Ny. W
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Desa Dumai, Gelumbang
Pekerjaan : Pedagang Sayur
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
MRS : 25 November 2016

II. Anamnesis (Autoanamnesis dan alloanamnesis Tanggal 26 November 2016)


Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 1 bulan Sebelum Masuk Rumah Sakit, penderita mengeluh nyeri perut kanan
atas, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan punggung belakang,
demam (+), menggigil (-),BAK warna teh (-),BAB Berwarna dempul (-),
penderita pergi ke dokter, diberikan obat yang penderita tidak tahu namanya,
namun keluhan tidak berkurang.
± 2 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit, penderita mengeluh nyeri perut kanan
atas semakin berat, nyeri hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu kanan dan
punggung belakang, mual dan muntah (+), demam (+), menggigil (-). Nafsu
makan berkurang, BAK warna teh (+), BAB Berwarna dempul (-), selaput bola
mata berwarna kekuningan (+). Penderita berobat ke IGD RSUD Prabumulih.

Riwayat Penyakit Dahulu

1
- Riwayat sakit hepatitis (-)
- Riwayar diare berlendir dengan atau tanpa darah (-)
- Riwayat transfusi darah (-)
- Riwayat meminum alkohol (-)
- Riwayat trauma tumpul (-)
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.

III.Pemeriksaan Fisik (Tanggal 26 November 2016)


A. Status Generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan Darah : 120/80 mmhg
Nadi : 86 x/menit
Pernapasan : 20 x/menit
Suhu : 36,7 0C
Kepala : Konjungtiva palbebra pucat -/-, sclera icteric -/-
Pupil : Isokor, refleks cahaya +/+
Leher : Tidak ada kelainan
Dada : Tidak ada kelainan
Abdomen : Lihat status lokalis
Genitalia : Tidak ada kelainan
Anal : Tidak ada kelainan
Ekstremitas atas : Tidak ada kelainan
Ekstremitas bawah : Tidak ada kelainan

B. Status Lokalis
Regio Abdomen
Inspeksi : Datar

2
Palpasi : Lemas, nyeri tekan perut kanan atas (+), murphy’s sign (+)
Perkusi : Tympani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

IV. Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 26 November 2016
Hematologi
Hemoglobin : 13,1 g/dl (14-18 g/dl)
Leukosit : 9.200/mm3 (5.000-10.000/ mm3)
LED : 120 mm/jam (<10 mm/jam)
Differential count : 0/3/2/65/28/2 (0-1/1-3/2-6/50-70/20-40/2-8)

Kimia Klinik
Natrium : 136 mmol/l (135-155 mmol/l)
Kalium : 4,1 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)
Bilirubin direct : 2,08 mg/dl (< 0,25 mg/dl )
Bilirubin indirect : 0,89 mg/dl (0,75 mg/dl)
Bilirubin total : 2,97 mg/dl (0,1-1,0 mg/dl )
SGOT : 37 U/l (<40 U/l)
SGPT : 49 U/l (<41 U/l)
BSS : 122 mg/dl ( 126 mg/dl)

V. Pemeriksaan Tambahan
Foto thorax (Tanggal 25 November 2016): cor dan pulmo normal
USG abdomen (Tanggal 27 November 2016) :
Hasil:
Hati:
Bentuk dan usuran normal,intensitas ekoparenkim homogen, tampak lesi
hipoekoik tepi irreguler beukuran 6,2x4,9x5,4 cm, disertai internal echo di

3
dalamnya di lobus kanan, tak tampak kista, tampak penebalan di periporta, sistem
vaskuler dan bilier tidak melebar, tak tampak asites.
Páncreas:
Bentuk usuran normal, intensitas ekoparenkim rata, tak tampak kalsifikasi
Gall Bladder:
Dinding menebal (double lumen +), tampak batu múltiple berjumlah 4,
berukuran 0,89cm, tak tampak sludge.
Lien :
Bentuk dan ukuran normal, intensitas ekoparenkim homogen rata, tak tampak
nodul SOL kista.
Ginjal kanan dan kiri:
Bentuk dan ukuran normal, intensitas ekoparenkim tidak meningkat, batas korteks
dan medula jelas, tak tampak batu/ nodul/ kista, sistem pelvokaliseal tidak
melebar.
Buli-Buli:
Bentuk dan ukuran normal, dinding tidak menebal, mucosa reguler, tak tampak
massa atau batu.
Prostat :
Bentuk dan ukuran normal, intensitas ekoparenkim homogen, tak tampak
kalsifikasi.

Kesimpulan:
Abses hepar
Cholelithiasis diserta cholesistitis

VI. Diagnosis kerja


Cholesistitis e.c susp cholelithiasis
VII. Diagnosa banding
Kolangitis

4
Abses hepar
Pankreatitis akut
Hepatitis
VII. Penatalaksanaan
IVFD RL gtt xx/menit
Inj. Deksketoprofen 3x1 ampl (IV)
Inj. Cefoperazone 2x1 gr (IV)
Rencana cholesistectomy

VIII. Prognosis
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

III. 1. Anatomi Tractus Billiaris

Vesica felea [felea], dan ductus biliaris extrahepatic. 3

Vesica felea atau kandung empedu merupakan kantong berbentuk buah pir
yang berukuran panjang 7-10 cm dengan kapasitas rata-rata 30-50 cc. Organ ini
terletak di fossa inferoposterior hepar, berdekatan dengan ligamentum teres hepatis
yang membagi hepar menjadi lobus dextra dan sinistra. Vesica felea digantung oleh
mesenterium ke bagian posterior hepar dan seluruhnya ditutupi oleh peritoneum
(terletak intraperitoneal). Bagian anterior vesica felea berbatasan dengan dinding
anterior abdomen dan permukaan viseral hepar. Sedangkan bagian posteriornya
berbatasan dengan colon transversum dan duodenum bagian ke 2. 4,5

Secara anatomis, vesica felea dibagi menjadi 4 area, antara lain fundus,
corpus, collum dan infundibulum. Area fundus merupakan bagian kandung empedu
dengan proporsi otot polos terbanyak dan terletak berhadapan dengan ujung cartilago
costae IX dextra, yaitu tempat menyilangnya margo lateral m.rectus abdominis dextra
ke pinggir costae. Berbeda dengan fundus, area corpus mengandung lebih banyak

6
jaringan elastik daripada otot polos sehingga bila terjadi sumbatan, vesica felea
mampu ber-distensi sehingga kapasitasnya meningkat mencapai 300 cc. Area collum
berbentuk konveks dan menghubungkan corpus dengan ductus cysticus. Konveksitas
collum yang melebar membentuk infundibulum atau Hartmann’s pouch.3-5

Ductus biliaris dibagi menjadi ductus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik.


Ductus biliaris intrahepatik berawal dari cabang-cabang interlobularis terkecil pada
sistem portal hepar yang merupakan muara cannaliculi biliaris. Ductus interlobularis
satu sama lain pada masing-masing lobus hepar saling bersatu membentuk ductus
hepaticus dextra et sinistra. Empedu dari hepar lobus dextra dialirkan melalui ductus
hepaticus dextra, sedangkan yang berasal dari hepar lobus sinistra, lobus caudatus dan
lobus quadratus dialirkan melalui ductus hepaticus sinistra. Ductus hepaticus dextra
et sinistra merupakan awal ductus biliaris extrahepatik.5, 6

Ductus biliaris intrahepatic.7

7
Ductus biliaris extrahepatik terdiri atas ductus hepaticus dextra et sinistra,
ductus hepaticus communis, ductus cysticus dan ductus choledocus. Ductus
hepaticus communis merupakan pertemuan ductus hepaticus dextra dan ductus
hepaticus sinistra. Panjang ductus hepaticus communis berkisar antara 1-4 cm
dengan diameter + 4 mm. Saluran ini berjalan di depan vena porta dan berada di
sebelah kanan a. hepatica. Ductus cysticus yang berasal dari vesica felea kemudian
bersatu dengan ductus hepaticus communis dan membentuk ductus choledocus.
Membrana mucosa ductus cysticus membentuk lipatan spiral (valvula Heister) yang
berfungsi untuk memperkuat dinding lumen dan menjaga agar lumen tetap terbuka.4-6

Panjang ductus coledochus berkisar antara 7-11 cm dengan diameter lumen +


10 mm. Bagian sepertiga atasnya terletak supraduodenal dan berada di sebelah kanan
a.hepatica, sebelah anterior vena porta serta berjalan turun pada tepi bebas ligamen
hepatoduodenal. Sepertiga tengah ductus coledochus terletak retroduodenal, berjalan
melingkar dibelakang doudenum bagian 1 dan menyimpang di lateral vena porta dan
a.hepatica. Bagian sepertiga terakhir ductus coledochus melingkar di belakang caput
pancreas baru kemudian bermuara ke ampulla Vater pada duodenum bagian ke-2
melalui struktur otot yang disebut sphincter of Oddi. Otot ini mengatur aliran
empedu dan pada beberapa kasus juga mengatur aliran pancreatic juice ke duodenum.
Pada 70% kasus ditemukan bahwa ductus pancreaticus major (ductus Wirsung)
bergabung dengan ductus coledochus sebelum memasuki ampulla Vater, 20% nya
bersatu pada dinding duodenum bagian ke 2 serta 10% sisanya memasuki duodenum
melalui tempat yang berbeda.3-5

Vesica felea diperdarahi oleh a. cystica yang berasal dari a. hepatica dextra.
Pembuluh darah yang disebut terakhir merupakan cabang a. hepatica propria yang
berasal dari a. mesenterica superior. Sedangkan pembuluh balik dari vesica felea
adalah v. cystica yang bermuara ke vena porta. Sejumlah arteri dan vena yang sangat
kecil juga berjalan antar hepar dan vesica biliaris. Aliran limfatik pada vesica felea

8
mengalir ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica biliaris.
Selanjutnya vasa limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang
a.hepatica menuju nodi lymphatici coeliacus. Vesica felea di-innervasi oleh serabut
syaraf simpatis dan parasimpatis yang berasal dari plexus coeliacus. Kontraksi vesica
felea terjadi sebagai respon terhadap hormon cholecystokinin yang akan dijelaskan
3, 5
lebih lanjut pada fisiologi tractus biliaris.

III. 2. Fisiologi Tractus Billiaris

Sirkulasi enterohepatik garam empedu7


(Garis tebal yang masuk ke sistem porta menunjukkan aliran garam empedu dari hepar,
sedangkan garis putus-putus berasal dari aksi bakteri)

Tiga faktor yang mengatur aliran empedu, yaitu sekresi hepar, kontraksi
vesica felea dan resistensi sphincter of Oddi. Empedu diproduksi sebanyak 500 –
1500 cc / hari oleh hepar melalui 2 tahap: (1) hepatosit memproduksi empedu
kemudian disekresikan ke canaliculi biliaris yang terletak di antara sel-sel hepar,

9
sekresi awal ini mengandung sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat
organik lain; (2) empedu mengalir ke perifer menuju septa interlobularis hepar,
ductus biliaris terminal (intrahepatik), ductus hepaticus, dan ductus hepaticus
communis. Dari sini, empedu dapat langsung disekresi ke duodenum atau dialihkan
6, 8
untuk ditampung dalam vesica felea.

Kontraksi vesica felea menyebabkan pengosongan empedu ke dalam


duodenum. Hormon cholecystokinin (CCK) merupakan stimulus fisiologis utama
pada kontraksi vesica felea dan relaksasi sphincter of Oddi postprandial, namun yang
memfasilitasi mekanisme pengosongan vesica felea tetaplah rangsang vagal.
Makanan berlemak dan produk lipolitik di mucosa lumen duodenum merangsang
pelepasan CCK ke dalam aliran darah. Asam amino dan polipeptida sederhana juga
mampu merangsang pelepasan CCK, namun stimulusnya jauh lebih rendah daripada
lipid. Karbohidrat malah tidak berperan dalam pelepasan CCK ke aliran darah.8

Ada tiga faktor yang berperan dalam relaksasi sphincter of Oddi.


Pertama, CCK yang merupakan stimulus fisiologis utama dalam relaksasi sphincter of
Oddi, namun efek ini saja tidak memungkinkan terjadi pengosongan vesica felea
secara bermakna. Kedua, kontraksi ritmik vesica felea yang menghantarkan gerak
peristaltik melalui ductus biliaris extrahepatic ke sphincter of Oddi. Hal ini
menyebabkan gelombang awal relaksasi yang sebagian menghambat sphincter of
Oddi mendahului gerak peristaltik, namun faktor ini juga tidak begitu adekuat dalam
mengosongkan vesica felea. Faktor yang ketiga, ketika gerak peristaltik usus berjalan
pada dinding duodenum, fase relaksasi dari tiap serial gerak peristaltik menyebabkan
relaksasi kuat dinding duodenum. Sphincter of Oddi yang terletak pada dinding
duodenum bagian ke-2 akhirnya ikut berrelaksasi kuat sehingga empedu masuk ke
duodenum dalam pancaran yang sinkron dengan fase relaksasi gerak peristaltik
duodenum.6

10
Empedu yang disekresikan secara terus menerus oleh sel hepatosit normalnya
disimpan dalam vesica felea sampai diperlukan dalam duodenum. Bila tidak ada
bahan makanan yang merangsang sekresi empedu ke dalam duodenum, empedu dapat
disimpan dalam vesica felea karena air, natrium, klorida dan elektrolit lainnya secara
terus menerus diabsorbsi oleh dinding vesica felea. Peristiwa ini memekatkan zat
empedu lain termasuk garam empedu, kolesterol, lesitin dan bilirubun. Kebanyakan
absorpsi ini disebabkan oleh transpor aktif natrium dan absorpsi sekunder ion klorida
dan air.

Empedu di vesica
Empedu dari felea
hepar
(yang sudah
dipekatkan)

Air 97, 5 gr/dl 92 gr/dl

Garam empedu 1,1 gr/dl 6 gr/dl

Bilirubin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Kolesterol 0,1 gr/dl 0,3-0,9 gr/dl

Asam-asam 0,12 gr/dl 0,3-1,2 gr/dl


lemak

Lesitin 0,04 gr/dl 0,3 gr/dl

Ion natrium 145 mEq/liter 130 mEq/liter

Ion kalium 5 mEq/liter 12 mEq/liter

Ion kalsium 5 mEq/liter 23 mEq/liter

Ion klorida 100 mEq/liter 25 mEq/liter

HCO3 28 mEq/liter 10 mEq/liter

11
Komposisi empedu6

Empedu melakukan 2 fungsi penting; (1) asam empedu dalam cairan empedu
berperan dalam mencerna dan mengabsorpsi lemak melalui dua cara. Cara pertama
adalah dengan membantu mengemulsi partikel lemak kompleks dalam makanan
menjadi partikel yang lebih sederhana sehingga dapat dicerna oleh enzim lipase yang
disekresi pankreas. Cara kedua ialah dengan membantu transpor dan absorpsi produk
akhir lemak menuju dan melalui mukosa intestinal. Fungsi ke (2) empedu berperan
sebagai media untuk mengeluarkan produk buangan seperti bilirubin yang berasal
dari penghancuran hemoglobin dan kelebihan produksi kolesterol oleh hepar.6

III. 3. Cholecystitis Akut


III. 3. 1. Definisi
Cholecystitis akut merupakan inflamasi akut pada vesia felea.1

III. 3. 2. Epidemiologi
Cholecystitis akut merupakan komplikasi tersering pada pasien cholelithiasis.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Medical Statistics Bureau of the Japanese
Ministry of Health and Welfare, didapatkan bahwa insidens cholecystitis akut
meningkat dari 3,9 juta (pada tahun 1979) menjadi lebih dari 10 juta insidens pada
tahun 1993. Setiap tahun, 6% - 8% dari populasi tersebut menjalani cholecystectomi.
Survey tersebut juga menunjukkan bahwa 3% - 10% pasien dengan keluhan utama
nyeri abdomen ternyata menderita cholecystitis akut1. Di Indonesia, belum ada data
yang valid (atau belum dipublikasikan) mengenai insidens penyakit ini.

III. 3. 3. Etiologi
Sembilan puluh lima persen cholecystitis akut disebabkan karena batu
(calculous cholecystitis), sedangkan 5% nya merupakan acalculous cholecystitis.
Bila tidak ditemukan batu, cholecystitis bisa disebabkan oleh iskemia, gangguan
motilitas, trauma kimia langsung, infeksi, penyakit kolagen dan reaksi alergi.1

12
III. 3. 4. Faktor Resiko
Dua pertiga penderita AIDS mengalami pembesaran dan/atau gangguan fungsi
hepar. Beberapa diantaranya menderita penyakit tractus biliaris. Ada dua mekanisme
yang terjadi pada penderita AIDS sehubungan dengan penyakit tractus biliaris, yang
paling sering adalah AIDS cholangiopathy dan yang lainnya adalah acalculous
cholecystitis. AIDS cholangiopathy sering ditemukan pada laki-laki yang sudah
menderita AIDS lebih dari setahun. Sedangkan acalculous cholecystitis pada
penderita AIDS ditandai dengan adanya gangguan menelan, nyeri perut kanan atas,
peningkatan alkaline phospatase dan bilirubin serum dan berhubungan dengan infeksi
CMV. Cholecystitis akut merupakan alasan tersering dilakukannya operasi abdomen
pada penderita AIDS.1
Selain AIDS, beberapa obat-obatan juga dapat menjadi faktor resiko
cholecystitis akut, seperti kontrasepsi oral, obat golongan fibrat, ocreotide, thiazid,
ceftriaxon, eritromisin dan ampisilin. Obat-obatan tersebut biasanya merangsang
terjadinya cholestasis dan cholelithiasis. Misalnya ceftriaxone dalam dosis besar,
pada bayi, mampu mempresipitasi garam empedu dan membentuk sludge yang bisa
menyumbat ductus biliaris. Eritromisin dan ampisilin bisa menyebabkan
hypersensitive cholecystitis.1
Infeksi ascaris juga bisa menyebabkan cholecystitis akut walau tidak semua
ascariasis disertai gangguan pada tractus biliaris. Ascaris bisa menjadi nidus yang
membentuk batu. Ascaris yang masuk ke ductus biliaris melalui duodenum lebih dari
10 hari akan mati dan menjadi nidus yang menyumbat tractus biliaris. Pada daerah
endemik ascariasis seperti China dan Asia Tenggara, insiden cholelithiasis juga
meningkat.1
Cholecystitis akut juga sering diasosiasikan dengan istilah 4F : female, fat,
forty, fertile. Hal ini dikaitkan dengan kadar estrogen dan progesteron pada populasi
dengan 4 karakter di atas. Namun, belum ada penelitian yang membuktikan bahwa
4F ini merupakan faktor resiko cholecystitis akut.1

13
Mekanisme etiologi cholecystitis akut1
III. 3. 5. Patofisiologi
Hampir semua kejadian cholecystitis disebabkan oleh adanya batu
(cholelithiasis) yang menyebabkan obstruksi. Obstruksi ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan vesica felea. Ada 2 faktor yang menentukan progresifitas
cholecystitis akut yaitu derajat obstruksi dan lamanya obstruksi. Bila obstruksinya
parsial, manifestasi klinisnya adalah kolik bilier, bila komplit pasien akan menderita
cholecystitis akut jangka panjang. Pasien yang tidak mendapatkan pengobatan lebih
awal akan cenderung mengalami komplikasi.1
Ada 4 klasifikasi patologi yang menggambarkan perjalanan cholecystitis akut.
Tahap pertama (2-4 hari) merupakan edematous cholecystitis yaitu ketika dinding
vesica felea mengalami edema yang disebabkan oleh dilatasi kapiler dan saluran
limfa sehingga terjadi gangguan venous return. Gangguan ini menyebabkan nekrosis
jaringan yang termasuk pada tahap kedua (3-5 hari) atau necrotizing cholecystitis.
Pada fase ini, secara histologis ditemukan oklusi vaskuler. Tahap selanjutnya (7-10)
hari disebut suppurative cholecystitis yang ditandai dengan peningkatan leukosit, dan
penebalan dinding vesica felea. Abses pericholecystis juga ditemukan pada tahap ini.
Cholecystitis akut yang terus berlanjut tanpa pengobatan yang adekuat akan
mengarah pada tahap terakhir yaitu

14
cholecystitis kronis yang ditandai denan atropi mukosa dan fibrosis pada dinding
vesica felea.1

III. 3. 6. Manifestasi Klinis dan Diagnosa


Berdasarkan kesepakatan internasional yang tertera di Tokyo Guidelines for
The Management of Acute Cholangitis and Cholecystitis, terdapat 4 kriteria
diagnostik cholecystitis akut. Antara lain:
A. Tanda inflamasi lokal
(1) Murphy’s sign
(2) Masa / nyeri / lunak pada abdomen kanan atas
B. Tanda inflamasi sistemik
(1) Demam
(2) Peningkatan CRP (> 3 mg/dl)
(3) Peningkatan WBC
C. Pemeriksaan penciteraan dengan karakteristik cholecystitis

Diagnosa bisa ditegakkan apabila:


1 ) Positif apabila terdapat 1 item pada poin A dan 1 item pada poin B
2 ) Bila secara klinis didiagnosa suspek cholecystitis dan pada
pemeriksaan penciteraan (poin C) ditemukan tanda-tanda
cholecystitis, maka diagnosa dapat ditegakkan.

Pemeriksaan penciteraan dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu menggunakan


USG, MRI dan CT scan. Pada pemeriksaan USG, cholecystitis ditandai dengan
sonographic Murphy sign, penebalan dinding vesica felea (>4 mm bila pasien tidak
memiliki penyakit hepar kronis dan atau asites dan atau gagal jantung kiri),
pembesaran vesica felea (panjang > 8cm, lebar >4 cm), gambaran inkarserata,
akumulasi cairan pericholecystic, dan sonolucent layer pada dinding vesica felea.
Sedangkan, MRI pada penderita cholecystitis akut dapat ditandai dengan

15
pericholecystic high signal dengan pelebaran dan penebalan dinding vesica felea.
Gambaran ini juga ditemukan pada pemeriksaan CT scan. Area dengan densitas
linear yang tinggi dapat ditemukan pada jaringan lemak pericholecystic melalui CT
scan.
Berdasarkan tingkat keparahan penyakit, cholecystitis akut dapat dibagi
menjadi 3 grade yaitu mild (grade I), moderate (grade II) dan severe (grade III).
Grade I merupakan cholecystitis akut tanpa disfungsi organ dan tanda-tanda inflamasi
yang berat sehingga dapat dilakukan cholecystectomy tanpa resiko yang berat.
Sedangkan grade II, ditandai oleh salah satu manifestasi di bawah ini:
a. Elevasi WBC (> 18.000 / mm3)
b. Teraba massa lunak pada abdomen kanan atas
c. Keluhan > 72 jam
d. Tanda-tanda inflamasi lokal : biliary peritonitis, pericholecystic
abcess, hepatic abcess, gangrenous cholecystitis dan
emphysematous cholecystitis.
Pada grade II, laparoskopik cholecystectomy harus dilakukan 96 jam setelah onset
penyakit. Grade terakhir (severe) merupakan cholecystitis dengan disfunsi organ
yang ditandai oleh salah satu manifestasi sistemik di bawah ini:
a. Kardiovaskuler (hipotensi yang memerlukan dopamin > 5
mikrogram/kg/menit atau dobutamin dosis berapapun)
b. Neurologi (penurunan kesadaran)
c. Respirasi (PaO2 / FiO2 < 300)
d. Ginjal (oligouria, kreatinin > 2 mg/dl)
e. Hepar ( PT- INR >1,5)
f. Hematologi (platelet < 100.000/mm3).

III. 3. 7. Diagnosa Banding


Diagnosa banding untuk cholecystitis adalah cholangitis akut, ulcus pepticum,
pancreatitis akut, appendictis akut dan abcess hepar. Kelima penyakit ini sama-sama

16
menimbulkan nyeri akut di perut bagian kanan atas disertai nyeri tekan. Ulcus
pepticum yang mengalami perforasi dapat didiagnosis dengan anamnesis riwayat
nyeri epigastrik yang berkurang dengan pemberian makanan atau antasid. Foto polos
abdomen pada perforasi sering memperlihatkan bayangan udara bebas pada rongga
peritoneum.9
Pankreatitis akut kadang sulit dibedakan dengan cholecystitis akut, apalagi
bila cholecystitis akut disertai dengan peningkatan amilase darah. Meskipun penyakit
ini dapat timbul bersamaan, sebaiknya tetap didiagnosis satu-satu. Appencitis akut
terutama dengan caeceum yang terletak tinggi (di RUQ) dapat menimbulkan
keraguan diagnosis. Keraguan tersebut dapat disingkirkan dengan melakukan
pemeriksaan ultrasonografi. Sedangkan untuk mengeliminasi diagnosa abces hepar,
dapat dilakukan pemeriksaan laboratorium. Hasil diagnosa laboratorium pada
penderita abcess hepar menunjukkan penurunan Hb, Ht dan peningkatan alkalin
phosphatase dan leukosit.8,9

III. 3. 8. Penatalaksanaan
Ada 3 cara penatalaksanaan cholecystitis berdasarkan tingkat keparahannya
(grading) yaitu medikamentosa, biliary drainage dan pembedahan. Secara ringkas
dapat dilihat pada bagan di bawah:

Penatalaksanaan cholecystitis akut1

17
Terapi medikamentosa tidak terlalu diperlukan pada grade I, namun bisa saja
diberikan agen antimikrobial dan antiinflamasi. Terapi lini pertama adalah NSAID
(75 mg diclofenac; IM). Efeknya adalah untuk menghilangkan nyeri
dan mencegah perburukan penyakit. Sedangkan terapi lini kedua adalah
agen antimikrobial. Pilihannya dapat dilihat pada tabel berikut.1

Agen Antimikrobial1

Drainase bilier pada cholecystitis akut dapat dilakukan melalui 3 cara yaitu
PTGBD (percutaneous transhepatic gallbladder drainage), PTGBA (percutaneous
transhepatic gallbladder aspiration) dan ENGBD (endoscopic nasal gallbladder
drainage). Tehnik PTGBD merupakan tehnik biliary drainage yang sederhana.
Walaupun tehniknya sederhana, PTGBD memiliki kekurangan antara lain pipa
drainase tidak bisa dikeluarkan hingga terbentuk fistula di sekitar pipa (+ 2 minggu)
dan sering terjadi dislokasi letak pipa. Sedangkan metode PTGBA merupakan
prosedur yang bisa dilakukan di kamar rawat tanpa petunjuk X-Ray. Dibandingkan
dengan PTGBD, tehnik ini memiliki lebih banyak keuntungan karena tidak
membutuhkan perawatan pipa dan tidak begitu mengganggu ADL pasien. Namun,
efektivitasnya tetap lebih rendah daripada PTGBD. Untuk pasien dengan keadaan
yang buruk, terutama yang juga menderita penyakt hati, lebih baik dilakukan ENGBD
karena tehnik jalur perkutan sulit dilakukan.1

18
Pembedahan pada cholecystitis akut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
cholecystectomy konvensional dan laparoscopic cholecystectomy. Cholecystectomy
konvensional merupakan tehnik dengan invasi yang luas (laparotomi) sehingga
resikonya lebih banyak, salah satunya adalah masa penyembuhan pasca-operasi yang
memanjang. Ahli bedah dengan tehnik pembedahan yang lebih kompeten seharusnya
memilih minimal-invasive-surgery yaitu laparoscopic cholecystectomy. Namun,
tehnik ini harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terjadi injury pada tractus
billiaris maupun organ lain. Laparoscopic cholecystectomy lebih aman, efektif dan
membutuhkan waktu perawatan pra dan pasca operasi yang jauh lebih singkat.

19
Tehnik PTGBD1

20
Tehnik PTGBA1

21
Tehnik ENGBD1

III. 3. 9. Komplikasi
Komplikasi cholecystitis ada 4 tipe, yang pertama adalah perforasi vecica
felea. Komplikasi ini disebabkan karena iskemi dan nekrosis pada dinding vesica
felea. Yang kedua adalah biliary peritonitits, yaitu keadaan ketika cairan empedu
memasuki rongga peritoneal karena telah terjadi perforasi. Pericholecystic abcess
merupakan tipe komplikasi berikutnya yang ditandai dengan pembentukan abses di
sekeliling jaringan perforasi. Sedangkan komplikasi terakhit adalah biliary fistula
yang terjadi antara vesica felea dan duodenum. Fistula biasanya disebabkan karena
cholecystilithiasis yang sangat besar sehingga menekan duodenum. Keadaan ini
ditandai dengan tanda-tanda obstruksi usus halus.

III. 3. 10. Prognosa

22
Tingkat mortalitas cholecystitis akut adalah 0%-10%. Sedangkan pada
pasien pasca operasi cholecystectomy dan acalculous cholecystitis, tingkat mortalitas
nya bervariasi antara 23% - 40%.
III.4. Cholelithiasis
III.4.1. Definisi
Cholelithiasis (kalkuli/kalkulus, batu empedu) merupakan suatu keadaan
dimana. terdapatnya batu empedu di dalam kandung empedu (vesica fellea) yang
memiliki ukuran,bentuk dan komposisi yang bervariasi.

III.4. 2. Klasifikasi
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di
golongkankan atas 3 (tiga) golongan, yaitu:
a) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70%
kolesterol.
b) Batu kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan
mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama.
c) Batu pigmen hitam

23
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan
kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.

III.4. 3. Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh
dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya
berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.

III.4. 4. Etiologi/Faktor Resiko


Faktor yang mempengaruhi timbulnya serangan kolesistitis adalah stasis
cairan empedu, infeksi kuman dan iskemia dinding kandung empedu.Adapun
penyebab lainnya seperti kepekatan cairan empedu, kolesterol, lisolesitin dan
progstaglandin yang merusak lapisan mukosa dinding kandung empedu diikuti oleh
reaksi inflamasi dan supurasi.
Umumnya kolesistitis sangat berhubungan dengan kolelithiasis. Kolesistitis
dapat terjadi sebagai akibat dari jejas kimiawi oleh sumbatan batu empedu yang
menjadi predisposisi terjadinya infeksi atau dapat pula terjadi karena adanya
ketidakseimbangan komposisi empedu seperti tingginya kadar garam empedu atau
asam empedu, sehingga menginduksi terjadinya peradangan akibat jejas kimia.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan
untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain:
a. Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat

24
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
b. Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
c. Berat badan (BMI)
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
d. Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
e. Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
f. Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
g. Penyakit usus halus
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
h. Nutrisi intravena jangka lama
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang

25
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.

III.4. 5. Manifestasi Klinis


Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut
bermigrasi menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran
klinisnya bervariasi dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat
karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai
kolik bilier yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan
sampai di daerah subkapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-
lain. Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat
teraba pembesaran kandung empedu dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul
ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus, umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0
mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu dipikirkan adanya batu di saluran
empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri
viseral ini berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh
batu. Dengan istilah kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu
tidak memperlihatkan inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama
antara 30 – 60 menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium.
Nyeri dapat menjalar ke abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen
kiri dan dapat menyerupai angina pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan
gejala dispepsia yang merupakan gejala umum pada banyak pasien dengan atau tanpa
kolelitiasis.
Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya
komplikasi yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis
akut, kolesistitis kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier

26
sekunder, ileus batu empedu, abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung
empedu. Komplikasi tersebut akan mempersulit penanganannya dan dapat berakibat
fatal.
Sebagian besar (90 – 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan
keadaan ini timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan
organ tersebut.
Pasien dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah
sering mengalami serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini
menyebabkan penebalan dan fibrosis kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai
penyakit lain seperti koledo kolitiasis, panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui
duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di
dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis
sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan
timbulnya ikterus obstruktif yang nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa
menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga
timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE
yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat
membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus
obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

27
Gambar 4: Manifestasi klinis yang umum terjadi

III.4. 6. Patofisiologi
III.4. 6.1. Patofisiologi Pembentukan Batu Empedu
Avni Sali tahun 1984 membagi batu empedu berdasarkan komponen yang
terbesar yang terkandung di dalamnya. Hal ini sesuai dengan pembagian dari Tetsuo
Maki tahun 1995 sebagai berikut:
a) Batu kolesterol dimana paling sedikit 50 % adalah kolesterol. Ini bisa berupa
sebagai:
 Batu Kolesterol Murni
 Batu Kombinasi
 Batu Campuran (Mixed Stone)
b) Batu bilirubin dimana garam bilirubin kadarnya paling banyak, kadar
kolesterolnya paling banyak 25 %. Bisa berupa sebagai:
 Batu Ca bilirubinat atau batu pigmen calcium
 Batu pigmen murni
c) Batu empedu lain yang jarang
Sebagian ahli lain membagi batu empedu menjadi:
 Batu Kolesterol
 Batu Campuran (Mixed Stone)
 Batu Pigmen.

 Batu Kolesterol
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase:
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah
komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya

28
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana
kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini
kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut:
 Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
 Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga terjadi
supersaturasi.
 Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet).
 Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan tinggi.
 Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada gangguan
ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan sirkulasi
enterohepatik).
 Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya melarutkan
batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol. Penelitian lain
menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai tiga tahun.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu
heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang
lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol
sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa
berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung
empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk
akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu

29
lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti
batu tersebut. Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal vagotomi,
karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang baik. Sekresi
mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan mengikat kristal
kolesterol dan sukar dipompa keluar.

 Batu bilirubin/Batu pigmen


Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok:
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi).
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi).

Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase:


a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b
glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa
juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki
melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari
cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70
% inti batu adalah dari cacing tambang.

30
III.4. 6.2. Patofisiologi Umum
Batu empedu yang ditemukan pada kandung empedu di klasifikasikan
berdasarkan bahan pembentuknya sebagai batu kolesterol, batu pigment dan batu
campuran. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung >
50% kolesterol) atau batu campuran (batu yang mengandung 20-50% kolesterol).
Angka 10% sisanya adalah batu jenis pigmen, yang mana mengandung < 20%
kolesterol. Faktor yang mempengaruhi pembentukan batu antara lain adalah keadaan
statis kandung empedu, pengosongan kandung empedu yang tidak sempurna dan
konsentrasi kalsium dalam kandung empedu.
Batu kandung empedu merupakan gabungan material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Pada keadaan normal, asam empedu, lesitin dan
fosfolipid membantu dalam menjaga solubilitas empedu. Bila empedu menjadi
bersaturasi tinggi (supersaturated) oleh substansi berpengaruh (kolesterol, kalsium,
bilirubin), akan berkristalisasi dan membentuk nidus untuk pembentukan batu. Kristal
yang yang terbentuk terbak dalam kandung empedu, kemuadian lama-kelamaan
kristal tersubut bertambah ukuran,beragregasi, melebur dan membetuk batu. Faktor
motilitas kandung empedu, biliary stasis, dan kandungan empedu merupakan
predisposisi pembentukan batu empedu empedu.

III.4. 7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis:
a. Asimtomatik
b. Obstruksi duktus sistikus
c. Kolik bilier
d. Kolesistitis akut
 Empiema
 Perikolesistitis
 Perforasi
e. Kolesistitis kronis

31
 Hidrop kandung empedu
 Empiema kandung empedu
 Fistel kolesistoenterik
 Ileus batu empedu (gallstone ileus)

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan


mengakibatkan/ menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi
ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat
menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara
menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka
mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan
ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian
dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel
kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat
terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat
kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus
kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang
menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif,
kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui
terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat
menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan
ileus obstruksi.

32
III.4. 8. Diagnosis
III.4. 8.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis. Keluhan
yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran terhadap
makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah
epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik
bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang
beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada
30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.

III.4. 8. 2. Pemeriksaan Fisik


 Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi,
seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung
empedu, empiema kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan
ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis
kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu
penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang
tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas.
 Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin
darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.

33
III.4. 8. 3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan
pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi
leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan
bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin
serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus.
Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya
meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.

b. Pemeriksaan radiologis
 Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatica.

34
Gambar 5: Foto rongent pada kolelitiasis

 Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi
untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu
intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding
kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh
peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal
kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG
punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih
jelas daripada dengan palpasi biasa.

Gambar 6: Hasil USG pada kolelitiasis

35
 Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena
relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen
sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal
pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl,
okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras
tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada
penilaian fungsi kandung empedu.

Gambar 7: Hasil kolesistografi pada kolelitiasis

III.4. 9. Penatalaksanaan
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri
yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau
mengurangi makanan berlemak. Pilihan penatalaksanaak antara lain:
a) Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga
kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi
adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas
yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling
umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh
kolesistitis akut.
b) Kolesistektomi laparaskopi

36
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya
kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli
bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan
pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini
dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di
rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja,
nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan
adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparaskopi.

Gambar 8: Tindakan kolesistektomi

c) Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah
angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi
hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol.
Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan
bahwa disolusi dan hilangnnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika
obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien.
d) Disolusi kontak

37
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten
(metil-ter-butil-eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang
diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada
pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah
angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun).
e) Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat
pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien
yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
f) Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping
tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat,
terutama untuk pasien yang sakitnya kritis.

38
BAB III
Analisis Kasus

Ny. W 45 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan atas yang semakin
berat sejak dua minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan utama tersebut dapat
disebabkan oleh organ yang terletak di sekitar regio hipokondrium kanan, yaitu hepar,
empedu, dan pankreas.
Rasa nyeri pada pasien ini mengarah pada gangguan organ empedu, karena
dari anamnesis pada pasien ini, nyeri bersifat hilang timbul, nyeri menjalar ke bahu
kanan dan punggung belakang, mual dan muntah (+), demam ada, Nyeri yang
disebabkan karena organ pankreas dapat disangkal karena pada pankreatitis akut
didapatkan nyeri seperti ditusuk pada midepigastrium yang menyebar ke punggung
dalam waktu beberapa menit atau jam, dengan rasa nyeri sangat klasik yang bersifat
konstan, terus menerus, dan bersifat datar, dan dari riwayat penyakit dahulu, riwayat
meminum alkohol dan trauma tumpul yang menjadi penyebab pankreatitis akut
disangkal.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan nyeri tekan pada perut kanan atas,
.nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu.
Dan tanda Murphy positif dimana nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik
nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan
pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. Pada organ hepar, tidak teraba adanya
perbesaran hepar, Sedangkan pada pasien abses hepar dan hepatitis didapatkan
hepatomegali, dimana pada abses hepar terdapat hepatomegali dengan permukaan
halus, tepi datar, konsistensi lunak, dan fluktuasi (+), sedangkan hepatitis didapatkan
tepi yang runcing.
. Dari anamnesis diketahui penderita mendapatkan selaput bola mata menjadi
kekuningan dan BAK Berwarna seperti teh selama 3 hari dan dari pemeriksaan
laboratorium didapatkan Bilirubin direct: 3,89 mg/dl, Bilirubin indirect: 0,76 mg/dl,
Bilirubin total : 4,65 mg/dl. Penimbunan pigmen dalam tubuh menyebabkan warna

39
kuning pada jaringan yang dikenal sebagai jaundice atau ikterus. Jaundice biasanya
dapat dideteksi pada sclera kulit atau BAK yang menjadi gelap, bila bilirubin serum
mencapai 2-3 mg/100 ml. Bilirubin serum normal adalah 0,2-0,9 mg/100ml. Jaringan
permukaan yang kaya dengan elastin, seperti sclera dan permukaan bawah lidah
biasanya pertama kali menjadi kuning. Jaundice dapat disebabkan oleh gangguan
prehepatik (pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan
bilirubin tak terkonyugasi oleh hati), intrahepatik (mengenai sel hati,kanalikuli,atau
kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai saluran empedu diluar hati).

Ikterik pada sklera ini disebabkan bisa dikarenakan kolelithiasis dan


kolangitis. Namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik lebih mengarah pada
kolelithiasis,karena demam menggigil tidak ditemukan, yang sebagaimana ditentukan
dalam triad Charcot (demam,menggigil, nyeri perut, dan ikterik) untuk mendiagnosa
kolangitis. Ikterik juga dapat disebabkan oleh organ hepar, namun dapat disangkal
karena hepatomegali tidak ditemukan, dan SGOT, dan SGPT pasien dalam batas
normal, Dan dari riwayat penyakit dahulu tidak ditemukan riwayat hepatitis dan
transfusi darah, yang dapat menyangkal hepatitis. Riwayat Diare berlendir dengan
atau tanpa darah yang merupakan penyebab dari abses hepar tidak ditemukan.

Dari hasil USG didapatkan abses hepar, colesistitis et causa colelitiasis.


Namun dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak dapat ditemukan adanya abses
hepar.
Untuk mendiagnosis abses hepar berdasarkan: (1). kriteria Sherlock (1969),
ditemukan hepatomegali yang nyeri tekan, respon baik terhadap obat amebisid,
leukositosis, peninggian diafragma kanan, dan pergerakan rongga dalam hati dan tes
hemaglutinasi (+), (2). Kriteria Ramachandran (1973), bila didapatkan tiga temuan
atau lebih dari: hepatomegali yang nyeri, riwayat disentri, leukositosis, kelainan
radiologis, dan respon baik terhadap obat amebisid, (3). Kriteria Lamont dan Pooler,
bila didapatkan tiga temuan atau lebih dari: hepatomegali yang nyeri, kelainan
hematologis, kelainan radiologis, pus amuba, tes serologi (+), kelainan sidikan hati,

40
dan respon baik terhadap obat amebisid. Kriteria diatas tidak terpenuhi karena tidak
ditemukan hepatomegali, dan pada intraoperatif cholesistectomy tidak ditemukan
adanya abses, sehingga abses hepas dapat disingkirkan.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan tanda-tanda infeksi yaitu
peningkatan leukosit dan LED, juga pada intraoperatif ditemukan 4 buah batu
empedu kolesterol yang terinfeksi yang berwarna kehitaman dengan inti yang
berwarna kekuningan di kandung empedu dan 1 buah batu empedu kolesterol yang
berwarna kekuningan di saluran empedu. Pada pemeriksaan bilirubin direk yang
meningkat dan pemeriksaan fungsi hepar, dimana kadar alkaline fosfatase dan gamma
GT meningkatnya, tanpa peningkatan SGOT,dan SGPT menunjukkan adanya
obstruksi saluran empedu.
Penatalaksanaan pasien ini dengan pemberian cairan intravena sebagai nutrisi
parenteral, Analgetik untuk menghilangkan nyeri, dan antibiotik untuk mengobati
septikemia dan mencegah terjadinya gangren, empiema, dan perforasi kandung
empedu, fisitel, abses hati dan peritonitis umum. Dan tindakan bedah cholesistectomy
sebagai golden therapy dari colesistitis et causa cholelithiasis. Cholesistectomy
dilakukan untuk mencegah memiliki serangan nyeri berulang yang lebih parah, atau
komplikasi seperti radang pankreas.
Prognosis pada pasien ini bonam, karena telah dilakukan tindakan bedah yang
dapat mencegah kolesistitis rekuren. Setelah Cholesistectomy pasien tetap dapat
hidup normal,makan seperti biasa.

41
REFERENSI

1. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2005.
Jakarta: EGC.
2. Brunicardi, Charles F et al. Schwartz’s Principles of Surgery 8 th edition. 2007.
New York: McGraw Hill Companies.
3. Grace, Pierce A &Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah, Edisi III. Jakarta:
Erlangga Medical Series.
4. Dalley, Arthur F.; Moore, Keith L. Clinically oriented anatomy. 2006.
Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Robinson et al. Inguinofemoral Hernia: Accuracy of Sonography in Patients
with Indeterminate Clinical Features. 2005. Philadelphia: American Journal of
Radiology.

42

Anda mungkin juga menyukai