Anda di halaman 1dari 26

BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 Identifikasi
Nama : Tn. AM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 74 Tahun
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Status perkawinan : Sudah menikah
Alamat : Desa Jiwa Baru, Prabumulih
MRS : 25 November 2016

1.2 Anamnesis
Keluhan Utama :
Tidak bisa BAK sejak ± 1 bulan SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 1 bulan SMRS penderita mengeluh susah BAK, penderita baru dapat BAK
jika menekan perut bagian bawah di atas kemaluan. Mengedan lama saat BAK
(+), pancaran kencingnya lemah dan terputus-putus (+), rasa tidak lampias
setelah BAK (+), kencingnya menetes (+), sering kencing pada malam hari
(+), tak bisa menahan BAK dalam waktu yang lama (+), nyeri pinggang(-),
demam(-), kencing berpasir(-).

± 2 minggu SMRS penderita mengeluh tidak bisa BAK. Penderita kemudian


berobat ke Rumah Sakit Umum Prabumulih.

Riwayat Penyakit Dahulu:


- Riwayat trauma sebelum gangguan BAK (-)

1
- Riwayat infeksi saluran kemih (-)
- Riwayat darah tinggi (+) sejak 15 tahun yang lalu.
- Riwayat stroke (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga:


- Riwayat penyakit serupa dalam keluarga (-)

1.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Nadi : 67x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36,5 ºC
Kepala : tidak ada kelainan
Leher : tidak ada kelainan
KGB : tidak ada pembesaran
Thorax : tidak ada kelainan
Abdomen : tidak ada kelainan
Ekstremitas Superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas Inferior : tidak ada kelainan

Status Urologis
 Regio CVA dextra et sinitra
Inspeksi : normal
Palpasi : ballotement (-)
Perkusi : nyeri ketok (-)
 Regio suprapubik
Inspeksi : tidak cembung
Palpasi : nyeri tekan (-)

2
 Regio genitalia eksterna
I : Terpasang kateter uretra  urine jernih, darah (-), pus(-)
 Pemeriksaan Rectal Toucher
TSA baik, ampula kosong, mukosa licin, prostat teraba membesar, pole atas
tak teraba, konsistensi kenyal, permukaan rata, nodul (-), simetris, nyeri (-).

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium (25 November 2016) :
Hemoglobin : 15,6 gr/dL (N : 14-18g.dL)
Hematokrit : 44 vol% (N : 40-48vol%)
LED : 8 mm/jam (N < 10 mm/jam)
Leukosit : 6800/mm3 (N : 5000-10000/mm3)
Trombosit : 404.000/mm3 (N : 200.000-500.000/mm3)
Waktu perdarahan : 3 menit (N :1-3 menit)
Waktu pembekuan: 9 menit (N : 9-15 menit)
BSS : 95 mg/dL
Ureum : 22 mg/dL (N : 15-39mg/dL)
Kreatinin : 1,1 mg/dL (N : 0,9-1,3mg/dL)
Na+ : 140 mmol/l (N : 135-155)
K+ : 5,5 mmol/l (N : 3,5-5,5)

Rontgen Thorax (25 November 2016)


Kesan: kardiomegali

USG abdomen (27 November 2016)


 Ginjal kanan : besar dan bentuk normal, intensitas ekoparenkim tidak
meningkat, batas kortex dan medula jelas, tak tampak batu/nodul, tampak
kista di pole atas ukuran ± 4,8 cm, sistem pelvokaliseal tidak melebar.

3
 Ginjal kiri : besar dan bentuk normal, intensitas ekoparenkim tidak
meningkat, batas kortex dan medula jelas, tak tampak batu/nodul/kista, sistem
pelvokaliseal tidak melebar.
 Buli-buli : Bentuk dan ukuran normal, dinding menebal, mukosa ireguler. Tak
tampak masa/batu.
 Prostat : ukuran membesar 3,7 x 4,6 x 4,3 cm, intensitas ekoparenkim
homogen. Tak tampak massa. Tampak kalsifikasi. Taksiran volume = 37,6 cm3
dan berat 39gr (ρ=1,05g/cm3)
Kesan : kista ginjal kanan, cystitis kronis, hipertrofi dengan kalifikasi prostat.

1.5 Diagnosis Kerja


Urine Retention e.c. Benign Prostatic Hyperplasia

1.6 Penatalaksanaan
 Prostatektomi
 IVFD RL gtt xx/menit
 Inj. Cefoperazone 2x1gr
 Inj. Metronidazole 3x500mg
 Inj.dexketoprofen 3x1ampl
 Pasang DC
 Pemeriksaan histopatologis jaringan prostat

1.7 Prognosis
Quo ad vitam: bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 KELENJAR PROSTAT


Anatomi1
Kelenjar prostat adalah organ genitalia pria yang sering menjadi neoplasma baik
jinak maupun ganas. Kelenjar prostat ini terletak di sebelah inferior buli-buli, di
depan rectum dan membungkus uretra posterior. Bila mengalami pembesaran
organ ini menekan uretra pars prostatika dan menyebabkan terhambatnya aliran
urin keluar dari buli-buli. Secara anatomis, prostat terletak didalam pelvis vera,
dipisahkan dari simfisis pubis di sebelah anterior oleh spatium retropubic (space
of Retzius). Permukaan posterior prostat dipisahkan dari ampula rekti oleh fascia
Denonvilliers. Dasar prostat bersambungan dengan leher buli-buli, dan apeksnya
berada pada permukaan sebelah atas dari diafragma urogenital. Sebelah lateral,
prostat berhubungan dengan muskulus levator ani.

Perdarahan kelenjar prostat berasal dari arteri vesikalis inferior, arteri pudenda
interna dan arteri hemoroidalis medius. Drainase vena prostat menuju pleksus
periprostatik yang berhubungan dengan vena dorsalis profunda penis dan vena
iliaka interna. Limfe terutama dicurahkan ke nodus iliaka interna dan nodus
sakralis. Persarafan prostat berasal dari pleksus hipogastrikus inferior dan
membentuk pleksus prostatikus. Prostat mendapat persarafan terutama dari
serabut saraf tidak bermielin. Beberapa serat ini berasal dari sel ganglion otonom
yang terletak di kapsula dan di stroma. Serabut motoris, mungkin terutama
simpatis, tampak mempersarafi sel-sel otot polos di stroma dan kapsula sama
seperti dinding pembuluh darah.

Prostat normal berukuran 3-4cm didasarnya, 4-6 cm sefalokaudal, dan 2-3 cm


pada dimensi anteroposterior.1 Berat normal sekitar 20 gram. Prostat mengelilingi

5
uretra pars prostatika dan ditembus di bagian posterior oleh dua buah duktus
ejakulatorius.2
Kelenjar prostat terbagi atas 5 lobus, yaitu lobus medius, lobus lateralis (2 lobus),
lobus anterior, dan lobus posterior. Menurut konsep terbaru kelenjar prostat
merupakan suatu organ campuran terdiri atas berbagai unsur glandular dan non
glandular. Telah ditemukan lima daerah/ zona tertentu yang berbeda secara
histologi maupun biologi, yaitu:
 Zona Anterior atau Ventral : sesuai dengan lobus anterior, tidak punya
kelenjar, terdiri atas stroma fibromuskular. Zona ini meliputi sepertiga
kelenjar prostat.
 Zona Perifer : sesuai dengan lobus lateral dan posterior, meliputi 70% massa
kelenjar prostat. Zona ini rentan terhadap inflamasi dan merupakan tempat
asal karsinoma terbanyak.
 Zona Sentralis : lokasi terletak antara kedua duktus ejakulatorius, sesuai
dengan lobus tengah meliputi 25% massa glandular prostat. Zona ini resisten
terhadap inflamasi.
 Zona Transisional : zona ini bersama-sama dengan kelenjar periuretra disebut
juga sebagai kelenjar preprostatik. Merupakan bagian terkecil dari prostat,
yaitu kurang lebih 5% tetapi dapat melebar bersama jaringan stroma
fibromuskular anterior menjadi benign prostatic hyperpiasia (BPH).
 Kelenjar-Kelenjar Periuretra : bagian ini terdiri dan duktus-duktus kecil dan
susunan sel-sel asinar abortif tersebar sepanjang segmen uretra proksimal.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara dikanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika.

Fisiologi
Sekret kelenjar prostat adalah cairan seperti susu yang bersama-sama sekret dari
vesikula seminalis merupakan komponen utama dari cairan semen. Semen berisi
sejumlah asam sitrat sehingga pH nya agak asam (6,5). Selain itu dapat ditemukan
enzim yang bekerja sebagai fibrinolisin yang kuat, fosfatase asam, enzim-enzim

6
lain dan lipid. Sekret prostat dikeluarkan selama ejakulasi melalui kontraksi otot
polos.

II.2 HIPERPLASIA PROSTAT


Definisi
Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh
penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesaran
prostat yang jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar periuretral atau
hiperplasia fibromuskular yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer3.
Namun orang sering menyebutnya dengan hipertropi prostat walaupun secara
histologi yang dominan adalah hiperplasia.

Histopatologi4
Daerah yang sering dikenai adalah lobus lateral bagian tengah dan lobus medial.
Berat prostat bisa mencapai 60-100 gram (normal 20 gram). Pernah juga
dilaporkan pembesaran prostat yang beratnya melebihi 200 gram. Secara
mikroskopik gambaran yang terlihat tergantung pada unsur yang berproliferasi.
Bila kelenjar yang banyak berproliferasi maka akan tampak penambahan jumlah
kelenjar dan sering terbentuk kista-kista yang dilapisi oleh epitel silindris atau
kubis dan pada beberapa tempat membentuk papila-papila ke dalam lumen.
Membrana basalis masih utuh. kadang-kadang terjadi penambahan kelenjar kecil-
kecil sehingga menyerupai adenokarsinoma. Di dalam lumen sering ditemukan
deskuamasi sel epitel, sekret yang granuler dan kadang-kadang corpora amylacea
(hyaline concretion). Dalam stroma sering ditemukan infiltrasi sel limfosit. Bila
unsur fibromuskuler yang bertambah maka tampak jaringan ikat atau jaringan otot
dengan kelenjar-kelenjar yang letaknya berjauhan, disebut hiperplasia
fibromatosa.

7
Ketergantungan sejumlah relatif elemen stroma dan kelenjar, maka tipe
hiperplasia prostat yang sering ditemukan adalah fibromyoglandular dan
fibromyomatosa. Perubahan sekunder yang terjadi adalah infark akibat nodul
menekan pembuluh darah.

Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran
yang lambat dari lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi
peningkatan cepat dalam ukuran yang berkelanjutan sampai usia akhir 30-an.
Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasia.
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus
berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi.
Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50% dan pada usia 80 tahun
sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan
tanda klinik. Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden histologi
hiperplasia prostat, mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat
selama masa remaja sampai ukuran dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan
melambat sampai laki-laki mencapai usianya yang ke 40 dan 50 tahun, mulai
memasuki pertumbuhan yang makin lama makin besar. Tidak ada bukti yang
meyakinkan mengenai korelasi antara faktor-faktor lain selain usia dalam
peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai faktor yang

8
berhubungan dengan prostatektomi, namun ras, habitus, riwayat vasektomi,
kebiasaan seksual dan penyakit-penyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan
mempunyai korelasi dengan peningkatan kejadian BPH.

Etiologi1
Etiologi dari BPH belum dapat dimengerti secara lengkap, tetapi nampaknya
multifaktorial dan diatur oleh sistem endokrin. Postat terdiri dari elemen stroma
dan epitelial, dan masing-masing, baik sendiri maupun bersamaan dapat
membentuk nodul hiperplastik dan gejala-gejala yang berhubungan dengan BPH.3
Tiap elemen dapat mejadi target dalam pengobatan. Hingga sekarang masih belum
diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa
hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan
peningkatan kadar dihydrotestosteron (DHT) dan proses aging (proses menua).

Tabel 1. Teori etiologi BPH


Teori Penyebab Efek
Dihydrotestosteron ↑ 5-α reductase dan reseptor hiperplasia epitel dan
androgen stroma
Imbalans oestrogen- ↑ oestrogens ↓ testosteron hiperplasia stroma
testosteron
Interaksi stromal – epitel ↑ epidermal growth factor/ hiperplasia epitel dan
fibroblast growth factor stroma
↓ transforming growth factor
β
Penurunan kematian sel ↑ oestrogen ↑ waktu hidup sel stroma
(↓ apoptosis) dan epitelium
Teori stem cells ↑ stem cells proliferasi transit cells

Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah1,2,5,6,:
1. Dihydrotestosteron
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian
dari kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan
terikat oleh globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang
hanya 2% dalam keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa

9
masuk ke dalam “target cell” yaitu sel prostat melewati membran sel langsung
masuk kedalam sitoplasma, di dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5-
alpha reductase menjadi 5-dihydrotestosteron yang kemudian bertemu dengan
reseptor sitoplasma menjadi “hormone receptor complex”. Kemudian
“hormone receptor complex” ini mengalami transformasi reseptor, menjadi
“nuclear receptor” yang masuk kedalam inti yang kemudian melekat pada
chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini akan menyebabkan
sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar prostat. Teori
ini dibuktikan bahwa sebelum pubertas dilakukan kastrasi maka tidak terjadi
BPH, juga terjadinya regresi BPH bila dilakukan kastrasi.

2. Imbalans oestrogen-testosteron
Selain androgen (testosteron/DHT), estrogen juga berperan untuk terjadinya
BPH. Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan
hormonal, yaitu antara hormon testosteron dan hormon estrogen, karena
produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer dengan pertolongan enzim
aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang terjadinya hiperplasia
pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron diperlukan untuk
inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang berperan
untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi
relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi
faktor pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran
prostat.

Dari berbagai percobaan dan penemuan klinis diperoleh kesimpulan bahwa


dalam keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan
produksi hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat.
Dengan makin bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi
testikuler (spermatogenesis) yang akan menyebabkan penurunan yang
progresif dari sekresi androgen. Hal ini mengakibatkan hormon gonadotropin

10
akan sangat merangsang produksi hormon estrogen oleh sel sertoli. Sedangkan
dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua bagian yaitu sentral
sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer yang tidak
bereaksi terhadap estrogen.

3. Teori Growth Factor (Faktor pertumbuhan)


Teori ini berdasarkan adanya hubungan interaksi antara unsur stroma dan
unsur epitel prostat yang berakibat hiperplasia prostat. Faktor pertumbuhan ini
dibuat oleh sel-sel stroma di bawah pengaruh androgen. Adanya ekspresi
berlebihan dari epidermis growth factor (EGF) dan atau fibroblast growth
factor (FGF) dan atau adanya penurunan ekspresi transforming growth factor-
α(TGF-α) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan
prostat dan menghasilkan pembesaran prostat.

4. Penurunan kematian sel


Proses penuaan dapat mengakibatkan blokade proses maturasi pada stem sel,
mencegahnya memasuki tahap kematian sel terprogram (apoptosis). Akibat
dari proses penuaan pada penelitian hewan nampaknya dimediasi melalui
sinergisme estrogen yang menginduksi reseptor androgen, menganggu
metabolisme steroi, berakibat meningkatkan kadar DHT dalam prostat
sehingga menghambat kematian sel ketika diberikan bersamaan dengan
androgen dn menstimulasi poduksi kolagen stroma.

5. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan “steady state”, antara
pertumbuhan sel dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya
kadar testosteron tertentu dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel
stem sehingga dapat berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini
dapat bertambah sehingga terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi

11
abnormal sel stem sehingga menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma
dan sel epitel kelenjar periuretral prostat menjadi berlebihan.

Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti; teori reawakening, tumor jinak, teori rasial dan
faktor sosial, teori infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang
berhubungan dengan aktifitas hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn
yang kesemuanya tersebut masih belum jelas hubungan sebab-akibatnya.

Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan
akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan
intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih
kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan
perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi,
terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor
ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh
pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract
symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan
semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase
dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh
bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua
muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan
mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam
gagal ginjal.3

Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars

12
prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urin (obstruksi infravesikal)
sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya,
yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik
reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus.
Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga
tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik.1

Gambaran Kiinis1,2,5
Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak semuanya
disertai dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol dan hiperplasia
prostat adalah sumbatan saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut
dapat disebabkan oleh dua komponen, pertama adanya penekanan yang bersifat
menetap pada uretra (komponen statik) dimana terjadi peningkatan volume prostat
yang pada akhirnya akan menekan uretra pars prostatika dan mengakibatkan
terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan oleh peningkatan tonus
kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen dinamik) yang
akhimya dapat meninggikan tekanan dan resistensi uretra, hal tersebut selanjutnya
menyebabkan terjadinya sumbatan aliran kencing.

Gejala hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling


berhubungan, obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor
gagal berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama
sehingga kontraksi terputus-putus .
Tanda obstruksi :
 Menunggu pada permulaan kencing (hesistency)
 Pancaran kencing terputus-putus (intermitency)
 Rasa tidak puas sehabis kencing
 Urin menetes pada akhir kencing (terminal dribling)
 Pancaran urin jadi lemah

13
Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan obstruksi. Gejala
iritasi timbul karena pengosongan buli-buli yang tidak sempurna pada akhir
kencing atau pembesaran prostat menyebabkan ransangan pada buli-buli, sehingga
buli-buli sering berkontraksi meskipun belum penuh. Bila terjadi dekompensasi
akan terjadi retensi urin sehingga urin masih berada dalam buli-buli pada akhir
kencing. Retensi urin kronik menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi
infeksi.
Tanda iritasi :
 Rasa tidak dapat menahan kencing (urgensi)
 Terbangun untuk kencing pada saat tidur malam hari (nocturia)
 Bertambahnya frekuensi kencing
 Nyeri pada waktu kencing (disuria)

Tabel 2. IPSS
Dalam 1 bulan tidak < 1 x dlm <50% ±50% > 50% hampir
terakhir sama 5 kejadian kejadian kejadian selalu
sekali kejadian
1. Terasa sisa 0 1 2 3 4 5
kencing 0 1 2 3 4 5
2. Sering kencing 0 1 2 3 4 5
3. Terputus-putus 0 1 2 3 4 5
4. Tidak dapat 0 1 2 3 4 5
menunda 0 1 2 3 4 5
5. Pancaran lemah 0 1 2 3 4 5
6. Mengejan
7. Kencing malam
Total
Dari IPSS, gejala LUTS dikelompokkan dalam 3 derajat, yaitu:
 Ringan : skor 0-7
 Sedang : skor 8-18
 Berat : skor 19-35

14
Jika pada waktu kencing penderita hampir selalu mengedan, lama kelamaan dapat
menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin dapat
terbentuk batu endapan dalam buli-buli. Adanya batu saluran kemih menambah
keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria. Hematuria bisa juga terjadi karena
ruptur dari vena-vena yang berdilatasi pada leher vesika uninaria. Selain itu, batu
tersebut bisa menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluk dapat terjadi
pyelonefritis. Kadang-kadang tanpa sebab yang diketahui penderita sama sekali
tidak dapat kencing sehingga harus dikeluarkan dengan kateter.

Dengan pemeriksaan colok dubur, dapat memberi kesan keadaan tonus spingter
anus, kelainan yang berada di mukosa rektum dan pembengkakan dalam rektum
dan prostat. Pada pemeriksaan ini harus diperhatikan konsistensi prostat (pada
hiperplasia prostat konsistensinya kenyal) apakah simetris, adakah nodul pada
prostat, apakah batas atas teraba. Apabila batas atas masih bisa diraba biasanya
diperkirakan berat prostat kurang dari 60 gram. Tentu saja penentuan berat prostat
dengan cara ini tidak akurat. Sebaliknya colok dubur cukup baik untuk
mengetahui adanya keganasan prostat. Pada karsinoma prostat, prostat teraba
keras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau
letaknya asimetris dengan bagian yang lebih keras.

Retensi urin dapat terjadi dengan kelenjar yang dirasakan normal pada
pemeriksaan colok dubur, sebaliknya kelenjar yang dirasakan membesar bisa tidak
menimbulkan gejala obstruksi saluran keluar vesika urinaria. Derajat berat
obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah penderita
kencing spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat
keluar dengan kateterisasi. Volume sisa urin setelah kencing normal pada pria
dewasa sekitar 35 ml. Sisa urin dapat juga diketahui dengan ultrasonografi buli-
buli setelah kencing, sisa urin lebih dari 100 ml, biasanya dianggap sebagai batas
indikasi untuk melakukan intervensi pada hiperplasia prostat. Derajat berat
obstruksi dapat diukur dengan menentukan pancaran urin pada waktu kencing,

15
cara pengukuran ini disebut uroflowmetri. Angka normal untuk pancaran urin
rata-rata 10-12 ml/detik dengan pancaran maksimal sampai 20 ml/detik. Pada
obstruksi ringan pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan pancaran
maksimal menjadi 15 ml/detik. Tetapi pada pemeriksaan ini tidak dapat
membedakan antara kelemahan otot detrusor dengan obstruksi intravesikal.

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan radiologi, seperti foto
polos abdomen, dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan seperti batu
saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel saluran kemih. Pembesaran prostat
dapat dilihat lesi profusio prostat kontras pada dasar buli-buli. Secara tidak
langsung pembesaran prostat dapat diperkirakan apabila dasar buli-buli pada
gambaran sistogram tampak terangkat atau ujung distal ureter membengkok ke
atas berbentuk seperti mata kail.

Ultrasonografi dapat dilakukan secara transabdominal atau transrektal (trans


rectal ultrasography = TRUS). Untuk mengetahui pembesaran prostat,
pemeriksaan ini dapat pula menentukan volume buli-buli, mengukur sisa urin dan
keadaan patologi lain seperti divertikel, tumor dan batu. Pemeriksaan CT Scan
atau MRI jarang dilakukan. Pemeriksaan sitoskopi dilakukan apabila pada
anamnesis ditemukan hematuria atau pada pemeriksaan urin ditemukan
mikrohematuria. Sitoskopi dapat juga memberi keterangan mengenai besar prostat
dengan mengukur panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat di
dalam uretra.

Diagnosis
The Third International Consultation on BPH menganjurkan untuk menganamesa
keluhan kencing terhadap setiap pria berumur 50 tahun atau lebih jika ditemukan
prostatismus lakukan pemeriksaan dasar standar kemudian jika perlu dilengkapi
dengan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan standar meliputi :
o Hitung skor gejala, dapat ditentukan dengan menggunakan skor IPSS
(International Prostate Symptom Score, IPSS)

16
o Riwayat penyakit lain atau pemakai obat yang memungkinkan gangguan
kencing.
o Pemeriksaan fisik khususnya colok dubur.
Pemeriksaan Tambahan :
o Pemeriksaan uroflowmetri (pengukuran pancaran urin pada saat kencing)
o Pemeriksaan TRUS-P (Transrectal Ultrasonography of the prostate)
o Pemeriksaan serum PSA (Prostatic spesific antigen)
o Pemeriksaan USG transabdominal
o Pemeriksaan patologi anatomi (diagnosis pasti)
Diagnosis Banding
Kondisi obstruktif traktus urinarius bagian bawah lainnya, seperti striktur uretra,
kontrakur leher kadung kemih,batu buli-buli, atau karsinoma prostat harus
dipikirkan saat memeriksa pasien dengan dugaan BPH. Riwayat pemakaian
instrume tertentu diuretra, uretitis, atau trauma harus diketahui untuk
menyingkirkan dugaan striktur uretra atau kontraktur leher buli-buli. Hematuria
dan nyeri sering berhubungan dengan batu buli-buli. Karsinoma prostat dapat
dideteksi dengan kelainan pada rektal toucher atau kenaikan kadar PSA.

Infeksi traktus urinarius, yang dapat menyerupai gejala iritaif BPH, dapat dengan
segera diketahui dari urinalisis dan kultur; bagaimanapun, infeksi traktus urinarius
dapat merupakan komplikasi dari BPH. Walaupun keluhan saat kencing juga
berhubungan denan karsinoma buli, khususnya karsnoma insitu, urinalisis
biasanya menunjukkan adanya hematuria. Selain itu, pasien dengan kelainan buli
neurogenik dapat jua memiliki tanda dan gejala dari BPH, tetapi disertai adanya
riwayat penyakit neurolgis, stroke, diabetes melitus, atau trauma punggung.
Sebagai tambahan, pada pemeriksaan didapatkan berkurangya sensasi perineum
atau ekstremitas bagian bawah, gangguan pada tonus spinkter rektal atau refleks
blbokavernosus. Gangguan pada fungsi pencernaan (konstipasi) dapat juga
memperingatkan adanya kemungkinan sebab neurologis.

17
Terapi
Ada beberapa pilihan terapi pasien BPH, dimana terapi spesifik dapat diberikan
untuk pasien kelompok tertentu.
Pasien dengan gejala ringan (symptom score 0-7), dapat hanya dilakukan watchful
waiting.
Pasien dengan gejala sedang (symptom score 8-18), dapat diberikan terapi
medikamentosa.
Pasien dengan gejala berat (symptom score 9-35), dilakukan operasi.
Selain itu, indikasi dilakukan operasi adalah1,8:
 Retensi urin berulang
 Infeksi saluran kemih berulang
 Gross hematuria berulang
 Batu buli-buli / divertikel
 Insufisiensi ginjal.
 Dilatasi traktus atas (hidroureter, hidronefrosis).

Tabel 3. Penatalaksanan BPH1


Observasi Watchful waiting
Medikametosa - alpha blocker : terazosin, prazosin, tamsulsin, dll
- supresi androgen : 5α -reduktase inhibitor
- fitoterapi
Operasi konvensional - Transurethral resection of the prostate (TURP)
- Transurethral incision of the prostate (TUIP)
- Open simple prostatectomy
Invasif minimal - Laser
- Transurethral electrovaporization of the prostate
- Hyperthermia
- Transurethal needle ablation of the prostate (TUNA)
- High Intensity focused ultrasound
- Intraurethral stents
- Transurethral balloon dilation of the prostate

A. Watchful waiting
Watchful waiting merupakan penatalaksanaan pilihan untuk pasien BPH dengan
symptom score ringan (0-7). Besarnya risiko BPH menjadi lebih berat dan
munculnya komplikasi tidak dapat ditentukan pada terapi ini, sehingga pasien

18
dengan gejala BPH ringan menjadi lebih berat tidak dapat dihindarkan, akan
tetapi beberapa pasien ada yang mengalami perbaikan gejala secara spontan.

B. Medikamentosa
1. Penghambat alfa (alpha blocker)
Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung adrenoreseptor-α1, dan prostat
memperlihatkan respon kontaktil terhadap pengaruh penghambat alfa.
Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat dan leher buli-buli secara
primer diperantarai oleh reseptor α1a. Penghambatan terhadap alfa telah
memperlihatkan hasil berupa perbaikan subyektif dan obyektif terhadap gejala
dan tanda (sign and symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa
dapat diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya.
Contoh penghamba alpha yang ada antara lain prazosin, terazosin, doxazosin
dan yang lebih baru tamslosin (blokade selektif pada reseptor α1a). Efek
samping penghambat apha antara lain hipotensi ortostaik, pusing, kelelahan,
ejakulasi retrograd, rinitis dan sakit kepala. Efek samping ini lebih sedikit pada
penggunaan penghamba α1a yang lebih selektif.

2. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)


Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang menghambat perubahan
testosteron menjadi dehidrotestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen
epitel prostat, yang menghasilkan pengurangan ukuran kelenjar dan
memperbaiki gejala. Dianjurkan pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna
mendapat efek maksimal terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan
pada gejala-gejala. Walupun begitu, perbakan gejala hanya terliat pada prostat
yang membesar >40 cm3. Efek samping termasuk penurunan libido, penurunan
volume ejakulat dan impotensi.

3. Fitoterapi
Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak tumbuh-tumbuhan
untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada BPH telah popular di Eropa

19
selama beberapa tahun. Obat-obatan tersebut mengandung bahan dari tumbuhan
seperti Hypoxis rooperis, Pygeum africanum, Urtica sp, Sabal serulla,
Curcubita pepo, Populus temula, Echinacea purpurea, dan Secale cerelea.
Masih diperlukan penelitian untuk mengetahui efektivitas dan keamanannya.

C. Operasi konvensional
1. Transurethral resection of the prostate (TURP)
Sembilan puluh lima persen simpel prostatektomi dapat dilakukan melalui
endoskopi. Umumnya dilakukan dengan anestesi spinal dan dirawat di rumah
sakit selama 1-2 hari. Perbaikan symptom score dan aliran urin dengan TURP
lebih tinggi dan bersifat invasif minimal. Risiko TURP adalah antara lain
ejakulasi retrograd (75%), impotensi (5-10%) dan inkontinensia urin
(<1%).>(2). Komplikasi tindakan ini antara lain perdarahan, striktur uretra atau
kontraktur leher buli, perforasi kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada
kasus yang berat, sindrom TUR yang berakibat hipervolemi, hiponatremi karena
absorpsi cairan irigasi yang hipotonik (H2O). Manifestasi klinik sindrom TUR
adalah mual, muntah, konfusi, hipertensi, bradikardi dan gangguan visual.
Risiko sindrom TUR meningkat pada waktu reseksi yang melebihi 90 menit.
Penatalaksanaanya termasuk pemberian diuresis dan pada kasus yag berat,
diberikan saline hipertonik.

2. Transurethral incision of the prostate (TUIP)


Pada pasien dengan gejala sedang-berat dan prostat yang kecil sering terjadi
hiperplasia komisura posterior (kenaikan leher buli-buli). Pasien dengan
keadaan ini lebih mendapat keuntungan dengan insisi prostat. Prosedur ini lebih

20
cepat dan morbiditas lebih sedikit dibandingkan TURP. Retrograde ejakulasi
terjadi pada 25% pasien.

3. Open simple prostatectomy


Jika prostat terlalu besar untuk dikeluarkan dengan endoskopi, maka enukleasi
terbuka diperlukan. Prostat lebih dari 100 gram biasanya dipertimbangkan untuk
dilakukan enukleasi terbuka. Open prostatectomy juga dilakukan pada BPH
dengan divertikulum buli-buli, batu buli-buli dan pada posisi litotomi tidak
memungkinkan. Open prostatectomy dapat dilakukan dengan pendekatan
suprapubik ataupun retropubik. Simple suprapubic prostatectomy (Frayer)
dikerjakan melalui pembukaan buli-buli dan pemilihan metode ini berhubungan
dengan adanya patologi pada buli. Pada metode simple retropubic prostatectomy
(Millin), buli tidak dibuka dan incisi langsung dilakukan pada kapsul prostat.

D. Terapi minimal invasif


1. Laser
Dua sumber energi utama yang digunakan pada operasi dengan sinar laser
adalah Nd:YAG dan holmium:YAG. Teknik coagulation necrosis salah satunya:
transuretral laser-induced prostatectomy (TULIP) yang dikerjakan dengan
panduan ultrasonografi transrektal. Teknik visual coagulative necrosis

21
dikerjakan degan kontrol cystoscopic. Teknik visual contact ablative dikerjakan
dengan fiber yang diletakkan langsung bersentuhan dengan jaringan prostat
yang dvaporisasi. Teknik lainnya adalah Interstitial laser therapy.

Keuntungan operasi dengan sinar laser adalah: kehilangan darah minimal, jarang
terjadi sindroma TUR, dapat mengobati pasien yang sedang menggunakan
antikoagulan, dan dapat dilakukan out patient procedure. Sedangkan kerugian
operasi dengan laser antara lain: sedikit jaringan untuk pemeriksaan patologi,
pemasangan kateter postoperasi lebih lama, lebih iritatif, dan biaya besar.

2. Transurethral electrovaporization of the prostate


Transurethral electrovaporization of the prostate menggunakan resektoskop.
Arus tegangan tinggi menyebabkan penguapan jaringan karena panas,
menghasilkan cekungan pada uretra pars prostatika. Prosedurnya lebih lama dari
TUR.

3. Hyperthermia
Hipertermia gelomban mikro dihantarkan melalui kateter transuretra. Alat
lainnya mendinginkan mukosa uretra. Namun jika suhu lebih rendah dari 45°C,
alat pendingin tidak diperlukan.

4. Transurethal needle ablation of the prostate


Transurethal needle ablation of the prostate (TUNA) menggunakan kateter yang
didesain khusus melalui uretra. Jarum interstitial dengan frekuensi radio
kemudian keluar dari ujung kateter, melubangi mkosa uretra pars prostatika.

22
Penggunaan frekuensi radio tersebut untuk memanaskan jaringan sehingga
megakibatkan nekrosis koagulatif.

5. High-intensity focused ultrasound


Metode ini dilakukan dengan meletakkan probe ultrasonografi didalam rektum
yang akan menampilkan gambaran prostat dan menghantarkan energi panas dari
high-intensity focused ultrasound, yang akan memanaskan jaringan prostat dan
menjadi nekrosis koagulasi.

6. Intraurethral stents
Intraurethral stents adalah alat yang ditempatkan pada fossa prostatika dengan
endoskopi dan dirancang untuk mempertahankan uretra pars prostatika tetap
paten.

7. Transurethral balloon dilation of the prostate


Balon dilator prostat ditempatkan dengan kateter khusus yang dapat melebarkan
fossa prostatika dan leher buli-buli. Lebih efektif pada prostat yang ukurannya
kecil (<40cm3). Teknik ini jarang digunakan sekarang ini .

BAB III

23
ANALISIS KASUS

Seorang laki – laki berusia 74 tahun berinisial Tn.AM datang ke RSUD


Prabumulih dengan keluhan tidak bisa BAK. Dari anamnesis didapatkan awalnya
penderita mengeluhkan kesulitan BAK sejak 3 bulan yang lalu dengan gejala
obstruktif maupun iritatif seperti adanya sisa urin setelah kencing, sering kencing,
kencing terputus-putus, tidak bisa menunda kencing, pancaran yang lemah,
mengejan dan kencing malam. Sejak 2 minggu yang lalu penderita bahkan sudah
tidak dapat kencing sama sekali (sudah terjadi retensi urin akut). Pada penderita
kemudian dilakukan pengeluaran urin dengan menggunakan kateter dan jika
kateter tersebut dilepas penderita tetap tidak dapat kencing seperti sediakala.

Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis pada
regio pinggang kanan dan kiri, regio suprapubik tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada regio genitalia externa pada inspeksi terpasang kateter. Pemeriksaan Rectal
Toucher : TSA baik, ampula kosong, mukosa licin, prostat teraba membesar, pole
atas tidak teraba, konsistensi kenyal, permukaan rata, nodul(-), simetris, nyeri
tekan (-).

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien mengalami retensio urin


yang diduga disebabkan oleh hiperplasia prostat jinak. Dari anamnesis, hal yang
memperkuat dugaan ini adalah adanya gangguan saluran kemih bagian bawah,
karena pasien menunjukan adanya gejala obstruksi dan iritatif.
Selain itu, beberapa diagnosis banding dapat tersingkirkan dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik:
 Riwayat trauma (-), penyakit infeksi saluran kemih (-) menyingkirkan dugaan
striktur uretra atau kontraktur leher buli-buli.
 Hematuria (-) dan nyeri saat berkemih (-) menyingkirkan dugaan batu atau
karsinoma pada buli.

24
 Pada pasien didapati adanya bakteri pada kultur urin yang dapat merupakan
manifestasi infeksi traktus urinarius yang dapat merupakan komplikasi dari
BPH.
 Tidak adanya riwayat penyakit stroke maupun trauma punggung dan
pemeriksaan BSS yang tidak mendukung adanya diabetes melitus. Dari RT,
TSA didapatkan baik dan tidak adanya riwayat konstipasi menyingkirkan
dugaan neurologis.
 Karsinoma prostat pada pasien ini dapat disingkirkan karena tidak ditemukan
kelainan pada pemeriksaan RT (seperti konsistensi yang keras, adanya nodul,
asimetri pada prostat).

Berdasarkan hal-hal tersebut datas, hanya proses hiperplasi prostat jinak yang
paling mungkin untuk pasien ini, mengingat pasien ini sudah berumur 75 tahun,
yang mana insiden hiperplasia prostat semakin meningkat seiring dengan
meningkatnya usia dan juga pasien ini menunjukan adanya gejala-gejala LUTS
(Low Urinary Tract Symptoms). Namun hal ini belum bisa dipastikan sepenuhnya
karena itu perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, pada pasien ini dilakukan
pemeriksaan USG. Ukuran prostat berdasarkan USG adalah 3,7 x 4,6 x 4,3 cm,
intensitas ekoparenkim homogen. Tak tampak massa. Tampak kalsifikasi. Taksiran
volume = 37,6 cm3 dan berat 39gr (ρ=1,05g/cm3). Dengan kesan : kista ginjal
kanan, cystitis kronis, hipertrofi dengan kalsifikasi prostat.

Maka dapat disimpulkan diagnosis kerja untuk pasien ini adalah Urine Retention
e.c Benign Prostatic Hyperplasia. Pada penderita ini direncanakan dilakukan
Transurethral Resection of Prostate (TURP) dan pemberian antibiotik. Metode
operatif diplih karena adanya gejala retensi urin. Metode TURP dipilih
berdasarkan berat prostat < 100 gr, komplikasi yang lebih sedikit dibandingkan
open prostatektomi, kenyamanan bagi pasien, dan angka keberhasilan yang tinggi.
Prognosis pada pasien ini, Quo ad vitam : bonam dan Quo ad functionam : dubia
ad bonam.

25
REFERENSI

1. Sjamsuhidajat, R & Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. 2005.
Jakarta: EGC.
2. Brunicardi, Charles F et al. Schwartz’s Principles of Surgery 8 th edition.
2007. New York: McGraw Hill Companies.
3. Grace, Pierce A &Neil R. Borley. At a Glance Ilmu Bedah, Edisi III.
Jakarta: Erlangga Medical Series.
4. Dalley, Arthur F.; Moore, Keith L. Clinically oriented anatomy. 2006.
Hagerstown, MD: Lippincott Williams & Wilkins.
5. Robinson et al. Inguinofemoral Hernia: Accuracy of Sonography in
Patients with Indeterminate Clinical Features. 2005. Philadelphia:
American Journal of Radiology.

26

Anda mungkin juga menyukai