Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Anemia

Anemia merupakan keadaan saat jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin dalam
sel darah merah berada di bawah normal. Hal ini mengakibatkan pada penurunan kapasitas
pengangkutan oksigen oleh darah.

Hemoglobin terdapat dalam sel- sel darah merah dan merupakan pigmen pemberi warna
merah sekaligus pembawa oksigen dari paru-paru ke seluruh sel-sel tubuh. Oksigen ini akan
digunakan untuk membakar gula dan lemak menjadi energy. Hal ini dapat menjelaskan mengapa
kurang darah dapat menyebabkan gejala lemah dan lesu yang tidak biasa. Paru-paru dan jantung
juga terpaksa kerja keras untuk mendapatkan oksigen dari darah yang menyebabkan nafas terasa
pendek. Walaupun gejalanya tidak terlihat atau samar-samar dalam jangka waktu lama. Kondisi
ini tetap dapat membahayakan jiwa jika dibiarkan dan tidak diobati.

Anemia biasanya terdeteksi atau sedikitnya dapat dipastikan setelah pemeriksaan darah
untuk mengetahui kadar sel darah merah, hemotokrit dan hemoglobin. Pengobatan bisa
bervariasi tergantung pada diagnosisnya Sel-sel darah baru dibuat setiap hari dalam sumsum
tulang belakang. Zat gizi yang diperlukan untuk pembuatan sel-sel ini adalah besi, protein dan
vitamin terutama asam folat dan B12. Dari semua ini, besi dan protein yang paling penting dalam
pembentukan hemoglobin. Setiap orang harus memiliki sekitar 15 gram hemoglobin per 100 ml
darah dan jumlah darah sekitar lima juta sel darah merah per millimeter darah.

2.2 Etiologi Anemia

Anemia disebabkan oleh berbagai jenis penyakit, namun semua kerusakan tersebut secara
signifikan akan mengurangi banyaknya oksigen yang tersedia untuk jaringan. Menurut Brunner
dan Suddart (2001), beberapa penyebab anemia secara umum antara lain :

1. Secara fisiologis anemia terjadi bila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk
mengangkut oksigen ke jaringan.
2. Akibat dari sel darah merah yang prematur atau penghancuran sel darah merah yang
berlebihan.
3. Produksi sel darah merah yang tidak mencukupi.
4. Faktor lain meliputi kehilangan darah, kekurangan nutrisi, faktor keturunan, penyakit
kronis dan kekurangan zat besi.
2.3 Patofisiologi Anemia

Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau kehilangan sel darah
merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum dapat terjadi akibat kekurangan
nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel
darah merah dapat hilang melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat
defek sel darah merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan
destruksi sel darah merah.

Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam sel fagositik atau dalam system
retikuloendotelial, terutama dalam hati dan limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin
yang akan memasuki aliran darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera
direfleksikan dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas
1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera).

Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada kelainan
hemolitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma (hemoglobinemia). Apabila
konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas haptoglobin plasma (protein pengikat untuk
hemoglobin bebas) untuk mengikat semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus
ginjal dan kedalam urin (hemoglobinuria).

Kesimpulan mengenai apakah suatu anemia pada pasien disebabkan oleh penghancuran
sel darah merah atau produksi sel darah merah yang tidak mencukupi biasanya dapat diperoleh
dengan dasar: 1. Hitung retikulosit dalam sirkulasi darah; 2. Derajat proliferasi sel darah merah
muda dalam sumsum tulang dan cara pematangannya, seperti yang terlihat dalam biopsi; dan ada
tidaknya hiperbilirubinemia dan hemoglobinemia.
Anemia

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer

penurunan transport O2 ke jaringan

hipoksia, pucat, lemah

beban jantung meningkat

kerja jantung meningkat

payah jantung

2.4 Klasifikasi Anemia

Disini di paparkan klasifikasi anemia menjadi 3, yaitu berdasarkan morfologi, etiologi,


patofisiologi.

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologinya:

 Normositik: anemia normositik adalah anemia yang bentuk dan ukuran sel darah
merahnya normal (diameter 76 – 100 fl) namun jumlah sel darah merah sedikit. Contoh
anemia yang termasuk anemia normositik adalah anemia hemolitik (anemia akibat
peningkatan penghancuran sel darah merah), anemia aplastik (anemia akibat jumlah sel
darah merah yang diproduksi sumsum tulang belakang berkurang) dan anemia akibat
pendarahan.
 Anemia makrositik adalah anemia dimana jumlah sel darah merah berkurang disertai
dengan peningkatan ukuran sel (diameter > 100 fl). Anemia makrositik dibagi menjadi
dua, yaitu anemia makrositik megaloblastik dan anemia makrositik nonmegaloblastik.
 Anemia makrositik megaloblastik adalah anemia akibat kelainan pada sintesis/
pembelahan sel darah merah sehingga terbentuk megaloblast (eritroblast yang besar)
yang akan menjadi eritrosit dengan ukuran yang besar. Contoh dari anemia makrositik
megaloblastik adalah anemia akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12.
 Anemia makrositik nonmegaloblastik adalah anemia dengan ukuran sel darah merah
besar namun bukan disebabkan oleh terbentuknya megaloblast. Anemia makrositik
nonmegaloblastik dapat disebabkan oleh alkohol, penyakit hati, miksedema, sindrom
mielodisplastik, obat sitotoksik, anemia aplastik, kehamilan, merokok, retikulositosis,
myeloma, dan nenonatus.
 Anemia mikrositik adalah kondisi anemia dimana jumlah sel darah merah berkurang
disertai dengan ukuran sel darah merah yang kecil (diameter <76 fl). Hal ini terjadi akibat
kegagalan dalam sintesis sel darah merah. Anemia mikrositik biasanya disertai dengan
hipokromik (kadar hemoglobin dalam darah berkurang, sehingga warna eritrosit lebih
pucat dibanding normal). Contoh anemia mikrositik yang sering terjadi adalah anemia
akibat defisiensi zat besi.
Klasifikasi anemia berdasarkan etiologinya:

 Defisiensi: anemia akibat defisiensi bahan-bahan yang dibutuhkan dalam pembentukan


sel darah merah, seperti Fe, vitamin B12, dan asam folat.
 Pusat: anemia yang disebabkan oleh kelainan pada fungsi sintesis di sumsum tulang.
Misalnya pada lansia, anemia penyakit kronis, dan kanker sumsum tulang.
 Periferal: anemia yang disebabkan oleh pendarahan atau penyakit kronis.

Klasifikasi anemia berdasarkan patofisiologinya:

 Kehilangan Darah Berlebihan (akut):


 Pendarahan, trauma fisik, tukak lambung, infeksi lambung, hemorroid
 Pendarahan Kronis
 Pendarahan vagina, peptic ulcer, parasit intestinal, aspirin dan NSAID lain
 Destruksi Sel Darah Merah Berlebihan
 Antibodi, obat, trauma fisik, seguestrasi berlebih pada limpa, dan faktor
ekstrakorpuskular lain
 Faktor Intrakorpuskular
 Hereditas dan kelainan sintesis hemoglobin
 Produksi RBC dewasa tidak cukup
 Defisiensi nutrient: Vitamin B12, Fe, asam folat, piridoksin
 Defisiensi eritroblast: Anemia aplastik, eritroblastopenia terisolasi, antagonis asam folat,
antibodi
 Defisiensi infiltrasi sumsum tulang: Limfoma, leukemia, mielofibrosis, karsinoma
 Abnormalitas endokrin: Hipotiroid, insufisiensi adrenal dan kelenjar pituitari
 Penyakit ginjal kronis
 Penyakit liver
 Inflamasi kronis: Granulatomasous disease dan collagen vascular disease
2.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari anemia tergantung dari jenis dan tingkat keparahan anemia
tersebut. Namun pada umumnya gejala anemia terdiri dari:

 Pusing (dizziness dan fatigue): Sel darah merah yang berkurang menyebabkan
oksihemoglobin yang terdistribusi ke bagian tubuh seperti otak berkurang. Hal ini dapat
menyebabkan pusing dan sakit kepala.
 Tekanan darah rendah
 Mata menguning: warna kuning dapat disebabkan oleh adanya bilirubin (hasil destruksi
sel darah merah) pada aliran darah
 Kulit pucat, dingin, dan berwarna kuning: kulit yang dingin berwarna pucat terjadi akibat
kurangnya sel darah merah pada pembuluh darah. Kulit yang menguning bisa disebabkan
oleh adanya bilirubin (hasil destruksi sel darah merah) pada darah.
 Napas pendek
 Otot melemah
 Warna feces berubah: terutama pada anemia hemolitik, dimana terjadi peningkatan
destruksi sel darah merah. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan kadar bilirubin yang
merupakan hasil destruksi sel darah merah. Bilirubin akan membuat warna feces
menguning.
 Pembesaran hati
 Palpitasi
 Peningkatan detak jantung
 Pada anemia akut dapat terjadi gejala kardiorespiratori seperti takikardi, kepala terasa
ringan dan sesak napas.Sementara pada anemia kronis gejala yang nampak adalah lelah,
letih, pusing, vertigo, sensitif dingin, pucat.
 Khusus pada anemia akibat defisiensi zat besi dapat terjadi penurunan saliva, rasa tidak
enak pada lidah, dan pica. Pada anemia defisiensi vitamin B12 dan asam folat, terjadi
ikterus, pucat, atropi mukosa gastrik, abnormalitas neuropsikiatrik (abnormalitas
neuropsikiatrik khusus pada defisiensi vitamin B12).
2.6 Faktor Resiko
Faktor resiko pada anemia adalah:

 Genetik dan Sejarah keluarga: sejarah keluarga merupakan faktor resiko untuk anemia
yang disebabkan oleh genetik, misalnya sickle-cell anemia, talasemia, atau fancony
anemia.
 Nutrisi: pola makan yang kurang zat penting bagi sel darah merah seperti zat besi,
vitamin B12, dan asam folat dapat meningkatkan resiko anemia
 Kondisi saluran cerna: kondisi saluran cerna dapat mempengaruhi absorbsi nutrisi yang
penting bagi pembentukan sel darah merah sehingga dapat meningkatkan resiko anemia.
Selain itu, pendarahan akibat tukak lambung, tukak peptik, dan infeksi parasit pada
saluran cerna juga dapat menyebabkan anemia.
 Menstruasi: menstruasi dapat meningkatkan resiko anemia akibat kekurangan zat besi.
Kehilangan darah akibat menstruasi memicu pembentukan darah berlebih. Apabila tidak
diikuti dengan peningkatan asupan nutrisi terutama zat besi, dapat memicu terjadinya
anemia defisiensi zat besi.
 Kehamilan: kehamilan dapat meningkatkan resiko anemia akibat kekurangan zat besi.
Hal ini disebabkan tubuh harus memiliki nutrisi yang cukup untuk tubuh ibu dan fetus,
serta nutrisi untuk pembentukan sel darah fetus. Apabila tidak dibarengi dengan asupan
nutrisi yang cukup terutama zat besi, dapat menyebabkan anemia
 Penyakit kronis seperti kanker, gagal ginjal, dan tukak dapat meningkatkan resiko
anemia.
 Zat kimia dan obat: beberapa obat dan zat kimia seperti benzena, penisilin, primaquin,
dan sulfasalazin dapat menyebabkan anemia.
 Faktor lain seperti infeksi, penyakit autoimun.
2.7 Terapi
Tujuan

 Mengurangi tanda-tanda dan gejala


 Memperbaiki etiologi yang mendasarinya
 Mencegah kambuhnya anemia
 Terapi non-farmakologi
 Terapi farmakologi

1. Terapi Non-Farmakologi

Terapi non-farmakologi dapat dilakukan dengan istirahat yang cukup, pola hidup sehat
yang teratur, dan mencukupi asupan makanan, yaitu nutrisi dari besi, vitamin B12, dan asam
folat.

Terapi non-farmakologi sendiri dapat dilakukan dengan tranfusi darah. Transfusi darah
dapat menjaga jumlah sel darah merah dalam tubuh dan mengurangi gejala yang timbul. Namun
perlu diperhatikan kecocokan antara pendonor dan penderita.

a. Besi

Besi memiliki absorpsi yang rendah pada sayuran, produk padi-padian, produk
susu, dan telur. Absorpsi besi yang paling baik berasal dari daging, ikan, dan unggas.
Pemberian terapi besi bersamaan dengan makanan dapat mengurangi absorpsi besi lebih
dari 50%, namun hal ini diperlukan untuk memperbaiki toleransi tubuh.

b. Vitamin B12

Di bawah ini daftar makanan beserta jumlah vitamin B12 yang terkandung di
dalamnya :
c. Asam folat

Di bawah ini adalah daftar makanan beserta jumlah asam folat yang terkandung di
dalamnya :

Selain itu, dapat juga diberikan transfusi darah. Transfusi darah diindikasikan
untuk situasi yang akut di mana pasien kekurangan darah yang berlebih. Transfusi darah
dapat meningkatkan konsentrasi Hb dalam waktu singkat tetapi tidak ditujukan untuk
menghilangkan penyebabnya.
2. Terapi Farmakologi
a. Besi

Terapi besi secara oral

Fe2+ sulfat, fumarat, dan glutamat diabsorpsi tubuh dalam jumlah yang kurang
lebih sama. Besi karbonat lebih menguntungkan karena resiko kematian yang lebih
rendah jika terjadi overdosis. Adanya substansi chelator mukopolisakarida mencegah besi
terpresipitasi dan menjaga besi dalam bentuk yang larut. Bentuk besi yang paling baik
diabsorpsi adalah bentuk Fe2+ dengan absorpsi paling baik terjadi di duodenum dan
jejunum.

Dosis yang diberikan tergantung pada toleransi setiap individu. Umumnya, dosis
yang direkomendasikan sebesar 200 mg besi setiap hari dalam 2 atau 3 dosis terbagi. Besi
disarankan untuk dikonsumsi 1 jam sebelum makan karena makanan akan mengganggu
absorpsi besi. Namun pada beberapa pasien, besi harus diberikan bersama makanan
karena dapat menyebabkan mual dan diare ketika mengkonsumsi besi dalam keadaan
perut kosong. Besi ditransportasikan melalui darah. Sebanyak 0,5-1 mg besi dieksresi
melalui urin, keringat, dan sel mukosa intestinal pada pria sehat, sedangkan pada wanita
yang sedang mengalami menstruasi kehilangan besi sekitar 1-2 mg.

 Indikasi :

Defisiensi besi untuk pencegahan dan pengobatannya

Suplemen besi

 Kontraindikasi :

Hemokromatosis, hemosiderosis, anemia hemolitik, reaksi hipersensitivitas.


 Peringatan :

Individu dengan keseimbangan besi normal tidak boleh mengkonsumsi


dalam jangka waktu lama.

Overdosis dapat menyebabkan keracunan fatal terutama pada anak-anak di


bawah 6 tahun.

Kehamilan : kategori A

 Efek samping :

Cairan mengandung besi dapat menodai gigi untuk sementara waktu, nyeri
abdominal, konstipasi, diare, iritasi saluran pencernaan, mual, muntah, feses
berwarna lebih gelap.

 Interaksi obat :

Obat Interaksi
Asam asetohidroksamat (AHA) Mengkelat logam berat termasuk besi, absorpsi
besi menurun
Antacid Absorpsi besi menurun
Asam askorbat Pada dosis ≥200 mg meningkatkan absorpsi besi
≥30%
Garam kalsium Aborpsi besi pada saluran cerna menurun
Kloramfenikol Kadar serum besi meningkat
Antagonis H2 Absorpsi besi menurun
Inhibitor pompa proton Absorpsi besi menurun
Trientin Keduanya saling menghambat absorpsi
Kaptopril Penggunaan bersamaan dalam 2 jam
menyebabkan pembentukan dimer disulfide
kaptopril yang inaktif
Sefalosporin Besi menurunkan absorpsi 80%, makanan
menurunkan absorpsi 30%
Fluorokuinolon Absorpsi pada saluran cerna menurun karena
terjadi pembentukan kompleks
Levodopa Membentuk kelat dengan garam besi,
menurunkan absorpsi kadar serum
Levotiroksin Efikasi levotiroksin menurun menyebabkan
hiportiroidsm
Metildopa Terjadi penurunan efikasi
Penisilamin Absorpsi menurun karena, kemungkinan karena
terbentuk kelat
Tetrasiklin Penggunaan dalam 2 jam dapat saling
menurunkan absorpsi
 Sediaan :

b. Vitamin B12 /sianokobalamin

Penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis, dan sintesis


nucleoprotein dan myelin.Vitamin B12 juga berperan dalam pembentukan sel darah merah
melalui aktivitas koenzim asam folat.Absorpsi tergantung pada faktor intrinsik dan
kalsium.
 Indikasi

Defisiensi vitamin B12 karena malabsorpsi seperti pada anemia pernisiosa,


peningkatan kebutuhan vitamin B12 seperti saat kehamilan, tirotoksikosis, anemia
hemolitik, pendarahan, penyakir hati dan ginjal.

 Kontraindikasi

Hipersensitifitas

 Peringatan

Pemberian parenteral dipilih untuk anemia pernisiosa namun hindari


pemberian intravena.Selain itu, pada defisiensi asam folat yang dibiarkan selama > 3
bulan dapat menyebabkan lesi permanen pada sumsum tulang belakang.Hipokalemia
dan kematian mendadak dapat terjadi pada anemia megaloblastik parah yang diobati
intensif.

 Efek samping

Pemberian secara parenteral dapat menyebabkan edema pulmonari, gagal


jantung kongestif, thrombosis vaskuler perifer, rasa gatal, syok anafilaktik, diare
ringan, perasaan bengkak pada seluruh tubuh.

 Dosis

Secara oral : 1-2 mg setiap hari selama 1-2 minggu, dilanjutkan 1 mg setiap
hari

Secara parenteral : baru digunakan jika terdapat gejala neurologi, diberikan 1


mg setiap hari selama 1 minggu, kemudian setiap minggu selama sebulan, dan
terakhir setiap bulan. Ketika gejala teratasi, pemberian oral harian dapat dilakukan.
 Sediaan

Sianokobalamin (generik) tab 50 mcg

Cairan injeksi 500 mcg/ml, 1000 mcg/ml

Etacobalamin (errita) cairan injeksi 100 mcg/ml

Vitamin B12 Cap FM (fimedco) tab 25 mcg

 Interaksi obat

Obat Interaksi
Asam aminosalisilat Menurunkan kerja vitamin B12
Kloramfenikol Menurunkan efek vitamin B12 pada
pasien anemia pernisiosa
Kolkisin, alcohol Asupan berlebih (>2 minggu)
menyebabkan malabsorpsi vitamin
B12
c. Asam folat

Folat eksogen dibutuhkan untuk sintesis nukleoprotein danpemeliharaan


eritropoiesis normal, menstimulasi produksi eritrosit, leukosit, dan platelet pada anemia
megaloblastik.

 Indikasi

Anemia megaloblastik disebabkan defisiensi asam folat

 Kontraindikasi

Pengobatan anemia pernisiosa dan anemia megaloblastik lainnya di mana


vitamin B12 tidak cukup.
 Peringatan

Jangan diberikan secara tunggal pada anemia pernisiosa dan defisiensi vitamin
B12 karena menimbulkan degenerasi majemuk medulla spinalis.Selain itu, jangan
diberikan pada penyakit yang ganas kecuali anemia megaloblastik karena defisiensi
asam folat merupakan komplikasi penting.

 Efek samping

Relatif tidak toksik, efek samping yang umum terjadi adalah perubahan pola
tidur, sulit berkonsentrasi, iritabilita, aktivitas berlebih, depresi mental, mual,
anoreksia, flatulensi.

 Dosis

Secara oral 1 mg setiap hari selama 4 bulan.Jika terjadi malabsorpsi, dosis


harian ditingkatkan menjadi 5 mg.

 Sediaan

Folic Acid (generik) tab 1 mg, 5 mg.

 Interaksi obat

Obat Interaksi
Asam aminosalisilat Penurunan kadar serum asam folat
selama penggunaan konkuren
Kontrasepsi oral Mempengaruhi metabolism folat
dan menyebabkan defisiensi asam
folat, tapi efeknya ringan
Dihydrofolate reductase inhibitor Mempengaruhi penggunaan asam
folat
Sulfasalazine Terjadi tanda-tanda defisiensi folat
Fenitoin Menurunkan kadar serum folat
DAFTAR PUSTAKA

Dipiro, Joseph T.,2008,Pharmacotherapy A Pathophisiologic Approach, 7th edition, US,


McGraw-Hill Companies

Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hematology. Salemba Medika. Jakarta

2008, ISO Farmakoterapi, Jakarta, PT. Ikrar Mandiri Abadi,p.1-25


HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
1. Anatomi dan Fisiologi Endometrium

Uterus adalah organ muscular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam pelvis
dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya terbagi menjadi
korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium dengan ketebalan bervariasi sesuai usia
dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-
sel stroma mesenkim, yang keduanya sangat sensitive terhadap kerja hormone seks wanita.
Hormon yang ada di tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan
endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhan dan progesterone mempertahankannya.

Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis endoserviks,


menjadi epitel skuamosa berlapis.

Endometrium adalah lapisan terdalam pada rahim dan tempatnya menempelnya


ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna
untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut
fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan
badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi.

Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri
terhadap terjadinya kehamilan,agar hasil konsepsi bisa tertanam. Pada suatu fase
dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti memproduksi
hormon progesteron dan berubah menjadi korpus albikan yang menghasilkan sedikit hormon
diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang telah menebal, karena
hormon estrogen dan progesteron telah berhenti diproduksi. Pada fase ini, biasa
disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim.

2. Siklus Endometrium Normal

Pada masa reproduksi dan dalam keadaan tidak hamil, epitel mukosa pada endometrium
mengalami siklus perubahan yang berkaitan dengan aktivitas ovarium. Perubahan ini dapat
dibagi menjadi 4 fase endometrium, yakni :

a. Fase Menstruasi (Deskuamasi)

Fase ini berlangsung 3-4 hari. Pada fase ini terjadi pelepasan endometrium dari dinding
uterus yakni sel-sel epitel dan stroma yang mengalami disintergrasi dan otolisis dengan
stratum basale yang masih utuh disertai darah dari vena dan arteri yang mengalami
aglutinasi dan hemolisis serta sekret dari uterus, serviks dan kalenjar-kalenjar vulva.

b. Fase Pasca Haid (Regenerasi)


Fase ini berlangsung ± 4 hari (hari 1-4 siklus haid). Terjadi regenerasi epitel mengganti
sel epitel endometrium yang luruh. Regenerasi ini membuat lapisan endometrium setebal
± 0,5 mm.
c. Fase Intermenstrum (Proliferasi)
Pada fase ini endometrium menebal hingga ± 3,5 mm. berlangsung selama ± 10 hari (hari
ke 5-14 siklus haid).
a) Fase proliferasi dini (early proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 5-7). Pada fase ini terdapat
regenerasi kelenjar dari mulut kelenjar dengan epitel permukaan yang tipis.
Bentuk kelenjar khas fase proliferasi yakni lurus, pendek dan sempit dan
mengalami mitosis.
b) Fase proliferasi madya (midproliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 3 hari (hari ke 8-10). Fase ini berupakan
bentuk transisi dan dapat dikenal dari epitel permukaan yang berbentuk torak
dan tinggi. Kelenjar berlekuk-lekuk dan bervariasi. Sejumlah stroma
mengalami edema. Tampak banyak mitosis dengan inti berbentuk telanjang
(nake nucleus)
c) Fase proliferasi akhir (late proliferation phase)
Fase ini berlangsung selama ± 4 hari. Fase ini dapat dikenali dari
permukaan kelenjar yang tidak rata dengan banyak mitosis. Inti epitel kelenjar
membentuk pseudostratifikasi. Stroma semakin tumbuh aktif dan padat.
d. Fase Pra Haid (Sekresi)
Fase ini berlangsung sejak hari setelah ovulasi yakni hari ke 14 sampai hari ke 28. Pada
fase ini ketebalan endometrium masih sama, namun yang berbeda adalah bentuk kelenjar
yang berubah menjadi berlekuk-lekuk, panjang dan mengeluarkan getah yang semakin
nyata. Dalam endometrium telah tersimpan glikogen dan kapur yang kelak diperlukan
sebagai makanan untuk telur yang dibuahi. Memang, tujuan perubahan ini adalah untuk
mempersiapkan endometrium untuk menerima telur yang dibuahi. Fase ini terbagi
menjadi dua, yakni :
a) Fase sekresi dini
Dalam fase ini endometrium lebih tipis dari sebelumnya karena kehilangan
cairan. Pada saat ini, endometrium dapat dibedakan menjadi beberapa lapisan
yakni :
Stratum basale, yakni lapisan endometrium bagian dalam yang berbatasan
dengan miometrium. Lapisan ini tidak aktif, kecuali mitosis pada kelenjar.
Stratum spongiosum, yaitu lapisan tengah berbentuk anyaman seperti
spons. Ini disebabkan oleh banyaknya kelenjar yang melebar, berkelok-
kelok dan hanya sedikit stroma di antaranya.
Stratum kompaktum, yaitu lapisan atas yang padat. Saluran-saluran kelenjar
sempit, lumennya berisi sekret dan stromanya edema.
b) Fase sekresi lanjut
Endometrium pada fase ini tebalnya 5-6 mm. dalam fase ini terdapat
peningkatan dari fase sekresi dini, dengan endometrium sangat banyak
mengandung pembuluh darah yang berkelok-kelok dan kaya akan glikogen.
Fase ini sangat ideal untuk nutrisi dan perkembangan ovum. Sitoplasma sel-sel
stroma bertambah. Sel stroma ini akan berubah menjadi sel desidua jika terjadi
pembuahan.

1. Hiperplasia Endometrium
1.1.Defenisi

Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan stroma
disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium. Bersifat noninvasif,
yang memberikan gambaran morfologi berupa bentuk kelenjar yang irreguler dengan ukuran
yang bervariasi. Pertumbuhan ini dapat mengenai sebagian maupun seluruh bagian endometrium.

Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi hormon estrogen


yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja dan beberapa tahun sebelum
menopause sering terjadi siklus yang tidak berovulasi sehingga pada masa ini estrogen tidak
diimbangi oleh progesteron dan terjadilah hiperplasia. Kejadian ini juga sering terjadi pada
ovarium polikistik yang ditandai dengan kurangnya kesuburan (sulit hamil).

1.2.Klasifikasi

Risiko keganasan berkorelasi dengan keparahan hyperplasia, sehingga diklasifikasikan sebagai


berikut :

1) Hiperplasia sederhana (hiperplasia ringan). Dicirikan dengan peningkatan jumlah


kelenjar proliferative tanpa atipia sitologik. Kelenjar tersebut, meskipun berdesakkan
dipisahkan oleh stroma selular padat dan memiliki berbagai ukuran. Pada beberapa kasus,
pembesaran kelenjar secara kistik mendominasi (hiperplasia kistik). Risiko karsinoma
endometrium sangat rendah.
2) Hiperplasia kompleks tanpa atipia (hiperplasia sedang/hiperplasia adenomatosa).
Menunjukkan peningkatan jumlah kelenjar dengan posisi berdesakan. Epitel pelapis
berlapis dan memperlihatkan banyak gambaran mitotic. Sel-sel pelapis mempertahankan
polaritas normal dan tidak menunjukkan pleomorfisme atau atipia sitologik. Stroma
selular padat masih terdapat di antara kelenjar.
3) Hiperplasia kompleks dengan atipia (hiperplasia berat/hyperplasia adenomatosa atipikal).
Dicirikan dengan berdesakannya kelenjar dengan kelenajr yang saling membelakangi dan
adanya atipia sitologik yang ditandai dengan pleomorfisme, hiperkromatisme dan pola
kromatin inti abnormal. Hiperplasia kompleks dengan atipia menyatu dengan
adenokarsinoma in situ pada endometrium dan menimbulkan risiko karsinoma
endometrium yang tinggi.
1.3.Pathogenesis

Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya stimulasi


unoppesd estrogen (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen tanpa hambatan). Kadar
estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin (feedback mechanism). Akibatnya
rangsangan terhadap pertumbuhan folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti
perdarahan.

Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga terjadi
penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak diimbangi oleh
progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap
kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan
proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia
menopause dimana sering kali mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan
estrogen, maupun estrogen saja.

Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogen) akan menyebabkan


penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya kista ovarium serta pada
wanita dengan berat badan berlebih.

1.4.Gejala Klinis

Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama (amenorrhoe)
ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia).

Selain itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah
lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah penderita bisa mengalami
kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun terganggu karena biasanya
terjadi perdarahan yang cukup parah.

1.5.Faktor Risiko

Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki resiko tinhggi :

1. Sekitar usia menopause


2. Didahului dengan terlambat haid atau amenorea
3. Obesitas ( konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan lemak )
4. Penderita Diabetes melitus
5. Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian progestin pada kasus
menopause
6. PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome)
7. Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor
1.6 Diagnosis

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hyperplasia


endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan Hysteroscopy dan
dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut
Swiss cheese patterns.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi


transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih
baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam
uterus.

Biopsy

Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi yang


dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret. Metode ini juga
dapatmenegakkan diagnosa keganasan uterus.

Dilatasi dan Kuretase

Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus.
Histeroskopi

Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil kedalam


uterusuntuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain melakukan inspeksi juga
dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.

1.6.Diagnosis Banding
Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat dipikirkan
kemungkinan:
1) karsinoma endometrium,
2) abortus inkomplit
3) leiomioma
4) polip

1.7.Terapi

Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:
1) Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk
menghentikan perdarahan.

2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh.
Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah,
pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan
penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati
hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi.
Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan)
atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif
untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan
megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan
untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan
dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon
pengobatan.

3) Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan, biasanya akan
diganti dengan obat-obatan lain.

Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali normal. Jika
sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri untuk kembali menjalani
kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri pada dokter.
Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik, apakah
memiliki sel telur dan sebagainya.

4) Histerektomi Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus
abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker,
maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini terkait dengan
angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup memiliki anak dan sudah
mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak memuaskan, histerektomi merupakan pilihan
yang terbaik. Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum
perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan
lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.

1.8.Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi progestin,
akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan
dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi.
Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan
hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami karsinoma
endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa
atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial.
1.9.Pencegahan

Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti :

1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi
dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim.
2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu
haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak kunjung haid dalam
jangka waktu lama.
3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian
progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk
mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan
kontrasepsi oral kombinasi.
5. Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : EGC.
2006.
2. Cotran dan Robbins. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC. 2008
3. Ara, S., & Roohi, M. (2011). Abnormal Uterine Bleeding; Histopathological Diagnosis by
Conventional Dilatation and Curretage. The Professional Medical Journal , 587-591.
4. Elly, J. W., Kennedy, C. M., Clark, E. C., & Bowdler, N. C. (2006). Abnormal Uterine
Bleeding: A Management Algortihm. JABFM , 590-602.
5. Montgomery, B. E., Daum, G. S., & Dunton, C. J. (2004). Endometrial Hyperplasia: A
Review. Obstetrical and Gynecological Survey , 368-378.
6. Munro, M. G., Critchley, H. O., Broder, M. S., & Fraser, I. S. (2011). FIGO Classification
System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in Non Gravid Women of
Reproductive Age. International Journal of Gynecology and Obstetrics , 3-12.
7. Wildemeersch, D., & Dhont, M. (2003). Treatment of Non Atypical and Atypical
Endometrial Hyperplasia With a Levonorgestrel-Releasing Intra Uterine System . American
Journal of Obstretics and Gynecologics , 1-4.

Anda mungkin juga menyukai